Niat mencari hiburan ia malah menjadi bulan-bulanan dan hiburan Doni dengan hujatannya. Akhirnya Selly pulang ke apartemen. Menangis bukan gayanya, tapi merenung dan meratapi hidup juga tidak akan mengembalikan semua sesuai keinginan.Berharap cepat terlelap dan terjaga seakan semua yang terjadi hanya mimpi, nyatanya ia malah tidak bisa memejamkan mata.“Hah.” Selly beranjak duduk. Kepalanya sudah mumet dengan masalah Rama, pekerjaan dan juga Doni.Satu-satunya solusi adalah ia segera mendapatkan surat tugas mutasi dan memulai semuanya dari awal. Kalaupun harus hidup sederhana, setidaknya tiada yang mengenal.Sedangkan di tempat berbeda. Hampir tengah malam saat Bima tiba di kediaman Denis setelah sesorean mencari keberadaan Anya. Tentu saja dia khawatir, apalagi Anya sedang hamil. Berharap menemukan di café, nyatanya tidak ada.Masih berada di beranda sambil menikmati sebatang rokok saat mobil memasuki gerbang. Ternyata bukan hanya dia yang pulang terlambat, Rama juga. Apa Rama menca
Rama tidak menyangka kalau Anya sebenci itu dengan dirinya. Menghindar sampai tidak melihat situasi. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tubuh Anya terpental setelah tertabrak. Apalagi ia tidak bisa merengkuh untuk mencegah kejadian itu, membuat rasa bersalah semakin menjadi.“Anya, astaga.” Rama memeluk tubuh Anya yang sudah tidak sadar, ada darah di wajah wanita itu. Entah luka di bagian mana.“Ambulance, panggil ambulance!”Perasaan Rama semakin tidak karuan, apalagi Anya tidak merespon saat petugas medis mencoba menyadarkannya. Beruntung letak rumah sakit tidak jauh dari lokasi kecelakaan. Rama masih mendampingi saat brankar yang membawa Anya menuju ke UGD.“Bapak tunggu di luar.”“Saya suaminya, biar saya--”“Maaf Pak, tunggu di luar saja.”Rama harus pasrah menunggu di luar UGD meski resah luar biasa. Bahkan ia sampai menyugar rambutnya.“Anya, maafkan aku,” gumam pria itu. Segera ia menghubungi orang tuanya menyampaikan kondisi Anya.Tidak sampai tiga puluh menit, Denis dan Malika
“Sayang,”panggil Bima menghampiri Anya yang terkejut dengan kehadiran pria itu.Anya menatap ke arah pintu kamar, memastikan tidak ada Rama.“Kamu … kenapa ke sini?” tanya Anya khawatir berusaha beranjak duduk, tapi ditahan oleh Bima agar tetap berbaring.“Ck. Kenapa tidak mengabariku? Seharusnya tidak begini, kalau kamu kasih kabar.” “Aku sedang menghindar dari keluarga Mas Rama dan juga keluargaku,” jelas Anya lirih. “Sebaiknya kamu pergi, situasinya tidak memungkinkan. Mas Rama akan--"“Aku tetap di sini. Rama harus tahu kalau kamu mengandung anakku.” Bima mengusap perut Anya. “Dia … baik-baik saja ‘kan?”“Dokter bilang masih dalam observasi. Kecelakaan kemarin aku … Mas Rama sebentar lagi datang, kamu pergi dulu. Paling tidak besok pagi saja datang lagi. Keadaan sudah kacau, jangan menambah masalah.”“Ck. Ponselmu, jangan abaikan aku!”Anya mengangguk pelan, menduga Bima akan lekas pergi nyatanya pria itu malah mendekat lalu mencium keningnya.“Ada orang yang akan mengawasimu, j
Rama pamit meninggalkan kamar saat ibu mertuanya datang. Niat hati hendak pergi agak jauh, tapi urung karena ingin tahu interaksi kedua wanita di dalam kamar.“Bu,” panggil Anya. Wajar seorang anak ingin menyampaikan kalau dia sedang tidak baik-baik saja.Bukannya mendapat perlakuan yang baik, Ibu Anya malah berdiri bersedekap menatap putrinya dengan luka perban di dahi dan lengan. Lalu berdecak dan menggeleng pelan.“Makanya nurut sama orangtua. Disuruh balik ke Rama malah kabur, kayak gini jadinya. Bikin malu saja.”“Ibu nggak ngerti perasaan aku.”“Justru karena Ibu dan Ayah tahu yang terbaik untuk kamu, tinggal patuh aja. Rama itu sudah yang terbaik untuk kamu, sampai kamu tua nanti.”Rama yang mendengarkan percakapan dari balik pintu, tersenyum mendengar hal itu. Ternyata meskipun brengsek masih ada orangtua yang mempercayakan putrinya. Yah, sudah pasti karena tingkat sosial mereka.“Aku harus pisah dengan Mas Rama, aku nggak pantas untuk dia … Bu.” Suara Anya terdengar lirih dan
“Aku harus bagaimana?” tanya Anya.“Ya, katakan saja yang sebenarnya. Kalau aku yang sudah menghamilimu.”“Jangan bercanda, posisiku sekarang serba salah dan akan tambah masalah.”Bima tidak terlalu peduli masalah Rama yang penasaran siapa pria yang sudah menggagahi sang istri. Yang jelas dia merasa lebih hebat dari Rama. Meski statusnya suami, tapi tidak pernah mau menyentuh Anya.Lebih tertarik membahas kondisi kandungan dan luka-luka yanga da disekujur tubuh Anya, terutama di dahi wanita itu.“Kenapa kemari?” tanya Anya.“Ck, aku sudah dari tadi bahkan hampir tertidur. Baru tanya alasan kemarin,” jawab Bima lalu menggeser kursi semakin dekat ke ranjang.“Yang jelas aku mau pastikan kamu dan bayi kita dalam keadaan aman.”“Bukannya kalian sekarang satu kantor. Gimana kalau Mas Rama cari kamu dan bisa saja Mas Rama tiba-tiba pulang.”“Tidak akan. Dia sedang sibuk. Dua hari kemarin nggak nongol di kantor, banyak yang ditunda dan sekarang lagi mumet di meja kerjanya. Kerjaan setumpuk d
Rama sudah rapi dengan setelan kerja dan siap berangkat. Namun, tertahan lalu mengurus Anya yang mengalami morning sickness. Meski sudah boleh turun ke toilet, tapi pria itu tetap berdiri tidak jauh.Sedang membungkuk mengeluarkan isi perutnya, Wajah Anya terlihat pucat. Tangan Rama terus memijat pelan tengkuk wanita itu. Bahkan mengambilkan handuk kecil saat Anya mencuci muka berkumur.“Ayo, balik ke ranjang. Kamu pasti lemas.”Anya hanya bisa pasra saat Rama memapahnya kembali untuk berbaring, apalagi kepalanya berdenyut membuat ingin segera memejamkan mata.“Mau makan apa? Sarapanmu sudah keluar lagi.”“Nanti saja, Mas.”Baru kali ini Rama menyaksikan langsung ternyata memiliki keturunan tidak mudah dirasakan oleh perempuan. Ini baru morning sickness bagaimana kelanjutannya nanti. Pantas saja orang tuanya tidak memberikan dia adik, mungkin dimasa lalu mereka terlalu sibuk.“Mas berangkat saja, aku nggak pa-pa.”“Hm.” Rama jadi ingin punya keturunan sendiri, darah dagingnya.Meliha
Denis dan para kuasa hukum sudah meninggalkan ruangan meeting. Begitu pula dengan Pram dan Rama. Bima diikuti oleh Umar menuju ruangannya. Umar heran dengan sikap Bima yang terlihat begitu resah bahkan berjalan mondar-mandir di ruangannya.“Sebaiknya anda duduk!”“Kau dengar tadi, tua bangka serakah itu bilang kalau posisiku bisa terancam setelah dia memiliki 45% saham. Dia memang sengaja ingin menguasai sendiri, kematian Ayah sudah pasti karena dia. Dari awal aku yakin dia sudah tahu isi surat itu, lalu dia rubah dan usir Ayah.”“Dari awal anda tidak minat dengan isi wasiat, kenapa sekarang terdengar … berbeda?”“Bukan berapa bagianku yang jadi masalah, tapi mereka sudah senang duluan. Merasa dengan Anya hamil lalu 30% itu akan menjadi milik mereka. Rama tutup mata dengan hal ini, padahal ….”“Padahal apa?” tanya Umar. “Hei, mau kemana?” tanya pria itu lagi saat Bima malah keluar dari ruangannya. Berjalan cepat menuju ruangan Rama.Brak.Rama yang sedang bicara dengan ibu Rahma sekre
Brak.Selly melempar tas kerja ke atas kasur, nyatanya mental dan ke pinggir terkena lampu tidur di pinggir kasur. Bukan tanpa arti, sejak tadi siang Selly menahan kesabarannya. Malah dilampiaskan di rumah dan berhasil memecahkan bohlam.“Ck, jadi kerjaan deh. Harus beli bohlam baru, mana udah sore,” keluh Selly.Mau tidak mau, ia keluar dari rumah kontrakan hendak ke toko atau minimarket dan itu berarti harus menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit berkendara dengan mobilnya.“Hah, sepertinya aku harus beli motor,” gumam Selly memandang ke arah jalan.Mengganti wedges dengan sandal dan membawa dompet serta ponsel, Selly berjalan menuju jalan utama meski bukan jalan raya.Terlihat penghuni kamar petak di bangunan depan rumah kontrakan dirinya, cukup ramai. Bahkan beberapa tinggal bersama keluarga termasuk anak mereka.“Mau kemana Mbak?” tanya seorang ibu yang sedang menggendong sambil menyuapi anaknya yang masih batita. “Mau ke depan,” jawab Selly sambil meringis, entah depan
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.