Happy Reading*****Dua perempuan cantik itu berpelukan dengan air mata yang terus mengalir. Nina bahkan tersedu mengingat semua tentang Andrian. "Maafkan aku, Tar. Seharusnya aku tidak menangis seperti ini. Setiap kali ada yang menanyakan tentang keikhlasanku terhadap pernikahan kedua Mas Andri, aku selalu terbawa suasana. Padahal, mulut ini sudah berucap ikhlas bahkan hatiku sudah merelakan semua, tapi terkadang ada sisi di mana rasa sakit itu tetap ada." Nina menjeda ucapannya. Dia mengusap seluruh air mata setelah mengurai pelukannya pada sang sekretaris."Apa yang Mbak Nina lakukan sangat manusiawi. Bukankah tadi saya sudah berkata bahwa tidak ada perempuan yang ikhlas saat suaminya mendua. Lalu, kenapa Mbak Nina melakukannya? Ada baiknya Mbak mengatakan terus terang tentang keberatan ini pada Bapak." Tari mengambil tisu dari meja riasnya dan memberikan pada Nina.Nina menyeka bulir-bulir air mata yang terus mengalir di pipinya dengan tisu pemberian Tari. "Ada satu hal yang tida
Happy Reading*****Andrian menepuk kening ketika Nina meminta makan siang. "Biar Ayah pesen dulu, ya, Bun. Tadi, mu tak beliin langsung takut nggak ada yang doyan. Makanya, mau tak tanya dulu pengen makan apa?" alibi lelaki itu. Kenyataan, dia lupa jika sudah menyuruh sang istri pertama untuk menjenguk Tari."Ya, sudah. Ayah pesen aja gado-gado buat Bunda sama anak-anak." Nina melirik Tari. "Kamu pengen makan apa, Tar?"Sang sekretaris menggelengkan kepala. "Saya nanti saja, biar pesan sendiri.""Samain saja, ya, Bun," kata Andrian memutuskan. "Gado-gado 5 bungkus. Empat bungkus nggak pedas, satu bungkus pedas." Jari lelaki itu mulai lincah di atas layar ponselnya.Setelah sang suami selesai dengan benda pipih di depannya, Nina mulai bertanya. "Yah, kok pesen pedas. Bukannya Ayah tidak menyukai makanan pedas?""Buat Tari, Bun," sahut Andrian. Dia juga melirik Tari. Sejak dia datang, gadisnya itu lebih banyak diam dan mendengarkan percakapan keluarga mereka."Oalah, Tari suka pedas t
Happy Reading*****"Jangan bertindak bodoh!" kata Andrian cukup keras, "ingat janin yang ada dalam kandunganmu. Dia bukan cuma anakmu, tapi darah dagingku. Awas saja sampai aku pulang kamu masih belum datang," ancam lelaki itu tak main-main.Nina dan Tari akhirnya mengerti bahwa lelaki itu bukan memarahi mereka. Keduanya bernapas lega. Namun, ada sisi keingintahuan dari sang istri pertama untuk menelisik kemarahan sang suami."Kenapa sama Lita, Mas?" kata Nina sebelum masuk mobil. "Masuk dulu, Bun. Ayah ceritakan nanti." Andrian segera membukakan pintu untuk sang istri. Sementara anak-anak sudah masuk dan duduk anteng di kursi.Sebelum si bos masuk, dia berpamitan secara khusus pada sekretarisnya. "Maaf untuk hari ini, sudah membuatmu terluka dan terima kasih sudah mengajarkan anak-anak ilmu yang sangat bermanfaat. Aku harap kamu nggak akan berhubungan lagi dengan Bramantio. Jangan membuatku terus cemburu dan memikirkan yang enggak-enggak. Aku nggak sanggup, Tar." Tangannya bergera
Happy Reading*****Sekitar lima menit setelah pertengkaran bos dan sekretarisnya. Mereka sampai di depan halaman sebuah restoran yang bertuliskan tutup. Tari mulai curiga bahwa Andrian tengah mempermainkannya saat ini."Bapak mau nipu saya? Kenapa restorannya belum buka, tapi mengatakan kalau kita meeting di tempat ini."Tak menghiraukan perkataan sang sekretaris, Andrian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang mengajaknya ketemuan di tempat itu. "Baiklah, Pak. Saya sudah di halaman. Tolong keluar kalau Anda sudah di dalam." Begitu selesai dengan panggilannya, Andrian menatap Tari. "Kamu dengar sendiri, Tar. Aku nggak bohong. Kita memang ada meeting di sini. Tunggu dan lihat. Sebentar lagi, orangnya bakalan keluar.""Baik," jawab Tari pendek dan singkat.Memang benar ucapan Andrian. Tak berapa lama, ada lelaki tampan yang mungkin usianya di bawah si bos."Pak Andrian?" tanya lelaki itu."Ya, bener," jawab Andrian, "Pak Fahmi, ya?""Mari masuk, Pak. Sudah dari tadi, saya tung
Happy Reading*****"Setelah makan siang, aku antar kamu balik ke kos. Hari ini, nggak usah kerja karena lukamu belum sembuh," perintah Andrian. Lelaki itu berbicara tanpa memandang Tari seperti biasanya. Agaknya si bos sedang menahan marah pada seseorang. Entah mengapa gadis itu merasa demikian."Bapak lagi menghindari Bu Lita?" tanya Tari tak tahan lagi dengan semua tanya di hati."Hah!" kata Andrian cengo, "kenapa aku menghindari Lita. Dia istriku, lagi hamil juga.""Kalau bukan Bu Lita, Bapak menghindari siapa. Kerjaan di kantor pasti banyak karena kemarin saya tidak bekerja. Jika sekarang tidak datang lagi, besok makin menumpuk kerjaan saya, Pak. Bikin capek saja," gerutu Tari. Dia sampai membuang muka saking kesalnya pada si bos.Andrian diam saja, tetapi dalam hati dia berkata, 'Bukan aku yang menghindari seseorang, tapi aku nggak mau kamu ketemu seseorang. Walau mungkin, ini adalah pertemuan terakhir kalian. Aku nggak ikhlas dan cemburu kalau harus lihat kalian berdua ngobrol
Happy Reading*****[Tar, kamu sudah pulang kantor belum?]Nina menghubungi Tari lewat chat. Entah mengapa, dia mulai tertarik untuk belajar agama pada Tari. Tadi, selesai menjemput anak-anak, Nina kepikiran sama untuk ikut pengajian yang gadis itu ikuti.Gadis dengan pakaian kantor yang masih lengkap itu langsung meraih ponselnya ketika mendengar suara notifikasi masuk. Saat ini, Andrian sudah pulang setalah bertengkar dengan sang istri melalui telepon. Buket mawar yang dibeli lelaki itu masih tergelatak di sofa. Tari segera meraih benda pipih di dalam tas dan melihat siapa yang mengirimkan chat. Melalui pop up di layar, dia bis melihat nama Nina terpampang. Tak sabar Tari membuka pesan dari perempuan itu.[Sudah, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?][Tar, kamu ikut pengajian atau apa gitu yang bisa memperdalam ilmu agama? Ajak Mbak, dong. Mbak pengen belajar juga, buat bekal ngajari anak-anak kalau ada PR kayak kemarin kan biar tidak mengganggu dirimu.]Sambil merebahkan tubuhku ranjan
Happy Reading***"Tampaknya Bunda makin dekat dengan Tari. Ada apakah gerangan?" tanya Andrian sebulan kemudian setelah kedua pergi ke mal dan membeli banyak gamis."Ada yang iri kayaknya." Nina mengerlingkan sebelah mata. "Yah, ini jadwalmu menginap di rumah Lita, lho," ujar Nina. Mereka berdua sedang duduk santai di depan kolam renang sambil menjaga putra-putrinya. Sejak hubungan mereka makin dekat dengan Tari, baik Nina dan Andrian lebih sering ngobrol santai seperti sekarang. Sangat jauh berbeda dengan keadaan Lita, dia malah semakin terasa jauh dari Andrian.Hari demi hari, Lita makin membuat ulah. Andrian semakin dibuat kesal dengan tingkah ibu hamil satu itu. Oleh karena itulah, dia malas sekali menginap di rumah sang istri muda."Bunda nggak asyik. Ditanya apa, jawabnya apa?" Andrian merajuk. Namun, posisi duduknya makin mepet pada sang istri. Sebenarnya, hari ini ada jadwal kajian bersama Tari yang harus Nina datangi. Akan tetapi, karena sang suami minta ditemani di rumah.
Happy Reading*****Andrian segera melafalkan apa yang telah Tari ajarkan. Tangannya bergerak cepat memutar arah kemudi menuju kos-kosan gadis itu. Seketika dia sangat merindukan pujaan hatinya. Lalu, si lelaki mengetikkan chat yang mengabarkan bahwa dirinya akan datang berkunjung. Kepada Lita, Andrian mengirimkan balasan agar perempuan itu lebih berhati-hati dengan kandungannya. Meminta pada sang istri muda untuk tidak pulang terlalu malam. Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Andrian. Ternyata balasan dari Tari."Boleh saja, tapi saya masih ada pengajian di musala dekat kos, Pak. Misalkan saya belum datang, tunggu saja di depan kamar. Lima belas menit lagi mungkin sudah selesai." Begitu balasan sang sekretaris.Setelah mendapat balasan dari sang pujaan, Andrian bersenandung riang. Suasana hatinya kembali bahagia, apalagi ketika dua kartu kredit miliknya yang dipegang oleh Lita telah berhasil dia blokir. Kini sang istri muda, hanya bisa berbelanja menggunakan kartu debit yang setiap bu