[Posisi sekretaris CEO di kantorku sedang kosong. Aku sudah merekomendasikanmu, dan beliau memintamu datang untuk menemuinya besok.]
Begitulah pesan yang diterima Aldara kemarin. Pesan itu datang dari sepupunya.Belum lama ini, Aldara memang meminta bantuan karena sudah berencana ingin kembali bekerja agar tidak selalu dipandang rendah, terutama oleh suaminya.Ia bersyukur, Tuhan memberinya pertolongan di waktu yang tepat.Ernest mengirimkan satu stel pakaian formal dan sepasang sepatu pantofel ke rumahnya. Ukurannya pas di badannya. Ia juga mengaplikasikan riasan tipis di wajahnya. Sudut bibirnya melengkung ke atas, melukiskan senyum haru melihat penampilannya berubah, tidak seperti hari-hari biasa yang hanya mengenakan daster.Pagi itu, Aldara langsung diantar oleh sepupunya menuju ruangan yang terletak di lantai paling atas. Ruangan khusus CEO yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu."Permisi, Pak. Selamat pagi," sapa Aldara dengan jantung berdegup kencang saat diperbolehkan masuk setelah mengetuk pintu.Aldara melihat seorang pria tampan berkulit putih dan berhidung mancung sedang duduk di ujung ruangan, tampak fokus membaca berkas di atas meja. Pria itu tidak menoleh sedikit pun ke arahnya, membuat Aldara bingung harus bagaimana.“Maaf, Pak. Saya Aldara Maharani, kandidat sekretaris atas rekomendasi Pak Ernest,” ujar wanita itu lagi.Pria itu tiba-tiba menutup map, mengangkat pandangannya dan melihat Aldara dengan tatapan menelisik. Rahang kokohnya terlihat tegas, alis tebal dan bulu mata panjang semakin membuat tatapannya terasa mengintimidasi."Kau masuk atas rekomendasi Ernest?""Benar, Pak. Saya tadi sudah melakukan interview dengan HRD, lalu Pak Ernest membawa saya ke sini untuk melakukan interview dengan Bapak," sahut Aldara lugas, mencoba bersikap tenang."Berikan mapmu."Aldara dengan sigap menyodorkan map berwarna hijau itu kepada calon Bosnya, lalu menautkan kedua tangan ke depan agar tidak canggung.Pria itu memeriksa berkas yang Aldara bawa. Wajahnya masih datar seolah tidak ada yang menarik di kertas itu. Beberapa detik kemudian ia menutup berkas dan menyingkirkannya ke pinggir meja."Berapa gaji yang kau?" tanya pria pemilik nama Alastair Wilson itu.Aldara terkejut. "Se-seperti pada umumnya saja, Pak. Saya terima berapapun nominal yang perusahaan ini tawarkan."Pria itu mendengkus, menatap calon sekretarisnya dari atas ke bawah dengan tatapan sinis. Hal itu jelas saja membuat Aldara bingung melihat tatapan tak bersahabat dari Alastair.Apakah jawabannya barusan salah?"Aku bisa memberimu gaji dalam jumlah besar."Aldara membelalakkan mata. "Terima kasih, Pak," sahutnya sumringah. Namun, senyumannya tidak bertahan lama saat Alastair kembali bersuara."Dengan satu syarat.""Y-ya?"Alastair tidak langsung menjawab, ia menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya. Masih dengan pandangan datar, pria itu menjawab, "Tidurlah denganku."Aldara terhenyak mendengarnya, lidahnya mendadak kelu mendengar tawaran yang sangat merendahkannya itu."Aku akan memberimu gaji sepuluh kali lipat dari sekretaris lain di perusahaan ini. Tapi kalau kau menolak, silakan pergi,” kata Alastair, tatapan tajamnya terhunus tepat pada manik Aldara. “Tapi jangan harap kau bisa memasukkan lamaran ke perusahaan lain!”“A-apa?” Wanita itu melongo, tidak percaya mendengar tawaran sekaligus ancaman tidak masuk akal yang dilontarkan Alastair barusan."Maaf, Pak. Anda tidak bisa menekan saya dengan cara ini, meskipun Anda punya banyak uang dan kekuasaan. Saya memang orang kecil, tapi saya punya harga diri dan saya tidak terima diperlakukan seperti ini!" sahut wanita itu dengan suara bergetar.Hatinya sakit, bahkan lebih sakit dibandingkan ketika memergoki suaminya dengan wanita lain.Apa Alastair pikir uang bisa membeli tubuhnya? Tidak! Aldara memang butuh uang untuk mengurus perceraian dan bertahan hidup, tetapi ia tidak akan menempuh jalan kotor seperti ini!"Tidak masalah. Silakan keluar!"Aldara menggeram emosi melihat raut angkuh pria di hadapannya itu. Garis wajah sempurna dan ketampanan bak Dewa Yunani nyatanya tidak membuat hati pria di hadapannya bersih.Aldara membalik badan dan melangkah menuju pintu, membawa perasaan kesal karena perkataan Alastair barusan.Namun, saat tangannya hendak membuka pintu, suara denting ponsel membuatnya berhenti. Ia merogoh tas untuk mengambil ponsel, ternyata sebuah pesan dari Rangga.[Semua baju-bajumu sudah aku masukkan kresek dan aku taruh teras. Kamu harus segera pergi dari rumahku! Nanti malam Clarissa akan menempati rumah itu, dia tidak akan nyaman kalau kamu masih tinggal di sana.]'Astaga…!' Aldara refleks menutup mulutnya. Tubuhnya sampai terlonjak ke belakang karena terkejut membaca pesan barusan.Tidak hanya selingkuh dan menuntut cerai, Rangga bahkan tega mengusirnya sekejam ini? Benar-benar tidak bisa dipercaya!‘Apa yang harus kulakukan?’ batin Aldara mulai menjerit. Sekarang ia bingung karena tidak punya tempat tinggal, uang di dompetnya juga tersisa sedikit.Semua perhiasan dan surat pribadi miliknya ada di dalam rumah itu, sudah pasti Rangga tidak akan mengizinkannya mengambil semua itu.Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Satu-satunya jalan mendapatkan uang dengan cepat adalah menerima tawaran Alastair, tetapi itu artinya ia harus menggadaikan harga dirinya …."Kenapa masih berdiri di situ? Keluar!" sentak Alastair, membuat Aldara terhenyak. Lamunannya seketika buyar.Perlahan, Aldara membalikkan tubuhnya, menundukkan kepala seraya membawa langkah ke dekat meja Alastair. Detak jantungnya terasa lebih cepat sekarang, rasa malu dan gugup bercampur menjadi satu saat kembali menghadap pria yang sesaat lalu telah merendahkannya."Maaf, Pak. Saya ... sa-saya berubah pikiran. Saya bersedia menerima tawaran Bapak," ucap Aldara dengan suara lirih.Pria itu menaikkan sebelah alisnya, raut wajahnya tidak banyak berubah, masih dingin seperti semula."Kau setuju untuk menyerahkan tubuhmu padaku?""I-iya." Aldara mengangguk kaku, mencoba tidak peduli Alastair menganggapnya sebagai wanita rendahan.Ia terpaksa mengambil jalan ini, sekalipun bertolak belakang dengan hati nuraninya.Wanita itu masih terus menunduk. Saat Alastair berdiri di hadapannya dan mengangkat dagu runcingnya menggunakan jari telunjuk, barulah ia berani menatap bosnya itu."Mulai hari ini kau resmi menjadi sekretarisku. Tidak hanya mengurus perusahaan, tapi juga mengurusku dan memuaskanku," bisik pria itu yang sontak membuat Aldara meremang."Ba-baik, Pak. Saya akan melakukan—" ucapan Aldara terhenti saat Alastair tiba-tiba membungkam mulutnya.Bukan menggunakan tangan, tetapi penyatuan bibir yang membuat wanita itu terkesiap. Manik beningnya melotot, merasakan tekstur kenyal saat Alastair melumat bibir merahnya.Darahnya berdesir saat merasakan aroma parfum beraroma maskulin itu menusuk indera penciumannya. Aldara ingin mendorong dada bidang pria yang telah lancang merampas ciumannya ini, tetapi tubuhnya tak sanggup bergerak."Buka mulutmu," bisik Alastair, membuat Aldara mengerjapkan mata beberapa kali. Tangannya berusaha mendorong dada bidang yang terasa keras itu, tapi tenaganya sama sekali tidak sebanding.Tiba-tiba tangan kekar Alastair menelusup ke belakang tengkuknya, dan kembali mempertemukan ranum keduanya. Aldara memejamkan mata dengan erat dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tidak memberikan akses yang diinginkan Alastair.Lidah hangat pria itu menyapu bibirnya, membuat Aldara seketika menahan napas saat merasakan aroma mint semakin mengacaukan pikirannya.Wanita itu baru membuka mata saat ciuman sepihak itu diakhiri dengan kecupan basah di dagunya.Alastair memundurkan wajah, memasukkan kedua tangan ke dalam saku dengan seringai yang menghiasi ujung bibirnya."Anggap saja ini pembukaan. Lain kali, jangan terlalu kaku," bisik pria itu seraya menggigit pelan daun telinga Aldara.Aldara hanya mampu mengangguk. Ia ingin cepat-cepat pergi dari ruangan ini!"Ka-kalau begitu saya permisi.”Aldara langsung berjalan cepat ke arah pintu setelah Alastair menganggukkan kepala.Tangannya lekas menghapus air mata yang menetes tanpa dikomando. Ia kembali menarik napas dalam, menahan rasa sesak yang terasa menghimpit dadanya.Sedangkan Alastair masih berdiri di dekat mejanya sambil menatap punggung Aldara yang sesaat kemudian menghilang di balik pintu.Pria itu menyunggingkan seringai puas.“Akhirnya aku bisa mendapatkanmu, Aldara …”Aldara keluar dari ruangan Alastair dan Ernest langsung membawanya ke ruangan lain di samping ruangan CEO, pria itu mengatakan ini adalah ruangan sekretaris, ia juga menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan Aldara. Setelahnya, Ernest pamit keluar untuk kembali ke ruangannya sendiri.Saat pintu tertutup, Aldara langsung menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata sembari meraup udara dengan rakus.Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, nyatanya tetap tidak bisa meredakan kegundahannya. 'Apa setelah mendapatkan uangnya nanti aku bisa pergi jauh dari Pak Alastair?' tanya wanita itu di dalam hatinya.•Hari sudah beranjak sore, Aldara pulang ke rumah dengan mengendarai taksi. Ia melihat satu kresek besar teronggok begitu saja di teras, pikirannya menebak pasti itu baju-bajunya yang telah disiapkan oleh Rangga.Tangannya membuka pintu taksi dan lantas turun, ia membawa langkah menuju teras dan langsung mengangkat kresek berisi baju-bajunya tersebut. Tiba-tiba pintu
Alastair menjauhkan wajahnya dari ceruk leher jenjang itu, kakinya melangkah mundur dan langsung membalik badan."Keluar saja kalau kau masih menangis, aku muak melihatmu!" desis pria itu.Aldara hanya mampu mengangguk, detik berikutnya ia langsung keluar ruangan dan berjalan cepat menuju ruangannya. Air matanya langsung tumpah deras, cukup lama ia menangis sampai rasa sesaknya berangsur hilang."Aku tidak boleh menyerah, ini sudah keputusanku. Setidaknya aku harus mendapatkan banyak uang agar pengorbananku tidak sia-sia!" gumamnya seraya menarik napas panjang sembari jemarinya menghapus lelehan air mata.Aldara menjalani hari-hari dengan berat, saat di rumah Ernest ia akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga untuk membalas jasa sepupunya. Sulit menemukan kos-kosan dengan harga cocok, beruntung Ernest berbaik hati mau menampungnya.Saat di perusahaan ia diperlukan rendah oleh Bos nya, semua ia telan seorang diri tanpa siapapun tahu. Hanya air mata yang menguatkannya, juga rencana
Mobil mewah itu mengantarkan Aldara pulang ke rumah Ernest. Ia menawari Bos nya untuk masuk, tetapi dengan tegas Alastair menolak."Tidak usah sok akrab dengan menawarkan hal itu, Dara. Kalau sikapku tadi membuatmu berpikiran sesuatu terhadapku, maka aku tegaskan sekarang! Aku tadi hanya berniat melindungi milikku agar tidak disentuh pria lain." Pria itu menoleh, menatap Aldara yang juga masih memandangnya dengan tatapan sayu. "Kau adalah milikku 'kan? Sesuatu yang sudah ku beli untuk memuaskanku," lanjutnya lagi.Ia langsung membuang pandangan setelah mengatakan hal barusan, tanpa peduli perasaan Aldara lantaran kata-katanya."Terima kasih, Pak," sahut Aldara dengan suara yang sangat lirih.Wanita itu membuka pintu mobil dan langsung keluar, ia berdiri di samping pagar sementara mobil mewah itu langsung melaju meninggalkannya. Di dalam mobil Alastair langsung menyalakan musik dengan kencang, rahangnya kembali mengetat seiring dengan kecepatan mobil itu yang semakin bertambah kencang
"Mbak?""Eum, tidak, Bu. Itu semua tidak benar. Saya dan Pak Alastair murni sebagai staf dan atasan. Saya juga mana berani melakukan seperti apa yang dituduhkan staf lain tadi pagi?" "Lalu, Anda dan Pak Alastair barusan ...?""Kami hanya membahas pekerjaan, Bu. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi," sahut Aldara.Wanita paruh baya itu mengangguk, selanjutnya ia pamit dari hadapan Aldara dan masuk lift untuk turun ke ruangannya. "Semoga saja dia percaya dan tidak ada gosip miring lagi," gumam Aldara seraya menutup pintu ruangannya.Jemarinya mulai membolak-balik isi map, mengecek laporan yang ada di dalamnya dan kemudian membawa ke ruangan Alastair agar berkas itu bisa ditandatangani.Alastair tampak duduk diam sambil fokus melihat laptop, entah apa yang membuatnya terpaku sehingga tidak menjawab sapaan Aldara saat baru saja masuk ke ruangannya."Saya membawa laporan keuangan, Pak. Sudah saya periksa semua, dan tinggal Bapak tandatangani untuk mengesahkan.""Kau masih butuh aku?" tan
"Kenapa?!" sentak Alastair dengan dagu terangkat tinggi.Rangga tidak menyahut, ia menelisik penampilan Alastair dari atas hingga bawah. Setelan mahal dan aroma parfum maskulin membuat Rangga langsung tahu kalau pria di hadapannya bukan pria sembarangan.Alastair baru enam bulan menggantikan Papanya di perusahaan, belum banyak staf yang tahu wajahnya. Apalagi selama ini keluarganya sangat menjaga privasi, baik di kehidupan nyata ataupun media sosial wajah Alastair jarang ditampilkan.Rangga terlalu sering bekerja di lapangan, tidak seperti staf lain yang sudah sering melihat Alastair di dalam perusahaan. Entah apa yang akan terjadi kalau Rangga tahu siapa pria yang tengah menggandeng mantan istrinya itu."Kau kekasihnya?" Rangga menunjuk ke arah Aldara sembari bertanya kepada Alastair. "Apa kau juga yang membawa wanita ini masuk ke perusahaan ini?!""Bukan urusanmu!" sahut Alastair. "Yang pasti jangan pernah berani menyentuh Aldara lagi. Bahkan kau tidak berhak untuk mendekatinya! Ing
"Jangan menggoda suami orang, dong, Mbak! Kayak nggak laku aja jadi cewek," teriak Clarissa yang baru saja tiba di dekat Aldara.Suaranya menggelegar, menarik atensi semua orang yang lewat di sekitarnya. Orang-orang itu kini menatap risih ke arah Aldara, bahkan tidak sedikit yang langsung terhasut dan mencemooh."Bukannya kamu yang merebut suami orang? Kamu membuatku diceraikan oleh suamiku sendiri, dan bisa-bisanya sekarang malah menuduhku mendekati suamimu?!" sahut Aldara dengan tawa sumbang. "Aku bahan tidak berselera dengan suamimu! Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya.""Jaga mulutmu, Dara!" sentak Rangga."Minta jalangmu ini untuk menjaga mulutnya! Apa harus aku ingatkan tentang kejadian saat aku memergoki kalian di hotel?!"Clarissa mengepalkan tangan erat, sementara Rangga langsung tediam lantaran takut Aldara benar-benar melakukan ancamannya."Bukan aku yang ingin menemui suamimu, Cla, tapi suamimu sendiri yang mencegatku. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada s
"Dara ...."Aldara menghentikan langkah saat baru saja keluar dari aula meeting. Kepalanya menengok ke kiri, ia mendapati Rangga berdiri di sebelah pot besar sambil menatap dirinya."Ada apa?""Kamu ... k-kamu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini mulai kapan? Kenapa nggak bilang aku?" Suara Rangga terdengar lembut, tidak menyentak seperti biasanya.Aldara menatap mantan suaminya dari atas sampai bawah, menelisik perlakuan tidak biasa pria itu. Ujung bibirnya menyeringai tipis, sudah jelas ada sesuatu yang direncakan Rangga kalau seperti ini."Ngapain aku harus bilang?""Aku 'kan masih suami kamu, Dara."Tawa sumbang terdengar lirih, beberapa kali Aldara menggelengkan kepala. Sungguh, ia tidak percaya mantan suaminya bisa semanipulatif seperti ini."Kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku? Di mata agama kita sudah bercerai, dan sebentar lagi surat dari pengadilan akan turun."Pria itu mengernyit. "Kapan kamu mengurus ke pengadilan?!" tanyanya panik."Setelah kamu mengucapakan
"Apa sebenarnya tujuan Pak Alastair tadi? Mau pamer kemesraan?! Huh, menyusahkan saja." Aldara menggerutu kesal saat baru saja keluar dari ruangan Alastair.Beberapa kali kakinya menghentak ke lantai, bibirnya mengerucut ke depan sambil terus meracau tidak jelas. Seharusnya saat ini ia sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi Alastair malah memanggilnya untuk hal yang menurutnya tadi sangat tidak penting.Memangnya apa kepentingannya menyaksikan kemesraan Alastair dengan wanita lain?"Hei. Tunggu!" tangannya yang hendak menekan handle pintu sontak terhenti, menggantung di udara sementara kepalanya lekas menoleh ke sumber suara.Keningnya mengerut tipis mendapati wanita yang bermesraan dengan Alastair tadi kini berjalan ke arahnya. Wajahnya seperti blasteran, dagu runcing itu terangkat tinggi dengan tatapan menghunus lurus ke arah Aldara."Kamu bekerja sebagai apa di sini?" Virly langsung melemparkan pernyataan tanpa basa-basi."Saya bekerja sebagai sekretarisnya Pak Alastair, Bu," jaw