"Mbak?"
"Eum, tidak, Bu. Itu semua tidak benar. Saya dan Pak Alastair murni sebagai staf dan atasan. Saya juga mana berani melakukan seperti apa yang dituduhkan staf lain tadi pagi?""Lalu, Anda dan Pak Alastair barusan ...?""Kami hanya membahas pekerjaan, Bu. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi," sahut Aldara.Wanita paruh baya itu mengangguk, selanjutnya ia pamit dari hadapan Aldara dan masuk lift untuk turun ke ruangannya."Semoga saja dia percaya dan tidak ada gosip miring lagi," gumam Aldara seraya menutup pintu ruangannya.Jemarinya mulai membolak-balik isi map, mengecek laporan yang ada di dalamnya dan kemudian membawa ke ruangan Alastair agar berkas itu bisa ditandatangani.Alastair tampak duduk diam sambil fokus melihat laptop, entah apa yang membuatnya terpaku sehingga tidak menjawab sapaan Aldara saat baru saja masuk ke ruangannya."Saya membawa laporan keuangan, Pak. Sudah saya periksa semua, dan tinggal Bapak tandatangani untuk mengesahkan.""Kau masih butuh aku?" tanya Alastair.Perasaan gugup langsung menghampiri wanita itu, sudah pasti Bos nya marah karena sikapnya tadi."Maaf, Pak. Saya tadi salah.""Bagus kalau kau paham! Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk membayar kesalahan itu? Sedangkan saat ini aku sudah tidak minat dengan tubuhmu. Kau tahu 'kan? Aku bisa saja membuangmu kapanpun!"Aldara tidak dapat menyahut, wanita itu menundukkan kepala dengan kedua tangan ditautkan ke depan. Ia sadar tadi memang bersalah, tetapi apakah Alastair langsung memecatnya hanya karena hal ini?"Kau sudah menghancurkan mood ku.""Maaf, Pak.""Kata maafmu bisa mengembalikan mood ku?!"Lagi, Aldara hanya bisa terdiam. Bingung harus menjawab apa karena takut salah."Kau tidak paham cara membangkitkan mood seorang pria?" Sebelah alis tebalnya terangkat ke atas, menatap tubuh sekretarisnya yang tampak bergetar ketakutan.Hening! Aldara masih tidak bergeming."Setelah masa datang bulanmu selesai, kita akan benar-benar melakukannya. Anggap saja itu sebagai penebus kesalahanmu karena sudah dua kali kau menolakku!"Tubuh ramping itu terlonjak kaget, napasnya berhenti sejenak seolah ia benar-benar syok. Lidahnya kelu hendak melayangkan protes.Sungguh! Ia tidak mau hal itu terjadi. Namun, sekarang Alastair malah menagihnya. Pikirannya berkecamuk hebat memikirkan cara untuk menolak, ia tidak rela tubuhnya hanya digunakan sebagai pelampiasan nafsu Bos nya."Tidak usah bersaksi berlebihan. Sekarang keluarlah, aku tidak mood melihat wajahmu!" sentak pria itu sembari mengibaskan tangannya.Aldara hanya bisa mengangguk pasrah sambil berlalu keluar dari ruangan ini. Lagi-lagi air matanya jatuh, meratapi takdir yang membuatnya terjebak pada situasi sulit ini.Ia kembali ke ruangannya, kini tidak lagi bisa fokus pada pekerjaan. Isi kepalanya hanya sibuk memikirkan cara untuk menolak Alastair, tetapi Alastair selalu saja punya cara untuk menjeratnya.Tanpa terasa hari sudah beranjak siang, ia turun ke kantin untuk membeli makanan. Pemandangan seperti tadi kembali ia dapati saat para staf menggunjingnya. Ternyata kabar buruk tentangnya sudah benar-benar menyebar."Mbak Aldara, boleh tanya sesuatu?" Seorang wanita muda menghampiri Aldara, bertanya sambil mengulas senyum manis."Boleh. Mau tanya apa?""Bagaimana caranya menarik simpati Bos? Kita semua tahu Pak Alastair itu bagaikan kulkas seratus pintu, sangat dingin dan cuek. Tapi sama kamu tidak seperti itu. Apa ada cara tertentu yang Mbak Aldara lakukan? Seperti ... memberikan pelayanan khusus untuk Bos?" Nadanya terdengar sangat lembut, tetapi Aldara tahu pertanyaan itu berisi ejekan untuknya.Staf lain tampak menahan tawa, Aldara semakin bingung kenapa mereka harus memiliki pemikiran seperti itu? Apa kedekatannya dan Alastair terlihat sangat kentara?"Saya dan Pak Alastair tidak lebih dari staf dan atasan," jawabnya, sama persis seperti yang ia lontarkan kepada kepala staf keuangan tadi pagi. "Maaf, tapi kalian hanya melihat dari sudut pandang kalian sendiri, padahal kami tidak ada hubungan apa-apa. Saya bekerja di sini untuk mencari nafkah, bukan menggoda siapapun. Jadi, tolong hentikan suara miring kalian yang membuat orang lain tidak nyaman."Suara sorakan dan tawa menggelegar terdengar riuh bersahut-sahutan. Tidak ada yang iba atau sekadar menaruh simpati, staf-staf itu malah semakin bersemangat menyoraki Aldara.Tidak mau ambil pusing, Aldara melenggang pergi setelah mendapatkan makanannya. Kaki jenjangnya melangkah cepat dengan hati yang terasa nyeri, sampai ruangannya ia kembali menumpahkan air mata yang entah sudah ke berapa kalinya.'Kenapa jalan yang ku lalui harus sesulit ini?' batinnya di sela-sela isak tangis.Waktu terus bergulir, tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aldara membereskan barang-barangnya, baru kemudian beranjak keluar karena taksi sudah menunggu di depan.Manik bening itu fokus melihat ponsel, membaca pesan dari Ernest yang mengatakan kalau nanti malam belum bisa pulang.Karena tidak memperhatikan jalan di depannya, tubuhnya menabrak seseorang hingga menyebabkan tas yang ia pegang di tangan kirinya jatuh."Maaf, maaf. Saya tidak sengaja," ucap Aldara seraya berjongkok mengambil tas nya.Hening! Tidak ada sahutan sama sekali.Wanita itu mendongak, sepersekian detik kemudian pupil matanya melotot lebar ketika mendapati Rangga berdiri menjulang tinggi di hadapannya."Kamu!" Aldara bangkit dan menunjuk tepat di depan wajah Rangga.Menggeram lirih menahan emosi, rahang runcing itu terlihat tegas bersama perasaan kesal yang langsung membumbung tinggi."Kamu ngapain di sini? Melamar jadi office girl?" tanya Rangga dengan seringai ejekan di ujung bibirnya."Bukan urusanmu!"Rangga melepas gelak tawa, terpingkal-pingkal bahkan sampai memegangi perutnya. Sementara Aldara hanya mampu menatap kesal, ia hendak pergi, tetapi tangannya dicekal oleh Rangga sehingga langkahnya terhenti."Kemarin di Hotel, sekarang di perusahaan tempatku bekerja. Ah, apa jangan-jangan kau mengikutiku? Kau belum bisa melupakanku, hmm? Ayo jujur, jangan sungkan kalau kau masih berharap aku memungutmu lagi," bisik Rangga yang sontak membuat wanita itu mual."Percaya diri sekali kau. Memalukan! Aku tidak akan pernah kembali kepada pria sepertimu. Pertemuan kita tidak sengaja, jangan berpikir aku mengikutimu. Aku bukan wanita kurang kerjaan!"Beruntung lobi sedang sepi, jadi tidak ada staf yang mendengar pertengkaran mereka."Masih saja mengelak, memangnya wanita sepertimu mau berkerja sebagai apa selain office girl dan wanita panggilan? Kau tidak berpendidikan, penampilan juga di bawah standart. Aku yakin, mataku dulu rabun sampai akhirnya mau menikahimu."Aldara menahan napas, ia berusaha menahan emosi karena ujung matanya tidak sengaja melihat Alastair yang baru saja keluar dari lift. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya, hal itu tak ayal membuat Aldara panik dan hendak pergi dari hadapan Rangga.Namun, Rangga kembali menahan pergelangan tangannya. "Jawab dulu! Kau menggoda siapa di perusahaan ini untuk bisa masuk ke sini?!""Lepaskan dia!" Alastair datang dengan langkah tegap, pria itu langsung menampik pergelangan tangan Rangga dan lantas menggandeng telapak tangan Aldara."Kau ...?" Rangga mengernyit bingung seolah sedang mengingat-ingat sesuatu, hingga akhirnya ia ingat kalau pria yang berdiri di hadapannya ini sama seperti pria yang ia temui di hotel kemarin.'Pria ini lagi?! Siapa dia sebenernya? Kenapa bisa berada di perusahaan ini?!" tanya Rangga dalam hatinya."Kenapa?!" sentak Alastair dengan dagu terangkat tinggi.Rangga tidak menyahut, ia menelisik penampilan Alastair dari atas hingga bawah. Setelan mahal dan aroma parfum maskulin membuat Rangga langsung tahu kalau pria di hadapannya bukan pria sembarangan.Alastair baru enam bulan menggantikan Papanya di perusahaan, belum banyak staf yang tahu wajahnya. Apalagi selama ini keluarganya sangat menjaga privasi, baik di kehidupan nyata ataupun media sosial wajah Alastair jarang ditampilkan.Rangga terlalu sering bekerja di lapangan, tidak seperti staf lain yang sudah sering melihat Alastair di dalam perusahaan. Entah apa yang akan terjadi kalau Rangga tahu siapa pria yang tengah menggandeng mantan istrinya itu."Kau kekasihnya?" Rangga menunjuk ke arah Aldara sembari bertanya kepada Alastair. "Apa kau juga yang membawa wanita ini masuk ke perusahaan ini?!""Bukan urusanmu!" sahut Alastair. "Yang pasti jangan pernah berani menyentuh Aldara lagi. Bahkan kau tidak berhak untuk mendekatinya! Ing
"Jangan menggoda suami orang, dong, Mbak! Kayak nggak laku aja jadi cewek," teriak Clarissa yang baru saja tiba di dekat Aldara.Suaranya menggelegar, menarik atensi semua orang yang lewat di sekitarnya. Orang-orang itu kini menatap risih ke arah Aldara, bahkan tidak sedikit yang langsung terhasut dan mencemooh."Bukannya kamu yang merebut suami orang? Kamu membuatku diceraikan oleh suamiku sendiri, dan bisa-bisanya sekarang malah menuduhku mendekati suamimu?!" sahut Aldara dengan tawa sumbang. "Aku bahan tidak berselera dengan suamimu! Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya.""Jaga mulutmu, Dara!" sentak Rangga."Minta jalangmu ini untuk menjaga mulutnya! Apa harus aku ingatkan tentang kejadian saat aku memergoki kalian di hotel?!"Clarissa mengepalkan tangan erat, sementara Rangga langsung tediam lantaran takut Aldara benar-benar melakukan ancamannya."Bukan aku yang ingin menemui suamimu, Cla, tapi suamimu sendiri yang mencegatku. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada s
"Dara ...."Aldara menghentikan langkah saat baru saja keluar dari aula meeting. Kepalanya menengok ke kiri, ia mendapati Rangga berdiri di sebelah pot besar sambil menatap dirinya."Ada apa?""Kamu ... k-kamu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini mulai kapan? Kenapa nggak bilang aku?" Suara Rangga terdengar lembut, tidak menyentak seperti biasanya.Aldara menatap mantan suaminya dari atas sampai bawah, menelisik perlakuan tidak biasa pria itu. Ujung bibirnya menyeringai tipis, sudah jelas ada sesuatu yang direncakan Rangga kalau seperti ini."Ngapain aku harus bilang?""Aku 'kan masih suami kamu, Dara."Tawa sumbang terdengar lirih, beberapa kali Aldara menggelengkan kepala. Sungguh, ia tidak percaya mantan suaminya bisa semanipulatif seperti ini."Kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku? Di mata agama kita sudah bercerai, dan sebentar lagi surat dari pengadilan akan turun."Pria itu mengernyit. "Kapan kamu mengurus ke pengadilan?!" tanyanya panik."Setelah kamu mengucapakan
"Apa sebenarnya tujuan Pak Alastair tadi? Mau pamer kemesraan?! Huh, menyusahkan saja." Aldara menggerutu kesal saat baru saja keluar dari ruangan Alastair.Beberapa kali kakinya menghentak ke lantai, bibirnya mengerucut ke depan sambil terus meracau tidak jelas. Seharusnya saat ini ia sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi Alastair malah memanggilnya untuk hal yang menurutnya tadi sangat tidak penting.Memangnya apa kepentingannya menyaksikan kemesraan Alastair dengan wanita lain?"Hei. Tunggu!" tangannya yang hendak menekan handle pintu sontak terhenti, menggantung di udara sementara kepalanya lekas menoleh ke sumber suara.Keningnya mengerut tipis mendapati wanita yang bermesraan dengan Alastair tadi kini berjalan ke arahnya. Wajahnya seperti blasteran, dagu runcing itu terangkat tinggi dengan tatapan menghunus lurus ke arah Aldara."Kamu bekerja sebagai apa di sini?" Virly langsung melemparkan pernyataan tanpa basa-basi."Saya bekerja sebagai sekretarisnya Pak Alastair, Bu," jaw
Pagi ini Elle benar-benar datang ke perusahaan bersama Virly, dua wanita berbeda usia itu datang tanpa sepengetahuan Alastair. "Aku sudah tanya Ernest, Ma. Katanya Al ada meeting penting sampai nanti sore, jadi kita bisa leluasa bertemu dengan Aldara," ujar Virly."Sekretarisnya tidak ikut rapat?"Virly menggeleng. "Tidak. Tadi katanya hanya Ernest yang ikut.""Bagus. Mama juga nggak mau Al tahu kedatangan kita," bisik Elle dengan seutas senyum di bibir merahnya.Virly mengacungkan jempol, tidak seberapa lama kemudian mobil berhenti di depan lobi gedung perusahaan. Keduanya turun setelah bodyguard membukakan pintu, kemudian berjalan masuk dengan dagu terangkat tinggi yang menegaskan sikap angkuh mereka.Semua staf menundukkan kepala. Tidak biasanya Elle datang ke sini, sudah jelas ada sesuatu yang wanita itu inginkan. Langkah kaki Elle dan Virly menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas. Tempat ruangan Aldara berada.TING! Pintu lift terbuka."Itu ruangannya." Virly
Meeting selesai pukul tiga sore, Aldara berjalan ke ruangannya sambil menyeret kaki. Lelah sekali, tenaganya terkuras habis, belum lagi suasana hatinya yang masih buruk karena ucapan Elle tadi pagi.Aldara membaringkan tubuhnya ke sofa. Baru saja matanya terpejam, suara dering telepon menyentaknya. Ia lekas bangun, dengan malas tangannya merogoh saku blazer dan langsung mendapati nama Bos nya tertera pada layar ponselnya."Halo, Pak ....""Ke ruanganku sekarang juga!" titah Alastair dari seberang telepon.Wanita itu menggeram emosi, tidak tahu kah Alastair kalau ia sangat lelah?"Baik, Pak," sahutnya pasrah.Memangnya ia bisa apalagi selain pasrah?TUT! Sambungan telepon terputus. Aldara bergegas menuju ruangan Alastair, di dalam hatinya ia merapal doa agar Alastair tidak menyentuh tubuhnya di saat-saat seperti ini.Sungguh! Ia benar-benar lelah. Tubuhnya akan semakin sengsara kalau dijadikan objek pelampiasan nafsu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Aldara saat baru saja masuk
"Apa salahku?! Dia membentak dan memperlakukan seperti aku tidak punya hati! Ya Tuhan, aku tidak kuat ...." Aldara merintih sendirian dalam langkahnya keluar dari gedung perusahaan ini.Sudah tidak terhitung ada berapa tetes air mata yang membasahi pipinya, bahkan wajahnya begitu kuyu dengan riasan yang tampak berantakan. Semua rasa sakit hatinya hanya bisa ia luapkan dengan air mata itu.Lelah!Ia lelah sekali. Kenapa harus sesulit ini jalannya? Bahagia seperti apa yang disiapkan Tuhan di depan sana hingga perjuangannya harus ditemani air mata sebanyak ini?Taksi berhenti di depan kediaman Ernest, ia langsung turun. Baru saja kakinya hendak berjalan masuk, sebuah mobil yang sangat dikenalinya berhenti tepat di sampingnya."Rangga?" gumamnya seraya mengerutkan kening.'Mau apa dia ke sini? Dia mengikutiku?' batin Aldara.Pria bertubuh tambun itu keluar dengan menenteng paper bag di tangan kanannya. Bibirnya mengulas senyum lebar, menunjukkan wajah sumringah yang malah membuat Aldara i
Sudah lima menit Aldara duduk di salah satu bangku Moon Cafe, ia menunggu Alastair yang belum juga datang. Tubuh sintalnya dibalut dress lengan panjang selutut, terlihat elegan dan semakin memancarkan kecantikannya malam ini.Hingga beberapa saat kemudian seorang pria berdiri tepat di sisinya, aroma parfum khas wangi seseorang langsung menguar, membuat Aldara langsung tahu kalau wangi itu milik Alastair."Ayo ke private room. Kita tidak mungkin mengobrol di sini," bisik Alastair dan lantas melangkah menuju private room.Aldara mengikuti dari belakang, berjalan agak jauh karena canggung.Ada satu meja dan sofa panjang di ruangan itu, Aldara terkejut karena di atas meja sudah disuguhkan banyak makanan dan minuman.Apa Alastair yang melakukan ini? Namun, untuk apa?Wanita itu malas berpikir lebih jauh, ia tetap meminta pikirannya berpikir malam ini adalah acara makan biasa dan tidak ada yang spesial. Meskipun tambahan lilin di atas meja membuat kesan romantis layaknya makan malam sepasan