Aldara membuka kelopak mata dengan perlahan. Ia mendengar denting alat medis beradu di ruangan ini, keningnya mengernyit saat mendapati Dokter dan beberapa perawat tengah memeriksanya.'Apa aku masih hidup?' batinnya bingung.Dokter menanyakan beberapa pertanyaan yang ia sendiri pun tidak terlalu mengerti. Beberapa kali kepalanya mengangguk dan menggeleng meskipun tidak tahu maksud pertanyaan-pertanyaan itu.'Seharusnya aku sudah meninggal. Kenapa aku masih hidup?!' Dokter beranjak keluar ruangan, tidak seberapa lama kemudian Ernest masuk diikuti oleh seorang pria yang langsung membuat Aldara mengalihkan pandangan.Tubuhnya kembali gemetar yang membuat tekanan darahnya naik. Perawat berusaha menenangkan Aldara, menyeka bulir keringat yang membasahi pelipis wanita itu."Dara, bagaimana keadaanmu?" tanya Ernesta seraya menyentuh kening Aldara menggunakan telapak tangannya.Ernest merasakan keringat dingin mengalir cukup banyak, keningnya mengernyit sambil melirik ke arah Dokter seakan
Alastair membawa tangannya menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Aldara, netranya menatap teduh maha karya Tuhan yang menurutnya sangat cantik dan sempurna."Aku harap kau baik-baik saja," bisik Alastair.Pria itu menghela napas kasar. "Maaf kalau ini semua ada hubungannya denganku, Ra. Tapi ... aku tidak bisa berhenti menyiksamu. Karena aku suka melihat wajahmu tersiksa dan memohon untukku lepaskan."Alastair menyunggingkan seringai senyum, sorot matanya berubah menjadi kebencian seakan ia bersiap-siap untuk menerkam Aldara. Batinnya kembali berperang, sangat rumit sehingga kepalanya mendadak berdenyut."Kau terlihat sangat seksi saat memohon, Aldara. Wajahmu membuatku candu. Tapi aku tidak ingin ada raut kebahagiaan di sini," gumam Alastair sembari mengelus lembut pipi Aldara.Tiba-tiba tangannya terkepal. Ia sontak berdiri, menatap tubuh lemah sekretarisnya dengan ranjang menegas."Aku ingin kau baik-baik saja, Aldara. Aku ingin kau segera pulih, agar aku bisa menyiksamu l
Rangga kembali ke depan ruang dokter kandungan setelah diusir oleh dokter yang menjaga Aldara tadi. Ia melihat Clarissa memberengut kesal dengan kedua tangan dilipat di depan dada.Ah, sudah pasti Clarissa akan marah-marah."Kami dari mana, sih, Mas?! Niat nggak, sih, nungguin istrinya periksa? Malah ditinggal."Rangga masih berjalan jarak lima meter darinya, tetapi Clarissa sudah meluapkan kekesalannya. Ia tidak peduli banyak orang yang mendengar, toh selama ini Clarissa sudah biasa memarahi Rangga di depan orang lain.Ia tidak terlalu memikirkan harga diri Rangga, yang terpenting adalah hatinya puas karena kekesalannya langsung hilang setelah memarahi Rangga."Tadi di kantin antre, Cla. Kamu sudah selesai periksanya?""Tahu antre begitu kamu balik saja. Malah mentingin antre kopi dari pada menemani istrinya!" tukas Clarissa.Rangga berusaha menahan kekesalannya, ia langsung menggandeng tangan Clarissa untuk menjauh dari depan ruang dokter itu. "Aku belum selesai bicara, Mas. Kenap
Alastair memotong buah apel dan lantas menyuapkannya ke mulut Aldara, ia melakukan dengan telaten meskipun Aldara sama sekali tidak mau melihat wajahnya.Tubuh mungil itu bergetar dengan wajah yang semakin memucat. Kedua tangannya saling menggenggam di balik selimut, tanpa peduli rasa nyeri dari jarum infus yang menusuk punggung tangannya."Kau ini sebenernya kenapa? Santai saja. Aku tidak akan macam-macam. Aku juga tahu ini di rumah sakit, Dara!" sentak Alastair yang kesal dengan sekretarisnya itu.Ah, dasar Alastair. Kalau ia tahu penyebab Aldara sampai seperti ini, mungkin ia tidak akan berbicara seperti barusan.Wanita itu hanya bisa menahan tangis saat air mata sudah membendung di pelupuk netranya. Aldara mengesampingkan matanya yang mulai terasa panas, karena sekali berkedip saja air matanya akan benar-benar jatuh.Tidak! Ia tidak mau menangis di hadapan Alastair."Setelah ini aku akan kembali ke kantor, dan nanti sore aku akan datang lagi ke sini untuk menjenguk mu.""Ti-Tidak u
Aldara duduk di ujung sofa ruang tamu, sengaja untuk membuat jarak dengan Alastair. Wanita itu masih mengenakan baju tidur, tanpa cuci muka dan membiarkan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia langsung turun begitu saja. Namun, kenapa penampilan seperti itu malah terlihat semakin seksi di mata Alastair?"Kau sudah sembuh?" tanya Alastair.Wanita itu mengangguk. "Sudah, Pak. Tinggal pusingnya saja, mungkin buat tidur nanti juga reda.""Bagus. Kalau begitu besok kau ikut denganku. Kita akan kunjungan ke luar kota untuk bertemu beberapa klien penting. Ada proyek besar yang harus aku urus sendiri.""Hah?!" Tubuh mungil itu terhenyak kaget.Siapa yang tidak terkejut? Baru saja sembuh sudah diajak ke luar kota. Ditambah lagi Pasti Alastair akan kembali menyentuh tubuhnya, pria itu tidak mungkin diam saja saat ada kesempatan.Ah, membayangkannya saja sudah membuat Aldara merana."Kau bertugas menyiapkan berkas dan keperluan pribadiku. Jadwal kegiatannya sudah dibuatkan oleh Ernest, jadi kau
Mobil berhenti di parkiran sebuah hotel. Ini kedua kalinya Aldara menjejakkan kakinya di hotel mewah. Perasaannya masih sama, deg-degan karena takut tangan Alastair kembali menjamahnya.Alastair langsung mengajak Aldara ke salah satu aula yang sudah disulap menjadi tempat meeting. Ternyata tidak hanya bertemu satu orang saja, tetapi ada banyak orang penting yang sudah menunggu di sana.'Ayo, Aldara. Kamu pasti bisa! Kamu jangan malu-maluin Pak Alastair. Tunjukkan kalau kamu memang pantas untuk posisi ini!' batin Aldara, menguatkan dirinya sendiri.Wanita itu duduk di belakang Alastair, sedetikpun pandangannya tidak terlepas dari pria itu, berjaga-jaga kalau saja Bos nya membutuhkan sesuatu. Ia juga mencatat poin-poin penting yang akan dibuat laporan nantinya.Meeting selesai dua jam setelahnya. Cukup melelehkan karena harus melalui sedikit perdebatan alot untuk mencapai kata sepakat."Kita langsung ke kamar. Aku lelah," ujar Alastair yang langsung diangguki oleh Aldara.Ia saja yang h
Aldara menggigit bibir bawahnya saat merasakan telapak tangan besar itu meremas lembut bongkahan daging sintalnya, sambil tangan kanan Alastair mulai membuka tali pengait kain penutup dadanya.Mata cantik itu terpejam saat Alastair melepas kain itu, membuat tubuhnya benar-benar naked. Tangan kekar itu mulai meraba gundukan sintal yang menggantung bebas, memilin pada pucuk merah mudanya sembari terus melabuhkan kecupan pada bahu.Air mata menetes bercampur menjadi satu dengan air kolam renang. Hatinya sakit, nyeri tiada tara saat tidak bisa menolak pelecahan yang dilakukan Bos nya.'Tidak! Aku tidak boleh terangsang,' batin Aldara saat merasakan kulitnya meremang."Bagaimana rasanya, Dara? Ayo katakan, sensasi seperti apa yang kau rasakan saat ini," bisik Alastair.Pria itu menyapu lembut bagian leher belakang Aldara menggunakan lidahnya, membuat wanita itu sontak mendongak seraya menguatkan gigitan di bibir agar suara desahannya tidak keluar.Aldara memejamkan mata saat Alastair mengh
Dokter sudah selesai memasang perban di pergelangan kaki Aldara, wanita itu sudah lebih baik saat beberapa saat lalu Dokter memberikan obat pereda nyeri. "Sudah selesai, Bu. Pastikan jangan terlalu banyak bergerak dulu, ya, biar tulangnya nggak geser-geser. Saya sudah resepkan obat yang bisa Anda tebus di apotek," jelas Dokter perempuan itu."Terima kasih, Dok," sahut Aldara."Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu. Semoga lekas sembuh, ya."Aldara mengangguk dengan kedua ujung bibirnya terangkat mengukir senyum manis, senyum yang baru kali ini terbit sedari dirinya masih ke kamar hotel ini.Setelah Dokter keluar, Alastair langsung mengambil sepiring makanan dan menyerahkannya kepada Aldara."Bisa makan sendiri 'kan?" tanya pria itu."Bisa, Pak.""Bagus. Soalnya aku nggak ada waktu untuk menyuapimu.""Iya, Pak. Saya makan dulu, ya," ujar Aldara dengan suara lirih, takut Alastair kembali membentaknya. Lagi pula, ia 'kan tidak berharap disuapi Bosnya.Pria itu mengangguk. "Makan l