"Alastair," gumam Virly, seringai senyum tercetak jelas di sudut bibirnya. "Wanita ini menghalangiku bertemu Ryu. Padahal aku hanya ingin menyapa keponakanku."Tidak ada sahutan dari Alastair, pria itu hanya melirik ke arah Anetha dengan tatapan datar."Mampus kau," bisik Megan tepat di samping telinga Anetha.Anetha enggan menanggapi, hingga Alastair tiba di tengah-tengah mereka."Kalian berdua, ayo ikut aku," kata Alastair kepada Virly dan Megan.Pria itu kembali membawa langkah panjang menuju luar gedung, membuat Virly dan Megan terpaksa mengikuti."Kita mau diajak ke mana?" tanya Virly saat Alastair hendak masuk ke dalam mobil."Tidak usah banyak tanya, lebih baik ikut saja."Kedua wanita itu saling berpandangan, tetapi tetap mengikuti Alastair yang sudah masuk ke dalam mobil. Kendaraan mewah itu membawa mereka ke kediaman Alastair, di sana meraka disambut oleh Ernest yang berdiri di tengah pintu.Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Alastair langsung keluar dan berjalan masuk. Lagi
"Aaargh ...!" Virly berteriak histeris saat melihat Megan ditembak tepat di jantung. Tubuhnya menggigil tak tertahan, keringat dingin semakin mengucur deras dari pelipisnya.Ia tidak bisa kabur, tidak ada celah untuk keluar dari ruang bawah tanah ini. Niatnya menghabisi Aldara, malah nasibnya yang akan berakhir mengenaskan di sini.Virly semakin gemetar saat bodyguard perempuan berjalan ke arahnya. Tubuhnya digelandang ke tempat di mana Megan dieksekusi lagi, bibirnya terus memohon untuk dilepaskan, tetapi Alastair seolah menutup telinganya. "Kita pernah tunggu bersama, Al. Kita satu kakek dan aku ini saudaramu. Kamu tega padaku? Kamu tega Mommy Sarah kehilangan anaknya dengan cara mengerikan ini?" ruang Virly dengan wajah berderai air mata. "Aku tidak akan begini kalau kau tidak memulainya. Apa kau lupa telah berbuat jahat kepada Aldara? Maka nikmati saja karmamu," jawab Alastair.Wanita itu menggeleng, sorot matanya terus memohon. Namun, bodyguard-bodyguard perempuan itu telah me
Mobil Anthony sudah berhenti di depan hotel, ia lekas masuk dan Elle mengikutinya dari belakang. Sampai di dalam kamar, Anthony langsung mengunci pintu dan meminta istrinya untuk duduk di sofa. "Ada apa, Pa? Katanya tadi mau foto sama Alastair dan Aldara? Kok malah ngajak balik ke hotel?" Pria paruh baya itu tidak menyahut, tangannya mengambil sebuah map yang ada di dalam koper. Kemudian melemparkannya ke depan Elle. "Tandatangani surat itu," katanya. "Apa ini, Pa?" tanya Elle sambil tangannya membuka map tersebut. Kedua matanya membelalak lebar dengan mulut menganga. "Akta cerai?" gumamnya dengan jantung berdegup kencang. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepala, netranya terus membaca deret huruf yang ada di sana. Terdapat namanya dan nama sang suami. Kapan suaminya mengurus ini semua? Kenapa dia tidak tahu? "Kamu sudah nggak nurut sama aku, Ma. Aku nggak bisa mempertahankan hubungan yang seperti ini. Aku merasa tidak dihormati sebagai laki-laki, lebih baik kita berpi
Alastair terkejut Bukan main saat membaca pesan dari papanya, pria itu tidak menyangka sang papa mengambil keputusan setegas itu.[Papa masih ada hati untuk tidak memenjarakan mamamu, Al. Ini sudah keputusan yang terbaik, setelah ini papa akan pulang ke Indonesia dan melanjutkan hidup sendiri. Semoga kamu bahagia, ya, di sana.] tulis Anthony yang semakin napas Alastair tercekat.Dia memang sudah mengatakan akan menatap di Jerman setelah menikahi Aldara. Anthony tidak masalah, malah mendukung keputusannya. "Ada apa, Al?" tanya Aldara yang sontak membuat tubuh pria tampan itu berbalik. "Sudah lima belas menit kamu diam saja di balkon, memangnya nggak dingin?"Alastair mengulas senyum, tangannya memasukkan ponsel ke dalam saku sambil merangkul bahu istrinya. "Tidak, pemandangan di sini indah sekali, Ra. Aku nggak sadar sudah berdiri cukup lama. Maaf, ya," kata Alastair.Dia belum sanggup untuk mengatakan apa yang sudah terjadi selama satu malam ini, takut moment malam pertama mereka ak
"Kamu hamil?"Aldara langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia mendapati suaminya tengah berbincang dengan seseorang di seberang telepon. Wanita itu mengernyit, ia semakin mencondongkan tubuh agar bisa menguping pembicaraan suaminya."Baiklah, aku akan ke apartemen setelah ini. Kamu tunggu aku, ya."Saat Rangga mematikan sambungan telepon, Aldara langsung muncul dari balik dinding tempat persembunyiannya."Siapa, Mas?" tanyanya, membuat Rangga sontak menghentikan gerakan tangan mengeluarkan baju dari lemari."Atasan di kantor," sahut Rangga datar, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya seolah tak terjadi apa-apa. "Aku ada perjalanan bisnis ke luar kota selama tiga hari.""Kok tiba-tiba? Ke kota mana?""Tidak usah banyak tanya!" sentak Rangga, raut wajahnya tampak tidak senang. "Tunggu saja di rumah.""Aku nggak boleh ikut, Mas?"Rangga membalikkan tubuh dan menelisik penampilan wanita yang sudah dinikahinya selama lima tahun itu. Sorot matanya menyiratkan rasa jijik, tampak dari kening
[Posisi sekretaris CEO di kantorku sedang kosong. Aku sudah merekomendasikanmu, dan beliau memintamu datang untuk menemuinya besok.]Begitulah pesan yang diterima Aldara kemarin. Pesan itu datang dari sepupunya. Belum lama ini, Aldara memang meminta bantuan karena sudah berencana ingin kembali bekerja agar tidak selalu dipandang rendah, terutama oleh suaminya.Ia bersyukur, Tuhan memberinya pertolongan di waktu yang tepat. Ernest mengirimkan satu stel pakaian formal dan sepasang sepatu pantofel ke rumahnya. Ukurannya pas di badannya. Ia juga mengaplikasikan riasan tipis di wajahnya. Sudut bibirnya melengkung ke atas, melukiskan senyum haru melihat penampilannya berubah, tidak seperti hari-hari biasa yang hanya mengenakan daster.Pagi itu, Aldara langsung diantar oleh sepupunya menuju ruangan yang terletak di lantai paling atas. Ruangan khusus CEO yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu."Permisi, Pak. Selamat pagi," sapa Aldara dengan jantung berdegup kencang saat diperbo
Aldara keluar dari ruangan Alastair dan Ernest langsung membawanya ke ruangan lain di samping ruangan CEO, pria itu mengatakan ini adalah ruangan sekretaris, ia juga menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan Aldara. Setelahnya, Ernest pamit keluar untuk kembali ke ruangannya sendiri.Saat pintu tertutup, Aldara langsung menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata sembari meraup udara dengan rakus.Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, nyatanya tetap tidak bisa meredakan kegundahannya. 'Apa setelah mendapatkan uangnya nanti aku bisa pergi jauh dari Pak Alastair?' tanya wanita itu di dalam hatinya.•Hari sudah beranjak sore, Aldara pulang ke rumah dengan mengendarai taksi. Ia melihat satu kresek besar teronggok begitu saja di teras, pikirannya menebak pasti itu baju-bajunya yang telah disiapkan oleh Rangga.Tangannya membuka pintu taksi dan lantas turun, ia membawa langkah menuju teras dan langsung mengangkat kresek berisi baju-bajunya tersebut. Tiba-tiba pintu
Alastair menjauhkan wajahnya dari ceruk leher jenjang itu, kakinya melangkah mundur dan langsung membalik badan."Keluar saja kalau kau masih menangis, aku muak melihatmu!" desis pria itu.Aldara hanya mampu mengangguk, detik berikutnya ia langsung keluar ruangan dan berjalan cepat menuju ruangannya. Air matanya langsung tumpah deras, cukup lama ia menangis sampai rasa sesaknya berangsur hilang."Aku tidak boleh menyerah, ini sudah keputusanku. Setidaknya aku harus mendapatkan banyak uang agar pengorbananku tidak sia-sia!" gumamnya seraya menarik napas panjang sembari jemarinya menghapus lelehan air mata.Aldara menjalani hari-hari dengan berat, saat di rumah Ernest ia akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga untuk membalas jasa sepupunya. Sulit menemukan kos-kosan dengan harga cocok, beruntung Ernest berbaik hati mau menampungnya.Saat di perusahaan ia diperlukan rendah oleh Bos nya, semua ia telan seorang diri tanpa siapapun tahu. Hanya air mata yang menguatkannya, juga rencana