Aku berusaha mengemas air mata dan menutupi kesedihan di hadapan keluarga dan anak-anakku. Kubasuh wajahku wastafel lalu bergegas menyambangi ibuku yang memanggil."Ada apa Bunda?""Ada dokter Okan mengunjungimu."Di saat moodku sedang hancur sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengan siapapun. Dalam keadaan hati yang sedikit terguncang seperti ini aku jadi geram mendapatkan kunjungan orang yang tidak ku inginkan."Ada apa dia datang?""Apanya aneh kalau dia datang, bukankah kalian berteman?""Ah, iya, benar juga.""Jika kau tidak sedang sehat untuk menerima tamu maka Bunda bisa memberitahunya.""Tidak masalah, biar kutemui dia."Ku bawakan secangkir kopi yang baru saja dibuatkan bunda untuk dokter Okan lalu menemui pria itu yang langsung berdiri melihatku datang dari dalam, senyumnya mengembang dan sepertinya biasa pria berwajah manis itu selalu menunjukkan ekspresi antusias saat berjumpa denganku."Apa kabar?""Baik, dok, sepertinya kamu sibuk sekali sampai aku tidak mendengar kab
Minggu setelahnya."Entah dapat dari mana kontak dan tahu dari mana tentang diriku, tapi tiba-tiba mantan suamimu mengundangku ke acara pernikahannya."Tiba-tiba Adrian meneleponku di pagi buta."Mungkin jaringan bisnis keluarga kalian yang terhubung dengan jaringan bisnis perusahaan Dinda. Jadi, kalian diundang sebagai koneksinya.""Iya, mungkin saja begitu.""Hadiri saja undangannya, jika kau diundang," ucapku pelan."Apa kau mau pergi menyertaiku.""Untuk apa?""Setidaknya, demi harga dirimu. Jika lelaki itu mampu memamerkan kebahagiaannya dengan wanita cantik yang kaya, kenapa kau tidak mampu memamerkan keberhasilanmu mendapatkan kekasih yang lebih kaya juga.""Ini bukan ajang pamer kekayaan, Mas."Untuk pertama kalinya sejak lama aku memanggilnya dengan kata 'Mas. Persahabatan dengannya di Australia membuat aku dan dia hanya saling memanggil nama, tapi sejak aku jadi bawahannya aku lebih sering memanggilnya Pak. "Memang bukan ajang pamer kekayaan, tapi pamer kebahagiaan. Jika W
Saat Mas Adrian berusaha menghibur anak-anak di situlah Mas Widi kebetulan melewati kami bersama istrinya. Jangan tanya ekspresinya saat menatapku, begitupun Wanita cantik yang memegang buket bunga di sisi kirinya, juga melirik pada anak-anak dan terkejut mendapati aku juga berdiri dengan anggun menyaksikan langkah kaki mereka menuju ke meja akad.Wanita itu terlihat berbisik pada Mas Widi dan sedikit syok, sementara mas Widi terlihat tidak memperhatikan perkataan istrinya karena matanya terus tertuju pada kedua anaknya yang dipeluk lelaki lain. Bahkan saat sudah didudukkan oleh pengiring pengantin lelaki itu nampak gugup dan gelisah, dia terus menatap ke barisan tamu undangan di mana kami berada.Kini Adrian menggendong Farisa yang sedih, melihat pemandangan anaknya digendong laki-laki lain tentu saja Mas Widi tidak nyaman. Dia mencoba tidak menatap kami tapi dia terus teralihkan. Dinda yang sadar bahwa kehadiran kami membuat mas Widi tidak nyaman langsung menggenggam tangan lelak
"Ayo mengucapkan selamat, lalu kita pulang.""Apa itu dibutuhkan?" tanyaku pada Adrian."Tentu saja, saat dia gencar memamerkan kebahagiaan dan istri barunya, apa kau juga tidak boleh memamerkan kebahagiaanmu. "Tapi aku....""Ayo ke sana," ucap Adrian menggandengku. Dengan santun aku mencoba melepaskan tangannya agar tidak menjadi fitnah, mengingat semua tamu undangan menatap kepada kami dan diri ini yang belum habis masa iddah."Demi kebaikan kita jangan gandeng aku di hadapan semua orang.""Oh, maaf, aku lupa.""Terima kasih jika kau mengerti," bisikku sambil berjalan mengiringinya yang masih terus menggenggam tangan anak-anak. Anak-anak yang seolah menemukan tempat baru untuk melabuhkan segala perasaan dan kekecewaan mereka terhadap ayahnya nampak tak mau jauh-jauh dari Adrian dan terus memegang tangan lelaki.Lagi pula gestur dan kasih sayang Adrian benar-benar mengisyaratkan seolah-olah dia adalah calon ayah yang baik dan figur yang akan disukai anak-anak.Saat kami naik ke pan
"Mas, kamu ngapain di sini?" Keluargaku yang mendengar diri ini berseru langsung melepaskan rangkulan dan mengarahkan tatapan mereka ke pintu. Siapapun pasti terkejut melihat lelaki berpakaian ala pengantin Melayu itu dengan tanjak yang masih terpasang di kepalanya. Dia menyusul kami!"Nak, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya ayah terkejut semua orang tidak mampu menyembunyikan kekagetannya."Aku terpikir perkataan anakku, Yah. Hancur hatiku ditolak oleh anak, aku tidak bisa fokus dan terus gelisah, Jadi aku minta izin pada keluarga agar bisa menyusul dan minta maaf pada Faris dan Fariza.""Benarkah? Kau meninggalkan puncak acara demi menyusul anak-anakmu? Apa kau yakin?" tanyaku.Lelaki itu tidak mampu membendung air mata dan hanya mengusapnya dengan ujung jemari. Dia tercekat, dan kuyakin lebih sedih lagi saat mendengar aku dan keluargaku merayakan momen penerimaan Adrian ke dalam keluarga kami. "Tapi, pestamu sangat ramai dan tamu-tamu penting berada di sana. Akan memalukan dan
Sehari setelah mantan Suamiku menikah, Angin dan cuacanya sama seperti kemarin, dinginnya menusuk tulang serta ada sensasi aneh di dalam batinku. Entah karena aku benar-benar telah memisahkan diri dari kenangan masa lalu ataukah ada perubahan besar setelah melepaskan orang yang dulu sangat kucintai, orang yang dulu sangat kuyakinkan akan mendampingi hidupku selamanya. Kusibak selimutku perlahan lalu berusaha menarik nafas dalam-dalam. Mengais udara sampai paru-paru ini merasa lega. Lalu aku beranjak keluar dari kamar untuk menemui orang tuaku dan anak-anak yang seperti biasa pasti sudah bangun dan sarapan."Selamat pagi Bunda.""Pagi sayang. Ini hari Senin, kau harusnya lebih semangat, karena ini adalah awal pekan, lihatlah anak-anak mereka sudah rapi dan siap ke sekolah sementara kau baru saja terbangun dari tidurmu.""Maafkan aku Bunda."Untungnya putra-putriku selalu dijemput di sekolah di mana semua tunjangan itu adalah fasilitas yang diberikan Mas Widi, biaya pendidikan, antar
*"Dari mana semua barang-barang ini?" tanya bunda yang melihat barang sudah menumpuk di garasi rumah sementara diriku baru saja turun dari mobil Mas Adrian."Dari rumah lama aku menjemputnya karena mas Widi memintaku. Aku mau ngambilnya daripada barang itu diserahkan ke rongsokan begitu saja. Aku tahu istrinya tidak akan suka jika segala sesuatu yang menyangkut diriku masih tersisa di rumah itu.""Bunda juga tidak ingin kau menyakiti hatimu dengan terus melihat benda-benda kenangan.""Biarlah jadi memori untuk anak-anak. Lagipula peralatan dapur dan pajangan pajangan itu mahal semua, Bunda, sayang dibuang begitu saja. Lumayan untuk bekal rumah baru nanti.""Baiklah, terserah kau saja.""Akan kurapikan semua kardus-kardus itu disudut gudang, jadi bunda tidak perlu risau.""Iya, terserah kau saja. Oh ya, ajak ada yang masuk dan biarkan ia makan malam bersama kita.""Tidak Bunda, saya ada urusan. Saya mau pulang," jawab Mas Adrian dengan cepat. "Baiklah, Nak. Hati hati."*Malam hari s
"Ada apa ini? Kenapa Ibu menangis dengan wanita ini?" Dinda sepertinya murka mendapatiku di sana. "Dinda..." Aku memberi isyarat kepada wanita yang selalu berpenampilan mewah itu untuk mengendalikan ucapan dan gestur wajahnya di hadapan ibu mertua yang sedang sakit dan tidak berdaya.Mas Widi yag sadar kalau istrinya sudah datang, juga segera masuk ke balik tirai dan mendapati kami bertiga sedang saling menatap dengan tegang."Kenapa wanita ini di sini, Mas?" Dia kembali merajuk pada Mas Widi, aku hanya tertawa sinis melihatnya. Sikap yang seakan-akan aku datang ke sini untuk mendapatkan kembali hati orang yang sudah kubuang. Menyebalkan. "Uhm, dengar, ibuku mencarinya.""Untuk apa? Untuk memuji betapa baiknya wanita ini dan betapa tidak bisa diandalkannya aku?!" Seketika suaranya meninggi, mas Widi panik, dan meminta wanita itu tenang mengingat tempat itu adalah UGD dan ini masih subuh."Siapa yang bilang begitu?!" tanyaku. "Heh! percuma membujukku, aku baru saja mendengar semua