Pukul 03.00 sore aku dan Mas Adrian meninggalkan gedung perusahaan. Aku dan dia meluncur ke rumah sakit untuk melihat keadaan neneknya anak-anak. *Kutemui ibu di ruang perawatan khusus, di mana beliau telah dipindahkan dari UGD, aku menyapanya, seraut senyum tipis tergambar di bibir ibu yang meski beliau begitu pucat tapi sambutannya kepadaku, tidak pernah lekang atau berubah. "Anakku, senang melihatmu datang.""Iya, Bu.""Entah sudah berapa lama ibu di sini tapi Ibu ingin sekali pulang karena khawatir pada ayahmu.""Aku sudah membawa Ayah ke panti jompo untuk perawatan sementara, aku tak punya pilihan Ibu, Meski aku sudah menghubungi keluarga ibu tapi sepertinya mereka enggan engganan untuk datang. Daripada mau makan banyak waktu aku terpaksa mengambil tindakan.""Uang darimana?" bisiknya lirih."Aku pinjam dari menantu Ibu.""Oh, benarkah," bisik wanita itu, dia terkejut tapi dia mengendalikan ekspresinya agar tidak ketahuan oleh Adrian yang berdiri di ambang pintu."Kemarilah,
"Tenang, aku minta maaf, harusnya kau beritahu aku Syifa...""Aku harus bagaimana Mas, aku dilema, rasa iba dan peduli kurang mengalahkan ego dan keinginanku untuk tidak usah memperhatikan orang lain selain diri sendiri.""Aku mengerti, tolong jangan sedih.""Aku hanya kecewa," ucapku lirih, Aku kemudian berusaha menghapus air mata agar orang-orang yang kebetulan lewat di sana tidak menyaksikan keadaan itu."Ayo kita pergi.""Iya, ayo pergi, aku tidak akan ke sini lagi meski Mas Widi bersujud di kakiku.""Ayo," jawabnya.*Mas Adrian mengantarku ke rumah, menyerahkan diri ini pada ibu yang sudah gelisah menunggu di gerbang. Tiap kali selalu begitu kalau aku pulang kantor melebihi jam kerja Bunda selalu menunggu dengan gelisah di gerbang rumah."Terima kasih sudah antar anak ibu.""Iya, Bun, anak bunda telat hari ini karena ia habiskan sebagian waktunya untuk menolong orang lain Adrian sangat bangga padanya.""Benarkah?""Hari ini Syifa sudah menuntaskan semua tugas-tugasnya, kini, ia
(apa, apa katamu!)(Kau tahu, dalam keadaan yang sangat terhimpit Ia hanya terpikir untuk menghubungiku bukan mencari dirimu yang tidak peka. Kau tahu, dia menangis di hadapanku dan mengatakan kalau dia menyesal atas semua yang terjadiz juga dia bilang kalau akulah satu-satunya harapan. Dia bilang kalau akulah harapannya, bukan dirimu yang istri sahnya sekarang. Jadi, akankah ini adalah situasi yang terbalik?)(Apa yang kau maksudkan!)(Berhati hatilah Dinda, meski kau memiliki dia tapi kami hampir 12 tahun bersama, kami punya anak dan kenangan.) Aku sengaja mengguncang mentalnya. Aku tidak bermaksud serius dengan perkataanku, karena sekarang aku sudah bertunangan dan cincin yang tersemat dari di jariku bukanlah main-main. Aku hanya menyakitinya.(Menyesal aku mengucapkan selamat.)(Begitulah kalau orang yang pemikirannya picik, mereka tidak pernah tulus memberikan perhatian selain mencari keuntungan dari menyakiti orang lain.)Kuakhiri percakapan karena waktu sudah menunjukkan pukul
Dua Minggu berlaku setelah gangguan Dinda. Tak tahu kenapa, tanpa kehadiran dan usikan dua manusia itu--Widi dan Dinda--hidupku sangat tentram. Tidak ada beban atau pikiran, tidak ada tekanan dan kritikan, aku juga tidak harus menerima telepon dan SMS yang tidak mengenakkan hati serta permintaan tolong yang tidak mampu kutolak. Aku sungguh lega tanpa mereka. Hari hariku indah, Mas adrian selalu mendampingi dan memberikan perhatian. Setiap siang kami makan bersama lalu sore hari dia akan mengantarku pulang, Meski aku mengendarai mobil sendiri tapi dia akan mengikutiku dari belakang. Katanya, untuk berjaga-jaga siapa tahu ada apa-apa di jalan.Pun anak anak, mereka semakin dekat dengan Mas Adrian bahkan Farisa sangat manja dengannya melebihi dari ayahnya. Mas Adrian memanjakan mereka, setiap dua hari Faris dan Farisa diajak untuk makan di luar dan tentu saja di akhir pekan mereka akan keluar jalan-jalan.Sesekali aku berkunjung ke rumah calon mertua untuk makan siang dengan mereka, k
"Jadi, kapan kau akan menikah?" tanyanya dengan suara yang getir. Aku tahu, mendengarkan perkataanku adalah kepahitan yang ingin dia hindari. Dulu dia pernah begitu menghangatkan hariku tapi tiba-tiba dengan garangnya ia pergi demi wanita lain, ironis sekali."Dua Minggu lagi, di tanggal dua puluh September," jawabku santai."Oh, saat cuacanya sedang bagus.""Iya, semoga keadaan mendukung. Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu." Membuka pintu mobil dan hendak naik ke atasnya."Eh, tunggu.""Ada apa lagi?""Seperti yang kau tahu kalau aku sudah jatuh miskin. Aku mau kehilangan teman-teman dan keluarga, yang kumiliki hanya ibu dan ayah yang kini sama-sama sakit.""Jadi?""Uhm, Aku sangat malu karena mendengarkan perkataan Dinda dan tidak bertanya lebih dulu padamu, Aku menyesal menyalahkanmu dengan mempermalukanmu di hadapan calon suamimu, maukah kau tetap berteman denganku.""Aku tidak berniat memutuskan silaturahmi, tapi ada baiknya, kita tidak berjumpa lagi, mengingat aku juga haru
Seperti yang kuduga, aku telat karena mereka. Saat tiba di kantor, Adrian nampak gelisah, begitu melihatku masuk, lelaki itu langsung menyambangi diri ini."Aku gelisah, Karena Kau belum sampai juga aku telepon bunda dan beliau bilang kalau kau sudah jalan sejam yang lalu, kuutus supir untuk memeriksa di sekolah anakmu, ternyata kau di sana.""Iya, Mas.""Kudengar ada masalah.""Tidak ada, Mas. Hanya tentang wanita yang lupa minum obat dan berteriak di jalanan.""Kalau cuma orang gila biasa aku tidak akan peduli, masalahnya wanita itu memprovokasi dirimu.""Aku tidak terpancing dengan orang gila," jawabku sambil berjalan santai di sisinya."Bagaimana kau bisa sesantai ini?""Sudah biasa," balasku, kami menuju ke lift, Mas Adrian menekan tombolnya lalu kami masuk ke dalamnya."Aku sangat cemas karnamu. Aku khawatir wanita itu menyerangmu." Lelaki itu menatapku sambil menyentuh bahu ini."Dia memang menyerangku tapi aku membalas dengan pukulan di mentalnya.'"Aku yakin widi sangat kere
"Kau baik baik saja?" tanya Mas Adrian saat aku menepi sejenak, duduk di balkon kamar rawat sambil menatap cakrawala."Iya, Mas." Aku membenahi posisi duduk dan memberinya isyarat agar duduk di dekatku. Dia menggeser kursi lalu menjatuhkan diri sambil menghela nafas."Farisa sudah tidur," lapornya."Terima kasih Mas, terima kasih sudah menemani dan memberinya kenyamanan. Bagaimana rapatmu yang kau tinggalkan di kantor.""Aku mengatasinya lewat video call. Ketika ada teknologi yang tidak membatasi ruang dan waktu, kenapa aku harus repot-repot. Aku bisa menjaga anakku sekaligus menyelesaikan tugasku."Hati ini meleleh dengan perasaan yang tiba-tiba sangat menyukainya, sikapnya membuatku menerimanya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Aku tersenyum menanggapinya."Terima kasih, aku terharu dengan kebaikanmu Mas.""Jangan terus berterima kasih, bilamana aku sudah jadi suamimu dan melayani keluarga, Aku khawatir mulut itu akan berbusa karena terus mengucapkan terima kasih," candanya."E
Aku masih terpikirkan tentang wajah sedih dan tangisan mas Widi di ujung lorong. Bahkan aku terus terus terpikirkan sampai sudah kembali di kamar dan keluargaku."Ada apa kau tercenung dan nampak tak fokus?" tanya Mas Adrian."Ah, tidak ada.""Apa karena kedatangan Widi tadi?" Sepertinya Mas Adrian menangkap ketidaknyamanan dari bertemu dengan mantan Suamiku itu. "Tidak juga, Mas.""Aku berharap agar kau selalu nyaman dan perilaku orang-orang di sekitar tidak mempengaruhimu," ucapnya sambil menepuk punggung tanganku, "kalau begitu aku pulang dulu.""Iya, Mas, hati hati, aku tidak akan terpengaruh dengan apapun.""Aku ingin sekali tetap di sini dan menjaga kalian, tapi, karena kita belum menikah jadi aku tidak punya alasan untuk seperti itu. Aku harus menjaga adab. Istirahatlah," ujar Mas Adrian yang kemudian berpamitan dan mengajak kedua orang tuanya pulang. *"Yah, aku rasa kita tidak perlu menunda pernikahan antara Adrian dan Syifa, anak itu sangat baik dan dia cocok jadi menan