"Kenapa?!" sentak Alastair dengan dagu terangkat tinggi.
Rangga tidak menyahut, ia menelisik penampilan Alastair dari atas hingga bawah. Setelan mahal dan aroma parfum maskulin membuat Rangga langsung tahu kalau pria di hadapannya bukan pria sembarangan.Alastair baru enam bulan menggantikan Papanya di perusahaan, belum banyak staf yang tahu wajahnya. Apalagi selama ini keluarganya sangat menjaga privasi, baik di kehidupan nyata ataupun media sosial wajah Alastair jarang ditampilkan.Rangga terlalu sering bekerja di lapangan, tidak seperti staf lain yang sudah sering melihat Alastair di dalam perusahaan. Entah apa yang akan terjadi kalau Rangga tahu siapa pria yang tengah menggandeng mantan istrinya itu."Kau kekasihnya?" Rangga menunjuk ke arah Aldara sembari bertanya kepada Alastair. "Apa kau juga yang membawa wanita ini masuk ke perusahaan ini?!""Bukan urusanmu!" sahut Alastair. "Yang pasti jangan pernah berani menyentuh Aldara lagi. Bahkan kau tidak berhak untuk mendekatinya! Ingat baik-baik ucapanku ini!"Alastair langsung menggandeng Aldara untuk pergi, meninggalkan Rangga yang masih terpaku di lobi.Kedua tangannya terkepal erat menahan kekesalan saat Alastair bersama pria lain. Ia tidak rela kalau Aldara bahagia.'Aku harus mencari tahu apa jabatan pria itu di perusahaan ini!' batinnya.***Rangga pulang dengan perasaan kesal, ia membanting pintu rumahnya yang sontak membuat Clarissa berteriak kaget. Wanita hamil itu sedang fokus mengecat kuku di ruang tamu, kedua kakinya dinaikkan ke meja yang penuh dengan bekas wadah jajanan, piring dan gelas kotor."Kamu kenapa, sih, Mas?! Aku 'kan jadi kaget!" sentak Clarissa.Rangga yang masih kesal karena melihat Aldara dan Alastair tadi, kini semakin bertambah meradang saat rumahnya berantakan. Lantai kotor, bau tidak sedap, udara pengap karena jendela tidak dibuka semakin membuat kepalanya hampir pecah."Kamu bisa tinggal di tempat seperti ini?!" tanya Rangga, tidak percaya kalau ternyata istrinya sangat jorok."Sebenarnya tidak nyaman, sih, aku tinggal di rumah sekecil ini. Lebih enak di apartemenku dulu. Tapi demi kamu, aku nggak masalah. Aku bisa tahan tinggal di sini," jawab Clarissa tanpa menoleh sedikitpun ke arah Rangga, ia masih fokus mengecat kuku."Bersihkan, dong, Cla. Biar nyaman tinggalnya. Nggak sama tumpukan sampah seperti ini!" pekik Rangga."Aku hamil, nggak boleh capek-capek sama Dokter. Sekarang 'kan sudah banyak tukang bersih-bersih, kamu tinggal panggil mereka untuk membersikan rumah. Apa susahnya?""Kamu masih bisa menyapu, Cla. Lagi pula hamil itu bagus untuk beraktivitas, biar nanti saat lahiran bisa lancar.""Kamu bawel banget, deh! Kerjain sendiri saja sana dari pada nyuruh-nyuruh. Kamu nggak ngerasain mual muntah di trimester pertama, jadi diam saja! Jangan sok tahu sama keadaanku!"Pria itu melongo tidak percaya. Dulu Clarissa sangat kalem, tutur katanya lembut dan santun. Clarissa juga pandai merawat diri, cantik dan selalu harum.Sekarang masih cantik, tetapi Clarissa tidak bisa mengerjakan apa-apa. Selalu beli makanan di luar, pakaian kotor juga selalu ia limpahkan ke laundry.Rumahnya tidak lagi nyaman, tidak seperti saat Aldara masih menjadi istrinya dulu. Dulu ia pulang langsung disuguhkan makanan hangat dan nikmat, rumah wangi dan barang-barang tertata baik. Tidak ada sebutir debu pun yang tertinggal di lantai, setiap ujung rumah Aldara rawat dengan baik."Cla—""Nggak mau, ya, nggak mau, Mas. Kenapa, sih? Uangmu 'kan banyak. Tidak akan habis kalau hanya digunakan untuk membayar jasa tukang bersih-bersih," sahut Clarissa seraya bangkit dari duduknya."Kita harus menabung untuk lahiran kamu nanti, Cla. Sekarang apa-apa mahal dan pengeluaran kita banyak sekali setiap harinya, kalau begini terus belum ada satu bulan gajiku sudah habis!"Rangga teringat dulu Aldara bahkan bisa menyisihkan uang dari jatah bulanan yang ia berikan. Ia tidak pernah pusing masalah pengeluaran rumah tangga, tetapi sekarang baru minggu kedua saja uangnya sudah menipis.Keinginan mendapatkan anak menbuatnya berselingkuh dengan Clarissa. Ternyata tidak seindah yang ia bayangkan, ia harus menyetok banyak kesabaran menghadapi Clarissa yang sangat pemalas.Namun, menyesal pun juga tidak ada gunanya."Ah, aku jadi ingat nanti mau beli baju hamil. Kamu temenin ke mall, ya." Clarissa tersenyum sumringah, tanpa peduli Rangga yang tengah kesal."Kamu jangan boros, dong, Cla. Kemarin sudah belanja baju di online, sekarang minta belanja lagi.""Aku minta siapa kalau bukan sama kamu?! Masa aku minta cowok lain, sih!" Clarissa menghentakkan kakinya ke lantai, bibirnya bergetar hampir menangis. Kalau sudah seperti ini Rangga tidak bisa menolak.Ia akan langsung menuruti, khawatir istrinya menangis dan malah membuatnya semakin pusing. Meskipun menuruti kemauan Clarissa juga sama saja membuatnya hampir gila.Malam ini Rangga mengantarkan Clarissa ke salah satu mall yang dekat dari perumahannya. Ia membiarkan wanita itu memilih baju mana yang disukai. Sementara dirinya lebih memilih duduk di bangku panjang yang terletak di luar outlet.Tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali. Wanita cantik dalam balutan dress selutut itu berjalan dengan menenteng dua paper bag besar."Aksara," gumamnya dan langsung bangkit menghampiri sang mantan istri.Langkahnya terhenti tepat di depan Aldara, membuat sang wanita memekik kaget."Ngapain kamu?!" pekik Aldara dengan suara tertahan.Suasana mall sedang ramai, netra cantik itu mengedar ke seluruh penjuru, khawatir seseorang yang dikenalnya memergoki interaksinya dengan Rangga."Siapa pria yang bersamamu tadi?"Wanita itu melongo tidak percaya, bisa-bisanya Rangga tetap mambahas hal ini."Ada kepentingan apa kau ingin tahu?!""Jawab saja, Dara. Siapa pria itu!""Kalau aku tidak mau menjawab, memangnya kau mau apa?!"Aldara mendongakkan kepala, menatap tajam ke dalam iris hitam pria itu. Tidak ada rasa takut di wajahnya, malah ia semakin menggebu ingin membungkam setiap perkataan yang dilontarkan Rangga."Apa dia selingkuhanmu? Dia juga pria yang sama saat kita bertemu di hotel, dan sekarang dia bekerja di perusahaan yang sama denganku. Dia ingin membantumu masuk ke perusahaan itu, heh?! Pantas saja kau menolak bantuanku, Dara."Wanita itu tertawa sumbang, walaupun sebenarnya ia bingung bagaimana mungkin Rangga tidak mengenal siapa Alastair?"Aku ingatkan sekali lagi! Kau yang berselingkuh, bukan aku. Jangan samakan aku dengan sikap murahanmu itu! Lagi pula, apa masalahnya denganmu kalau aku dan pria itu menjalin hubungan? Bukankah kita sudah bercerai?" Ujung bibir Aldara menyunggingkan seringai senyum, akhirnya selama bertahun-tahun ia mulai bisa membalas hinaan dari Rangga."Pengadilan belum mengeluarkan surat cerainya, Dara!""Aku akan segera mengurusnya," jawab Aldara dengan cepat.Rangga terkekeh melihat wajah cantik mantan istrinya memerah."Dengan bantuan selingkuhanmu itu, iya?! Oh ... jangan-jangan kau menjual diri padanya. Benar seperti itu, Dara?"Rahang runcing itu terlihat mengetat, baru saja ia hendak melontarkan jawaban, suara seorang wanita terdengar meneriakkan nama Rangga.Aldara menoleh, matanya kembali membelalak saat mendapati Clarissa berjalan ke arah mereka dengan menenteng banyak paper bag di tangannya.'Huh, wanita itu lagi! Dia pasti akan kembali menghinaku setelah ini,' batin Aldara seraya membuang pandangan ke lantai."Jangan menggoda suami orang, dong, Mbak! Kayak nggak laku aja jadi cewek," teriak Clarissa yang baru saja tiba di dekat Aldara.Suaranya menggelegar, menarik atensi semua orang yang lewat di sekitarnya. Orang-orang itu kini menatap risih ke arah Aldara, bahkan tidak sedikit yang langsung terhasut dan mencemooh."Bukannya kamu yang merebut suami orang? Kamu membuatku diceraikan oleh suamiku sendiri, dan bisa-bisanya sekarang malah menuduhku mendekati suamimu?!" sahut Aldara dengan tawa sumbang. "Aku bahan tidak berselera dengan suamimu! Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya.""Jaga mulutmu, Dara!" sentak Rangga."Minta jalangmu ini untuk menjaga mulutnya! Apa harus aku ingatkan tentang kejadian saat aku memergoki kalian di hotel?!"Clarissa mengepalkan tangan erat, sementara Rangga langsung tediam lantaran takut Aldara benar-benar melakukan ancamannya."Bukan aku yang ingin menemui suamimu, Cla, tapi suamimu sendiri yang mencegatku. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada s
"Dara ...."Aldara menghentikan langkah saat baru saja keluar dari aula meeting. Kepalanya menengok ke kiri, ia mendapati Rangga berdiri di sebelah pot besar sambil menatap dirinya."Ada apa?""Kamu ... k-kamu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini mulai kapan? Kenapa nggak bilang aku?" Suara Rangga terdengar lembut, tidak menyentak seperti biasanya.Aldara menatap mantan suaminya dari atas sampai bawah, menelisik perlakuan tidak biasa pria itu. Ujung bibirnya menyeringai tipis, sudah jelas ada sesuatu yang direncakan Rangga kalau seperti ini."Ngapain aku harus bilang?""Aku 'kan masih suami kamu, Dara."Tawa sumbang terdengar lirih, beberapa kali Aldara menggelengkan kepala. Sungguh, ia tidak percaya mantan suaminya bisa semanipulatif seperti ini."Kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku? Di mata agama kita sudah bercerai, dan sebentar lagi surat dari pengadilan akan turun."Pria itu mengernyit. "Kapan kamu mengurus ke pengadilan?!" tanyanya panik."Setelah kamu mengucapakan
"Apa sebenarnya tujuan Pak Alastair tadi? Mau pamer kemesraan?! Huh, menyusahkan saja." Aldara menggerutu kesal saat baru saja keluar dari ruangan Alastair.Beberapa kali kakinya menghentak ke lantai, bibirnya mengerucut ke depan sambil terus meracau tidak jelas. Seharusnya saat ini ia sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi Alastair malah memanggilnya untuk hal yang menurutnya tadi sangat tidak penting.Memangnya apa kepentingannya menyaksikan kemesraan Alastair dengan wanita lain?"Hei. Tunggu!" tangannya yang hendak menekan handle pintu sontak terhenti, menggantung di udara sementara kepalanya lekas menoleh ke sumber suara.Keningnya mengerut tipis mendapati wanita yang bermesraan dengan Alastair tadi kini berjalan ke arahnya. Wajahnya seperti blasteran, dagu runcing itu terangkat tinggi dengan tatapan menghunus lurus ke arah Aldara."Kamu bekerja sebagai apa di sini?" Virly langsung melemparkan pernyataan tanpa basa-basi."Saya bekerja sebagai sekretarisnya Pak Alastair, Bu," jaw
Pagi ini Elle benar-benar datang ke perusahaan bersama Virly, dua wanita berbeda usia itu datang tanpa sepengetahuan Alastair. "Aku sudah tanya Ernest, Ma. Katanya Al ada meeting penting sampai nanti sore, jadi kita bisa leluasa bertemu dengan Aldara," ujar Virly."Sekretarisnya tidak ikut rapat?"Virly menggeleng. "Tidak. Tadi katanya hanya Ernest yang ikut.""Bagus. Mama juga nggak mau Al tahu kedatangan kita," bisik Elle dengan seutas senyum di bibir merahnya.Virly mengacungkan jempol, tidak seberapa lama kemudian mobil berhenti di depan lobi gedung perusahaan. Keduanya turun setelah bodyguard membukakan pintu, kemudian berjalan masuk dengan dagu terangkat tinggi yang menegaskan sikap angkuh mereka.Semua staf menundukkan kepala. Tidak biasanya Elle datang ke sini, sudah jelas ada sesuatu yang wanita itu inginkan. Langkah kaki Elle dan Virly menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas. Tempat ruangan Aldara berada.TING! Pintu lift terbuka."Itu ruangannya." Virly
Meeting selesai pukul tiga sore, Aldara berjalan ke ruangannya sambil menyeret kaki. Lelah sekali, tenaganya terkuras habis, belum lagi suasana hatinya yang masih buruk karena ucapan Elle tadi pagi.Aldara membaringkan tubuhnya ke sofa. Baru saja matanya terpejam, suara dering telepon menyentaknya. Ia lekas bangun, dengan malas tangannya merogoh saku blazer dan langsung mendapati nama Bos nya tertera pada layar ponselnya."Halo, Pak ....""Ke ruanganku sekarang juga!" titah Alastair dari seberang telepon.Wanita itu menggeram emosi, tidak tahu kah Alastair kalau ia sangat lelah?"Baik, Pak," sahutnya pasrah.Memangnya ia bisa apalagi selain pasrah?TUT! Sambungan telepon terputus. Aldara bergegas menuju ruangan Alastair, di dalam hatinya ia merapal doa agar Alastair tidak menyentuh tubuhnya di saat-saat seperti ini.Sungguh! Ia benar-benar lelah. Tubuhnya akan semakin sengsara kalau dijadikan objek pelampiasan nafsu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Aldara saat baru saja masuk
"Apa salahku?! Dia membentak dan memperlakukan seperti aku tidak punya hati! Ya Tuhan, aku tidak kuat ...." Aldara merintih sendirian dalam langkahnya keluar dari gedung perusahaan ini.Sudah tidak terhitung ada berapa tetes air mata yang membasahi pipinya, bahkan wajahnya begitu kuyu dengan riasan yang tampak berantakan. Semua rasa sakit hatinya hanya bisa ia luapkan dengan air mata itu.Lelah!Ia lelah sekali. Kenapa harus sesulit ini jalannya? Bahagia seperti apa yang disiapkan Tuhan di depan sana hingga perjuangannya harus ditemani air mata sebanyak ini?Taksi berhenti di depan kediaman Ernest, ia langsung turun. Baru saja kakinya hendak berjalan masuk, sebuah mobil yang sangat dikenalinya berhenti tepat di sampingnya."Rangga?" gumamnya seraya mengerutkan kening.'Mau apa dia ke sini? Dia mengikutiku?' batin Aldara.Pria bertubuh tambun itu keluar dengan menenteng paper bag di tangan kanannya. Bibirnya mengulas senyum lebar, menunjukkan wajah sumringah yang malah membuat Aldara i
Sudah lima menit Aldara duduk di salah satu bangku Moon Cafe, ia menunggu Alastair yang belum juga datang. Tubuh sintalnya dibalut dress lengan panjang selutut, terlihat elegan dan semakin memancarkan kecantikannya malam ini.Hingga beberapa saat kemudian seorang pria berdiri tepat di sisinya, aroma parfum khas wangi seseorang langsung menguar, membuat Aldara langsung tahu kalau wangi itu milik Alastair."Ayo ke private room. Kita tidak mungkin mengobrol di sini," bisik Alastair dan lantas melangkah menuju private room.Aldara mengikuti dari belakang, berjalan agak jauh karena canggung.Ada satu meja dan sofa panjang di ruangan itu, Aldara terkejut karena di atas meja sudah disuguhkan banyak makanan dan minuman.Apa Alastair yang melakukan ini? Namun, untuk apa?Wanita itu malas berpikir lebih jauh, ia tetap meminta pikirannya berpikir malam ini adalah acara makan biasa dan tidak ada yang spesial. Meskipun tambahan lilin di atas meja membuat kesan romantis layaknya makan malam sepasan
Mobil mewah itu sudah berhenti di depan rumah Ernest, tetapi Aldara belum turun karena Alastair yang tiba-tiba mengungkung tubuhnya. Ia takut kalau ada yang melihat mereka, tetapi sepertinya Bos nya itu tidak peduli dan tetap melumat habis bibirnya."Kenapa matamu celingak-celinguk?" bisik Alastair."Saya takut ada yang melihat, Pak," jawabnya dengan suara bergetar.Pria itu terkekeh. "Jangan takut. Tidak ada yang berani lewat sini."Aldara mengernyit bingung. Apa maksudnya? Alastair berbicara seolah-olah paling tahu daerah sini.Alastair kembali memasukkan lidahnya ke dalam mulut Aldara, wanita itu kecolongan karena ia terlalu fokus memikirkan keadaan sekitar sehingga tidak membuat pertahanan pada bibirnya seperti biasa.Wanita itu menyilangkan tangannya di depan dada, menahan agar tangan kekar Bos nya tidak menggerayanginya. Namun, Alastair malah membawa tangannya mengelus paha Aldara, membuat sang empunya berjingkat kaget."Jangan terlalu kaku. Nikmati saja. Masih baik aku tidak me