*"Dari mana semua barang-barang ini?" tanya bunda yang melihat barang sudah menumpuk di garasi rumah sementara diriku baru saja turun dari mobil Mas Adrian."Dari rumah lama aku menjemputnya karena mas Widi memintaku. Aku mau ngambilnya daripada barang itu diserahkan ke rongsokan begitu saja. Aku tahu istrinya tidak akan suka jika segala sesuatu yang menyangkut diriku masih tersisa di rumah itu.""Bunda juga tidak ingin kau menyakiti hatimu dengan terus melihat benda-benda kenangan.""Biarlah jadi memori untuk anak-anak. Lagipula peralatan dapur dan pajangan pajangan itu mahal semua, Bunda, sayang dibuang begitu saja. Lumayan untuk bekal rumah baru nanti.""Baiklah, terserah kau saja.""Akan kurapikan semua kardus-kardus itu disudut gudang, jadi bunda tidak perlu risau.""Iya, terserah kau saja. Oh ya, ajak ada yang masuk dan biarkan ia makan malam bersama kita.""Tidak Bunda, saya ada urusan. Saya mau pulang," jawab Mas Adrian dengan cepat. "Baiklah, Nak. Hati hati."*Malam hari s
"Ada apa ini? Kenapa Ibu menangis dengan wanita ini?" Dinda sepertinya murka mendapatiku di sana. "Dinda..." Aku memberi isyarat kepada wanita yang selalu berpenampilan mewah itu untuk mengendalikan ucapan dan gestur wajahnya di hadapan ibu mertua yang sedang sakit dan tidak berdaya.Mas Widi yag sadar kalau istrinya sudah datang, juga segera masuk ke balik tirai dan mendapati kami bertiga sedang saling menatap dengan tegang."Kenapa wanita ini di sini, Mas?" Dia kembali merajuk pada Mas Widi, aku hanya tertawa sinis melihatnya. Sikap yang seakan-akan aku datang ke sini untuk mendapatkan kembali hati orang yang sudah kubuang. Menyebalkan. "Uhm, dengar, ibuku mencarinya.""Untuk apa? Untuk memuji betapa baiknya wanita ini dan betapa tidak bisa diandalkannya aku?!" Seketika suaranya meninggi, mas Widi panik, dan meminta wanita itu tenang mengingat tempat itu adalah UGD dan ini masih subuh."Siapa yang bilang begitu?!" tanyaku. "Heh! percuma membujukku, aku baru saja mendengar semua
"Syifa!"Tiba-tiba mas Widi memanggil diri ini dengan suara yang lantang polisi juga langsung menoleh padaku yang membuat diri ini gelagapan dan langsung ingin kabur dari tempat itu menancap gas mobilku."Tolong aku Syifa, ini salah paham," ucapnya sebelum benar-benar dipaksa masuk ke dalam mobil patroli.Aku dan anak-anak tentu saja terhenyak, kaget dan bingung tentang apa yang harus kami lakukan. Jika Ini hanya salah paham kenapa bisa sejauh itu, sampai ada penggerebekan yang begitu heboh, dan dia digelandang seperti teroris. Sungguh ini mengejutkan.Sebelum mobil-mobil yang ada di depanku mulai bergerak maju dan mengurai kemacetan aku juga melihat Dinda yang turut keluar bersama tim pengacaranya, dan sesekali terlihat bicara dengan polisi."Ini salah paham, Pak, suami saya nggak mungkin seperti itu.""Biar kami bawa ke kantor untuk mendapatkan keterangan.""Tapi, ga gini juga Pak, perlakuan kalian semua seakan-akan suami saya adalah pembunuh.""Kami harus melakukan prosedur penaha
"Maafkan karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untukmu... Tenangkan dirimu aku yakin istrimu akan melakukan yang terbaik untuk membelamu.""Aku harap dia dapat berpikir dengan jernih, aku cemas keadaan sekarang akan membuat episode depresinya kumat dan justru aku khawatir padanya kalau dia akan bunuh diri."Ah...Sekali lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam sembari membayangkan betapa repotnya situasi ini. Alih alih Mas Widi bisa fokus pada masalahnya sendiri, dia kini khawatir tentang kesehatan mental istrinya yang bisa saja melakukan tindakan ekstrem tanpa memikirkan dampaknya. "Tidak Mas, aku yakin dia akan memikirkan segalanya untukmu."Aku masih tetap berusaha menenangkannya."Semoga saja," desah dokter Widi dengan resah."Mengingat hasil penelusuran dan investigasi di rumah sakit sudah selesai dan menunjukkan bukti kalau aku keliru... Sangat kecil harapan bahwa aku akan lolos dari masalah ini.""Apa kau lupa...?" Aku mendekat padanya dan berusaha memberinya support,
"Apa yang terjadi pada pernikahan kalian? Kudengar suamimu yang dulu adalah dokter.""Uhm, Iya, Bu," balasku lirih. "Dia mengenal seseorang lalu dekat dan mereka saling menyukai. Dia menceraikanku demi menikahi wanita itu.""Apa dari situ kau mulai berpikir Apakah kau punya kekurangan?""Tentu, tapi kusadari, aku sudah begitu berbakti padanya. Aku bahkan tidak berani menggerakkan langkah kaki tanpa izinnya, Segala sesuatu harus berjalan atas keinginan suamiku dan aku pun bangga jadi ibu rumah tangga yang hanya diam di rumah melaksanakan perannya."Wanita itu menatap gestur wajahku lalu tersenyum tipis. Dia mengangguk lalu mengajakku berjalan lagi."Aku rasa kau jujur.""Saya hanya menjawab apa adanya sesuai dengan kejadian sebenarnya.""Sebenarnya, aku punya tipe sendiri dalam mencari kandidat calon menantu tapi karena orang yang datang sangat dicintai anakku maka aku akan berusaha menerima dirimu dan bersikap baik.""Terima kasih. Saya sangat menghargainya,"jawabku."Semoga kita bisa
Sepanjang malam aku sulit memejamkan mata karena teringat tentang perkataan Ayah sekaligus membayangkan keadaan mantan ibu mertua yang kesulitan.Oh, benar juga. Tadi aku berjanji pada dokter organ untuk menghubungi beberapa orang dari keluarga ibu mertua. Aku bisa ngabarin mereka dan meminta mereka untuk menjaga Ibu sampai ibu pulih.Ada beberapa nomor kontak keluarga Mas Widi yang masih kusimpan. Dulu mereka sangat baik padaku. Entah sekarang mereka sudah tahu kami bercerai atau tidak tapi aku akan coba menghubunginya. Kuhubungin adik ibu mertua yang bernama Om Yudi lalu meminta bicara pada istrinya yang bernama Tante Vina. Kuabarkan pada mereka tentang apa yang terjadi dan alangkah terkejutnya keluarga itu karena mereka yang tinggal di luar kota tidak tahu menahu tentang perceraian dan kondisi ibu mertua yang tiba-tiba drop."Jadi kau dan dia cerai?""Dia menikahi seorang pengusaha sekaligus selebgram yang terkenal. Dia nyari sukses dengan punya rumah sakit sendiri tapi sayang ada
Aku tahu pada siapa aku harus minta uang untuk biaya sewa pengasuh dan akomodasi orang tua Mas Widi, alih alih menyusahkan calon suamiku yang kaya. Adrian tidak keberatan memberikan bantuan, 10 atau 20 juta bukanlah masalah untuknya, tapi aku masih sangat segan mengingat kami belum menikah atau terikat hubungan apapun. Di jam istirahat makan siang aku sengaja minta izin dan beralasan kepada Mas Adrian kalau aku akan menjemput anak-anak padahal sebenarnya aku pergi ke rumah sakit untuk menemui Dinda. Sebenarnya aku enggan bertemu dengan pelakor itu, malas rasanya, menatap wajah dan mata liciknya itu, aku benar benar muak, tapi, aku tak punya pilihan.Kususuri lorong rumah sakit dan mencari ruang perawatan di bagian poli kejiwaan. Wanita itu dirawat di ruangan paling ujung. Aku mengetuk pintu dan langsung masuk. Dia yang sedang terbaring di tempat tidur dan memainkan ponselnya langsung menoleh begitu melihatku masuk. Dia bangkit lalu duduk."Ada apa?""Aku yakin kau tahu apa yang
Pukul 03.00 sore aku dan Mas Adrian meninggalkan gedung perusahaan. Aku dan dia meluncur ke rumah sakit untuk melihat keadaan neneknya anak-anak. *Kutemui ibu di ruang perawatan khusus, di mana beliau telah dipindahkan dari UGD, aku menyapanya, seraut senyum tipis tergambar di bibir ibu yang meski beliau begitu pucat tapi sambutannya kepadaku, tidak pernah lekang atau berubah. "Anakku, senang melihatmu datang.""Iya, Bu.""Entah sudah berapa lama ibu di sini tapi Ibu ingin sekali pulang karena khawatir pada ayahmu.""Aku sudah membawa Ayah ke panti jompo untuk perawatan sementara, aku tak punya pilihan Ibu, Meski aku sudah menghubungi keluarga ibu tapi sepertinya mereka enggan engganan untuk datang. Daripada mau makan banyak waktu aku terpaksa mengambil tindakan.""Uang darimana?" bisiknya lirih."Aku pinjam dari menantu Ibu.""Oh, benarkah," bisik wanita itu, dia terkejut tapi dia mengendalikan ekspresinya agar tidak ketahuan oleh Adrian yang berdiri di ambang pintu."Kemarilah,