"Ayo mengucapkan selamat, lalu kita pulang.""Apa itu dibutuhkan?" tanyaku pada Adrian."Tentu saja, saat dia gencar memamerkan kebahagiaan dan istri barunya, apa kau juga tidak boleh memamerkan kebahagiaanmu. "Tapi aku....""Ayo ke sana," ucap Adrian menggandengku. Dengan santun aku mencoba melepaskan tangannya agar tidak menjadi fitnah, mengingat semua tamu undangan menatap kepada kami dan diri ini yang belum habis masa iddah."Demi kebaikan kita jangan gandeng aku di hadapan semua orang.""Oh, maaf, aku lupa.""Terima kasih jika kau mengerti," bisikku sambil berjalan mengiringinya yang masih terus menggenggam tangan anak-anak. Anak-anak yang seolah menemukan tempat baru untuk melabuhkan segala perasaan dan kekecewaan mereka terhadap ayahnya nampak tak mau jauh-jauh dari Adrian dan terus memegang tangan lelaki.Lagi pula gestur dan kasih sayang Adrian benar-benar mengisyaratkan seolah-olah dia adalah calon ayah yang baik dan figur yang akan disukai anak-anak.Saat kami naik ke pan
"Mas, kamu ngapain di sini?" Keluargaku yang mendengar diri ini berseru langsung melepaskan rangkulan dan mengarahkan tatapan mereka ke pintu. Siapapun pasti terkejut melihat lelaki berpakaian ala pengantin Melayu itu dengan tanjak yang masih terpasang di kepalanya. Dia menyusul kami!"Nak, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya ayah terkejut semua orang tidak mampu menyembunyikan kekagetannya."Aku terpikir perkataan anakku, Yah. Hancur hatiku ditolak oleh anak, aku tidak bisa fokus dan terus gelisah, Jadi aku minta izin pada keluarga agar bisa menyusul dan minta maaf pada Faris dan Fariza.""Benarkah? Kau meninggalkan puncak acara demi menyusul anak-anakmu? Apa kau yakin?" tanyaku.Lelaki itu tidak mampu membendung air mata dan hanya mengusapnya dengan ujung jemari. Dia tercekat, dan kuyakin lebih sedih lagi saat mendengar aku dan keluargaku merayakan momen penerimaan Adrian ke dalam keluarga kami. "Tapi, pestamu sangat ramai dan tamu-tamu penting berada di sana. Akan memalukan dan
Sehari setelah mantan Suamiku menikah, Angin dan cuacanya sama seperti kemarin, dinginnya menusuk tulang serta ada sensasi aneh di dalam batinku. Entah karena aku benar-benar telah memisahkan diri dari kenangan masa lalu ataukah ada perubahan besar setelah melepaskan orang yang dulu sangat kucintai, orang yang dulu sangat kuyakinkan akan mendampingi hidupku selamanya. Kusibak selimutku perlahan lalu berusaha menarik nafas dalam-dalam. Mengais udara sampai paru-paru ini merasa lega. Lalu aku beranjak keluar dari kamar untuk menemui orang tuaku dan anak-anak yang seperti biasa pasti sudah bangun dan sarapan."Selamat pagi Bunda.""Pagi sayang. Ini hari Senin, kau harusnya lebih semangat, karena ini adalah awal pekan, lihatlah anak-anak mereka sudah rapi dan siap ke sekolah sementara kau baru saja terbangun dari tidurmu.""Maafkan aku Bunda."Untungnya putra-putriku selalu dijemput di sekolah di mana semua tunjangan itu adalah fasilitas yang diberikan Mas Widi, biaya pendidikan, antar
*"Dari mana semua barang-barang ini?" tanya bunda yang melihat barang sudah menumpuk di garasi rumah sementara diriku baru saja turun dari mobil Mas Adrian."Dari rumah lama aku menjemputnya karena mas Widi memintaku. Aku mau ngambilnya daripada barang itu diserahkan ke rongsokan begitu saja. Aku tahu istrinya tidak akan suka jika segala sesuatu yang menyangkut diriku masih tersisa di rumah itu.""Bunda juga tidak ingin kau menyakiti hatimu dengan terus melihat benda-benda kenangan.""Biarlah jadi memori untuk anak-anak. Lagipula peralatan dapur dan pajangan pajangan itu mahal semua, Bunda, sayang dibuang begitu saja. Lumayan untuk bekal rumah baru nanti.""Baiklah, terserah kau saja.""Akan kurapikan semua kardus-kardus itu disudut gudang, jadi bunda tidak perlu risau.""Iya, terserah kau saja. Oh ya, ajak ada yang masuk dan biarkan ia makan malam bersama kita.""Tidak Bunda, saya ada urusan. Saya mau pulang," jawab Mas Adrian dengan cepat. "Baiklah, Nak. Hati hati."*Malam hari s
"Ada apa ini? Kenapa Ibu menangis dengan wanita ini?" Dinda sepertinya murka mendapatiku di sana. "Dinda..." Aku memberi isyarat kepada wanita yang selalu berpenampilan mewah itu untuk mengendalikan ucapan dan gestur wajahnya di hadapan ibu mertua yang sedang sakit dan tidak berdaya.Mas Widi yag sadar kalau istrinya sudah datang, juga segera masuk ke balik tirai dan mendapati kami bertiga sedang saling menatap dengan tegang."Kenapa wanita ini di sini, Mas?" Dia kembali merajuk pada Mas Widi, aku hanya tertawa sinis melihatnya. Sikap yang seakan-akan aku datang ke sini untuk mendapatkan kembali hati orang yang sudah kubuang. Menyebalkan. "Uhm, dengar, ibuku mencarinya.""Untuk apa? Untuk memuji betapa baiknya wanita ini dan betapa tidak bisa diandalkannya aku?!" Seketika suaranya meninggi, mas Widi panik, dan meminta wanita itu tenang mengingat tempat itu adalah UGD dan ini masih subuh."Siapa yang bilang begitu?!" tanyaku. "Heh! percuma membujukku, aku baru saja mendengar semua
"Syifa!"Tiba-tiba mas Widi memanggil diri ini dengan suara yang lantang polisi juga langsung menoleh padaku yang membuat diri ini gelagapan dan langsung ingin kabur dari tempat itu menancap gas mobilku."Tolong aku Syifa, ini salah paham," ucapnya sebelum benar-benar dipaksa masuk ke dalam mobil patroli.Aku dan anak-anak tentu saja terhenyak, kaget dan bingung tentang apa yang harus kami lakukan. Jika Ini hanya salah paham kenapa bisa sejauh itu, sampai ada penggerebekan yang begitu heboh, dan dia digelandang seperti teroris. Sungguh ini mengejutkan.Sebelum mobil-mobil yang ada di depanku mulai bergerak maju dan mengurai kemacetan aku juga melihat Dinda yang turut keluar bersama tim pengacaranya, dan sesekali terlihat bicara dengan polisi."Ini salah paham, Pak, suami saya nggak mungkin seperti itu.""Biar kami bawa ke kantor untuk mendapatkan keterangan.""Tapi, ga gini juga Pak, perlakuan kalian semua seakan-akan suami saya adalah pembunuh.""Kami harus melakukan prosedur penaha
"Maafkan karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untukmu... Tenangkan dirimu aku yakin istrimu akan melakukan yang terbaik untuk membelamu.""Aku harap dia dapat berpikir dengan jernih, aku cemas keadaan sekarang akan membuat episode depresinya kumat dan justru aku khawatir padanya kalau dia akan bunuh diri."Ah...Sekali lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam sembari membayangkan betapa repotnya situasi ini. Alih alih Mas Widi bisa fokus pada masalahnya sendiri, dia kini khawatir tentang kesehatan mental istrinya yang bisa saja melakukan tindakan ekstrem tanpa memikirkan dampaknya. "Tidak Mas, aku yakin dia akan memikirkan segalanya untukmu."Aku masih tetap berusaha menenangkannya."Semoga saja," desah dokter Widi dengan resah."Mengingat hasil penelusuran dan investigasi di rumah sakit sudah selesai dan menunjukkan bukti kalau aku keliru... Sangat kecil harapan bahwa aku akan lolos dari masalah ini.""Apa kau lupa...?" Aku mendekat padanya dan berusaha memberinya support,
"Apa yang terjadi pada pernikahan kalian? Kudengar suamimu yang dulu adalah dokter.""Uhm, Iya, Bu," balasku lirih. "Dia mengenal seseorang lalu dekat dan mereka saling menyukai. Dia menceraikanku demi menikahi wanita itu.""Apa dari situ kau mulai berpikir Apakah kau punya kekurangan?""Tentu, tapi kusadari, aku sudah begitu berbakti padanya. Aku bahkan tidak berani menggerakkan langkah kaki tanpa izinnya, Segala sesuatu harus berjalan atas keinginan suamiku dan aku pun bangga jadi ibu rumah tangga yang hanya diam di rumah melaksanakan perannya."Wanita itu menatap gestur wajahku lalu tersenyum tipis. Dia mengangguk lalu mengajakku berjalan lagi."Aku rasa kau jujur.""Saya hanya menjawab apa adanya sesuai dengan kejadian sebenarnya.""Sebenarnya, aku punya tipe sendiri dalam mencari kandidat calon menantu tapi karena orang yang datang sangat dicintai anakku maka aku akan berusaha menerima dirimu dan bersikap baik.""Terima kasih. Saya sangat menghargainya,"jawabku."Semoga kita bisa