Happy Reading*****Tio menengok pada sumber suara. Ada Andrian dengan wajah marahnya. Sang manajer HRD tak gentar sama sekali. Lelaki yang usianya lebih muda dari atasannya itu mulai berpikir bahwa semua pekerjaan beratnya hari ini, pastilah ulah Andrian."Tidak masalah, Tari banyak kerjaan. Saya dengan setia akan menunggunya. Pak Andria silakan pulang terlebih dulu," kata Tio dengan berani. Sang pemilik malah dia usir.Andrian tertawa miring. "Untuk apa kamu menemani Tari? Dia akan lembur bersama saya. Pak Tio harus ingat. Perusahaan ini adalah milik saya. Berani-beraninya Anda mengusir pemiliknya."Tari mulai menggelengkan kepala, setelah ini kedua lelaki tersebut pasti akan berdebat dan ujung-ujungny terjadi pertengkaran. Perempuan itu, hanya berharap semoga tidak ada pertengkaran fisik di antara keduanya. Baru membatin, suara Tio sudah terdengar."Sudahlah Pak Andri," ucap Bramantio enteng, "saya tahu Bapak yang merencanakan semua ini supaya kami tidak bisa menonton. Bahkan mung
Happy reading***Tari masih duduk di tanah dengan lemah. Dia merasakan nyeri pada wajah. Tarikan tangan Andrian begitu kuat hingga menyebabkan keningnya menyentuh tanah yang terdapat banyak kerikil. Sakitnya mungkin tak seberapa, jika dibandingkan rasa malu yang dia dapat setelah ini.Setelah kepergian Bramantio, Andrian menghampiri Tari. Wajahnya sudah tak semarah tadi. Melihat gadisnya menunduk sambil memegang kening, si bos menjadi khawatir."Apa kamu terluka, Tar? Maaf ... maaf, aku terlalu cemburu melihatmu dengan Tio tadi," ucap Andrian penuh penyesalan.Tari berusaha berdiri, tetapi kedua kakinya seolah tak kuat lagi untuk menopang berat tubuh sehingga dia kembali terduduk. Andrian yang mengetahui kesakitan sekretarisnya menjulurkan tangan berusaha menolong. "Tidak perlu sok baik jika akhirnya menyakiti! Berulang kali Bapak melakukan ini pada saya. Pernahkah berpikir bagaimana rasanya menjadi saya? Apa yang sebenarnya Bapak inginkan? Semalam minta maaf, tapi pagi ini sudah me
Happy Reading*****Dalam perjalanan ke kantor, perasaan Andrian diliputi kecemasan. Dia merasa terancam dengan keberadaan Bramantio yang terus berusaha mendekati Tari. Seandainya bisa lelaki itu menyingkirkan sang manajer HRD, tentu sudah dilakukan beberapa minggu yang lalu saat pertemuan mereka di restoran. Sayang, Andrian tak dapat melakukan hal tersebut karena orang tua Bramantio merupakan investor di perusahaannya. Hal itu juga yang menjadi bahan pertimbangan, seseorang yang masih minim pengalaman bisa menempati posisi sebagai manajer. Papa Bramantio meminta Andrian mengajari putranya tentang bisnis sebelum menjadi pimpinan di perusahaan milik keluarga mereka."Sial! Masak iya, aku harus bersaing dengan anak bau kencur macam Tio. Apa kata dunia kalau aku sampai kalah darinya. Kenapa juga dia harus menyukai Tari." Andrian berbicara sendiri.Di tengah kekalutan hatinya, Andrian teringat pada Tari yang sendirian di kosnya. Lelaki itu, kemudian meraih ponsel yang ada di dasbor. Je
Happy Reading*****"Waalaikumsalam," jawab Tari tergagap. Salah tingkah, gadis itu merapikan hijab yang dia kenakan, rasa canggung dan takut menyelimuti jiwanya. "Lah, malah bengong. Kamu tidak menyuruh saya masuk, Tar?" Walau ada tangan tak kasat mata yang merobek hati perempuan itu, Nina tetap bersikap baik pada Tari. Apalagi saat melihat perban di kening gadis itu."Maaf, Bu. Saya terkejut sekali. Kok, Ibu bisa datang ke sini dan tahu alamat saya?" tanya Tari. Dia menyipitkan mata."Panjang ceritanya. Kita masuk dulu dan cerita di dalam."Nina menyerahkan keranjang buah yang dibelinya tadi disertai ucapan doa semoga gadis itu cepat sembuh. "Aku tidak disuruh duduk, nih?" tanya Nina."Astagfirullah. Silakan, Bu! Maaf jika tempatnya tidak senyaman di rumah Ibu." Tari sungguh tak enak pada Nina. Gadis itu bahkan membersihkan sofa sebelum diduduki oleh istri si bos."Jangan terlalu formal, Tar! Aku datang ke sini atas perintah Bapak. Sepertinya, beliau sangat khawatir dengan keadaanm
Happy Reading*****Dua perempuan cantik itu berpelukan dengan air mata yang terus mengalir. Nina bahkan tersedu mengingat semua tentang Andrian. "Maafkan aku, Tar. Seharusnya aku tidak menangis seperti ini. Setiap kali ada yang menanyakan tentang keikhlasanku terhadap pernikahan kedua Mas Andri, aku selalu terbawa suasana. Padahal, mulut ini sudah berucap ikhlas bahkan hatiku sudah merelakan semua, tapi terkadang ada sisi di mana rasa sakit itu tetap ada." Nina menjeda ucapannya. Dia mengusap seluruh air mata setelah mengurai pelukannya pada sang sekretaris."Apa yang Mbak Nina lakukan sangat manusiawi. Bukankah tadi saya sudah berkata bahwa tidak ada perempuan yang ikhlas saat suaminya mendua. Lalu, kenapa Mbak Nina melakukannya? Ada baiknya Mbak mengatakan terus terang tentang keberatan ini pada Bapak." Tari mengambil tisu dari meja riasnya dan memberikan pada Nina.Nina menyeka bulir-bulir air mata yang terus mengalir di pipinya dengan tisu pemberian Tari. "Ada satu hal yang tida
Happy Reading*****Andrian menepuk kening ketika Nina meminta makan siang. "Biar Ayah pesen dulu, ya, Bun. Tadi, mu tak beliin langsung takut nggak ada yang doyan. Makanya, mau tak tanya dulu pengen makan apa?" alibi lelaki itu. Kenyataan, dia lupa jika sudah menyuruh sang istri pertama untuk menjenguk Tari."Ya, sudah. Ayah pesen aja gado-gado buat Bunda sama anak-anak." Nina melirik Tari. "Kamu pengen makan apa, Tar?"Sang sekretaris menggelengkan kepala. "Saya nanti saja, biar pesan sendiri.""Samain saja, ya, Bun," kata Andrian memutuskan. "Gado-gado 5 bungkus. Empat bungkus nggak pedas, satu bungkus pedas." Jari lelaki itu mulai lincah di atas layar ponselnya.Setelah sang suami selesai dengan benda pipih di depannya, Nina mulai bertanya. "Yah, kok pesen pedas. Bukannya Ayah tidak menyukai makanan pedas?""Buat Tari, Bun," sahut Andrian. Dia juga melirik Tari. Sejak dia datang, gadisnya itu lebih banyak diam dan mendengarkan percakapan keluarga mereka."Oalah, Tari suka pedas t
Happy Reading*****"Jangan bertindak bodoh!" kata Andrian cukup keras, "ingat janin yang ada dalam kandunganmu. Dia bukan cuma anakmu, tapi darah dagingku. Awas saja sampai aku pulang kamu masih belum datang," ancam lelaki itu tak main-main.Nina dan Tari akhirnya mengerti bahwa lelaki itu bukan memarahi mereka. Keduanya bernapas lega. Namun, ada sisi keingintahuan dari sang istri pertama untuk menelisik kemarahan sang suami."Kenapa sama Lita, Mas?" kata Nina sebelum masuk mobil. "Masuk dulu, Bun. Ayah ceritakan nanti." Andrian segera membukakan pintu untuk sang istri. Sementara anak-anak sudah masuk dan duduk anteng di kursi.Sebelum si bos masuk, dia berpamitan secara khusus pada sekretarisnya. "Maaf untuk hari ini, sudah membuatmu terluka dan terima kasih sudah mengajarkan anak-anak ilmu yang sangat bermanfaat. Aku harap kamu nggak akan berhubungan lagi dengan Bramantio. Jangan membuatku terus cemburu dan memikirkan yang enggak-enggak. Aku nggak sanggup, Tar." Tangannya bergera
Happy Reading*****Sekitar lima menit setelah pertengkaran bos dan sekretarisnya. Mereka sampai di depan halaman sebuah restoran yang bertuliskan tutup. Tari mulai curiga bahwa Andrian tengah mempermainkannya saat ini."Bapak mau nipu saya? Kenapa restorannya belum buka, tapi mengatakan kalau kita meeting di tempat ini."Tak menghiraukan perkataan sang sekretaris, Andrian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang mengajaknya ketemuan di tempat itu. "Baiklah, Pak. Saya sudah di halaman. Tolong keluar kalau Anda sudah di dalam." Begitu selesai dengan panggilannya, Andrian menatap Tari. "Kamu dengar sendiri, Tar. Aku nggak bohong. Kita memang ada meeting di sini. Tunggu dan lihat. Sebentar lagi, orangnya bakalan keluar.""Baik," jawab Tari pendek dan singkat.Memang benar ucapan Andrian. Tak berapa lama, ada lelaki tampan yang mungkin usianya di bawah si bos."Pak Andrian?" tanya lelaki itu."Ya, bener," jawab Andrian, "Pak Fahmi, ya?""Mari masuk, Pak. Sudah dari tadi, saya tung
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de