Saat Mas Adrian berusaha menghibur anak-anak di situlah Mas Widi kebetulan melewati kami bersama istrinya. Jangan tanya ekspresinya saat menatapku, begitupun Wanita cantik yang memegang buket bunga di sisi kirinya, juga melirik pada anak-anak dan terkejut mendapati aku juga berdiri dengan anggun menyaksikan langkah kaki mereka menuju ke meja akad.Wanita itu terlihat berbisik pada Mas Widi dan sedikit syok, sementara mas Widi terlihat tidak memperhatikan perkataan istrinya karena matanya terus tertuju pada kedua anaknya yang dipeluk lelaki lain. Bahkan saat sudah didudukkan oleh pengiring pengantin lelaki itu nampak gugup dan gelisah, dia terus menatap ke barisan tamu undangan di mana kami berada.Kini Adrian menggendong Farisa yang sedih, melihat pemandangan anaknya digendong laki-laki lain tentu saja Mas Widi tidak nyaman. Dia mencoba tidak menatap kami tapi dia terus teralihkan. Dinda yang sadar bahwa kehadiran kami membuat mas Widi tidak nyaman langsung menggenggam tangan lelak
"Ayo mengucapkan selamat, lalu kita pulang.""Apa itu dibutuhkan?" tanyaku pada Adrian."Tentu saja, saat dia gencar memamerkan kebahagiaan dan istri barunya, apa kau juga tidak boleh memamerkan kebahagiaanmu. "Tapi aku....""Ayo ke sana," ucap Adrian menggandengku. Dengan santun aku mencoba melepaskan tangannya agar tidak menjadi fitnah, mengingat semua tamu undangan menatap kepada kami dan diri ini yang belum habis masa iddah."Demi kebaikan kita jangan gandeng aku di hadapan semua orang.""Oh, maaf, aku lupa.""Terima kasih jika kau mengerti," bisikku sambil berjalan mengiringinya yang masih terus menggenggam tangan anak-anak. Anak-anak yang seolah menemukan tempat baru untuk melabuhkan segala perasaan dan kekecewaan mereka terhadap ayahnya nampak tak mau jauh-jauh dari Adrian dan terus memegang tangan lelaki.Lagi pula gestur dan kasih sayang Adrian benar-benar mengisyaratkan seolah-olah dia adalah calon ayah yang baik dan figur yang akan disukai anak-anak.Saat kami naik ke pan
"Mas, kamu ngapain di sini?" Keluargaku yang mendengar diri ini berseru langsung melepaskan rangkulan dan mengarahkan tatapan mereka ke pintu. Siapapun pasti terkejut melihat lelaki berpakaian ala pengantin Melayu itu dengan tanjak yang masih terpasang di kepalanya. Dia menyusul kami!"Nak, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya ayah terkejut semua orang tidak mampu menyembunyikan kekagetannya."Aku terpikir perkataan anakku, Yah. Hancur hatiku ditolak oleh anak, aku tidak bisa fokus dan terus gelisah, Jadi aku minta izin pada keluarga agar bisa menyusul dan minta maaf pada Faris dan Fariza.""Benarkah? Kau meninggalkan puncak acara demi menyusul anak-anakmu? Apa kau yakin?" tanyaku.Lelaki itu tidak mampu membendung air mata dan hanya mengusapnya dengan ujung jemari. Dia tercekat, dan kuyakin lebih sedih lagi saat mendengar aku dan keluargaku merayakan momen penerimaan Adrian ke dalam keluarga kami. "Tapi, pestamu sangat ramai dan tamu-tamu penting berada di sana. Akan memalukan dan
Sehari setelah mantan Suamiku menikah, Angin dan cuacanya sama seperti kemarin, dinginnya menusuk tulang serta ada sensasi aneh di dalam batinku. Entah karena aku benar-benar telah memisahkan diri dari kenangan masa lalu ataukah ada perubahan besar setelah melepaskan orang yang dulu sangat kucintai, orang yang dulu sangat kuyakinkan akan mendampingi hidupku selamanya. Kusibak selimutku perlahan lalu berusaha menarik nafas dalam-dalam. Mengais udara sampai paru-paru ini merasa lega. Lalu aku beranjak keluar dari kamar untuk menemui orang tuaku dan anak-anak yang seperti biasa pasti sudah bangun dan sarapan."Selamat pagi Bunda.""Pagi sayang. Ini hari Senin, kau harusnya lebih semangat, karena ini adalah awal pekan, lihatlah anak-anak mereka sudah rapi dan siap ke sekolah sementara kau baru saja terbangun dari tidurmu.""Maafkan aku Bunda."Untungnya putra-putriku selalu dijemput di sekolah di mana semua tunjangan itu adalah fasilitas yang diberikan Mas Widi, biaya pendidikan, antar
*"Dari mana semua barang-barang ini?" tanya bunda yang melihat barang sudah menumpuk di garasi rumah sementara diriku baru saja turun dari mobil Mas Adrian."Dari rumah lama aku menjemputnya karena mas Widi memintaku. Aku mau ngambilnya daripada barang itu diserahkan ke rongsokan begitu saja. Aku tahu istrinya tidak akan suka jika segala sesuatu yang menyangkut diriku masih tersisa di rumah itu.""Bunda juga tidak ingin kau menyakiti hatimu dengan terus melihat benda-benda kenangan.""Biarlah jadi memori untuk anak-anak. Lagipula peralatan dapur dan pajangan pajangan itu mahal semua, Bunda, sayang dibuang begitu saja. Lumayan untuk bekal rumah baru nanti.""Baiklah, terserah kau saja.""Akan kurapikan semua kardus-kardus itu disudut gudang, jadi bunda tidak perlu risau.""Iya, terserah kau saja. Oh ya, ajak ada yang masuk dan biarkan ia makan malam bersama kita.""Tidak Bunda, saya ada urusan. Saya mau pulang," jawab Mas Adrian dengan cepat. "Baiklah, Nak. Hati hati."*Malam hari s
"Ada apa ini? Kenapa Ibu menangis dengan wanita ini?" Dinda sepertinya murka mendapatiku di sana. "Dinda..." Aku memberi isyarat kepada wanita yang selalu berpenampilan mewah itu untuk mengendalikan ucapan dan gestur wajahnya di hadapan ibu mertua yang sedang sakit dan tidak berdaya.Mas Widi yag sadar kalau istrinya sudah datang, juga segera masuk ke balik tirai dan mendapati kami bertiga sedang saling menatap dengan tegang."Kenapa wanita ini di sini, Mas?" Dia kembali merajuk pada Mas Widi, aku hanya tertawa sinis melihatnya. Sikap yang seakan-akan aku datang ke sini untuk mendapatkan kembali hati orang yang sudah kubuang. Menyebalkan. "Uhm, dengar, ibuku mencarinya.""Untuk apa? Untuk memuji betapa baiknya wanita ini dan betapa tidak bisa diandalkannya aku?!" Seketika suaranya meninggi, mas Widi panik, dan meminta wanita itu tenang mengingat tempat itu adalah UGD dan ini masih subuh."Siapa yang bilang begitu?!" tanyaku. "Heh! percuma membujukku, aku baru saja mendengar semua
"Syifa!"Tiba-tiba mas Widi memanggil diri ini dengan suara yang lantang polisi juga langsung menoleh padaku yang membuat diri ini gelagapan dan langsung ingin kabur dari tempat itu menancap gas mobilku."Tolong aku Syifa, ini salah paham," ucapnya sebelum benar-benar dipaksa masuk ke dalam mobil patroli.Aku dan anak-anak tentu saja terhenyak, kaget dan bingung tentang apa yang harus kami lakukan. Jika Ini hanya salah paham kenapa bisa sejauh itu, sampai ada penggerebekan yang begitu heboh, dan dia digelandang seperti teroris. Sungguh ini mengejutkan.Sebelum mobil-mobil yang ada di depanku mulai bergerak maju dan mengurai kemacetan aku juga melihat Dinda yang turut keluar bersama tim pengacaranya, dan sesekali terlihat bicara dengan polisi."Ini salah paham, Pak, suami saya nggak mungkin seperti itu.""Biar kami bawa ke kantor untuk mendapatkan keterangan.""Tapi, ga gini juga Pak, perlakuan kalian semua seakan-akan suami saya adalah pembunuh.""Kami harus melakukan prosedur penaha
"Maafkan karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untukmu... Tenangkan dirimu aku yakin istrimu akan melakukan yang terbaik untuk membelamu.""Aku harap dia dapat berpikir dengan jernih, aku cemas keadaan sekarang akan membuat episode depresinya kumat dan justru aku khawatir padanya kalau dia akan bunuh diri."Ah...Sekali lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam sembari membayangkan betapa repotnya situasi ini. Alih alih Mas Widi bisa fokus pada masalahnya sendiri, dia kini khawatir tentang kesehatan mental istrinya yang bisa saja melakukan tindakan ekstrem tanpa memikirkan dampaknya. "Tidak Mas, aku yakin dia akan memikirkan segalanya untukmu."Aku masih tetap berusaha menenangkannya."Semoga saja," desah dokter Widi dengan resah."Mengingat hasil penelusuran dan investigasi di rumah sakit sudah selesai dan menunjukkan bukti kalau aku keliru... Sangat kecil harapan bahwa aku akan lolos dari masalah ini.""Apa kau lupa...?" Aku mendekat padanya dan berusaha memberinya support,
Kudengar pembicaraan saat berkunjung terakhir kali ke kantor polisi, berdasarkan pasal 354 dan 353 KUHP tentang penganiayaan berat dan penganiayaan berencana, maka Dinda terancam dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda. Usut punya usut, wanita itu sejak awal memang sudah merencanakan untuk mencelakakan orang lain, ditambah dengan keterangan saksi dan laporan pria yang ditangkap kemarin, bahwa dia memang dibayar oleh Dinda agar menusuk diriku dan mencelakakan diri ini.*Jangan tanya seberapa besar keluarganya berusaha untuk menyelamatkan wanita itu dari tuntutan penjara. Berulang kali staff dari keluarganya mencoba menemuiku dan meyakinkan diri ini untuk tidak memberikan kesaksian, aku juga diiming-imingi uang dan rumah baru juga pekerjaan yang layak tapi aku menolaknya.Pada akhirnya lelaki yang sudah lelah membujuk diriku itu kemudian berkata,"Mengingat betapa baiknya hubungan Anda di masa lalu dengan Nyonya Dinda. Saya rasa Anda harus mulai bermurah hati kepadanya.
Saat polisi menggiring Dinda keluar dari rumah sakit banyak orang-orang yang memperhatikan peristiwa itu. Mereka berkerumun dan membicarakan peristiwa yang bagaikan drama itu. Berulang kali Dinda mencoba melepaskan diri dan menjerit serta berteriak. Dia bilang dia tidak bisa ditangkap karena keluarganya akan segera melindunginya tapi itu tidak urung membuat polisi terus membawa wanita itu ke atas mobil patroli dan meluncur pergi. Kuhela napas pelan setelah keadaan mulai mereda, orang-orang kembali ke ruangan dan posisi mereka, pun Syifa yang sudah dibaringkan di tempat tidur dan ditenangkan oleh suaminya."Maafkan aku, andai aku tidak datang kemari untuk menjenguk Syifa mungkin Dinda juga tidak akan datang dan melakukan itu.""Jangan salahkan dirimu," ujar Syifa.Usai menyelimuti Syifa Adrian mendekatiku Dia memberi isyarat agar kami berdua bicara ke suatu tempat. "Ayo kita bicara fisiknya sambil mengarahkanku dan membukakan pintu untukku. Kami berjalan perlahan ke arah balkon da
Dua hari kemudian.Aku sengaja membeli bunga lili dan lavender juga sedikit mawar merah untuk kurangkai di sebuah buket lalu kubawakan untuk Syifa yang keadaannya sudah mulai membaik di rumah sakit.Kutemui wanita yang sudah mulai pulih itu dan sudah bisa duduk serta tersenyum di tempat tidurnya."Apa kabarmu?" tanyaku. Aku menyalaminya dan dia menyambutku dengan senyum hangat, kondisi dirinya yang sedang hamil 6 bulan membuatnya nampak sulit bergerak dan sedikit gemuk."Aku baik. Aku semakin membaik.""Bagaimana dengan lukanya.""Memang nyeri, tapi aku baik baik saja," balasnya."Kau memang kuat.""Alhamdulillah.""Tapi kenapa kau mau melakukan itu untuk melindungiku. Andai kau biarkan saja lelaki itu menyerangku agar kau tidak mengalami hal seperti ini?""Tidak, Mas, aku merasa berguna menyelamatkanmu.""Tapi kau juga punya bayi di dalam perutmu bagaimana kalau bayi itu sampai meninggal gara-gara aku? Aku yakin suamimu tidak akan memaafkanku.""Tidak, Adrian tidak menyalahkanmu, dia
Aku bisa menangkap kemarahan pria itu, pria yang punya perusahaan multinasional dan cukup terkenal itu dia tidak akan melepaskan pelaku penusukan terhadap istrinya juga dalang dibaliknya.Tidak akan butuh waktu lama untuk tahu dan menangkap pelaku penusukan. Cukup memeriksa CCTV Rumah Sakit lalu memeriksa plat motor yang digunakan pelaku untuk melarikan diri dan tak lama kemudian polisi tidak akan kesulitan untuk melacak keberadaan pria tersebut, lalu menangkap dan mengintrogasinya kemudian mengungkap siapa pelaku di balik semua ini.Seperti yang kuduga, 10 menit kemudian Adrian didatangi oleh beberapa orang polisi Dia terlihat berbicara dengan serius dan mengantarkan petugas itu ke ruangan istrinya, polisi melihat keadaan Syifa dari balik kaca ruang perawatan dan terlihat mengerti apa yang diperintahkan oleh Adrian."Kami akan memeriksa kamera pengawas dan kami berjanji akan menemukan pelakunya secepatnya.""Istriku tidak pernah punya musuh bertengkar atau menyakiti orang lain saya
Aku dinaikkan kembali ke kursi roda lalu didorong dan dibawa masuk ke ruang tunggu. Bunda menangis dan pergi melihat mantan menantunya yang kini sedang kalang kabut ditolongi oleh dokter. Adrian juga nampak panik, terlihat berlari ke arah apotek untuk mencari kantung darah dan beberapa alat yang diperlukan. "Dorong ayah masuk ke UGD," ujarku pada anak anak."Dokter bilang nggak boleh masuk," ujar putriku dengan mata sembab."Kita harus liat keadaan Bunda.""Bunda ga sadar, dia dipasangi selang oksigen," ujar anak sulungku. Dengan didorong oleh mereka berdua kami tertatih masuk ke ruang UGD dan melihat betapa kalang kabutnya dokter yang ada di sana. Lantai lantai jadi kotor berserakan dengan kain kasa yang sudah berwarna darah, bahkan dari ranjangnya, Syifa juga mengalirkan dan cairan itu menetes dari brankar, membuat lantai jadi becek dengan warna merah yang membuat kepalaku pusing."Dokter gimana keadaannya?""Kami sedang memberikan pertolongan. Dia mengeluarkan darah yang begitu b
"Bu, berangkat dulu.""Apa kau akan sepanjang hari di gym?""Iya.""Baiklah, kalau begitu. Ibu mau menjenguk ayahmu di pusat perawatan lansia.""Iya, apa ibu akan butuh uang?""Ibu masih punya simpanan.""Baiklah kalau begitu Ibu hati-hati juga."Setelah mencium tangan halus dan mengecup kening ibuku tercinta, aku segera mungkin berangkat menggunakan motor menuju ke gym yang berada 20 KM jauh dari rumah.Berkendara sambil menikmati suasana kota dan sejuknya udara pagi, sambil menatap pohon rindang yang ada di sebelah kanan kiri jalan, membuatku sedikit menikmati perjalanan. Telah sedikit saja aku bisa terjebak macet ditambah cuaca mulai panas maka hati akan mudah runyam. Aku mengemudikan motor sambil mendengarkan alunan musik pelan di headset yang ku pasang di telinga.Karena ingin mempersingkat waktu aku mengambil jalan pintas, memotong melewati blok-blok bangunan dan jalan yang sepi. Hingga tiba di sebuah Jalan yang berada di belakang barisan ruko-ruko besar. Aku menyadari sebuah mo
Aku tidak menyangka bahwa penolakanku tempo hari adalah petaka.**Aku merasa bersalah kepada dinda tapi menimbang bahwa sudah begitu jauh masalah yang terjadi karena kami nekat bersama, akhirnya aku memutuskan untuk mengalah dan mengakhiri semua ini.Ya, aku memutuskan untuk batal rujuk dan mengejarnya lagi. Meski tadinya aku melihat cinta untuknya akan memperbaiki hidupku dan memperlancar jaringan bisnis, serta menaikkan pamorku sebagai dokter yang berprestasi, tapi nyatanya semua itu gagal.Aku beruntung karena aku hanya dipenjara selama beberapa bulan, aku berhasil bebas dengan jaminan darinya, Sebenarnya aku merasa sangat berhutang Budi dan bersalah karena merugikan keuangan Dinda, aku ingin menebusnya tapi entah kenapa saat itu aku bodoh sekali. Seharusnya aku tidak menciptakan konflik antara aku dan istri kedua dengan cara terus-menerus menemui mantan istri pertama.Sebenarnya aku tidak akan membuat episode depresi Dinda jadi kumat andai aku tidak terus meluahkan waktu untuk m
Selepas kepergianku dari rumah mantan ibu mertua aku lanjutkan perjalanan menuju pusat kebugaran di mana mas Widi bekerja sebagai pelatih. Dulu dia hanya cleaning service tapi karena bentuk tubuhnya yang atletis dan wajahnya yang lumayan menarik serta keahliannya dalam memakai alat olahraga membuat pemilik gym merekrut dia sebagai pelatih.Kudengar berkat kehadiran mas Widi sebagai pelatih banyak wanita yang kemudian bergabung ke pusat kebugaran untuk mengecilkan tubuh mereka dan mendapatkan bentuk yang ideal. Aku aku percaya mereka bukan hanya ingin langsing tapi juga ingin mendapatkan perhatian mantan suamiku.Tidak, suamiku, seharusnya dia masih suamiku. Ketidakwarasanku membuat aku kehilangan suami dan seharusnya itu tidak terjadi."Halo nyonya, kenapa baru datang sekarang? sudah sebulan anda tidak mengunjungi pusat kebugaran," ucapnya yang sudah kenal padaku dan menyambutku dengan Ramah."Apa anda akan berlatih hari ini?""Tidak, Aku ingin bertemu dengan mas Widi.""Oh baik nyo
Terik matahari di siang ini cukup menyengat, angin yang bertiup terasa membawa panas saat aku tiba di rumah mantan ibu mertua. Kudorong pintu gerbang yang selalu tidak terkunci, kuarahkan pandanganku pada pintu utama yang diberi ornamen dari rotan yang dijalin dan bertuliskan selamat datang, dinding sebelah kiri yang difungsikan sebagai pagar ditumbuhi oleh mawar rambat beraneka warna, terasa begitu kontras dengan warna langit yang biru dan asrinya rumah itu. "Assalamualaikum."Aku mengetuk pintu dan sekitar semenit kemudian seseorang membukakannya. Saat mata kami bertemu wanita itu nampak terkejut, ia berkali-kali memastikan tanggapan matanya sampai aku menyapanya."Apa kabar Ibu?""Kau dinda kan?""Iya, boleh saya masuk.""Oh, ayo," ucapnya ramah. Dipersilahkannya aku duduk di kursi tamu, sementara di atas meja ada vas bunga yang diisi dengan bunga-bunga segar. Dari dulu, ibu mertua katanya sangat pandai merangkai bunga."Bunganya bagus," ucapku canggung, wanita itu tersenyum t