"Apa sebenarnya tujuan Pak Alastair tadi? Mau pamer kemesraan?! Huh, menyusahkan saja." Aldara menggerutu kesal saat baru saja keluar dari ruangan Alastair.Beberapa kali kakinya menghentak ke lantai, bibirnya mengerucut ke depan sambil terus meracau tidak jelas. Seharusnya saat ini ia sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi Alastair malah memanggilnya untuk hal yang menurutnya tadi sangat tidak penting.Memangnya apa kepentingannya menyaksikan kemesraan Alastair dengan wanita lain?"Hei. Tunggu!" tangannya yang hendak menekan handle pintu sontak terhenti, menggantung di udara sementara kepalanya lekas menoleh ke sumber suara.Keningnya mengerut tipis mendapati wanita yang bermesraan dengan Alastair tadi kini berjalan ke arahnya. Wajahnya seperti blasteran, dagu runcing itu terangkat tinggi dengan tatapan menghunus lurus ke arah Aldara."Kamu bekerja sebagai apa di sini?" Virly langsung melemparkan pernyataan tanpa basa-basi."Saya bekerja sebagai sekretarisnya Pak Alastair, Bu," jaw
Pagi ini Elle benar-benar datang ke perusahaan bersama Virly, dua wanita berbeda usia itu datang tanpa sepengetahuan Alastair. "Aku sudah tanya Ernest, Ma. Katanya Al ada meeting penting sampai nanti sore, jadi kita bisa leluasa bertemu dengan Aldara," ujar Virly."Sekretarisnya tidak ikut rapat?"Virly menggeleng. "Tidak. Tadi katanya hanya Ernest yang ikut.""Bagus. Mama juga nggak mau Al tahu kedatangan kita," bisik Elle dengan seutas senyum di bibir merahnya.Virly mengacungkan jempol, tidak seberapa lama kemudian mobil berhenti di depan lobi gedung perusahaan. Keduanya turun setelah bodyguard membukakan pintu, kemudian berjalan masuk dengan dagu terangkat tinggi yang menegaskan sikap angkuh mereka.Semua staf menundukkan kepala. Tidak biasanya Elle datang ke sini, sudah jelas ada sesuatu yang wanita itu inginkan. Langkah kaki Elle dan Virly menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas. Tempat ruangan Aldara berada.TING! Pintu lift terbuka."Itu ruangannya." Virly
Meeting selesai pukul tiga sore, Aldara berjalan ke ruangannya sambil menyeret kaki. Lelah sekali, tenaganya terkuras habis, belum lagi suasana hatinya yang masih buruk karena ucapan Elle tadi pagi.Aldara membaringkan tubuhnya ke sofa. Baru saja matanya terpejam, suara dering telepon menyentaknya. Ia lekas bangun, dengan malas tangannya merogoh saku blazer dan langsung mendapati nama Bos nya tertera pada layar ponselnya."Halo, Pak ....""Ke ruanganku sekarang juga!" titah Alastair dari seberang telepon.Wanita itu menggeram emosi, tidak tahu kah Alastair kalau ia sangat lelah?"Baik, Pak," sahutnya pasrah.Memangnya ia bisa apalagi selain pasrah?TUT! Sambungan telepon terputus. Aldara bergegas menuju ruangan Alastair, di dalam hatinya ia merapal doa agar Alastair tidak menyentuh tubuhnya di saat-saat seperti ini.Sungguh! Ia benar-benar lelah. Tubuhnya akan semakin sengsara kalau dijadikan objek pelampiasan nafsu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Aldara saat baru saja masuk
"Apa salahku?! Dia membentak dan memperlakukan seperti aku tidak punya hati! Ya Tuhan, aku tidak kuat ...." Aldara merintih sendirian dalam langkahnya keluar dari gedung perusahaan ini.Sudah tidak terhitung ada berapa tetes air mata yang membasahi pipinya, bahkan wajahnya begitu kuyu dengan riasan yang tampak berantakan. Semua rasa sakit hatinya hanya bisa ia luapkan dengan air mata itu.Lelah!Ia lelah sekali. Kenapa harus sesulit ini jalannya? Bahagia seperti apa yang disiapkan Tuhan di depan sana hingga perjuangannya harus ditemani air mata sebanyak ini?Taksi berhenti di depan kediaman Ernest, ia langsung turun. Baru saja kakinya hendak berjalan masuk, sebuah mobil yang sangat dikenalinya berhenti tepat di sampingnya."Rangga?" gumamnya seraya mengerutkan kening.'Mau apa dia ke sini? Dia mengikutiku?' batin Aldara.Pria bertubuh tambun itu keluar dengan menenteng paper bag di tangan kanannya. Bibirnya mengulas senyum lebar, menunjukkan wajah sumringah yang malah membuat Aldara i
Sudah lima menit Aldara duduk di salah satu bangku Moon Cafe, ia menunggu Alastair yang belum juga datang. Tubuh sintalnya dibalut dress lengan panjang selutut, terlihat elegan dan semakin memancarkan kecantikannya malam ini.Hingga beberapa saat kemudian seorang pria berdiri tepat di sisinya, aroma parfum khas wangi seseorang langsung menguar, membuat Aldara langsung tahu kalau wangi itu milik Alastair."Ayo ke private room. Kita tidak mungkin mengobrol di sini," bisik Alastair dan lantas melangkah menuju private room.Aldara mengikuti dari belakang, berjalan agak jauh karena canggung.Ada satu meja dan sofa panjang di ruangan itu, Aldara terkejut karena di atas meja sudah disuguhkan banyak makanan dan minuman.Apa Alastair yang melakukan ini? Namun, untuk apa?Wanita itu malas berpikir lebih jauh, ia tetap meminta pikirannya berpikir malam ini adalah acara makan biasa dan tidak ada yang spesial. Meskipun tambahan lilin di atas meja membuat kesan romantis layaknya makan malam sepasan
Mobil mewah itu sudah berhenti di depan rumah Ernest, tetapi Aldara belum turun karena Alastair yang tiba-tiba mengungkung tubuhnya. Ia takut kalau ada yang melihat mereka, tetapi sepertinya Bos nya itu tidak peduli dan tetap melumat habis bibirnya."Kenapa matamu celingak-celinguk?" bisik Alastair."Saya takut ada yang melihat, Pak," jawabnya dengan suara bergetar.Pria itu terkekeh. "Jangan takut. Tidak ada yang berani lewat sini."Aldara mengernyit bingung. Apa maksudnya? Alastair berbicara seolah-olah paling tahu daerah sini.Alastair kembali memasukkan lidahnya ke dalam mulut Aldara, wanita itu kecolongan karena ia terlalu fokus memikirkan keadaan sekitar sehingga tidak membuat pertahanan pada bibirnya seperti biasa.Wanita itu menyilangkan tangannya di depan dada, menahan agar tangan kekar Bos nya tidak menggerayanginya. Namun, Alastair malah membawa tangannya mengelus paha Aldara, membuat sang empunya berjingkat kaget."Jangan terlalu kaku. Nikmati saja. Masih baik aku tidak me
"Dari mana, Al?" tanya Elle saat melihat putranya baru saja tiba di rumah."Dari Moon Cafe."Wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya, menatap Alastair dengan sebelah alis terangkat ke atas. "Bersama sekretaris kamu itu?"Hening! Pria itu tidak menyahut.Raut wajahnya masih dingin dan datar, tetapi pikirannya tengah berkelana mencari tahu siapa yang telah melaporkan kepada Mamanya."Ada hubungan apa kamu sama dia?" "Nggak ada apa-apa.""Lalu untuk apa makan malam itu, Al? Moon Cafe bukan tempat biasa, loh. Itu tempat elite. Bagiamana kalau ada yang melihat kamu sedang makan malam di sana dengan seorang wanita kumal?!"Lagi, pria itu memilih diam dan membiarkan Mamanya berbicara. Ia tahu Mamanya hanya bergaul dengan kalangan kelas atas, sangat anti dengan kalangan yang menurutnya tidak sepadan dengan keluarga Wilson."Al, jawab Mama! Untuk apa kamu mengajak Aldara ke Moon Cafe." Elle menatap tajam ke arah putranya, membuat pria itu mendengkus kasar."Reward karena seharian dia meng
Aldara membuka kelopak mata dengan perlahan. Ia mendengar denting alat medis beradu di ruangan ini, keningnya mengernyit saat mendapati Dokter dan beberapa perawat tengah memeriksanya.'Apa aku masih hidup?' batinnya bingung.Dokter menanyakan beberapa pertanyaan yang ia sendiri pun tidak terlalu mengerti. Beberapa kali kepalanya mengangguk dan menggeleng meskipun tidak tahu maksud pertanyaan-pertanyaan itu.'Seharusnya aku sudah meninggal. Kenapa aku masih hidup?!' Dokter beranjak keluar ruangan, tidak seberapa lama kemudian Ernest masuk diikuti oleh seorang pria yang langsung membuat Aldara mengalihkan pandangan.Tubuhnya kembali gemetar yang membuat tekanan darahnya naik. Perawat berusaha menenangkan Aldara, menyeka bulir keringat yang membasahi pelipis wanita itu."Dara, bagaimana keadaanmu?" tanya Ernesta seraya menyentuh kening Aldara menggunakan telapak tangannya.Ernest merasakan keringat dingin mengalir cukup banyak, keningnya mengernyit sambil melirik ke arah Dokter seakan