Tumben sepi, batin Anya sempat melirik ke arah Bima yang fokus dengan layar di depannya. Sejak pria itu datang hanya menyapa sambil tersenyum lalu tidak ada pergerakan dan rayuan gombaln yang biasa dilakukan.Bahkan staf perempuan yang biasa datang untuk caper pun tidak berani dekat terlalu lama karena sikap dingin dan aura yang tercipta.Baru jam sepuluh pagi, tapi Anya sudah berkali-kali menguap dan Bima sepertinya terganggu.“Mau aku buatkan kopi?” Anya yang sudah menyandarkan kepalanya ke atas meja menjawab dengan gelengan pelan. Memejamkan mata dengan kepala menatap ke arah Bima.“Aku merem sebentar, kalau kelamaan bangunin ya.”“Hm.” Bima bukannya melanjutkan apa yang dikerjakan malah bersedekap menatap Anya.Sejak terbangun jam empat pagi karena telpon dari Umar, pikirannya mendadak penuh. Kematian oscar, mengingat pula bagaimana orang tuanya meninggalkan dia sendirian juga orang dibelakang kejadian itu dan sekarang dia harus menjaga yang satu ini. Anya. Bisa jadi kalau Anya ti
Beberapa hari ini Anya merasa tubuhnya semakin tidak baik. kantuk yang sering datang di jam produktif, pusing dan mulut yang terasa pahit membuat selera makannya hilang. Bukan hanya Bima yang mengatakan dia seperti orang sakit, bibi dan beberapa rekan satu tim pun mengatakan hal yang sama.“Ya ampun kepalaku,” Keluh Anya ketika bangun pagi ini. Memegang kepalanya yang berdenyut bahkan sampai terasa perutnya mual. “Apa masuk angin ya,” gumam Anya lagi.Sejak kemarin Rama dan Papanya berada di luar kota, entah ada schedule apa karena Selly tidak diajak. Dugaan Anya bukan urusan kantor, masalah pribadi atau keluarga dan dia tidak ingin ambil pusing.Dengan setelan blouse dan rok span, lengkap dengan flat shoes dan tas kerjanya. Rambutnya hanya diikat biasa, malas untuk menata bahkan wajahnya hanya dioles bedak dan lipgos untuk bibirnya. Bima berdiri bersandar pada mobil menatap ke arahnya.“Kalau sakit mending istirahat, mau ngapain ke kantor?”“Bim, aku malas berdebat. Kepalaku sakit, k
“Pecat dia kasih pesangan dan tanda tangan surat perjanjian. Jangan sampai jadi masalah di kemudian hari.”“Aku memang ingin melakukan itu, tapi tidak mudah Pah. Karena hubungan aku, SelLy dan Anya sangat rumit,” jelas Rama dan belum bisa dimengerti Denis.Denis bersedekap menunggu penjelasan Rama selanjutnya.“Aku sudah menikahi Selly secara siri.”“Bod0h,” umpat Denis pada putranya. “Apalagi yang kamu rahasiakan?”“Aku berjanji akan menceraikan Anya dan mengesahkan pernikahan dengan Selly.”“Itu sama saja kamu buang berlian dan pungut besi karatan,” ungkap Denis dan Rama menghela nafasnya. Bukan kali ini saja dia mendengar istilah Anya sebagai berlian, Bima pun mengatakan yang sama. “Setelah urusan perayaan kantor beres, kamu urus perempuan sundal itu.”“Tapi Pah, Selly tahu semuanya. Dia akan sebarkan masalah ini kalau ia merasa dirugikan.”“Nah ini, Papa tidak sangka kalau kamu ternyata benar-benar bod0h. Bagaimana bisa bisnis yang sudah lama dirintis ini papa berikan ke kamu, sed
Rasanya tubuh Anya seperti terhempas ke dasar bumi paling dalam saat melihat ketiga tespek menunjukan dua garis, meski salah satu stik terlihat samar. Jika dilihat dari petunjuk kemasan, jelas menandakan kalau hasil tersebut adalah positif.“Ini … aku hamil,” ucap Anya lirih.Kejadian malam itu ternyata meninggalkan jejak, ia mengandung. Mengandung anak pria yang bukan suaminya. Mengingat kejadian itu, Anya merasa sangat hina dan sekarang ia hamil rasanya seperti perempuan nakal.“Ya Tuhan, ini gimana,” gumam Anya terduduk di atas kloset dengan ketiga tespek di tangannya.Terdengar ketukan pintu.“Anya,” panggil Bima.Sudah cukup lama ia berada di sana hanya untuk sekedar mengambil urine dan mengeceknya. Bahkan ketukan pintu terdengar semakin keras.“Anya, buka pintunya,” teriak Bima. “Atau aku dobrak, aku serius Anya.”Ini masalah dan ia tidak ingin menambah masalah dengan mencari ribut atau berdebat dengan Bima. tespek dan kemasannya ia buang ke tempat sampah lalu mencuci tangan seb
“Aku ingin kita perbaiki hubungan ini.” Posisi mereka bicara masih sambil berdiri dan Rama melangkah mendekat untuk mengikis jarak, tiba-tiba tangan Anya menahannya.“Kita sudah bicarakan ini. Semua sudah terlambat, Mas. Aku tidak bisa dan aku menuntut janjimu. Izin menikah lagi harus kamu bayar dengan menceraikan aku,” tutur Anya dan memang itu yang Rama katakan pada Anya saat ia akan menikahi Selly.“Aku berubah pikiran, kita perbaiki hubungan ini. Hubunganku dengan Selly tidak berhasil.”Anya tertawa sinis dan mundur beberapa langkah.“Karena hubunganmu dengan Selly gagal lalu ingin mencoba denganku. Kalau kalian baik-baik saja maka aku akan dibuang, begitu maksudnya?”“Anya--"“Kamu pikir aku apa? Cadangan?” cecar Anya mulai kesal, seenaknya saja pria itu menawarkan apa yang sesuai dengan keinginan dan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain.“Keluarga kita tidak mungkin membiarkan perceraian ini.” “Tapi kita tidak mungkin terus menerus begini. Mas akan mudah mendapatk
“Membayangkannya saja aku tidak bisa,” ujar Bima sambil meremas rambutnya karena kesal. “Bukannya kalian tidak saling cinta malah mau cerai, tapi kenapa--"“Tidak ada yang terjadi, aku tidak pakai selimut memang benar karena aku tidur di … sofa.”“Hah!” Bima tenganga mendengar penjelasan Anya yang ternyata tidur di sofa. Jadi mereka tidak melakukan yang aneh-aneh seperti terlintas dalam pikirannya. “Kamu … tidak bohong ‘kan?”“Tidak, kenapa juga harus bohong. Aku sedang tidak menjaga hati siapapun. Minggir aku mau keluar. Perutku rasanya makin mual.”Anya mendorong tubuh Bima agar menjauh. Tangannya sudah menyentuh handle pintu saat terdengar ketukan pintu. Mereka berdua saling tatap, entah siapa di luar sana. Tentu saja Anya panik, tidak ingin orang berprasangka buruk menemukan dirinya di kamar Bima.Pandangannya tertuju pada balkon, tidak mungkin ia melompat atau berpindah ke kamarnya merayap di dinding.“Toilet,” ucap Bima. Anya pun gegas ke sana dan menutup pintunya. “Sebentar,” t
Rama termenung setelah kepergian orang kepercayaan Denis. Menatap foto-foto dan video yang masih diputar di tabletnya. Mencoba mengingat alasan yang membuatnya dulu jatuh cinta pada Selly. Makin diingat makin tidak ada hal spesial yang muncul, mungkin karena perasaannya sudah semakin terkikis ulah dari wanita itu sendiri.Dalam pemikirannya kalau pria memiliki banyak wanita, baik itu selingkuh atau simpanan itu hal yang wajar. Apalagi kalau si pria berkuasa, bertahta dan berharta. Kalau si wanita itu yang memiliki banyak pria, atau bercinta dengan lebih dari satu pria apalagi sudah bersuami rasanya menjijikan.Tidak peduli dia egois atau tidak,yang jelas perbuatan Selly tidak dibenarkan. Kepala Rama rasanya sudah penuh dengan banyak masalah. Denis akan semakin kecewa, apalagi kalau ia menyampaikan bahwa Anya menginginkan mereka berpisah. Entah seperti apa kemarahan Denis.“Mas Rama, ada Mbak Selly di depan,” ujar Bibi berada di tengah pintu.Sepertinya ia melamun sampai tidak sadar de
Anya bersembunyi di balik tembok tidak jauh dari tempatnya berada, tidak ingin dipergoki Rama kalau ia mencuri dengar.“Hah. Kenapa kacau begini,” keluh Anya ketika Rama sudah lewat setelah selesai bertelponan. “Aku hanya ingin pergi dan lepas dari Mas Rama,” gumamnya pelan.Cukup lama ia beada di luar, duduk di gazebo memikirkan masalahnya. Sempat mengusap perut yang masih rata dan ada kehidupan di sana.‘Maafkan bunda kamu berada dalam situasi begini, tapi tenang saja bunda akan mempertahankanmu. Kita akan berjuang bersama,” batin Anya.“Mbak Anya, ya ampun saya cari ke mana-mana.”“Kenapa Bi?”“Ada orangtua Mbak Anya, mereka mau bertemu,” ujar bibi lalu meraih tangan Anya agar ikut dengannya.“Mereka di mana?” tanya Anya karena bibi tidak mengajaknya masuk melainkan terus menyusuri koridor samping ke beranda.“Orangtua Mbak Anya menunggu di depan, sepertinya mau bicara serius. Jangan lama-lama ya mbak, makan malam mau dimulai.”Bibi meninggalkan Anya bertemu dengan orangtuanya. Bu
Meski dengan perdebatan panjang, akhirnya diputuskan kalau Selly hanya akan mengakhiri kontrak kerjanya sampai akhir tahun. Setelah itu ia akan fokus menjadi ibu rumah tangga saja.Rama masih tinggal di Bali, dalam beberapa bulan ke depan akan bolak-balik Jakarta Bali masalah pekerjaan. Resepsi pernikahan akan mereka laksanakan di Bali. Bahkan Rama setuju usulan Selly untuk menetap di sana.Mulai tahun depan Bima akan memimpin kantor cabang yang ada di Bali, Umar yang akan menggantikan posisi Rama. Bahkan rumah untuk tempat tinggal, sudah mereka dapatkan.“Aku suka tinggal di sini, banyak tempat indah.”“Tapi biaya hidup di sini mahal.”“Kamu ‘kan yang kerja, aku diminta di rumah saja. Aku tidak boros kok,” jelas Selly dan Rama sudah meyakini itu. Kehidupan Selly berubah dari sebelumnya, jarang menggunakan barang branded kecuali di acara tertentu.Bahkan tidak jarang ia tidur menggunakan daster yang dibeli secara online dua ratus ribu dapat tiga pcs.“Ayo tidur,” ucap Selly menjauhkan
“Rama, kamu yakin?” Selly menarik tangan Rama yang akan membuka pintu.“Tentu saja aku yakin, memang kamu mau sembunyi di mana. Mama pasti tinggal di sini untuk beberapa hari. Semenjak papa tiada, dia posesif padaku. Hari ini aku akan berikan apa yang dituntut selama ini?”“Apa?” tanya Selly masih berbisik sedangkan ketukan pintu dan suara bel bagai bersahutan.“Calon istri,” jawab Rama lalu membuka pintu.“Lama sekali, kamu ngapain sih. Makanya jangan begadang, mama mulai diabaikan. Pasti … ini siapa? Kenapa kalian berdua ada di … kamu bukannya … Selly.” Malika mencecar setelah melihat Selly dari balik tubuh putranya.Sambil bersedekap, Malika menarik nafasnya memandang Rama dan Selly duduk berdampingan berseberangan dengannya di sofa. Dari penampilan mereka bisa dipastikan aktivitas dewasa. Kemeja Rama berantakan, apalagi rambutnya. Sama halnya dengan Selly dengan rambut berantakan dan dress dilapisi blazer.“Hah, jadi ini yang kamu lakukan di sini?”“Mah, dengar penjelasanku dulu.
Seharusnya pagi itu Selly mandi dulu, bukan terlihat berantakan. Meski Rama terlihat tidak masalah, tapi ia sesali. Sarapannya berakhir di warung tenda samping gedung apartemen, tidak mungkin Selly makan di resto bersama penghuni lain.Saat perbaikan unit tempat Rama, Selly memastikan sendiri semua sudah oke. Bahkan ia mencuri pandangan melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan barang milik perempuan.“Seharusnya aku tidak boleh begini, tapi penasaran.”Berkali-kali menghubungi unit Rama saat malam dan pagi, nyatanya tidak dijawab. Kontaknya Selly tidak punya, hanya sekedar menyampaikan kalau semua sudah beres. Berharap bisa lanjut komunikasi.“Hah.” Selly tertelungkup di meja resepsionis pojok. Harapannya pupus, menduga Rama kecewa dan ilfil dengannya saat pertemuan terakhir dan itu sudah berlalu seminggu yang lalu.Sudah mendapatkan kontak Rama dari data penyewa, tapi urung menghubungi karena tidak ada alasan untuk sekedar basa basi. Hari ini Selly kembali shift dua dan tidak lam
“Lantai tujuh?” tanya Rama saat Selly menekan angka lantai yang mereka tuju.“Unitku di lantai tujuh,” jawab Selly.Rama terkekeh lalu menyugar rambutnya, membuat Selly bingung. Ia merasa semesta memang mendukung pertemuannya. Dari sekian banyak apartemen rumah kosan, kantor memilihkan apartemen itu untuk dirinya dan dari banyaknya lantai dan kamar nyatanya mereka malah sangat dekat.“Kenapa?”“Tujuh satu dua,” jawab Rama.“Hah, kamu di … aku tujuh kosong delapan.”Sudah kuduga, perempuan yang aku lihat malam itu memang Selly. Astaga, aku harus bagaimana Tuhan. Kenapa sedekat ini, bagaimana kalau … statusnya. Aku harus cari tahu statusnya, batin Rama.Masih dengan kecanggungan akhirnya hening, Selly mengulum senyum menyadari mereka berada dalam satu lantai. Mungkinkah mereka akan sering bertemu. Pekerjaannya hanya mengecek mana unit yang habis waktu sewa dan sewa baru, tidak berurusan dengan database penyewa atau pemilik. Kecuali sedang ada masalah seperti di unit delapan satu lima.R
Hampir subuh, Rama masih berada di balkon. Setelah menikmati makan malam di pagi buta, tidak mungkin langsung tidur. Berada di balkon kamarnya sambil fokus pada ponsel.Hari ini rencananya ia akan langsung menuju lokasi proyek. Kendaraan dan supir yang akan mengantar selama ia berada di Bali sudah dihubungi dan standy setiap jam setengah delapan pagi.Rama mengusap kasar wajahnya, antara ngantuk dan pusing. Tidur pun tidak mungkin, dia akan kesiangan.“Sepertinya mandi air hangat saja,” gumam Rama lalu menutup pintu balkon dan menuju toilet.Berada di bawah guyuran shower, air hangat mengalir menyiram tubuhnya. Benar saja ia merasa lebih segar. Saat akan membilas busa dari sabun, mendadak air yang mengguyur tubuhnya terasa dingin. Memutar kran pengatur air hangat, nyatanya yang keluar tetap dingin.“Rusak atau ….”Berkali-kali memutar kran pengatur suhu, nyatanya tidak berfungsi. Rama mengakhiri mandinya. Kecewa karena berakhir dengan kedinginan. Baru saja memakai kemeja dan celana pa
“Selamat sore, mbak. Saya mau ambil kunci kamar, booking atas nama Rama. Rama Hardana.”Resepsionis yang sedang bertugas menatap Rama tanpa berkedip, beberapa saat masih saja diam mematung. Tidak menjawab salam dan permintaan pria di hadapannya.Rama sampai berdeham.“Mbak, saya mau ambil kunci,” ujar Rama lagi.“Eh, iya, maaf mas.” Resepsionis itu terlihat canggung. “Namanya … siapa?”“Rama Hardana,” jawab Rama kembali tersenyum.“Ah. Iya, sebentar.” Mengambil kunci access kamar sekaligus id card dan form yang harus diparaf oleh Rama. “Ini tolong ditanda tangani, boleh dibaca dulu. Kami isi berdasarkan data yang dikirim saat booking ya.”Rama membaca sekilas isian biodatanya tentang perjanjian sewa, tidak ada yang aneh dan semua terlihat aturan biasa yang berlaku untuk sewa menyewa apartemen atau gedung. Ia membubuhkan tanda tangan lalu menyerahkan kembali formulir tersebut.“Ini kartu aksesnya, selamat datang semoga nyaman tinggal di sini. Kalau ada saran atau membutuhkan sesuatu si
“Halo.” Selly menjawab telepon sambil menguap dengan suara parau.“Mbak, ada masalah. Bisa turun dulu nggak, please!”“Astaga, kalian nggak bisa kasih saya istirahat tenang. Tengah malam saya baru naik ke kamar, ini jam berapa saya harus turun lagi,” keluh Selly mendengar permintaan dari ujung sana.“Tolong, mbak! Aku tidak ngerti, ini bule marah-marah nggak jelas.”“Tunggu, aku turun sekarang.”Panggilan berakhir, Selly gegas menuju toilet untuk memeriksa penampilannya. Tidak mungkin harus mandi dulu, akan semakin lama. Menyisir rambutnya, beruntung rambut lurusnya tidak sulit diatur. Menggunakan liptint agar tidak pucat dan terlihat belum mandi.“Oke, nggak mungkin pake piyama.” Selly melepaskan dan membiarkan piyamanya teronggok di lantai lalu mengambil dress putih dan blazer hitam. Tidak lupa ponselnya aman di dalam saku.Masih jam empat pagi, suasana apartemen masih lenggang. Tentu saja aktivitas lift bisa cepat digunakan.“Halo.”“Mbak ….”“Ini sudah di lift. Bentar lagi sampe.
Anya merasakan keseruan mengasuh ketiga anaknya, meski masih dibantu oleh Ira dan seorang baby sitter bernama Emi. Rencana memiliki banyak anak, minimal empat atau lima harus ditunda untuk sementara. Paling tidak menunggu si kembar berumur empat tahun.Bima agak trauma saat Anya melahirkan anak kedua mereka karena pecah ketuban di umur kehamilan delapan bulan dan pembukaan yang sangat cepat dan harus rela persalinan darurat dengan jalan operasi.“Mbak, anak-anak sudah tidur?” tanya Anya memastikan hidangan makan malam sudah siap dan tinggal di sajikan.“si kembar sudah bu, tapi Dewa belum. Ini saya mau buat susunya dulu.”Anya hanya mengangguk mendengar laporan dari Emi. Malam ini Bima mengundang makan malam keluarganya, Rama serta Malika juga keluarga Anya.“Anak-anak kemana?” tanya Citra yang baru datang bersama Alya. Bagas tidak hadir karena ada pertemuan mendadak dengan klien bisnisnya.“Di kamar Bun, sudah tidur, tapi Dewa belum.”“Hm, Alya kamu bantu temani anak-anak,” titah Cit
Saat Anya dan Bima kembali ke rumah, sudah ada Citra dan Alya di sana. Menyambut kedatangan mereka yang membawa kabar gembira. Bukan hanya pasangan itu yang antusias dengan kehamilan Anya, tapi keluarga besar Anya juga para pekerja di rumah.Kebahagiaan seakan berkali lipat manakala hasil pemeriksaan ditemukan ada dua kantung janin, artinya Anya mengandung anak kembar. Usia kehamilan sudah hampir sepuluh minggu. Tidak menyadari cukup lama periodenya terlewat.“Dewa, mama sama papa datang,” seru Citra.Anya langsung menghempaskan tubuhnya di sofa, Bima yang tadi merangkul Anya memaksa wanita itu untuk membersihkan diri sebelum menyentuh Dewa.“Bik, tolong turunkan belanjaan di bagasi,” titah Bima. “Lalu buatkan salad, istriku mau makan salad. Yogurtnya yang di kulkas.”“Nah gitu, mau makan sesuatu lebih baik minta bibik yang buatkan. Jangan beli, apalagi yang di pinggir jalan. Mana tahu ada debu masuk ke makanan,” nasehat Citra.Kalau Citra bahagia karena akan mendapatkan cucu lagi, be