Rama fokus mendengarkan Anya. Meski yang dipilih adalah rencana pertama, sangat menguntungkan di masa depannya. Namun, syarat yang disampaikan cukup membuatnya menarik nafas.Anya ingin diberikan kesempatan untuk bisa berkomunikasi dengan ayah sang bayi dan Rama tidak boleh bertanya siapa pria itu sampai bayi lahir dan mereka bercerai.“Kalau Mas keberatan, aku akan menggugat cerai dan aku pastikan setelah ini kalian tidak akan bisa menemukanku.” Ancaman Anya sangat beresiko. Denis bisa mengamuk kalau tahu Anya kabur lagi. Kerajaan bisnis keluarga Hardana ada di tangan sang bayi.Yang membuat kepala Rama pusing karena bayi itu bukan anaknya, tapi akan dimanfaatkan. Bagaimana kalau dimasa depan akan jadi masalah.“Anya--"“Aku tidak mau negosiasi. Take it or leave it.” Anya sudah berdiri, Rama tidak percaya kalau dia sekarang berada di bawah tekanan wanita itu. “Aku tidak ingin melakukan ini, tapi Mas yang paksa aku. Kita tidak akan melewati ini, kalau mas talak aku sebelum pisah denga
“Apa Anya tahu soal surat wasiat itu?” tanya Denis kala Rama baru saja duduk.“Kamu nggak cerita masalah ini ke Anya ‘kan?” tanya Malika lagi.Rama menatap bergantian kedua orangtuanya, kenapa mereka hanya memperdulikan soal surat wasiat saja. Padahal yang mereka tahu kalau Anya mengandung anaknya atau cucu mereka.“Sepertinya tidak. Aku tidak pernah bahas masalah itu. Kalaupun tahu bisa dipastikan bukan dari aku. Anya bukan perempuan matre, kalau dia tahu menjadi kunci masalah ini. Bisa-bisa dia minta mundur, niat cerainya akan kembali bulat.”“Bagus kalau dia tidak tahu. Masalah saham hanya kita dan Bima yang tahu, kuasa hukum sudah pasti tidak akan membocorkan.”“Apa Bima bisa dipercaya? Bagaimana kalau dia kasih tahu Anya?” Malika masih mengkhawatirkan masalah saham.“Apa manfaatnya Bima kasih tahu hal ini ke Anya, hanya akan merugikan dirinya,” pikir Denis. “Pastikan istrimu di rumah saja, tidak usah terlibat dengan urusan perusahaan.”Rama mengangguk pelan.“Mulai minggu depan p
Rama masih tidak habis pikir, kemana Selly mengabaikan apartemen yang memang diberikan untuknya. Apa wanita itu sudah mendapatkan pria yang bisa menjamin kehidupannya seperti yang pernah Rama lakukan.“Terserah dia mau gimana, sekarang fokus aku adalah anak dalam kandungan Anya.”Rencana Rama adalah membuat Anya jatuh cinta padanya, sehingga kedepannya tidak ada masalah baru kalau wanita itu mengajak pisah. Mereka bisa membuat anak lagi yang benar-benar anak dari Rama.Mendapatkan kabar kalau Anya dikunjungi ibunya membuat Rama khawatir. Bisa saja mereka bertengkar atau Anya menjadi bulan-bulanan ibunya.“Anya,” panggil Rama saat memasuki kamar dan mendapati wanita itu sudah terlelap membuatnya menghela lega. Mendekat ke ranjang lalu mengusap pelan kepala istrinya. “Kamu … cantik,” ucap Rama.Pandangan Rama perlahan turun pada perut Anya yang masih rata. Ia memikirkan siapa sebenarnya pria itu, ayah dari janin yang berada dalam kandungan Anya.“Siapapun dia, aku siap menerima Anya da
Anya menghentak tangan Rama dan hendak melangkah, lagi-lagi ditahan oleh Rama. Mereka saling tatap.“Duduk!” titah Rama.“Aku mau pulang.”“Duduk, kita harus bicara. Lantai dua ini sudah aku booking, pembicaraan kita akan aman.”Meskipun tidak mau, Anya mengikuti perintah Rama. Mereka memang harus bicara, apalagi pria itu sudah ingkar janji.“Alasan kamu pergi untuk bertemu denganku, nah ini kita bertemu,” ujar Rama lalu terkekeh.Bukannya ikut tertawa, Anya malah mengalihkan pandangan dari pria di hadapannya. Bahkan acuh saat Rama menanyakan ingin makan apa. Rama memesan makanan dan memberikan buku menu pada pelayan, lalu kembali menatap Anya yang masih membuang pandangannya.“Aku ingin bertemu pria itu.”“Kamu sudah menyalahi kesepakatan kita,” seru Anya masih enggan menatap Rama.“Tidak menyalahi, hanya saja kita perlu bicarakan ulang.”Anya sudah berdiri, enggan melanjutkan pembicaraan itu. Namun, Rama lagi-lagi menahannya.“Kali ini aku tidak gunakan ancaman, tapi kamu harus tahu
Beberapa jam sebelumnya, di kediaman Denis. Rama pulang lebih cepat karena Denis dan Malika mengundang makan malam. Bukan hanya mereka ada juga kerabat Malika yang lain.Anya sempat menolak dengan alasan tidak sehat, tapi Rama janji hanya sebentar dan mereka akan pulang kalau Anya tidak nyaman.“Ada kerabat Mama kembali ke Jakarta dan akan menetap, jadi ini seperti pertemuan keluarga besar. Kita harus hadir, walaupun nanti terlalu lama atau kamu tidak nyaman, aku yang akan pamit. Ayolah,” bujuk Rama dan Anya pun akhirnya luluh.Sebenarnya hubungan mereka masih tidak baik setelah Rama ingkar janji, Anya masih acuh pada pria itu. Menjawab seperlunya, terkadang hanya menggelengkan kepala atau mengangguk saja.Mengenakan dress dengan kerutan dan aksen pita di perut, menyesuaikan dengan kondisinya yang sedang hamil. Memoles tipis make up dengan rambut digerai dan di jepit sebelah kanan. Alas kaki yang nyaman menyesuaikan dengan penampilan dan acara lengkap hand bad.Dalam perjalanan Anya d
“Dan aku tidak mau itu terjadi,” ujar Bima. Pandangan mereka bertemu dan saling tatap, tanpa tahu ada orang lain melihat interaksi dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan.Anya menarik nafas, tidak ingin berdebat lagi. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah ucapan Bima bisa dipegang atau tidak. Kalaupun ternyata rencana yang mereka susun ternyata kacau, yang jelas Anya tetap ingin fokus dengan kebahagiaannya di masa depan dan bukan dengan Rama.“Buktika saja,” ucap Anya lirih.“Pasti, pasti akan aku buktikan.”“Aku … Mas Rama pasti menunggu.”Sedangkan sejak tadi, Rama berada di balik tembok tidak jauh dari tempat Bima dan Anya bicara. Sengaja menyusul istrinya, khawatir terjadi sesuatu apalagi wanita itu merasa tidak nyaman. Nyatanya dia menemukan hal menarik dan jawaban dari pertanyaan yang selama ini diajukan untuk Anya.Bima, ternyata pria itu yang sudah menghamili istrinya. Jelas masalah mereka bertiga semakin rumit. Mendengar Anya ingin beranjak, Rama pun gegas meninggalkan
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da