Happy reading***Tari masih duduk di tanah dengan lemah. Dia merasakan nyeri pada wajah. Tarikan tangan Andrian begitu kuat hingga menyebabkan keningnya menyentuh tanah yang terdapat banyak kerikil. Sakitnya mungkin tak seberapa, jika dibandingkan rasa malu yang dia dapat setelah ini.Setelah kepergian Bramantio, Andrian menghampiri Tari. Wajahnya sudah tak semarah tadi. Melihat gadisnya menunduk sambil memegang kening, si bos menjadi khawatir."Apa kamu terluka, Tar? Maaf ... maaf, aku terlalu cemburu melihatmu dengan Tio tadi," ucap Andrian penuh penyesalan.Tari berusaha berdiri, tetapi kedua kakinya seolah tak kuat lagi untuk menopang berat tubuh sehingga dia kembali terduduk. Andrian yang mengetahui kesakitan sekretarisnya menjulurkan tangan berusaha menolong. "Tidak perlu sok baik jika akhirnya menyakiti! Berulang kali Bapak melakukan ini pada saya. Pernahkah berpikir bagaimana rasanya menjadi saya? Apa yang sebenarnya Bapak inginkan? Semalam minta maaf, tapi pagi ini sudah me
Happy Reading*****Dalam perjalanan ke kantor, perasaan Andrian diliputi kecemasan. Dia merasa terancam dengan keberadaan Bramantio yang terus berusaha mendekati Tari. Seandainya bisa lelaki itu menyingkirkan sang manajer HRD, tentu sudah dilakukan beberapa minggu yang lalu saat pertemuan mereka di restoran. Sayang, Andrian tak dapat melakukan hal tersebut karena orang tua Bramantio merupakan investor di perusahaannya. Hal itu juga yang menjadi bahan pertimbangan, seseorang yang masih minim pengalaman bisa menempati posisi sebagai manajer. Papa Bramantio meminta Andrian mengajari putranya tentang bisnis sebelum menjadi pimpinan di perusahaan milik keluarga mereka."Sial! Masak iya, aku harus bersaing dengan anak bau kencur macam Tio. Apa kata dunia kalau aku sampai kalah darinya. Kenapa juga dia harus menyukai Tari." Andrian berbicara sendiri.Di tengah kekalutan hatinya, Andrian teringat pada Tari yang sendirian di kosnya. Lelaki itu, kemudian meraih ponsel yang ada di dasbor. Je
Happy Reading*****"Waalaikumsalam," jawab Tari tergagap. Salah tingkah, gadis itu merapikan hijab yang dia kenakan, rasa canggung dan takut menyelimuti jiwanya. "Lah, malah bengong. Kamu tidak menyuruh saya masuk, Tar?" Walau ada tangan tak kasat mata yang merobek hati perempuan itu, Nina tetap bersikap baik pada Tari. Apalagi saat melihat perban di kening gadis itu."Maaf, Bu. Saya terkejut sekali. Kok, Ibu bisa datang ke sini dan tahu alamat saya?" tanya Tari. Dia menyipitkan mata."Panjang ceritanya. Kita masuk dulu dan cerita di dalam."Nina menyerahkan keranjang buah yang dibelinya tadi disertai ucapan doa semoga gadis itu cepat sembuh. "Aku tidak disuruh duduk, nih?" tanya Nina."Astagfirullah. Silakan, Bu! Maaf jika tempatnya tidak senyaman di rumah Ibu." Tari sungguh tak enak pada Nina. Gadis itu bahkan membersihkan sofa sebelum diduduki oleh istri si bos."Jangan terlalu formal, Tar! Aku datang ke sini atas perintah Bapak. Sepertinya, beliau sangat khawatir dengan keadaanm
Happy Reading*****Dua perempuan cantik itu berpelukan dengan air mata yang terus mengalir. Nina bahkan tersedu mengingat semua tentang Andrian. "Maafkan aku, Tar. Seharusnya aku tidak menangis seperti ini. Setiap kali ada yang menanyakan tentang keikhlasanku terhadap pernikahan kedua Mas Andri, aku selalu terbawa suasana. Padahal, mulut ini sudah berucap ikhlas bahkan hatiku sudah merelakan semua, tapi terkadang ada sisi di mana rasa sakit itu tetap ada." Nina menjeda ucapannya. Dia mengusap seluruh air mata setelah mengurai pelukannya pada sang sekretaris."Apa yang Mbak Nina lakukan sangat manusiawi. Bukankah tadi saya sudah berkata bahwa tidak ada perempuan yang ikhlas saat suaminya mendua. Lalu, kenapa Mbak Nina melakukannya? Ada baiknya Mbak mengatakan terus terang tentang keberatan ini pada Bapak." Tari mengambil tisu dari meja riasnya dan memberikan pada Nina.Nina menyeka bulir-bulir air mata yang terus mengalir di pipinya dengan tisu pemberian Tari. "Ada satu hal yang tida
Happy Reading*****Andrian menepuk kening ketika Nina meminta makan siang. "Biar Ayah pesen dulu, ya, Bun. Tadi, mu tak beliin langsung takut nggak ada yang doyan. Makanya, mau tak tanya dulu pengen makan apa?" alibi lelaki itu. Kenyataan, dia lupa jika sudah menyuruh sang istri pertama untuk menjenguk Tari."Ya, sudah. Ayah pesen aja gado-gado buat Bunda sama anak-anak." Nina melirik Tari. "Kamu pengen makan apa, Tar?"Sang sekretaris menggelengkan kepala. "Saya nanti saja, biar pesan sendiri.""Samain saja, ya, Bun," kata Andrian memutuskan. "Gado-gado 5 bungkus. Empat bungkus nggak pedas, satu bungkus pedas." Jari lelaki itu mulai lincah di atas layar ponselnya.Setelah sang suami selesai dengan benda pipih di depannya, Nina mulai bertanya. "Yah, kok pesen pedas. Bukannya Ayah tidak menyukai makanan pedas?""Buat Tari, Bun," sahut Andrian. Dia juga melirik Tari. Sejak dia datang, gadisnya itu lebih banyak diam dan mendengarkan percakapan keluarga mereka."Oalah, Tari suka pedas t
Happy Reading*****"Jangan bertindak bodoh!" kata Andrian cukup keras, "ingat janin yang ada dalam kandunganmu. Dia bukan cuma anakmu, tapi darah dagingku. Awas saja sampai aku pulang kamu masih belum datang," ancam lelaki itu tak main-main.Nina dan Tari akhirnya mengerti bahwa lelaki itu bukan memarahi mereka. Keduanya bernapas lega. Namun, ada sisi keingintahuan dari sang istri pertama untuk menelisik kemarahan sang suami."Kenapa sama Lita, Mas?" kata Nina sebelum masuk mobil. "Masuk dulu, Bun. Ayah ceritakan nanti." Andrian segera membukakan pintu untuk sang istri. Sementara anak-anak sudah masuk dan duduk anteng di kursi.Sebelum si bos masuk, dia berpamitan secara khusus pada sekretarisnya. "Maaf untuk hari ini, sudah membuatmu terluka dan terima kasih sudah mengajarkan anak-anak ilmu yang sangat bermanfaat. Aku harap kamu nggak akan berhubungan lagi dengan Bramantio. Jangan membuatku terus cemburu dan memikirkan yang enggak-enggak. Aku nggak sanggup, Tar." Tangannya bergera
Happy Reading*****Sekitar lima menit setelah pertengkaran bos dan sekretarisnya. Mereka sampai di depan halaman sebuah restoran yang bertuliskan tutup. Tari mulai curiga bahwa Andrian tengah mempermainkannya saat ini."Bapak mau nipu saya? Kenapa restorannya belum buka, tapi mengatakan kalau kita meeting di tempat ini."Tak menghiraukan perkataan sang sekretaris, Andrian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang mengajaknya ketemuan di tempat itu. "Baiklah, Pak. Saya sudah di halaman. Tolong keluar kalau Anda sudah di dalam." Begitu selesai dengan panggilannya, Andrian menatap Tari. "Kamu dengar sendiri, Tar. Aku nggak bohong. Kita memang ada meeting di sini. Tunggu dan lihat. Sebentar lagi, orangnya bakalan keluar.""Baik," jawab Tari pendek dan singkat.Memang benar ucapan Andrian. Tak berapa lama, ada lelaki tampan yang mungkin usianya di bawah si bos."Pak Andrian?" tanya lelaki itu."Ya, bener," jawab Andrian, "Pak Fahmi, ya?""Mari masuk, Pak. Sudah dari tadi, saya tung
Happy Reading*****"Setelah makan siang, aku antar kamu balik ke kos. Hari ini, nggak usah kerja karena lukamu belum sembuh," perintah Andrian. Lelaki itu berbicara tanpa memandang Tari seperti biasanya. Agaknya si bos sedang menahan marah pada seseorang. Entah mengapa gadis itu merasa demikian."Bapak lagi menghindari Bu Lita?" tanya Tari tak tahan lagi dengan semua tanya di hati."Hah!" kata Andrian cengo, "kenapa aku menghindari Lita. Dia istriku, lagi hamil juga.""Kalau bukan Bu Lita, Bapak menghindari siapa. Kerjaan di kantor pasti banyak karena kemarin saya tidak bekerja. Jika sekarang tidak datang lagi, besok makin menumpuk kerjaan saya, Pak. Bikin capek saja," gerutu Tari. Dia sampai membuang muka saking kesalnya pada si bos.Andrian diam saja, tetapi dalam hati dia berkata, 'Bukan aku yang menghindari seseorang, tapi aku nggak mau kamu ketemu seseorang. Walau mungkin, ini adalah pertemuan terakhir kalian. Aku nggak ikhlas dan cemburu kalau harus lihat kalian berdua ngobrol