Happy Reading*****"Jangan bertindak bodoh!" kata Andrian cukup keras, "ingat janin yang ada dalam kandunganmu. Dia bukan cuma anakmu, tapi darah dagingku. Awas saja sampai aku pulang kamu masih belum datang," ancam lelaki itu tak main-main.Nina dan Tari akhirnya mengerti bahwa lelaki itu bukan memarahi mereka. Keduanya bernapas lega. Namun, ada sisi keingintahuan dari sang istri pertama untuk menelisik kemarahan sang suami."Kenapa sama Lita, Mas?" kata Nina sebelum masuk mobil. "Masuk dulu, Bun. Ayah ceritakan nanti." Andrian segera membukakan pintu untuk sang istri. Sementara anak-anak sudah masuk dan duduk anteng di kursi.Sebelum si bos masuk, dia berpamitan secara khusus pada sekretarisnya. "Maaf untuk hari ini, sudah membuatmu terluka dan terima kasih sudah mengajarkan anak-anak ilmu yang sangat bermanfaat. Aku harap kamu nggak akan berhubungan lagi dengan Bramantio. Jangan membuatku terus cemburu dan memikirkan yang enggak-enggak. Aku nggak sanggup, Tar." Tangannya bergera
Happy Reading*****Sekitar lima menit setelah pertengkaran bos dan sekretarisnya. Mereka sampai di depan halaman sebuah restoran yang bertuliskan tutup. Tari mulai curiga bahwa Andrian tengah mempermainkannya saat ini."Bapak mau nipu saya? Kenapa restorannya belum buka, tapi mengatakan kalau kita meeting di tempat ini."Tak menghiraukan perkataan sang sekretaris, Andrian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang mengajaknya ketemuan di tempat itu. "Baiklah, Pak. Saya sudah di halaman. Tolong keluar kalau Anda sudah di dalam." Begitu selesai dengan panggilannya, Andrian menatap Tari. "Kamu dengar sendiri, Tar. Aku nggak bohong. Kita memang ada meeting di sini. Tunggu dan lihat. Sebentar lagi, orangnya bakalan keluar.""Baik," jawab Tari pendek dan singkat.Memang benar ucapan Andrian. Tak berapa lama, ada lelaki tampan yang mungkin usianya di bawah si bos."Pak Andrian?" tanya lelaki itu."Ya, bener," jawab Andrian, "Pak Fahmi, ya?""Mari masuk, Pak. Sudah dari tadi, saya tung
Happy Reading*****"Setelah makan siang, aku antar kamu balik ke kos. Hari ini, nggak usah kerja karena lukamu belum sembuh," perintah Andrian. Lelaki itu berbicara tanpa memandang Tari seperti biasanya. Agaknya si bos sedang menahan marah pada seseorang. Entah mengapa gadis itu merasa demikian."Bapak lagi menghindari Bu Lita?" tanya Tari tak tahan lagi dengan semua tanya di hati."Hah!" kata Andrian cengo, "kenapa aku menghindari Lita. Dia istriku, lagi hamil juga.""Kalau bukan Bu Lita, Bapak menghindari siapa. Kerjaan di kantor pasti banyak karena kemarin saya tidak bekerja. Jika sekarang tidak datang lagi, besok makin menumpuk kerjaan saya, Pak. Bikin capek saja," gerutu Tari. Dia sampai membuang muka saking kesalnya pada si bos.Andrian diam saja, tetapi dalam hati dia berkata, 'Bukan aku yang menghindari seseorang, tapi aku nggak mau kamu ketemu seseorang. Walau mungkin, ini adalah pertemuan terakhir kalian. Aku nggak ikhlas dan cemburu kalau harus lihat kalian berdua ngobrol
Happy Reading*****[Tar, kamu sudah pulang kantor belum?]Nina menghubungi Tari lewat chat. Entah mengapa, dia mulai tertarik untuk belajar agama pada Tari. Tadi, selesai menjemput anak-anak, Nina kepikiran sama untuk ikut pengajian yang gadis itu ikuti.Gadis dengan pakaian kantor yang masih lengkap itu langsung meraih ponselnya ketika mendengar suara notifikasi masuk. Saat ini, Andrian sudah pulang setalah bertengkar dengan sang istri melalui telepon. Buket mawar yang dibeli lelaki itu masih tergelatak di sofa. Tari segera meraih benda pipih di dalam tas dan melihat siapa yang mengirimkan chat. Melalui pop up di layar, dia bis melihat nama Nina terpampang. Tak sabar Tari membuka pesan dari perempuan itu.[Sudah, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?][Tar, kamu ikut pengajian atau apa gitu yang bisa memperdalam ilmu agama? Ajak Mbak, dong. Mbak pengen belajar juga, buat bekal ngajari anak-anak kalau ada PR kayak kemarin kan biar tidak mengganggu dirimu.]Sambil merebahkan tubuhku ranjan
Happy Reading***"Tampaknya Bunda makin dekat dengan Tari. Ada apakah gerangan?" tanya Andrian sebulan kemudian setelah kedua pergi ke mal dan membeli banyak gamis."Ada yang iri kayaknya." Nina mengerlingkan sebelah mata. "Yah, ini jadwalmu menginap di rumah Lita, lho," ujar Nina. Mereka berdua sedang duduk santai di depan kolam renang sambil menjaga putra-putrinya. Sejak hubungan mereka makin dekat dengan Tari, baik Nina dan Andrian lebih sering ngobrol santai seperti sekarang. Sangat jauh berbeda dengan keadaan Lita, dia malah semakin terasa jauh dari Andrian.Hari demi hari, Lita makin membuat ulah. Andrian semakin dibuat kesal dengan tingkah ibu hamil satu itu. Oleh karena itulah, dia malas sekali menginap di rumah sang istri muda."Bunda nggak asyik. Ditanya apa, jawabnya apa?" Andrian merajuk. Namun, posisi duduknya makin mepet pada sang istri. Sebenarnya, hari ini ada jadwal kajian bersama Tari yang harus Nina datangi. Akan tetapi, karena sang suami minta ditemani di rumah.
Happy Reading*****Andrian segera melafalkan apa yang telah Tari ajarkan. Tangannya bergerak cepat memutar arah kemudi menuju kos-kosan gadis itu. Seketika dia sangat merindukan pujaan hatinya. Lalu, si lelaki mengetikkan chat yang mengabarkan bahwa dirinya akan datang berkunjung. Kepada Lita, Andrian mengirimkan balasan agar perempuan itu lebih berhati-hati dengan kandungannya. Meminta pada sang istri muda untuk tidak pulang terlalu malam. Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Andrian. Ternyata balasan dari Tari."Boleh saja, tapi saya masih ada pengajian di musala dekat kos, Pak. Misalkan saya belum datang, tunggu saja di depan kamar. Lima belas menit lagi mungkin sudah selesai." Begitu balasan sang sekretaris.Setelah mendapat balasan dari sang pujaan, Andrian bersenandung riang. Suasana hatinya kembali bahagia, apalagi ketika dua kartu kredit miliknya yang dipegang oleh Lita telah berhasil dia blokir. Kini sang istri muda, hanya bisa berbelanja menggunakan kartu debit yang setiap bu
Happy Reading*****Lita masih asyik mencari barang-barang mewah di suatu mal. Dia belum sadar jika dua kartu kredit yang diberikan oleh sang suami telah diblokir. Dua tas mewah, tiga pasang sepatu serta beberapa pakaian sudah ada di keranjang belanjaannya. Lita dengan percaya diri menuju kasir. Hari sudah mulai gelap, sedangkan ibu hamil itu belum puas juga berbelanja."Gila kamu, Lit. Sekaya apa suamimu itu. Seharian ini kamu sudah ngabisin uangnya berpuluh-puluh juta," kata salah satu sahabat yang kini menemani wanita itu berbelanja."Kaya banget dan pastinya karena rasa cinta yang besar sama aku. Dia tidak pernah membatasi semua barang yang aku belanjakan," ucap Lita Jumawa. "Hitung sama punya temenku ini, Mbak," perintahnya pada kasir."Notanya mau dipisah apa bagaimana?" tanya si kasir untuk memastikan. "Satukan sajalah. Toh harganya tidak seberapa, kan." Lita makin jumawa saja membuat sahabatnya jengah.Kasir sudah memasukkan semua item barang pada komputer. Lalu, dia menyebut
Happy Reading*****Selesai dengan panggilan dari sang istri kedua, Andrian pamit pulang. Dia sudah malas melanjutkan perjalanan ke rumah Lita. Biarlah perempuan hamil itu marah. Siapa suruh keluyuran saat suami akan pulang."Pak," panggil Tari.Andrian yang baru melangkahkan kaki terpaksa berhenti dan menoleh. "Ada apa, Tar?""Banyak-banyak istighfar. Jangan membawa kemarahan pulang. Di rumah ada anak-anak dan Mbak Nina yang tidak tahu permasalahan Bapak dan Bu Lita. Hati-hati saat menyetir," ucap Tari.Andrian melengkungkan garis bibirnya ke atas. Tak disangka Tari berucap demikian. Ternyata dibalik ketegasan serta segala protes yang ditunjukkan selama ini. Gadis itu menyimpan simpati dan perhatian pada si bos."Siap komandan," ucap Andrian disertai tangan kanan yang menempel pada kening, memberi hormat pada sang sekretaris. "Mulai, lebay." "Biarin," jawab Andrian, "assalamualaikum, sayangku."Si gadis mendelik dan berkacak pinggang. Andrian kembali melanjutkan langkah dengan cep
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de