"Kamu hamil?"
Aldara langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia mendapati suaminya tengah berbincang dengan seseorang di seberang telepon. Wanita itu mengernyit, ia semakin mencondongkan tubuh agar bisa menguping pembicaraan suaminya."Baiklah, aku akan ke apartemen setelah ini. Kamu tunggu aku, ya."Saat Rangga mematikan sambungan telepon, Aldara langsung muncul dari balik dinding tempat persembunyiannya."Siapa, Mas?" tanyanya, membuat Rangga sontak menghentikan gerakan tangan mengeluarkan baju dari lemari."Atasan di kantor," sahut Rangga datar, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya seolah tak terjadi apa-apa. "Aku ada perjalanan bisnis ke luar kota selama tiga hari."
"Kok tiba-tiba? Ke kota mana?""Tidak usah banyak tanya!" sentak Rangga, raut wajahnya tampak tidak senang. "Tunggu saja di rumah.""Aku nggak boleh ikut, Mas?"Rangga membalikkan tubuh dan menelisik penampilan wanita yang sudah dinikahinya selama lima tahun itu. Sorot matanya menyiratkan rasa jijik, tampak dari keningnya yang mengerut dan bibir mencebik kesal."Ngapain? Mau bikin aku malu dengan penampilan kamu itu?” tanya Rangga sambil mendengkus. “Seharusnya kamu sadar, Dara, alasanku tidak pernah mengajakmu pergi ke mana-mana. Selain penampilanmu yang tidak enak dipandang, wajahmu juga ... ah, sudahlah! Kamu bisa lihat sendiri di kaca!""Tapi, Mas, tadi aku—"
"Sudah! Kamu nurut saja kalau aku suruh diam di rumah!" Rangga menarik resleting koper dan lekas membawanya turun dari ranjang, kemudian berlalu dari hadapan Aldara.Aldara merasa sesak. Ini bukan pertama kalinya Rangga menghinanya masalah penampilan. Padahal ia tidak berdandan karena ingin menghemat jatah bulanan yang diberikan suaminya itu.Aldara memutuskan untuk mengikuti Rangga setelah mobilnya meninggalkan halaman. Ia tidak bisa berdiam diri setelah mendengar pembicaraan yang mencurigakan itu.Di dalam taksi, Aldara semakin gelisah saat mobil milik suaminya berhenti di salah satu apartemen mewah yang terletak di pusat kota.Aldara segera ikut turun. Langkah kakinya mengendap-endap mengikuti Rangga dari belakang, memberi jarak aman agar tidak ketahuan. Ia gegas bersembunyi di balik pot besar yang terletak tepat di sisi kiri lift. Dari sini netranya dapat melihat jelas gerak-gerik pria bertubuh tambun itu."Sebenarnya dia mau bertemu siapa? Tidak mungkin kalau ...." Aldara bergumam harap-harap cemas. Hatinya sungguh tidak tenang.Sampai akhirnya pintu lift terbuka dan keluarlah seorang wanita berpakaian terbuka yang langsung menghambur ke dalam pelukan Rangga.
Aldara berdiri mematung sambil mengepalkan tangan erat. Rahangnya mengeras saat melihat suaminya mencium kedua pipi dan juga kening wanita itu dengan mesra.“Ya Tuhan ….”Meskipun sebelumnya sudah curiga, tapi hatinya tetap terasa nyeri melihat pemandangan di depan mata. Aldara bersandar pada dinding karena tidak sanggup menahan bobot tubuhnya sendiri. Kakinya terasa lemas dan gemetar.Kepercayaan yang selama ini dibangunnya langsung runtuh seketika. Lima tahun menemani Rangga dari saat-saat pria itu terpuruk hingga kini posisinya menjadi manager, nyatanya tidak membuat pria itu setia.‘Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi!’Aldara segera menghapus pipinya yang basah oleh air mata dan diam-diam mengikuti saat kedua insan itu masuk ke dalam lift. Beruntung ia sempat melihat lantai berapa tujuan mereka.Bola matanya menelisik ke lorong-lorong unit begitu sudah keluar dari lift. Aldara mendapati ternyata suaminya baru saja masuk ke dalam salah satu unit bersama wanita tadi.Aldara menelan ludah sebelum mengayunkan tangan dan mengetuk pintu dengan hati yang masih terasa panas.Tidak seberapa lama, pintu terbuka dan muncullah seorang pria bertelanjang dada dan hanya ada handuk yang membelit pinggulnya."Al-Aldara?" gumam pria itu dengan suara terbata.Pandangan keduanya terkunci. Rangga tampak terkejut, gelagapan melihat istrinya yang berdiri tanpa suara.Aldara hampir menumpahkan air mata lagi melihat penampilan suaminya, tetapi ia tahan sekuat mungkin. 'Haram hukumnya aku menangis untuk laki-laki sampah seperti dia!' batinnya menguatkan diri."Siapa, Sayang?"Aldara langsung menoleh ke dalam unit apartemen."Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, Dara," ucap Rangga yang membuat pandangan Aldara kembali fokus ke arahnya."Kenapa? Takut kalau kebohonganmu ini terbongkar? Ini yang kamu bilang perjalanan bisnis? Tega kamu membohongi aku, Mas!" pekik Aldara dengan suara tertahan."Siapa, sih, Sayang?" Belum sempat pria itu menjawab, suara seorang wanita kembali terdengar dan kini sosoknya sudah berdiri di hadapan Aldara dengan menggamit lengan Rangga.Alih-alih terkejut, bibir merah wanita itu justru mengulas senyum lebar. Ia hanya menggunakan handuk yang dililitkan di bawah ketiak, membuat pikiran Aldara semakin lari tak tentu arah. Apalagi saat netranya menangkap bercak merah di leher jenjang dan dada bagian atas wanita itu."Oh, jadi ini wanita murahan yang kamu jadikan selingkuhan?" dengus Aldara dengan suara dingin dan merendahkan. “Menjijikkan!”"Jaga ucapanmu, Aldara!” tegur Rangga, membuat Aldara menganga tak percaya.Sudah kepergok pun suaminya masih sempat membela wanita itu?!Kemenangan terang terpancar dari wajah wanita yang semakin menggelayut manja di lengan Rangga. “Namaku Clarissa, Mbak. Aku rekan kerja sekaligus calon istrinya Mas Rangga," jawabnya dengan memamerkan senyuman lebar.Benar-benar tidak tahu malu!Aldara sampai tak sanggup berkata-kata. Ia merasakan dadanya seperti dihantam tombak tak kasat mata yang langsung menghancurkan hatinya.Rasanya perih sekali melihat pemandangan ini, apalagi ia harus menahan matanya yang sudah memanas dan siap untuk menangis."Calon istri?" tanyanya dengan suara bergetar, meminta jawaban kepada Rangga."Iya, Dara. Mumpung kamu sudah tahu, sekalian saja hal ini aku katakan,” ucap Rangga. “Clarissa sebentar lagi akan melahirkan keturunanku, hal yang sudah aku tunggu selama lima tahun ini dan kamu tidak bisa memberikannya. Aku akan menikahi Clarissa secepatnya. Itu artinya aku menceraikanmu."Aldara bungkam. Suaranya seperti tertelan oleh tenggorokan. Samar-samar ia mendengar suara Clarissa terkikik geli, menertawakan dirinya."Sabar, ya, Mbak Aldara. Kamu jangan bersaing sama aku, karena kamu sudah kalah dalam segala hal. Aku bisa hamil, sementara kamu tidak. Aku cantik dan terawat, sementara kamu kumal dan buruk rupa." Clarissa kembali melepas gelak tawanya. "Oh, maaf. Aku keceplosan," ucapnya lagi sambil menutup mulut dengan tangan."Aldara Maharani, mulai detik ini aku menceraikan kamu dan kita sudah tidak terikat hubungan suami istri. Untuk berkas-berkasnya, silakan kamu urus sendiri ke pengadilan!"Rangga langsung menggandeng tangan Clarissa untuk masuk ke dalam, meninggalkan suara debum keras dari pintu yang dibanting hingga membuat Aldara terlonjak kaget.Rahangnya mengetat sempurna bersama urat-urat lehernya yang mulai nampak. Belum selesai rasa kecewanya melihat Rangga bersama perempuan lain, sekarang ia harus menerima fakta suaminya menceraikannya dan langsung melepas tanggung jawab.'Lihat saja, Mas! Luka yang kamu torehkan di hatiku, pasti akan menuntut karma suatu saat nanti!' batin Aldara seraya beranjak pergi dari sana dengan langkah lebar.Namun, langkahnya terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdenting.Aldara mengambil benda pipih itu dan membaca sebuah pesan yang membuat matanya yang sembab seketika membelalak lebar.Pada detik berikutnya, bibirnya terangkat membentuk seulas senyum puas. Tatapan matanya berkilat, menunjukkan sebuah tekad.“Kamu pikir bisa membuangku begitu saja?” Aldara mendengus. “Teruslah bermimpi, Mas Rangga. Akan kubalas pengkhianatanmu berkali lipat!”[Posisi sekretaris CEO di kantorku sedang kosong. Aku sudah merekomendasikanmu, dan beliau memintamu datang untuk menemuinya besok.]Begitulah pesan yang diterima Aldara kemarin. Pesan itu datang dari sepupunya. Belum lama ini, Aldara memang meminta bantuan karena sudah berencana ingin kembali bekerja agar tidak selalu dipandang rendah, terutama oleh suaminya.Ia bersyukur, Tuhan memberinya pertolongan di waktu yang tepat. Ernest mengirimkan satu stel pakaian formal dan sepasang sepatu pantofel ke rumahnya. Ukurannya pas di badannya. Ia juga mengaplikasikan riasan tipis di wajahnya. Sudut bibirnya melengkung ke atas, melukiskan senyum haru melihat penampilannya berubah, tidak seperti hari-hari biasa yang hanya mengenakan daster.Pagi itu, Aldara langsung diantar oleh sepupunya menuju ruangan yang terletak di lantai paling atas. Ruangan khusus CEO yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu."Permisi, Pak. Selamat pagi," sapa Aldara dengan jantung berdegup kencang saat diperbo
Aldara keluar dari ruangan Alastair dan Ernest langsung membawanya ke ruangan lain di samping ruangan CEO, pria itu mengatakan ini adalah ruangan sekretaris, ia juga menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan Aldara. Setelahnya, Ernest pamit keluar untuk kembali ke ruangannya sendiri.Saat pintu tertutup, Aldara langsung menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata sembari meraup udara dengan rakus.Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, nyatanya tetap tidak bisa meredakan kegundahannya. 'Apa setelah mendapatkan uangnya nanti aku bisa pergi jauh dari Pak Alastair?' tanya wanita itu di dalam hatinya.•Hari sudah beranjak sore, Aldara pulang ke rumah dengan mengendarai taksi. Ia melihat satu kresek besar teronggok begitu saja di teras, pikirannya menebak pasti itu baju-bajunya yang telah disiapkan oleh Rangga.Tangannya membuka pintu taksi dan lantas turun, ia membawa langkah menuju teras dan langsung mengangkat kresek berisi baju-bajunya tersebut. Tiba-tiba pintu
Alastair menjauhkan wajahnya dari ceruk leher jenjang itu, kakinya melangkah mundur dan langsung membalik badan."Keluar saja kalau kau masih menangis, aku muak melihatmu!" desis pria itu.Aldara hanya mampu mengangguk, detik berikutnya ia langsung keluar ruangan dan berjalan cepat menuju ruangannya. Air matanya langsung tumpah deras, cukup lama ia menangis sampai rasa sesaknya berangsur hilang."Aku tidak boleh menyerah, ini sudah keputusanku. Setidaknya aku harus mendapatkan banyak uang agar pengorbananku tidak sia-sia!" gumamnya seraya menarik napas panjang sembari jemarinya menghapus lelehan air mata.Aldara menjalani hari-hari dengan berat, saat di rumah Ernest ia akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga untuk membalas jasa sepupunya. Sulit menemukan kos-kosan dengan harga cocok, beruntung Ernest berbaik hati mau menampungnya.Saat di perusahaan ia diperlukan rendah oleh Bos nya, semua ia telan seorang diri tanpa siapapun tahu. Hanya air mata yang menguatkannya, juga rencana
Mobil mewah itu mengantarkan Aldara pulang ke rumah Ernest. Ia menawari Bos nya untuk masuk, tetapi dengan tegas Alastair menolak."Tidak usah sok akrab dengan menawarkan hal itu, Dara. Kalau sikapku tadi membuatmu berpikiran sesuatu terhadapku, maka aku tegaskan sekarang! Aku tadi hanya berniat melindungi milikku agar tidak disentuh pria lain." Pria itu menoleh, menatap Aldara yang juga masih memandangnya dengan tatapan sayu. "Kau adalah milikku 'kan? Sesuatu yang sudah ku beli untuk memuaskanku," lanjutnya lagi.Ia langsung membuang pandangan setelah mengatakan hal barusan, tanpa peduli perasaan Aldara lantaran kata-katanya."Terima kasih, Pak," sahut Aldara dengan suara yang sangat lirih.Wanita itu membuka pintu mobil dan langsung keluar, ia berdiri di samping pagar sementara mobil mewah itu langsung melaju meninggalkannya. Di dalam mobil Alastair langsung menyalakan musik dengan kencang, rahangnya kembali mengetat seiring dengan kecepatan mobil itu yang semakin bertambah kencang
"Mbak?""Eum, tidak, Bu. Itu semua tidak benar. Saya dan Pak Alastair murni sebagai staf dan atasan. Saya juga mana berani melakukan seperti apa yang dituduhkan staf lain tadi pagi?" "Lalu, Anda dan Pak Alastair barusan ...?""Kami hanya membahas pekerjaan, Bu. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi," sahut Aldara.Wanita paruh baya itu mengangguk, selanjutnya ia pamit dari hadapan Aldara dan masuk lift untuk turun ke ruangannya. "Semoga saja dia percaya dan tidak ada gosip miring lagi," gumam Aldara seraya menutup pintu ruangannya.Jemarinya mulai membolak-balik isi map, mengecek laporan yang ada di dalamnya dan kemudian membawa ke ruangan Alastair agar berkas itu bisa ditandatangani.Alastair tampak duduk diam sambil fokus melihat laptop, entah apa yang membuatnya terpaku sehingga tidak menjawab sapaan Aldara saat baru saja masuk ke ruangannya."Saya membawa laporan keuangan, Pak. Sudah saya periksa semua, dan tinggal Bapak tandatangani untuk mengesahkan.""Kau masih butuh aku?" tan
"Kenapa?!" sentak Alastair dengan dagu terangkat tinggi.Rangga tidak menyahut, ia menelisik penampilan Alastair dari atas hingga bawah. Setelan mahal dan aroma parfum maskulin membuat Rangga langsung tahu kalau pria di hadapannya bukan pria sembarangan.Alastair baru enam bulan menggantikan Papanya di perusahaan, belum banyak staf yang tahu wajahnya. Apalagi selama ini keluarganya sangat menjaga privasi, baik di kehidupan nyata ataupun media sosial wajah Alastair jarang ditampilkan.Rangga terlalu sering bekerja di lapangan, tidak seperti staf lain yang sudah sering melihat Alastair di dalam perusahaan. Entah apa yang akan terjadi kalau Rangga tahu siapa pria yang tengah menggandeng mantan istrinya itu."Kau kekasihnya?" Rangga menunjuk ke arah Aldara sembari bertanya kepada Alastair. "Apa kau juga yang membawa wanita ini masuk ke perusahaan ini?!""Bukan urusanmu!" sahut Alastair. "Yang pasti jangan pernah berani menyentuh Aldara lagi. Bahkan kau tidak berhak untuk mendekatinya! Ing
"Jangan menggoda suami orang, dong, Mbak! Kayak nggak laku aja jadi cewek," teriak Clarissa yang baru saja tiba di dekat Aldara.Suaranya menggelegar, menarik atensi semua orang yang lewat di sekitarnya. Orang-orang itu kini menatap risih ke arah Aldara, bahkan tidak sedikit yang langsung terhasut dan mencemooh."Bukannya kamu yang merebut suami orang? Kamu membuatku diceraikan oleh suamiku sendiri, dan bisa-bisanya sekarang malah menuduhku mendekati suamimu?!" sahut Aldara dengan tawa sumbang. "Aku bahan tidak berselera dengan suamimu! Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya.""Jaga mulutmu, Dara!" sentak Rangga."Minta jalangmu ini untuk menjaga mulutnya! Apa harus aku ingatkan tentang kejadian saat aku memergoki kalian di hotel?!"Clarissa mengepalkan tangan erat, sementara Rangga langsung tediam lantaran takut Aldara benar-benar melakukan ancamannya."Bukan aku yang ingin menemui suamimu, Cla, tapi suamimu sendiri yang mencegatku. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada s
"Dara ...."Aldara menghentikan langkah saat baru saja keluar dari aula meeting. Kepalanya menengok ke kiri, ia mendapati Rangga berdiri di sebelah pot besar sambil menatap dirinya."Ada apa?""Kamu ... k-kamu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini mulai kapan? Kenapa nggak bilang aku?" Suara Rangga terdengar lembut, tidak menyentak seperti biasanya.Aldara menatap mantan suaminya dari atas sampai bawah, menelisik perlakuan tidak biasa pria itu. Ujung bibirnya menyeringai tipis, sudah jelas ada sesuatu yang direncakan Rangga kalau seperti ini."Ngapain aku harus bilang?""Aku 'kan masih suami kamu, Dara."Tawa sumbang terdengar lirih, beberapa kali Aldara menggelengkan kepala. Sungguh, ia tidak percaya mantan suaminya bisa semanipulatif seperti ini."Kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku? Di mata agama kita sudah bercerai, dan sebentar lagi surat dari pengadilan akan turun."Pria itu mengernyit. "Kapan kamu mengurus ke pengadilan?!" tanyanya panik."Setelah kamu mengucapakan