Mobil mewah itu mengantarkan Aldara pulang ke rumah Ernest. Ia menawari Bos nya untuk masuk, tetapi dengan tegas Alastair menolak.
"Tidak usah sok akrab dengan menawarkan hal itu, Dara. Kalau sikapku tadi membuatmu berpikiran sesuatu terhadapku, maka aku tegaskan sekarang! Aku tadi hanya berniat melindungi milikku agar tidak disentuh pria lain." Pria itu menoleh, menatap Aldara yang juga masih memandangnya dengan tatapan sayu. "Kau adalah milikku 'kan? Sesuatu yang sudah ku beli untuk memuaskanku," lanjutnya lagi.Ia langsung membuang pandangan setelah mengatakan hal barusan, tanpa peduli perasaan Aldara lantaran kata-katanya."Terima kasih, Pak," sahut Aldara dengan suara yang sangat lirih.Wanita itu membuka pintu mobil dan langsung keluar, ia berdiri di samping pagar sementara mobil mewah itu langsung melaju meninggalkannya.Di dalam mobil Alastair langsung menyalakan musik dengan kencang, rahangnya kembali mengetat seiring dengan kecepatan mobil itu yang semakin bertambah kencang. Ujung netranya sempat menangkap gerakan tangan Aldara mengusap air mata, entah kenapa ada perasaan aneh yang menyentil relung hatinya."Mustahil aku ada perasaan kepada wanita itu!" gumamnya sembari terus berusaha mengenyahkan bayangan Aldara dari pikirannya.Sementara Aldara yang sudah masuk ke dalam rumah langsung menuju dapur untuk membuat sarapan. Beru setelahnya ia bergegas membersihkan diri dan memakai pakaian kerjanya.Aldara datang ke kantor dengan menaiki taksi lantaran Ernest ada kunjungan dadakan ke luar kota. Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, ia sudah sampai di gedung pencakar langit tempatnya bekerja.Ia sampai di kantor tepat pada pukul tujuh pagi, seperti biasa ia akan menyapa seluruh staf yang ada di sana. Namun, tidak seperti biasanya, tidak ada staf yang menyambut sapaannya. Jangankan hanya sekadar senyuman, bahkan wajah mereka tampak tidak bersahabat saat menatap Aldara."Oh, jadi dia sekretaris baru Pak Alastair? Yang katanya pakai jalur dalam itu, ya? Yang setelah interview langsung lolos, biasanya 'kan setelah interview harus menunggu beberapa minggu dulu.""Sepertinya benar dia menggoda Pak Alastair, jangan-jangan HRD juga digoda?!""Ah, wajahnya saja sudah seperti wanita penggoda. Aku yakin dia memang menggunakan tubuhnya untuk menarik simpati Pak Alastair.""Pantas saja posisi sekretaris yang begitu sulit tes nya, sangat mudah dia dapatkan. Ternyata ada suap-menyuap?""Menyuap dengan tubuhnya. Cih, menjijikkan! Cantik, sih ... tapi apa gunanya wajah cantik kalau untuk dijual kepada Bos sendiri?""Bahkan baru beberapa hari bekerja sudah diajak dalam pertemuan bisnis, loh. Di Hotel mewah lagi. Apa tidak mencurigakan?!"Semua staf memekik heboh mendengar berita mengejutkan itu. Mereka tahu persis kalau Alastair selalu pergi bersama Ernest, mau sesibuk apapun asisten pribadinya itu.Para staf membicarakan Aldara seraya melayangkan tatapan tidak suka pada wanita itu. Entah dari mana fitnah tentang dirinya tersebar, siapa juga yang memulai.Kasak-kusuk kabar buruk tentangnya membuat telinga wanita itu panas, ia memilih pergi dan lantas masuk ke dalam lift. Sayup-sayup gendang telinganya masih mendengar para staf membicarakan berita miring tentang dirinya.'Siapa yang sudah tega menyebarkan kabar itu?' tanya Aldara dalam hatinya.Kaki jenjangnya melangkah cepat saat pintu lift terbuka, lagi-lagi beberapa staf yang berpapasan dengannya langsung menghindar seraya melemparkan tatapan mencemooh.Aldara tidak mau ambil pusing, toh tatapan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan tatapan tajam yang dimiliki Alastair.Yeah, meskipun itu sama-sama menyesakkan baginya."Semoga saja kabar miring itu segera hilang dan jangan sampai Pak Alastair mendengarnya," gumamnya sembari mendudukkan diri di kursi kerjaTok! Tok! Tok!"Masuk!" teriaknya.Pintu terbuka, Alastair masuk dengan raut tanpa ekspresi. Wanita itu langsung bangkit dari duduknya. Aldara menganggukkan kepala sebagai bentuk hormat, lantas bertanya keperluan Alastair sampai harus mendatanginya ke sini."Kita kemarin belum selesai 'kan?" tanya pria itu."Maksudnya bagaimana, Pak?" Aldara balik bertanya sembari mengerutkan keningnya."Aku kemarin belum sempat menyentuhmu karena kau sedang nyeri datang bulan. Tapi sekarang sudah tidak sakit lagi 'kan?" Langkahnya semakin mendekat ke arah Aldara, membuat tubuh wanita itu menegang kaku.'A-Aku kira ... Pak Alastair tidak akan nekat,' batinnya.Tangan kekar itu mulai menelusup ke belakang pinggang ramping Aldara, sembari sebelah tangannya membelai lembut garis wajah cantik itu."Aku tadi pagi sudah membantumu lepas dari pria itu, anggap saja ini sebagai bayarannya. Ingat, tidak ada yang gratis di dunia ini," bisiknya.Wajah tampan itu semakin mendekat, membawa tubuh Aldara untuk bersandar di dinding dan mulai melabuhkan banyak kecupan di bibir ranum itu.Suara ketukan pintu membuat Aldara panik, ia ingin mengakhiri semua ini, tetapi Bos nya malah semakin menggila dengan menyusupkan tangannya ke dalam kemeja yang ia kenakan."Ada orang, Pak. Si-Siapa tahu kepala staf yang ingin memberikan laporan," bisiknya yang mulai sesak karena Alastair terus menghimpit tubuhnya.Tidak ada jawaban, pria itu malah semakin rakus melumat bibir ranum yang sudah menjadi candunya. Membuat Aldara semakin panik karena suara ketukan pintu semakin terdengar keras.Telapak tangan kekar itu meremas lembut gundukan sintalnya, bersamaan dengan suara teriakan seorang wanita dari luar pintu yang memanggil namanya."Pak ... saya keluar sebentar, takutnya ada sesuatu yang penting." Wanita itu menggunakan tangannya menahan dada bidang Alastair, ia juga memiringkan kepala guna menghindari serangan ciuman yang sangat brutal."Kau tahu 'kan aku paling tidak suka diganggu. Kau memikirkan orang lain saja sudah membuatku benci. Apalagi kau mementingkan orang lain saat sedang bersamaku!""Saya takut ada sesuatu yang penting, Pak. Saya mohon ...."Hening! Alastair tidak menyahut, tetapi netranya terus menghunus tajam ke dalam iris mata cantik itu."Saya keluar sebentar, ya, Pak." Aldara langsung melepaskan pelukan tangan Alastair di pinggangnya.Bibirnya tersenyum kikuk mendapati wajah tampan itu memerah, tetapi ia segera beranjak menuju pintu sambil merapikan kemejanya.Tangannya menekan handle, seorang wanita yang merupakan kepala staf keuangan berdiri di hadapannya dengan membawa map. Wanita itu menatap curiga pada penampilan Aldara yang berantakan, netranya ia alihkan ke dalam ruangan sekretaris itu guna mengecek ada apa di dalam."Maaf, saya tadi masih menerima telepon penting. Ada sesuatu yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Aldara, berusaha mengalihkan perhatian wanita paruh baya di hadapannya itu."Saya datang membawa berkas laporan keuangan selama satu bulan kemarin. Silakan Anda—" ucapan wanita itu terjeda saat tiba-tiba Alastair keluar dari ruangan Aldara.Pria itu melirik sekilas ke arah dua wanita yang merupakan stafnya tersebut, tanpa basa-basi ia langsung melenggang pergi menuju ruangannya.Kepala staf keuangan masih memperhatikan jas Alastair yang tampak berantakan dari belakang, matanya jelas sekali menyimpan banyak kecurigaan."Mari masuk, Bu," ujar Aldara berusaha mengalihkan perhatian kepala staf tersebut.Wanita paruh baya itu menoleh, menatap tajam ke arah Aldara yang masih mempertahankan senyum ramahnya."Apa Anda ada hubungan spesial dengan Pak Alastair? Jadi yang dibicarakan para staf tadi memang benar, Mbak?" tanyanya yang langsung membuat lidah Aldara terasa kelu.'Aku harus menjelaskan apa? Akh ... namaku bisa semakin buruk kalau begini,' batin Aldara."Mbak?""Eum, tidak, Bu. Itu semua tidak benar. Saya dan Pak Alastair murni sebagai staf dan atasan. Saya juga mana berani melakukan seperti apa yang dituduhkan staf lain tadi pagi?" "Lalu, Anda dan Pak Alastair barusan ...?""Kami hanya membahas pekerjaan, Bu. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi," sahut Aldara.Wanita paruh baya itu mengangguk, selanjutnya ia pamit dari hadapan Aldara dan masuk lift untuk turun ke ruangannya. "Semoga saja dia percaya dan tidak ada gosip miring lagi," gumam Aldara seraya menutup pintu ruangannya.Jemarinya mulai membolak-balik isi map, mengecek laporan yang ada di dalamnya dan kemudian membawa ke ruangan Alastair agar berkas itu bisa ditandatangani.Alastair tampak duduk diam sambil fokus melihat laptop, entah apa yang membuatnya terpaku sehingga tidak menjawab sapaan Aldara saat baru saja masuk ke ruangannya."Saya membawa laporan keuangan, Pak. Sudah saya periksa semua, dan tinggal Bapak tandatangani untuk mengesahkan.""Kau masih butuh aku?" tan
"Kenapa?!" sentak Alastair dengan dagu terangkat tinggi.Rangga tidak menyahut, ia menelisik penampilan Alastair dari atas hingga bawah. Setelan mahal dan aroma parfum maskulin membuat Rangga langsung tahu kalau pria di hadapannya bukan pria sembarangan.Alastair baru enam bulan menggantikan Papanya di perusahaan, belum banyak staf yang tahu wajahnya. Apalagi selama ini keluarganya sangat menjaga privasi, baik di kehidupan nyata ataupun media sosial wajah Alastair jarang ditampilkan.Rangga terlalu sering bekerja di lapangan, tidak seperti staf lain yang sudah sering melihat Alastair di dalam perusahaan. Entah apa yang akan terjadi kalau Rangga tahu siapa pria yang tengah menggandeng mantan istrinya itu."Kau kekasihnya?" Rangga menunjuk ke arah Aldara sembari bertanya kepada Alastair. "Apa kau juga yang membawa wanita ini masuk ke perusahaan ini?!""Bukan urusanmu!" sahut Alastair. "Yang pasti jangan pernah berani menyentuh Aldara lagi. Bahkan kau tidak berhak untuk mendekatinya! Ing
"Jangan menggoda suami orang, dong, Mbak! Kayak nggak laku aja jadi cewek," teriak Clarissa yang baru saja tiba di dekat Aldara.Suaranya menggelegar, menarik atensi semua orang yang lewat di sekitarnya. Orang-orang itu kini menatap risih ke arah Aldara, bahkan tidak sedikit yang langsung terhasut dan mencemooh."Bukannya kamu yang merebut suami orang? Kamu membuatku diceraikan oleh suamiku sendiri, dan bisa-bisanya sekarang malah menuduhku mendekati suamimu?!" sahut Aldara dengan tawa sumbang. "Aku bahan tidak berselera dengan suamimu! Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya.""Jaga mulutmu, Dara!" sentak Rangga."Minta jalangmu ini untuk menjaga mulutnya! Apa harus aku ingatkan tentang kejadian saat aku memergoki kalian di hotel?!"Clarissa mengepalkan tangan erat, sementara Rangga langsung tediam lantaran takut Aldara benar-benar melakukan ancamannya."Bukan aku yang ingin menemui suamimu, Cla, tapi suamimu sendiri yang mencegatku. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada s
"Dara ...."Aldara menghentikan langkah saat baru saja keluar dari aula meeting. Kepalanya menengok ke kiri, ia mendapati Rangga berdiri di sebelah pot besar sambil menatap dirinya."Ada apa?""Kamu ... k-kamu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini mulai kapan? Kenapa nggak bilang aku?" Suara Rangga terdengar lembut, tidak menyentak seperti biasanya.Aldara menatap mantan suaminya dari atas sampai bawah, menelisik perlakuan tidak biasa pria itu. Ujung bibirnya menyeringai tipis, sudah jelas ada sesuatu yang direncakan Rangga kalau seperti ini."Ngapain aku harus bilang?""Aku 'kan masih suami kamu, Dara."Tawa sumbang terdengar lirih, beberapa kali Aldara menggelengkan kepala. Sungguh, ia tidak percaya mantan suaminya bisa semanipulatif seperti ini."Kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku? Di mata agama kita sudah bercerai, dan sebentar lagi surat dari pengadilan akan turun."Pria itu mengernyit. "Kapan kamu mengurus ke pengadilan?!" tanyanya panik."Setelah kamu mengucapakan
"Apa sebenarnya tujuan Pak Alastair tadi? Mau pamer kemesraan?! Huh, menyusahkan saja." Aldara menggerutu kesal saat baru saja keluar dari ruangan Alastair.Beberapa kali kakinya menghentak ke lantai, bibirnya mengerucut ke depan sambil terus meracau tidak jelas. Seharusnya saat ini ia sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi Alastair malah memanggilnya untuk hal yang menurutnya tadi sangat tidak penting.Memangnya apa kepentingannya menyaksikan kemesraan Alastair dengan wanita lain?"Hei. Tunggu!" tangannya yang hendak menekan handle pintu sontak terhenti, menggantung di udara sementara kepalanya lekas menoleh ke sumber suara.Keningnya mengerut tipis mendapati wanita yang bermesraan dengan Alastair tadi kini berjalan ke arahnya. Wajahnya seperti blasteran, dagu runcing itu terangkat tinggi dengan tatapan menghunus lurus ke arah Aldara."Kamu bekerja sebagai apa di sini?" Virly langsung melemparkan pernyataan tanpa basa-basi."Saya bekerja sebagai sekretarisnya Pak Alastair, Bu," jaw
Pagi ini Elle benar-benar datang ke perusahaan bersama Virly, dua wanita berbeda usia itu datang tanpa sepengetahuan Alastair. "Aku sudah tanya Ernest, Ma. Katanya Al ada meeting penting sampai nanti sore, jadi kita bisa leluasa bertemu dengan Aldara," ujar Virly."Sekretarisnya tidak ikut rapat?"Virly menggeleng. "Tidak. Tadi katanya hanya Ernest yang ikut.""Bagus. Mama juga nggak mau Al tahu kedatangan kita," bisik Elle dengan seutas senyum di bibir merahnya.Virly mengacungkan jempol, tidak seberapa lama kemudian mobil berhenti di depan lobi gedung perusahaan. Keduanya turun setelah bodyguard membukakan pintu, kemudian berjalan masuk dengan dagu terangkat tinggi yang menegaskan sikap angkuh mereka.Semua staf menundukkan kepala. Tidak biasanya Elle datang ke sini, sudah jelas ada sesuatu yang wanita itu inginkan. Langkah kaki Elle dan Virly menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas. Tempat ruangan Aldara berada.TING! Pintu lift terbuka."Itu ruangannya." Virly
Meeting selesai pukul tiga sore, Aldara berjalan ke ruangannya sambil menyeret kaki. Lelah sekali, tenaganya terkuras habis, belum lagi suasana hatinya yang masih buruk karena ucapan Elle tadi pagi.Aldara membaringkan tubuhnya ke sofa. Baru saja matanya terpejam, suara dering telepon menyentaknya. Ia lekas bangun, dengan malas tangannya merogoh saku blazer dan langsung mendapati nama Bos nya tertera pada layar ponselnya."Halo, Pak ....""Ke ruanganku sekarang juga!" titah Alastair dari seberang telepon.Wanita itu menggeram emosi, tidak tahu kah Alastair kalau ia sangat lelah?"Baik, Pak," sahutnya pasrah.Memangnya ia bisa apalagi selain pasrah?TUT! Sambungan telepon terputus. Aldara bergegas menuju ruangan Alastair, di dalam hatinya ia merapal doa agar Alastair tidak menyentuh tubuhnya di saat-saat seperti ini.Sungguh! Ia benar-benar lelah. Tubuhnya akan semakin sengsara kalau dijadikan objek pelampiasan nafsu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Aldara saat baru saja masuk
"Apa salahku?! Dia membentak dan memperlakukan seperti aku tidak punya hati! Ya Tuhan, aku tidak kuat ...." Aldara merintih sendirian dalam langkahnya keluar dari gedung perusahaan ini.Sudah tidak terhitung ada berapa tetes air mata yang membasahi pipinya, bahkan wajahnya begitu kuyu dengan riasan yang tampak berantakan. Semua rasa sakit hatinya hanya bisa ia luapkan dengan air mata itu.Lelah!Ia lelah sekali. Kenapa harus sesulit ini jalannya? Bahagia seperti apa yang disiapkan Tuhan di depan sana hingga perjuangannya harus ditemani air mata sebanyak ini?Taksi berhenti di depan kediaman Ernest, ia langsung turun. Baru saja kakinya hendak berjalan masuk, sebuah mobil yang sangat dikenalinya berhenti tepat di sampingnya."Rangga?" gumamnya seraya mengerutkan kening.'Mau apa dia ke sini? Dia mengikutiku?' batin Aldara.Pria bertubuh tambun itu keluar dengan menenteng paper bag di tangan kanannya. Bibirnya mengulas senyum lebar, menunjukkan wajah sumringah yang malah membuat Aldara i