Alastair menjauhkan wajahnya dari ceruk leher jenjang itu, kakinya melangkah mundur dan langsung membalik badan.
"Keluar saja kalau kau masih menangis, aku muak melihatmu!" desis pria itu.Aldara hanya mampu mengangguk, detik berikutnya ia langsung keluar ruangan dan berjalan cepat menuju ruangannya. Air matanya langsung tumpah deras, cukup lama ia menangis sampai rasa sesaknya berangsur hilang."Aku tidak boleh menyerah, ini sudah keputusanku. Setidaknya aku harus mendapatkan banyak uang agar pengorbananku tidak sia-sia!" gumamnya seraya menarik napas panjang sembari jemarinya menghapus lelehan air mata.Aldara menjalani hari-hari dengan berat, saat di rumah Ernest ia akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga untuk membalas jasa sepupunya. Sulit menemukan kos-kosan dengan harga cocok, beruntung Ernest berbaik hati mau menampungnya.Saat di perusahaan ia diperlukan rendah oleh Bos nya, semua ia telan seorang diri tanpa siapapun tahu. Hanya air mata yang menguatkannya, juga rencana balas dendam untuk membuat hidup Rangga menderita.Mantan suaminya itu terus mengirim pesan yang berisi ancaman agar ia segera mengurus perceraian, padahal Rangga bisa melakukannya sendiri, kenapa harus menunggu dirinya mengajukan ke pengadilan?"Ah, Rangga memang tidak pernah modal. Bilang saja kalau tidak mau keluar biaya!" gerutunya pagi ini saat lagi-lagi menerima pesan itu.Aldara menaruh ponselnya ke dalam laci, ia kembali fokus mengecek beberapa email masuk. Hingga suara deringan ponsel kembali membuatnya geram. Pagi ini pekerjaannya sangat banyak, tetapi Rangga terus merecokinya dengan desakan agar segera mengurus perceraian."Loh, kenapa Pak Alastair telepon?" gumamnya saat baru saja meraih ponsel dan mendapati nama Bos nya tertera pada layar pipih itu.Ibu jarinya langsung menggeser ikon hijau. "Halo, Pak," ucapnya setelah menempelkan ponsel ke daun telinga."Aku ada pertemuan bisnis di hotel pagi ini, atur ulang semua jadwal rapatku!" titah Alastair di seberang telepon."Iya, Pak.""Segera siap-siap, kau akan ikut denganku untuk menghadiri pertemuan itu.""Hah? Sa-Saya, Pak?""Iya. Kalau bukan kau siapa lagi?! Ernest sedang sibuk. Kalau kau tidak ikut, siapa yang akan mengurus keperluanku nanti?!"Jelas sekali wanita itu kesusahan menelan salivanya, ia tidak bisa berpikir positif kalau Alastair mengajaknya."Kau dengar atau tidak?!"Aldara terhenyak kaget saat mendengar suara bariton itu berteriak kencang. "Iya, Pak, saya denger. Maaf, saya tadi masih mencatat apa saja yang harus dibawa," jelasnya.Helaan napas kasar terdengar dari seberang telepon, detik itu juga Alastair mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Aldara hanya bisa pasrah sambil menjalankan perintah Bos nya tadi, meskipun hatinya berat sekali untuk ikut pertemuan nanti.[Langsung ke parkiran khusus. Aku tunggu di sana.] Sebuah pesan dari Alastair langsung membuat Aldara beranjak.Wanita itu sampai di parkiran khusus dan langsung masuk ke salah satu mobil mewah di sana, ia terkejut mendapati Alastair menyetir sendiri, tetapi setelahnya ia memilih untuk tidak peduli.Perjalanan memakan waktu sepuluh menit. Keduanya turun bersamaan setelah mobil berhenti di parkiran hotel megah yang terletak di tengah Ibu Kota. Aldara mengikuti langkah Alastair masuk ke restoran yang ada di hotel itu, ternyata seorang pria paruh baya sudah menunggu mereka di ruangan private."Kau di luar saja, tidak usah ikut masuk. Aku tidak akan lama.""Baik, Pak."Alastair mencondongkan tubuhnya ke arah Aldara, kemudian membisikkan kata, "pesan satu kamar hotel untuk kita beristirahat. Kau akan menemaniku nanti."Tubuh ramping itu menegang. Dugaannya memang tidak pernah salah, Alastair pasti memintanya untuk melayani.Selama memesan kamar pikirannya berkecamuk mencari alasan agar bisa terhindar dari Bos nya, hingga beberapa menit kemudian Alastair sudah selesai menemui kliennya, hal itu jelas saja membuat Aldara semakin panik."Sudah pesan kamar 'kan?"Aldara mengangguk kaku, ia bangkit dari sofa dan lantas memberikan kartu akses kepada Bos nya. Alastair menyeringai saat melihat Aldara memesan kamar paling atas."Ayo," ucapnya tanpa menoleh ke arah Aldara.Wanita itu terus menunduk di sepanjang langkahnya menuju kamar, ia memikirkan bagaimana caranya agar Alastair tidak menyentuhnya. Hingga tanpa terasa keduanya sudah tiba di depan kamar hotel.Kamar luas bernuansa putih ini dilengkapi dengan guci dan lukisan antik. Balkon luas yang langsung menyuguhkan pemandangan gedung-gedung tinggi membuat suasana semakin indah, Aldara tidak berbohong pemandangan dari atas sini memang sangat bagus. Namun, ia merasa semua itu tidak berguna saat tubuhnya akan kembali dilecehkan."Kau mandilah dulu, setelah itu ... baru menemaniku." Alastair melabuhkan kecupan basah pada ujung bibir sekretarisnya, sesekali akan memberikan gigitan kecil tanpa peduli wajah cantik itu memucat."Ma-Maaf, Pak. Sa-Saya sedang menstruasi, jadi untuk sekarang saya tidak bisa menemani Bapak," bisik Aldara dengan suara bergetar.Pria itu sontak menjauhkan wajahnya, netra elangnya menukik tajam seakan tidak mempercayai ucapan Aldara barusan."Hari ini perut saya sakit, makannya badan saya gemetaran panas dingin." Masih dengan kepala menunduk, Aldara kembali membuka suaranya."Lalu apa gunanya aku mengajakmu ke sini?!" teriak Alastair yang membuat Aldara berjingkat kaget.Wanita itu tidak dapat menyahut, ia memasang wajah kesakitan yang tanpa sadar menyentil rasa iba pria di hadapannya itu.Alastair membuang napas kasar, tangannya terkepal dengan rahangnya menegas sempurna. Namun, ada perasaan tidak tega melihat wajah cantik itu semakin memucat."Aku keluar saja. Terserah kau mau melakukan apa di sini!" sentaknya dan langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Aldara.Ia membanting pintu, membuat tubuh Aldara kembali terlonjak kaget untuk kesekian kalinya.Tubuh ramping itu merosot ke lantai bersama air matanya yang langsung mengalir deras. Ia lega saat bebas dari jeratan nafsu Bos nya, tetapi entah apa yang terjadi setelah ini kalau pria itu marah besar.Lelah menangisi takdirnya yang memilukan ini, ia beranjak menuju ranjang dan membaringkan diri di sana. Aldara bangun saat jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, netranya menyapu ke seluruh kamar dan tidak mendapati tanda-tanda Alastair kembali."Mungkin Pak Alastair masih di luar. Syukurlah dia tidak nekat menyentuhku," gumamnya.Waktu terus berjalan, malam berganti pagi dan Aldara masih sendirian di kamar mewah itu. Ia keluar dari hotel dan memutuskan check out, mungkin Alastair sudah pulang lebih dulu karena tidak mendapatkan keinginannya kemarin, begitu pikir Aldara.Setelah selesai, ia memilih duduk di sofa sembari menunggu taksi pesanannya sampai. Namun, tiba-tiba terdengar suara bariton yang langsung menarik atensinya."Oh, ternyata benar kamu?! Ngapain kamu pagi-pagi di hotel, Ra? Kamu baru saja melayani pria hidung belang?" Rangga berteriak kencang tanpa peduli semua mata memandang ke arahnya.Aldara tidak menyahut, ia kembali fokus melihat ponsel dan memilih acuh meskipun Rangga berjalan mendekat ke arahnya."Jadi ini pekerjaan yang kamu maksud? Menjual diri untuk mendapatkan uang, iya?!" Tawa sumbang terdengar nyaring dari mulut pria itu. "Ck, menjijikkan!"Semua mata memandang aneh ke arah Aldara, tetapi wanita itu masih diam tanpa berniat menjawab sepatah katapun."Ternyata benar keputusanku untuk menceraikanmu, kamu bukan wanita baik-baik. Kenapa harus memilih jalan seperti ini, Ra? Atau karena kamu mandul, sehingga tidak akan khawatir bakal hamil setelah berhubungan dengan banyak pria?""Jaga mulutmu, Rangga!" desis wanita itu, tidak terima saat sang mantan suami terus menghinanya."Nada bicaramu sudah kasar, tidak seperti Aldara yang ku kenal dulu," ucap pria itu dengan tatapan remeh."Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, jadi jangan ganggu hidupku lagi. Dulu aku masih menghormatimu sebagai suamiku, tapi jangan harap aku masih menyimpan rasa hormat itu untukmu! Aku tidak akan pernah mau menaruh hormat pada laki-laki tukang selingkuh!" Aldara menunjuk tepat di depan wajah Rangga, membuat pria itu semakin berang.Tanpa Aldara tahu, sedari tadi sepasang mata elang tengah mengawasi interaksinya dengan Rangga. Ujung bibir itu terangkat, menyeringai dengan tatapan yang sulit diartikan."Jadi, namanya Rangga?" gumam Alastair dengan kekehan lirih.Alastair melangkah tegap dengan tangan kirinya di masukkan ke saku celana. Sampai di dekat Aldara ia langsung merangkul bahu sang wanita menggunakan tangan kanannya, mengecup lembut lembut pipi itu sembari melemparkan lirikan sinis ke arah Rangga."Ayo pulang. Jangan meladeni orang tidak penting, kamu hanya buang-buang tenaga saja," ujar Alastair.Wanita itu mengernyit bingung mendapati perubahan sikap Bos nya, ia melihat senyum hangat terukir di bibir pria itu. Sangat manis, bahkan sampai membuat Rangga menggeram emosi saat melihatnya. Tanpa mengucapkan apapun, Aldara langsung berlalu pergi dari hadapan Rangga dengan tangan Alastair yang masih bertengger di bahunya.Meninggalkan pria itu yang masih berdiri terpaku menatap punggung Aldara dan seorang pria yang belum ia ketahui namanya . Sorot matanya memancarkan amarah bercampur tanda tanya besar, penasaran sekaligus kesal saat Aldara digandeng pria lain.'Sial! Siapa laki-laki itu?! Apa dia lebih kaya dariku, sehingga membuat Aldara dengan mudahnya mengacuhkanku?!' batinnya kesal.Mobil mewah itu mengantarkan Aldara pulang ke rumah Ernest. Ia menawari Bos nya untuk masuk, tetapi dengan tegas Alastair menolak."Tidak usah sok akrab dengan menawarkan hal itu, Dara. Kalau sikapku tadi membuatmu berpikiran sesuatu terhadapku, maka aku tegaskan sekarang! Aku tadi hanya berniat melindungi milikku agar tidak disentuh pria lain." Pria itu menoleh, menatap Aldara yang juga masih memandangnya dengan tatapan sayu. "Kau adalah milikku 'kan? Sesuatu yang sudah ku beli untuk memuaskanku," lanjutnya lagi.Ia langsung membuang pandangan setelah mengatakan hal barusan, tanpa peduli perasaan Aldara lantaran kata-katanya."Terima kasih, Pak," sahut Aldara dengan suara yang sangat lirih.Wanita itu membuka pintu mobil dan langsung keluar, ia berdiri di samping pagar sementara mobil mewah itu langsung melaju meninggalkannya. Di dalam mobil Alastair langsung menyalakan musik dengan kencang, rahangnya kembali mengetat seiring dengan kecepatan mobil itu yang semakin bertambah kencang
"Mbak?""Eum, tidak, Bu. Itu semua tidak benar. Saya dan Pak Alastair murni sebagai staf dan atasan. Saya juga mana berani melakukan seperti apa yang dituduhkan staf lain tadi pagi?" "Lalu, Anda dan Pak Alastair barusan ...?""Kami hanya membahas pekerjaan, Bu. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi," sahut Aldara.Wanita paruh baya itu mengangguk, selanjutnya ia pamit dari hadapan Aldara dan masuk lift untuk turun ke ruangannya. "Semoga saja dia percaya dan tidak ada gosip miring lagi," gumam Aldara seraya menutup pintu ruangannya.Jemarinya mulai membolak-balik isi map, mengecek laporan yang ada di dalamnya dan kemudian membawa ke ruangan Alastair agar berkas itu bisa ditandatangani.Alastair tampak duduk diam sambil fokus melihat laptop, entah apa yang membuatnya terpaku sehingga tidak menjawab sapaan Aldara saat baru saja masuk ke ruangannya."Saya membawa laporan keuangan, Pak. Sudah saya periksa semua, dan tinggal Bapak tandatangani untuk mengesahkan.""Kau masih butuh aku?" tan
"Kenapa?!" sentak Alastair dengan dagu terangkat tinggi.Rangga tidak menyahut, ia menelisik penampilan Alastair dari atas hingga bawah. Setelan mahal dan aroma parfum maskulin membuat Rangga langsung tahu kalau pria di hadapannya bukan pria sembarangan.Alastair baru enam bulan menggantikan Papanya di perusahaan, belum banyak staf yang tahu wajahnya. Apalagi selama ini keluarganya sangat menjaga privasi, baik di kehidupan nyata ataupun media sosial wajah Alastair jarang ditampilkan.Rangga terlalu sering bekerja di lapangan, tidak seperti staf lain yang sudah sering melihat Alastair di dalam perusahaan. Entah apa yang akan terjadi kalau Rangga tahu siapa pria yang tengah menggandeng mantan istrinya itu."Kau kekasihnya?" Rangga menunjuk ke arah Aldara sembari bertanya kepada Alastair. "Apa kau juga yang membawa wanita ini masuk ke perusahaan ini?!""Bukan urusanmu!" sahut Alastair. "Yang pasti jangan pernah berani menyentuh Aldara lagi. Bahkan kau tidak berhak untuk mendekatinya! Ing
"Jangan menggoda suami orang, dong, Mbak! Kayak nggak laku aja jadi cewek," teriak Clarissa yang baru saja tiba di dekat Aldara.Suaranya menggelegar, menarik atensi semua orang yang lewat di sekitarnya. Orang-orang itu kini menatap risih ke arah Aldara, bahkan tidak sedikit yang langsung terhasut dan mencemooh."Bukannya kamu yang merebut suami orang? Kamu membuatku diceraikan oleh suamiku sendiri, dan bisa-bisanya sekarang malah menuduhku mendekati suamimu?!" sahut Aldara dengan tawa sumbang. "Aku bahan tidak berselera dengan suamimu! Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya.""Jaga mulutmu, Dara!" sentak Rangga."Minta jalangmu ini untuk menjaga mulutnya! Apa harus aku ingatkan tentang kejadian saat aku memergoki kalian di hotel?!"Clarissa mengepalkan tangan erat, sementara Rangga langsung tediam lantaran takut Aldara benar-benar melakukan ancamannya."Bukan aku yang ingin menemui suamimu, Cla, tapi suamimu sendiri yang mencegatku. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada s
"Dara ...."Aldara menghentikan langkah saat baru saja keluar dari aula meeting. Kepalanya menengok ke kiri, ia mendapati Rangga berdiri di sebelah pot besar sambil menatap dirinya."Ada apa?""Kamu ... k-kamu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini mulai kapan? Kenapa nggak bilang aku?" Suara Rangga terdengar lembut, tidak menyentak seperti biasanya.Aldara menatap mantan suaminya dari atas sampai bawah, menelisik perlakuan tidak biasa pria itu. Ujung bibirnya menyeringai tipis, sudah jelas ada sesuatu yang direncakan Rangga kalau seperti ini."Ngapain aku harus bilang?""Aku 'kan masih suami kamu, Dara."Tawa sumbang terdengar lirih, beberapa kali Aldara menggelengkan kepala. Sungguh, ia tidak percaya mantan suaminya bisa semanipulatif seperti ini."Kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku? Di mata agama kita sudah bercerai, dan sebentar lagi surat dari pengadilan akan turun."Pria itu mengernyit. "Kapan kamu mengurus ke pengadilan?!" tanyanya panik."Setelah kamu mengucapakan
"Apa sebenarnya tujuan Pak Alastair tadi? Mau pamer kemesraan?! Huh, menyusahkan saja." Aldara menggerutu kesal saat baru saja keluar dari ruangan Alastair.Beberapa kali kakinya menghentak ke lantai, bibirnya mengerucut ke depan sambil terus meracau tidak jelas. Seharusnya saat ini ia sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi Alastair malah memanggilnya untuk hal yang menurutnya tadi sangat tidak penting.Memangnya apa kepentingannya menyaksikan kemesraan Alastair dengan wanita lain?"Hei. Tunggu!" tangannya yang hendak menekan handle pintu sontak terhenti, menggantung di udara sementara kepalanya lekas menoleh ke sumber suara.Keningnya mengerut tipis mendapati wanita yang bermesraan dengan Alastair tadi kini berjalan ke arahnya. Wajahnya seperti blasteran, dagu runcing itu terangkat tinggi dengan tatapan menghunus lurus ke arah Aldara."Kamu bekerja sebagai apa di sini?" Virly langsung melemparkan pernyataan tanpa basa-basi."Saya bekerja sebagai sekretarisnya Pak Alastair, Bu," jaw
Pagi ini Elle benar-benar datang ke perusahaan bersama Virly, dua wanita berbeda usia itu datang tanpa sepengetahuan Alastair. "Aku sudah tanya Ernest, Ma. Katanya Al ada meeting penting sampai nanti sore, jadi kita bisa leluasa bertemu dengan Aldara," ujar Virly."Sekretarisnya tidak ikut rapat?"Virly menggeleng. "Tidak. Tadi katanya hanya Ernest yang ikut.""Bagus. Mama juga nggak mau Al tahu kedatangan kita," bisik Elle dengan seutas senyum di bibir merahnya.Virly mengacungkan jempol, tidak seberapa lama kemudian mobil berhenti di depan lobi gedung perusahaan. Keduanya turun setelah bodyguard membukakan pintu, kemudian berjalan masuk dengan dagu terangkat tinggi yang menegaskan sikap angkuh mereka.Semua staf menundukkan kepala. Tidak biasanya Elle datang ke sini, sudah jelas ada sesuatu yang wanita itu inginkan. Langkah kaki Elle dan Virly menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas. Tempat ruangan Aldara berada.TING! Pintu lift terbuka."Itu ruangannya." Virly
Meeting selesai pukul tiga sore, Aldara berjalan ke ruangannya sambil menyeret kaki. Lelah sekali, tenaganya terkuras habis, belum lagi suasana hatinya yang masih buruk karena ucapan Elle tadi pagi.Aldara membaringkan tubuhnya ke sofa. Baru saja matanya terpejam, suara dering telepon menyentaknya. Ia lekas bangun, dengan malas tangannya merogoh saku blazer dan langsung mendapati nama Bos nya tertera pada layar ponselnya."Halo, Pak ....""Ke ruanganku sekarang juga!" titah Alastair dari seberang telepon.Wanita itu menggeram emosi, tidak tahu kah Alastair kalau ia sangat lelah?"Baik, Pak," sahutnya pasrah.Memangnya ia bisa apalagi selain pasrah?TUT! Sambungan telepon terputus. Aldara bergegas menuju ruangan Alastair, di dalam hatinya ia merapal doa agar Alastair tidak menyentuh tubuhnya di saat-saat seperti ini.Sungguh! Ia benar-benar lelah. Tubuhnya akan semakin sengsara kalau dijadikan objek pelampiasan nafsu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Aldara saat baru saja masuk
Alastair terkejut Bukan main saat membaca pesan dari papanya, pria itu tidak menyangka sang papa mengambil keputusan setegas itu.[Papa masih ada hati untuk tidak memenjarakan mamamu, Al. Ini sudah keputusan yang terbaik, setelah ini papa akan pulang ke Indonesia dan melanjutkan hidup sendiri. Semoga kamu bahagia, ya, di sana.] tulis Anthony yang semakin napas Alastair tercekat.Dia memang sudah mengatakan akan menatap di Jerman setelah menikahi Aldara. Anthony tidak masalah, malah mendukung keputusannya. "Ada apa, Al?" tanya Aldara yang sontak membuat tubuh pria tampan itu berbalik. "Sudah lima belas menit kamu diam saja di balkon, memangnya nggak dingin?"Alastair mengulas senyum, tangannya memasukkan ponsel ke dalam saku sambil merangkul bahu istrinya. "Tidak, pemandangan di sini indah sekali, Ra. Aku nggak sadar sudah berdiri cukup lama. Maaf, ya," kata Alastair.Dia belum sanggup untuk mengatakan apa yang sudah terjadi selama satu malam ini, takut moment malam pertama mereka ak
Mobil Anthony sudah berhenti di depan hotel, ia lekas masuk dan Elle mengikutinya dari belakang. Sampai di dalam kamar, Anthony langsung mengunci pintu dan meminta istrinya untuk duduk di sofa. "Ada apa, Pa? Katanya tadi mau foto sama Alastair dan Aldara? Kok malah ngajak balik ke hotel?" Pria paruh baya itu tidak menyahut, tangannya mengambil sebuah map yang ada di dalam koper. Kemudian melemparkannya ke depan Elle. "Tandatangani surat itu," katanya. "Apa ini, Pa?" tanya Elle sambil tangannya membuka map tersebut. Kedua matanya membelalak lebar dengan mulut menganga. "Akta cerai?" gumamnya dengan jantung berdegup kencang. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepala, netranya terus membaca deret huruf yang ada di sana. Terdapat namanya dan nama sang suami. Kapan suaminya mengurus ini semua? Kenapa dia tidak tahu? "Kamu sudah nggak nurut sama aku, Ma. Aku nggak bisa mempertahankan hubungan yang seperti ini. Aku merasa tidak dihormati sebagai laki-laki, lebih baik kita berpi
"Aaargh ...!" Virly berteriak histeris saat melihat Megan ditembak tepat di jantung. Tubuhnya menggigil tak tertahan, keringat dingin semakin mengucur deras dari pelipisnya.Ia tidak bisa kabur, tidak ada celah untuk keluar dari ruang bawah tanah ini. Niatnya menghabisi Aldara, malah nasibnya yang akan berakhir mengenaskan di sini.Virly semakin gemetar saat bodyguard perempuan berjalan ke arahnya. Tubuhnya digelandang ke tempat di mana Megan dieksekusi lagi, bibirnya terus memohon untuk dilepaskan, tetapi Alastair seolah menutup telinganya. "Kita pernah tunggu bersama, Al. Kita satu kakek dan aku ini saudaramu. Kamu tega padaku? Kamu tega Mommy Sarah kehilangan anaknya dengan cara mengerikan ini?" ruang Virly dengan wajah berderai air mata. "Aku tidak akan begini kalau kau tidak memulainya. Apa kau lupa telah berbuat jahat kepada Aldara? Maka nikmati saja karmamu," jawab Alastair.Wanita itu menggeleng, sorot matanya terus memohon. Namun, bodyguard-bodyguard perempuan itu telah me
"Alastair," gumam Virly, seringai senyum tercetak jelas di sudut bibirnya. "Wanita ini menghalangiku bertemu Ryu. Padahal aku hanya ingin menyapa keponakanku."Tidak ada sahutan dari Alastair, pria itu hanya melirik ke arah Anetha dengan tatapan datar."Mampus kau," bisik Megan tepat di samping telinga Anetha.Anetha enggan menanggapi, hingga Alastair tiba di tengah-tengah mereka."Kalian berdua, ayo ikut aku," kata Alastair kepada Virly dan Megan.Pria itu kembali membawa langkah panjang menuju luar gedung, membuat Virly dan Megan terpaksa mengikuti."Kita mau diajak ke mana?" tanya Virly saat Alastair hendak masuk ke dalam mobil."Tidak usah banyak tanya, lebih baik ikut saja."Kedua wanita itu saling berpandangan, tetapi tetap mengikuti Alastair yang sudah masuk ke dalam mobil. Kendaraan mewah itu membawa mereka ke kediaman Alastair, di sana meraka disambut oleh Ernest yang berdiri di tengah pintu.Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Alastair langsung keluar dan berjalan masuk. Lagi
"Kenapa, sih, anak itu nempel-nempel terus sama orang tuanya?" ucap Virly."Iya, kita jadi nggak bisa menjalankan rencana. Harusnya 'kan dia main sama temen-temennya yang lain," sahut Megan."Sudah nggak usah berdebat, nanti akan ada saatnya kita beraksi," timpal Elle. "Kalau tidak Ryu, kita bisa membawa Aldara. Toh Alastair sudah mengira mama baik, pasti dia nggak akan curiga kalau istrinya mama ajak pergi sebentar."Virly menghela napas kasar. "Gitu saja terus, ma. Tapi nggak pernah berhasil. Nyatanya Aldara tetap bisa bebas dan kembali sama Alastair, nanti kita juga yang kena imbas."Elle memelototkan matanya, membuat Virly menghela napas kasar. Ia sudah lelah dengan rencana Elle yang tidak pernah berhasil, tetapi ia juga tidak mungkin mau menolak.Sementara Megan sibuk berperang dengan pikirannya sendiri. Kalau Aldara dibunuh, lalu Alastair untuk siapa? Sudah jelas ia akan kembali saingan dengan Virly. Namun, kalau tidak bekerjasama juga ia tidak sanggup sendirian.'Jalanku untuk
Di gerbang sebelah selatan, seorang anak laki-laki sedang menunggu kedatangan temannya. Akira, gadis kecil berusia sepantaran Ryu.Meskipun ia terlihat dingin dan terkesan angkuh, tetapi nyatanya ia selalu merindukan Akira. Bukan rindu layaknya kepada teman sepermainan, tetapi kerinduan lain yang membuat Ryu resah dan selalu terbayang wajah gadis kecil itu.'Kok nggak sampai-sampai? Padahal papa sudah mengundang. Masa nggak tahu gedungnya?' batin Ryu yang semakin resah.Ryu tidak punya banyak teman akrab di sini, wajar saja ia merindukan Akira. Setiap hari membayangkan Akira, membuat anak laki-laki itu terobsesi dengan temannya.Hingga sebuah suara bariton memecah lamunan Ryu, kepalanya menoleh dan mendapati dua orang laki-laki asing sedang berbincang dari balik pot besar tempatnya bersandar.'Pakai Bahasa Indonesia? Apa mereka temannya mama?' batin Ryu sambil memperhatikan dua pria itu.Ia hendak mendekat dan ingin menyapa, tetapi urung saat mendengar satu pria itu berkata, "kita ngg
Aldara berdandan sangat cantik untuk acara malam ini. Tubuh mungilnya dibalut gaun bertabur swarovski, tampak megah dan sangat mempesona."Cantik," bisik Alastair sambil memeluk tubuh Aldara dari belakang.Pria itu mekanika kecupan pada pundak Aldara yang terekspose, membuat wanita itu terkekeh karena merasa geli."Aku sudah siap untuk malam ini, Al. Ryu sudah ku pakaian kalungnya, begitu juga denganku. Tapi mau seperti apapun, aku berharap semuanya baik-baik saja," bisik Aldara.Siapa yang menyangka di dalam kalung berlian itu terdapat alat GPS yang berukuran sebagai kecil? Hal itu disiapkan Alastair untuk melindungi keluarganya."Ayo kita turun, kita harus tampil mesra agar orang-orang iri itu semakin panas."Wanita cantik dengan rambut digerai itu mengangguk, ia terus mempertahankan senyuman selama langkahnya menuju ballroom.Alastair tampak memegang earphone, terdengar Ernest mengatakan Megan baru saja datang diikuti oleh Virly dan satu pria asing. Berarti Rangga akan menyelinap s
Megan dan Rangga baru saja tiba di bandara pagi ini, mereka sengaja datang terlambat agar Alastair tidak curiga. Keduanya akan menjalankan misi nanti malam, sementara Elle bersama suaminya sudah sampai di gedung lebih dulu."Kita akan ke hotel yang tidak jauh dari gedungnya. Saat nanti malam aku datang ke pesta, kau harus menyelinap ke dalam gedung dan menjalankan rencana. Pokoknya aku mau semua berjalan lancar," kata Megan.Ia dan Rangga mengendarai mobil, sesekali wanita itu akan berinteraksi dengan Elle tentang situasi di gedung pernikahan."Baik, Bu.""Nanti ada Juan yang akan membantu, jadi kau tidak perlu khawatir."Rangga mengangguk patuh, pria itu fokus melihat jam tangan seakan menunggu waktunya eksekusi.Sementara di gedung pernikahan, Alastair dan Aldara baru saja selesai akad. Dua pengantin itu duduk di atas pelaminan dengan raut bahagia, ada Ryu juga yang duduk di sana ditemani oleh Anetha.Alastair tampak beberapakali membenarkan letak earphone, pria itu memantau kabar d
Hari ini Aldara sudah diperbolehkan pulang, semua orang menyambut bahagia, terutama Ryu. Anak laki-laki itu terus di samping mamanya tidak mau berpisah sama sekali.Sementara Alastair langsung menuju gudang bawah tanah bersama Ernest, di sana seorang pria tengah duduk di kursi dengan kedua tangan terikat ke belakang."Tuan," bisik Juan dengan wajah memelas. "Maafkan saya, Tuan. Saya menyesal.Alastair tersenyum smirk. Ia sudah lama tidak berurusan dengan darah, melihat Juan seperti ini membuat jiwanya kembali bergejolak."Aku tidak mengenal kata maaf," desis Alastair seraya mendudukkan dirinya di kursi lai. "Dibayar berapa kau sama Megan?" tanyanya lagi.Juan langsung menyebutkan sebuah nominal, Alastair mengakui itu sangat fantastis. Pantas saja Juan mau jadi penyusup, bayarannya saja dua kali dari gaji yang diberikan Alastair."Lalu kenapa kau langsung mengaku? Bukankah seharusnya kau melindungi nama Megan?" tanya Alastair."Saya khilaf saat itu, Tuan. Saya buta karena uang dan tida