Bima senyum smirk mengingat perdebatan tadi. Semakin kelihatan bagaimana Rama dan Malika sangat tidak mendukung dan menyudutkan dirinya. Kehadirannya tidak diharapkan karena menjadi saingan Rama. Mungkin Denis mengajaknya dating hanya untuk sandiwara karena ulahnya mulai terkuak.“Tunggu saja saatnya, kalian terpuruk dan aku akan sangat senang melihat itu.”Mobil yang dikendarai sudah terparkir di basement. Bima berjalan sambil bersiul dengan tangan kanan menenteng paper bag berisi sarapan sehat untuk ibu hamil. Siapa lagi kalau bukan untuk Anya.Tidak sarapan dan sengaja pergi lebih awal hanya untuk menunjukan kalau pernikahannya sedang bermasalah, Bima sangat mendukung keputusan Anya tersebut. Itulah mengapa dia terlihat senang pagi ini. Meskipun perdebatan saat sarapan cukup sengit. Namun, moodnya masih bagus karena Anya.“Mas Bima,” panggil seseorang saat Bima keluar dari lift.“Yup.”“Hm. Nanti makan siang bareng ya, aku mau--”“Wah, kebetulan saya sudah ada janji. Sorry ya,” uja
Selly memang sudah ditalak, tapi dia masih sekretaris Rama. Pria itu bisa bersikap profesional, bekerja seperti biasa. Namun, tidak untuk Selly. Ia tidak rela statusnya kini janda dari Rama. Apalagi pernikahan mereka hanya secara siri, tidak bisa menuntut apapun.Kurang fokus karena memikirkan nasib, membuat Selly melakukan kesalahan. Tentu saja Rama marah dan menegurnya, semakin membuat Selly tidak terima. Ia bertekad harus mendapatkan Rama kembali.“Mau kemana?” tanya Selly yang sudah berdiri karena Rama sudah berdiri di hadapannya, lengkap dengan jas kerja. Biasanya pria itu akan melepas dan menggantung jas di belakang kursinya selama berada di ruangan.“Pulang, waktu kerja sudah selesai lagipula tidak ada urusan lagi. Biasakan panggil aku pak, selama di kantor.”Selly mengangguk pelan dan menelan saliva, entah sudah berapa kali teguran Rama hari ini.“Bisa kita bicara?” Selly mohon izin.“Tentang apa?” tanya Rama sambil melirik arloji di tangannya. “Kalau urusan pribadi, aku tidak
Rama memijat pelipisnya. Hari ini sangat menguras emosi, dimulai di meja makan saat sarapan sampai tadi saat Selly mengajaknya bicara. Ia harus pikirkan cara dan alasan untuk memindahkan Selly atau pecat sekalian. Dengan kompensasi nominal yang lumayan mungkin saja berhasil membuat wanita itu menghilang dan tutup mulut selamanya.“Suntuk amat sih," ujar pria di samping Rama. Rama berdecak dan menggeser gelasnya yang sudah kosong pada bartender. Saat ini ia sudah berada di club, masih terlalu sore karena sahabat-sahabatnya belum tiba. Hanya ada seorang yang memang manager tempat tersebut.“Kayaknya berat masalah lo, kalau nggak mana mungkin tiap malam nongkrong di sini lagi.”“Berisik,” sentak Rama lalu menenggak isi gelas sampai tandas.Kemumetan Rama bukan hanya urusan Selly dan Anya, tapi juga posisinya terancam oleh Bima. Apalagi Denis sudah mengultimatum agar bersiap untuk pertarungan dengan saudaranya sendiri. Seperti masa lalu.Sempat penasaran ada apa dengan kisah orang tuanya
Siapapun itu yang menghubungi Rama, Anya sangat berterima kasih. Sepertinya Rama memang membedakan dering ponsel untuk orang-orang tertentu karena ia langsung terdiam dan mengumpat pelan lalu menjauh dari tubuh Anya dan merogoh kantong celana mengeluarkan ponselnya.Mendapati celah, Anya langsung beringsut menjauh. Bersandar pada headboard dengan kedua kaki ditekuk dan selimut ia tarik menutupi tubuhnya.“Hm,” ucap Rama saat menjawab panggilan dan pandangannya tertuju pada sang istri yang terlihat ketakutan membuatnya mengernyitkan dahi. Padahal Rama hanya ingin mendapatkan haknya kenapa Anya bersikap seolah ia ingin menodai.“Selly mencari anda di club,” ujar seseorang di ujung sana dan Rama kembali mengumpat. Apa ancamannya kurang jelas sampai dihiraukan begitu. Ternyata Selly masih punya nyali.“Ikuti saja, kabarkan aku perkembangannya. Kalau dia mulai mencari informasi tentangku, hentikan saja!”“Oke.”Panggilan diakhiri, tapi fokus Rama masih pada ponselnya. Ada pesan dari Denis
Anya sengaja tidak tidur, takut Rama memaksa masuk ke kamarnya. Sempat tertidur, tapi tidak lama. Suara apapun membuatnya terjaga. Alhasil pagi ini wajahnya terlihat lelah dan mata panda.Baru pukul enam pagi dia sudah keluar dari kamar bahkan menyeret koper sambil melangkah pelan dan hati-hati, berharap Rama tidak keluar. Sempat ke dapur hanya membuat susu hamil yang diakui ke asisten rumah tangga sebagai susu bubuk biasa.“Pakai tumbler saja bik, aku mau berangkat.”“Loh, mbak Anya tidak ikut sarapan? Lagian ini masih pagi, Mbak.”“Nggak Bik, aku ada banyak kerjaan. Kemarin malas lembur.” Anya beralasan hanya karena menghindari Rama juga mertuanya.Tidak akan mudah melepaskan dari hubungan dengan keluarga Hardana, apalagi orang tuanya juga tidak mendukung pilihannya untuk berpisah dengan Rama. Kejadian semalam membuat Anya yakin kalau dia harus pergi, Rama sangat menyeramkan dengan gairahnya.“Astaga,” pekik Anya ketika membuka pintu utama dan ada Bima duduk di sofa beranda.Bima me
“Sebaiknya jaga sikapmu,” ujar Rama lagi. “Posisi kamu akan digantikan dengan yang lain, tenang saja kami tidak memecatmu hanya mutasi.”Selly masih bergeming di tempatnya sambil memandang Rama dengan raut wajah takut. Ada apa dengan Rama, pria itu seperti orang lain. Sebelumnya dia bisa dengan mudah membuat Rama bertekuk lutut di hadapannya.Mutasi lebih baik daripada dipecat. Apalagi nominal gaji Selly saat ini masih lumayan dari pada dia harus mencari pekerjaan baru. Dana kompensasi karena Rama menalaknya juga masih bisa digunakan beberapa tahun ke depan. Masih ada cadangan perhiasan dan tas branded dengan surat lengkap dan bisa dijual sewaktu-waktu.“Jadi, jangan pernah berpikir untuk cari gara-gara dengan keluarga Hardana. Kamu mengerti?”Mulut Selly seakan terkunci, lidahnya kelu. Ia hanya sanggup mengangguk pelan.“Apartemen silahkan kamu tempati, aku sudah proses balik nama untukmu,” jelas Rama kemudian melambaikan tangan seakan mengusir wanita itu.“Aku perlu tahu,” ucap Sell
Untungnya koper belum Anya turunkan masih di bagasi. Dia tidak diterima di rumah, malah diminta pulang ke Rama untuk selesaikan masalah. Intinya dia diusir. Bagai tertusuk pisau, hatinya begitu sakit. Berharap akan mendapatkan perlindungan, nyatanya ia salah.Citra yang sesama perempuan bahkan tidak berempati apalagi simpati ketika Anya mengatakan dia tidak bahagia dan Rama menikah lagi. Ujung-ujungnya malah dirinya yang disalahkan.Sudah berada dalam mobil, tapi belum jalan. Anya sedang menenangkan hatinya. Sejak tadi air mata seakan tidak terkontrol untuk terus mengalir.“Aku harus ke mana,” gumam Anya lalu menyalakan mesin mobil. Setelah meninggalkan kawasan tempat tinggal Ayahnya, Anya sempat menepi lalu membuka ponsel.Ternyata banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Dari Naina menanyakan kenapa dia pergi, Anya abaikan untuk sementara. Lalu Rama, dari pesan berisi minta maaf sampai menanyakan di mana posisinya juga diabaikan.Ada pesan dari Denis, meski ragu Anya membuka dan
Niat mencari hiburan ia malah menjadi bulan-bulanan dan hiburan Doni dengan hujatannya. Akhirnya Selly pulang ke apartemen. Menangis bukan gayanya, tapi merenung dan meratapi hidup juga tidak akan mengembalikan semua sesuai keinginan.Berharap cepat terlelap dan terjaga seakan semua yang terjadi hanya mimpi, nyatanya ia malah tidak bisa memejamkan mata.“Hah.” Selly beranjak duduk. Kepalanya sudah mumet dengan masalah Rama, pekerjaan dan juga Doni.Satu-satunya solusi adalah ia segera mendapatkan surat tugas mutasi dan memulai semuanya dari awal. Kalaupun harus hidup sederhana, setidaknya tiada yang mengenal.Sedangkan di tempat berbeda. Hampir tengah malam saat Bima tiba di kediaman Denis setelah sesorean mencari keberadaan Anya. Tentu saja dia khawatir, apalagi Anya sedang hamil. Berharap menemukan di café, nyatanya tidak ada.Masih berada di beranda sambil menikmati sebatang rokok saat mobil memasuki gerbang. Ternyata bukan hanya dia yang pulang terlambat, Rama juga. Apa Rama menca
Meski dengan perdebatan panjang, akhirnya diputuskan kalau Selly hanya akan mengakhiri kontrak kerjanya sampai akhir tahun. Setelah itu ia akan fokus menjadi ibu rumah tangga saja.Rama masih tinggal di Bali, dalam beberapa bulan ke depan akan bolak-balik Jakarta Bali masalah pekerjaan. Resepsi pernikahan akan mereka laksanakan di Bali. Bahkan Rama setuju usulan Selly untuk menetap di sana.Mulai tahun depan Bima akan memimpin kantor cabang yang ada di Bali, Umar yang akan menggantikan posisi Rama. Bahkan rumah untuk tempat tinggal, sudah mereka dapatkan.“Aku suka tinggal di sini, banyak tempat indah.”“Tapi biaya hidup di sini mahal.”“Kamu ‘kan yang kerja, aku diminta di rumah saja. Aku tidak boros kok,” jelas Selly dan Rama sudah meyakini itu. Kehidupan Selly berubah dari sebelumnya, jarang menggunakan barang branded kecuali di acara tertentu.Bahkan tidak jarang ia tidur menggunakan daster yang dibeli secara online dua ratus ribu dapat tiga pcs.“Ayo tidur,” ucap Selly menjauhkan
“Rama, kamu yakin?” Selly menarik tangan Rama yang akan membuka pintu.“Tentu saja aku yakin, memang kamu mau sembunyi di mana. Mama pasti tinggal di sini untuk beberapa hari. Semenjak papa tiada, dia posesif padaku. Hari ini aku akan berikan apa yang dituntut selama ini?”“Apa?” tanya Selly masih berbisik sedangkan ketukan pintu dan suara bel bagai bersahutan.“Calon istri,” jawab Rama lalu membuka pintu.“Lama sekali, kamu ngapain sih. Makanya jangan begadang, mama mulai diabaikan. Pasti … ini siapa? Kenapa kalian berdua ada di … kamu bukannya … Selly.” Malika mencecar setelah melihat Selly dari balik tubuh putranya.Sambil bersedekap, Malika menarik nafasnya memandang Rama dan Selly duduk berdampingan berseberangan dengannya di sofa. Dari penampilan mereka bisa dipastikan aktivitas dewasa. Kemeja Rama berantakan, apalagi rambutnya. Sama halnya dengan Selly dengan rambut berantakan dan dress dilapisi blazer.“Hah, jadi ini yang kamu lakukan di sini?”“Mah, dengar penjelasanku dulu.
Seharusnya pagi itu Selly mandi dulu, bukan terlihat berantakan. Meski Rama terlihat tidak masalah, tapi ia sesali. Sarapannya berakhir di warung tenda samping gedung apartemen, tidak mungkin Selly makan di resto bersama penghuni lain.Saat perbaikan unit tempat Rama, Selly memastikan sendiri semua sudah oke. Bahkan ia mencuri pandangan melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan barang milik perempuan.“Seharusnya aku tidak boleh begini, tapi penasaran.”Berkali-kali menghubungi unit Rama saat malam dan pagi, nyatanya tidak dijawab. Kontaknya Selly tidak punya, hanya sekedar menyampaikan kalau semua sudah beres. Berharap bisa lanjut komunikasi.“Hah.” Selly tertelungkup di meja resepsionis pojok. Harapannya pupus, menduga Rama kecewa dan ilfil dengannya saat pertemuan terakhir dan itu sudah berlalu seminggu yang lalu.Sudah mendapatkan kontak Rama dari data penyewa, tapi urung menghubungi karena tidak ada alasan untuk sekedar basa basi. Hari ini Selly kembali shift dua dan tidak lam
“Lantai tujuh?” tanya Rama saat Selly menekan angka lantai yang mereka tuju.“Unitku di lantai tujuh,” jawab Selly.Rama terkekeh lalu menyugar rambutnya, membuat Selly bingung. Ia merasa semesta memang mendukung pertemuannya. Dari sekian banyak apartemen rumah kosan, kantor memilihkan apartemen itu untuk dirinya dan dari banyaknya lantai dan kamar nyatanya mereka malah sangat dekat.“Kenapa?”“Tujuh satu dua,” jawab Rama.“Hah, kamu di … aku tujuh kosong delapan.”Sudah kuduga, perempuan yang aku lihat malam itu memang Selly. Astaga, aku harus bagaimana Tuhan. Kenapa sedekat ini, bagaimana kalau … statusnya. Aku harus cari tahu statusnya, batin Rama.Masih dengan kecanggungan akhirnya hening, Selly mengulum senyum menyadari mereka berada dalam satu lantai. Mungkinkah mereka akan sering bertemu. Pekerjaannya hanya mengecek mana unit yang habis waktu sewa dan sewa baru, tidak berurusan dengan database penyewa atau pemilik. Kecuali sedang ada masalah seperti di unit delapan satu lima.R
Hampir subuh, Rama masih berada di balkon. Setelah menikmati makan malam di pagi buta, tidak mungkin langsung tidur. Berada di balkon kamarnya sambil fokus pada ponsel.Hari ini rencananya ia akan langsung menuju lokasi proyek. Kendaraan dan supir yang akan mengantar selama ia berada di Bali sudah dihubungi dan standy setiap jam setengah delapan pagi.Rama mengusap kasar wajahnya, antara ngantuk dan pusing. Tidur pun tidak mungkin, dia akan kesiangan.“Sepertinya mandi air hangat saja,” gumam Rama lalu menutup pintu balkon dan menuju toilet.Berada di bawah guyuran shower, air hangat mengalir menyiram tubuhnya. Benar saja ia merasa lebih segar. Saat akan membilas busa dari sabun, mendadak air yang mengguyur tubuhnya terasa dingin. Memutar kran pengatur air hangat, nyatanya yang keluar tetap dingin.“Rusak atau ….”Berkali-kali memutar kran pengatur suhu, nyatanya tidak berfungsi. Rama mengakhiri mandinya. Kecewa karena berakhir dengan kedinginan. Baru saja memakai kemeja dan celana pa
“Selamat sore, mbak. Saya mau ambil kunci kamar, booking atas nama Rama. Rama Hardana.”Resepsionis yang sedang bertugas menatap Rama tanpa berkedip, beberapa saat masih saja diam mematung. Tidak menjawab salam dan permintaan pria di hadapannya.Rama sampai berdeham.“Mbak, saya mau ambil kunci,” ujar Rama lagi.“Eh, iya, maaf mas.” Resepsionis itu terlihat canggung. “Namanya … siapa?”“Rama Hardana,” jawab Rama kembali tersenyum.“Ah. Iya, sebentar.” Mengambil kunci access kamar sekaligus id card dan form yang harus diparaf oleh Rama. “Ini tolong ditanda tangani, boleh dibaca dulu. Kami isi berdasarkan data yang dikirim saat booking ya.”Rama membaca sekilas isian biodatanya tentang perjanjian sewa, tidak ada yang aneh dan semua terlihat aturan biasa yang berlaku untuk sewa menyewa apartemen atau gedung. Ia membubuhkan tanda tangan lalu menyerahkan kembali formulir tersebut.“Ini kartu aksesnya, selamat datang semoga nyaman tinggal di sini. Kalau ada saran atau membutuhkan sesuatu si
“Halo.” Selly menjawab telepon sambil menguap dengan suara parau.“Mbak, ada masalah. Bisa turun dulu nggak, please!”“Astaga, kalian nggak bisa kasih saya istirahat tenang. Tengah malam saya baru naik ke kamar, ini jam berapa saya harus turun lagi,” keluh Selly mendengar permintaan dari ujung sana.“Tolong, mbak! Aku tidak ngerti, ini bule marah-marah nggak jelas.”“Tunggu, aku turun sekarang.”Panggilan berakhir, Selly gegas menuju toilet untuk memeriksa penampilannya. Tidak mungkin harus mandi dulu, akan semakin lama. Menyisir rambutnya, beruntung rambut lurusnya tidak sulit diatur. Menggunakan liptint agar tidak pucat dan terlihat belum mandi.“Oke, nggak mungkin pake piyama.” Selly melepaskan dan membiarkan piyamanya teronggok di lantai lalu mengambil dress putih dan blazer hitam. Tidak lupa ponselnya aman di dalam saku.Masih jam empat pagi, suasana apartemen masih lenggang. Tentu saja aktivitas lift bisa cepat digunakan.“Halo.”“Mbak ….”“Ini sudah di lift. Bentar lagi sampe.
Anya merasakan keseruan mengasuh ketiga anaknya, meski masih dibantu oleh Ira dan seorang baby sitter bernama Emi. Rencana memiliki banyak anak, minimal empat atau lima harus ditunda untuk sementara. Paling tidak menunggu si kembar berumur empat tahun.Bima agak trauma saat Anya melahirkan anak kedua mereka karena pecah ketuban di umur kehamilan delapan bulan dan pembukaan yang sangat cepat dan harus rela persalinan darurat dengan jalan operasi.“Mbak, anak-anak sudah tidur?” tanya Anya memastikan hidangan makan malam sudah siap dan tinggal di sajikan.“si kembar sudah bu, tapi Dewa belum. Ini saya mau buat susunya dulu.”Anya hanya mengangguk mendengar laporan dari Emi. Malam ini Bima mengundang makan malam keluarganya, Rama serta Malika juga keluarga Anya.“Anak-anak kemana?” tanya Citra yang baru datang bersama Alya. Bagas tidak hadir karena ada pertemuan mendadak dengan klien bisnisnya.“Di kamar Bun, sudah tidur, tapi Dewa belum.”“Hm, Alya kamu bantu temani anak-anak,” titah Cit
Saat Anya dan Bima kembali ke rumah, sudah ada Citra dan Alya di sana. Menyambut kedatangan mereka yang membawa kabar gembira. Bukan hanya pasangan itu yang antusias dengan kehamilan Anya, tapi keluarga besar Anya juga para pekerja di rumah.Kebahagiaan seakan berkali lipat manakala hasil pemeriksaan ditemukan ada dua kantung janin, artinya Anya mengandung anak kembar. Usia kehamilan sudah hampir sepuluh minggu. Tidak menyadari cukup lama periodenya terlewat.“Dewa, mama sama papa datang,” seru Citra.Anya langsung menghempaskan tubuhnya di sofa, Bima yang tadi merangkul Anya memaksa wanita itu untuk membersihkan diri sebelum menyentuh Dewa.“Bik, tolong turunkan belanjaan di bagasi,” titah Bima. “Lalu buatkan salad, istriku mau makan salad. Yogurtnya yang di kulkas.”“Nah gitu, mau makan sesuatu lebih baik minta bibik yang buatkan. Jangan beli, apalagi yang di pinggir jalan. Mana tahu ada debu masuk ke makanan,” nasehat Citra.Kalau Citra bahagia karena akan mendapatkan cucu lagi, be