Rama termenung setelah kepergian orang kepercayaan Denis. Menatap foto-foto dan video yang masih diputar di tabletnya. Mencoba mengingat alasan yang membuatnya dulu jatuh cinta pada Selly. Makin diingat makin tidak ada hal spesial yang muncul, mungkin karena perasaannya sudah semakin terkikis ulah dari wanita itu sendiri.Dalam pemikirannya kalau pria memiliki banyak wanita, baik itu selingkuh atau simpanan itu hal yang wajar. Apalagi kalau si pria berkuasa, bertahta dan berharta. Kalau si wanita itu yang memiliki banyak pria, atau bercinta dengan lebih dari satu pria apalagi sudah bersuami rasanya menjijikan.Tidak peduli dia egois atau tidak,yang jelas perbuatan Selly tidak dibenarkan. Kepala Rama rasanya sudah penuh dengan banyak masalah. Denis akan semakin kecewa, apalagi kalau ia menyampaikan bahwa Anya menginginkan mereka berpisah. Entah seperti apa kemarahan Denis.“Mas Rama, ada Mbak Selly di depan,” ujar Bibi berada di tengah pintu.Sepertinya ia melamun sampai tidak sadar de
Anya bersembunyi di balik tembok tidak jauh dari tempatnya berada, tidak ingin dipergoki Rama kalau ia mencuri dengar.“Hah. Kenapa kacau begini,” keluh Anya ketika Rama sudah lewat setelah selesai bertelponan. “Aku hanya ingin pergi dan lepas dari Mas Rama,” gumamnya pelan.Cukup lama ia beada di luar, duduk di gazebo memikirkan masalahnya. Sempat mengusap perut yang masih rata dan ada kehidupan di sana.‘Maafkan bunda kamu berada dalam situasi begini, tapi tenang saja bunda akan mempertahankanmu. Kita akan berjuang bersama,” batin Anya.“Mbak Anya, ya ampun saya cari ke mana-mana.”“Kenapa Bi?”“Ada orangtua Mbak Anya, mereka mau bertemu,” ujar bibi lalu meraih tangan Anya agar ikut dengannya.“Mereka di mana?” tanya Anya karena bibi tidak mengajaknya masuk melainkan terus menyusuri koridor samping ke beranda.“Orangtua Mbak Anya menunggu di depan, sepertinya mau bicara serius. Jangan lama-lama ya mbak, makan malam mau dimulai.”Bibi meninggalkan Anya bertemu dengan orangtuanya. Bu
“Tenanglah pah! Aku yakin si Bima itu tidak tahu apa-apa. Dia bodoh, kita jalankan saja rencana awal Papa,” usul Rama.Denis melirik Rama lalu menghela pelan.“Menurutmu begitu?”“Hm. Kalau dia memang tahu Ayahnya punya hak di keluarga ini, kenapa tidak dari dulu dia datang.” Rama mengatakan menurut persepsinya. Tanpa memikirkan kemungkinan lain. Yang ada di pikirannya adalah ia harus lebih tinggi dan hebat dibandingkan Bima.Berbeda dengan Denis yang khawatir kalau Bima memiliki rencana lain. merebut semua miliknya atau entahlah.Namun, Rama berhasil menenangkan Denis. Pria paruh baya itu akan menjalankan apa yang sudah direncanakan. memberikan Bima sedikit posisi dan harta, berharap akan sibuk sendiri dan tidak memikirkan masa lalu sang ayah.‘Kalau dia macam-macam, aku bisa lakukan apa yang pernah aku perbuat pada Ayahnya dan juga Oscar,’ batin Denis.“Jadi, apa yang akan papa sampaikan di acara besok?” Rama berharap Denis berubah pikiran dan melupakan kesalahannya bersama Selly.
Rama sempat menghentikan langkahnya setelah menuruni anak tangga, mendengar suara Selly dan sang Mama. Maksudnya akan mengusir Selly agar kembali ke kantor, sepertinya urung karena wanita itu sedang bicara dengan Malika.“Iya tante, aku pasti datang. Pak Rama sering lupa, jadi aku harus dampingi terus.”“Iyakah? Maklum saja ya, namanya juga calon pewaris. Pasti banyak hal yang dipikirkan, ribuan karyawan akan menjadi tanggung jawabnya. Bukan hanya perut sendiri,” tutur Malika membanggakan putranya.“Baik tante, memang sudah tugas saya.”Rama berdiri mendengarkan percakapan dua wanita beda usia itu, dengan tangan berada di kantong celana menandakan dia santai menunggu mereka selesai.Malah rasanya Rama ingin tepuk tangan dengan akting Selly. wanita itu benar-benar licik dan manipulatif. Bicara dengan lemah lembut dan sangat santun pada Malika, sedangkan jika hanya berdua selalu menabuh genderang perang. “Eh, kemana Rama. Lama sekali dia.”“Mungkin sedang sibuk Tante, kemarin saya suda
“Sudah siap?” tanya Rama membuka pintu kamar.“Sebentar,” sahut Anya beranjak dari meja rias.Rama terpaku ditempat melihat penampilan istrinya. Waktu ia meninggalkan kamar, wanita itu masih mengenakan bathrobe dan mulai memoles wajahnya. Sekarang penampilannya sudah lengkap dan mempesona.Dengan gaun panjang one shoulders lengkap dengan hells dan warna senada dengan setelan pesta yang dikenakan Rama. Model rambut dengan gaya sanggul modern, membuat Anya terlihat sempurna.“Ayo,” ajak Anya karena Rama malah melamun. Bukan melamun melainkan terpana.“Hm, malam ini kita bermalam di sana. Kamu sudah--"“Sudah. Kopernya sudah dibawa ke hotel tadi siang.” Rama mengangguk pelan lalu pasangan itu keluar dari kamar.Malam ini adalah perayaan perusahaan. tepatnya ulang tahun perusahaan. Anya sebenarnya tidak antusias untuk hadir, tapi statusnya sebagai menantu keluarga Hardana membuatnya wajib hadir.Dalam perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi, bahkan Anya menatap keluar jendela. Berbed
Anya senyum-senyum mengingat ulah Bima tadi. Bahkan jantungnya masih berdebar karena ucapan pria itu. sepertinya ia mulai gila karena bersimpati pada pria lain, jelas-jelas statusnya adalah istri orang. Penampilan Bima malam ini tanpa cela. Terlihat gagah, berwibawa dan tentu saja tampan mempesona. Hanya rayuan gombal receh, tapi berhasil membuat hati Anya kembang kempis. “Dari mana kamu?”Anya menoleh, Rama sudah berdiri di belakangnya. Berharap pria itu tidak melihat bagaimana ia tadi salah tingkah dan senyum-senyum tidak jelas.“Toilet, memang aku bisa kemana di ruangan ini,” jawab Anya.“Rama, kamu kenapa sih buru-buru terus. Aku panggil juga cuek aja,” seru Selly.“Ayo, kamu harus dampingi aku temui tamu,” ajak Rama dengan malas. Kalau bukan karena Denis yang memerintahkan agar dia bersikap baik sebagai tuan rumah, tidak mungkin ia lakukan.Rama merasakan hidupnya sedang berat-beratnya. Hubungannya dengan Anya dan Selly, lalu kehadiran Bima dan menjadi saingan tunggal. Ia pikir
“Bima.”“Sstttt. Aku sudah muak melihat Rama mengasari mu malam ini. Kalau ikut emosi, rasanya sudah ingin aku hajar dia. Tapi tidak aku lakukan karena hanya akan menyusahkan kamu.”Anya menatap Bima sambil bersandar pada pintu, mereka sudah berada dalam kamar yang disiapkan untuk Bima.“Sepertinya perjuangan kita akan lebih berat,” seru Bima masih dengan kedua tangan berada di sisi kiri dan kanan Anya mengurungnya agar tidak bisa kemanapun.“Perjuangan kita?” tanya Anya lirih, tidak mengerti maksud Bima.“Hm. Kita sedang sama-sama berjuang. Kamu lepas dari Rama dan aku mengambilmu dari Rama. kamu terlalu baik untuk dia yang jahat.”“Jadi kamu mau rebut aku dari Mas Rama, bukan hal yang jahat?”Bima berdecak karena pertanyaan Anya.“Beda cerita. Dia jahat karena sudah menyakiti perempuan, udah kayak banc1 aja beraninya sama perempuan. Kalau aku, lelaki sejati,” tutur Bima sambil menepuk dadanya.“MInggir, aku harus pergi.”Tangan Bima sudah turun tidak lagu mengungkung Anya, tapi tubu
Selly mengepalkan kedua tangannya mendengar keputusan Rama. Berharap yang dia dengar itu salah. Nyatanya Rama dengan yakin mengatakan kalau ia akan mengucapkan kata talak. Artinya mereka akan berpisah.Sepertinya Rama mulai mencintai Anya, itu yang terpatri dalam benak Selly tanpa memikirkan kalau dia sebenarnya tidak setia dan Rama sudah mengetahuinya.“Anya, karena dia ‘kan?”“Jangan libatkan orang lain, ini antara kamu dan aku.”Selly mendengus. “Jangan libatkan orang lain, jelas-jelas karena Anya. Dia ingin menjadi istri kamu satu-satunya. Mana janjimu Rama, kamu bilang akan menjadikan aku satu-satunya wanita di hidupmu.” Selly bicara dengan nada tinggi.“Seharusnya aku tidak percaya dengan mulutmu. Sebaiknya tarik ucapanmu tadi atau aku akan labrak Anya. Biarkan orang tuamu tahu hubungan kita.”“Aku bilang jangan libatkan Anya, ini tentang aku dan kamu.”Mendengar pembelaan Rama untuk Anya, Selly tertawa sinis dan membuang pandangan sekilas lalu kembali menatap tajam suaminya.“K
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.