Happy reading
***"Ternyata penampilanmu tidak sama dengan akhlakmu!" Suara perempuan itu menggelegar memenuhi ruangan berukuran 3x3 meter yang ditempati oleh seorang perempuan berjilbab maroon."Maksud Anda apa? Apakah saya punya salah?" jawab perempuan berjilbab dengan ketakutan. Tidak pernah seorang pun yang membentaknya selama ini, bahkan si bos yang terkenal galak sekalipun belum pernah melakukannya."Jelas salah. Apa kamu tahu kalau Pak Andrian itu suamiku?" tambah perempuan yang berpakaian seksi.Perempuan yang sejak tadi diajak bicara itu, hanya diam membisu. Dia berusaha mengingat, siapa sebenarnya wanita yang ada di hadapannya kini. Mengapa sampai menuduhnya bersalah? Tak tahukah wanita itu bahwa dirinya bekerja sebagai sekretaris dari lelaki yang diklaim sebagai suaminya.Beberapa saat, setelah ingatan sang sekretaris kembali tentang siapa wanita itu. barulah kesadarannya kembali. Perempuan yang bersuara keras itu, dulu, adalah kekasih bosnya.Beberapa bulan lalu, dia digadang-gadang akan menjadi istri ke dua Andrian, bos di kantornya sekarang. Namun, mereka sudah menikah atau belum si sekretaris tidak mengetahui dengan pasti.Pertanyaan yang ada di benak sang sekretaris sekarang adalah apa kesalahan yang telah diperbuatnya hingga perempuan itu marah? Selama ini Denada Parmadita Gantari bekerja secara profesional sebagai seorang sekretaris dari Andrian Daylon Valentino.Beberapa waktu sebelum kejadian saat ini. Tari begitu sang sekretaris biasa dipanggil, mengikuti si bos keluar kota karena pekerjaan.Gadis berparas ayu itu terlihat kebingungan mencari seseorang. Matanya menatap awas lalu-lalang orang yang berada di tempat ini. Bulu kuduknya berdiri mengingat perkataan sang ibu. Jika, saja dia tidak mengikuti bosnya ke luar kota, mungkin dia tidak akan menginap di tempat yang terkenal negatif bagi sebagian orang.Jangan masuk ke hotel! Kalau sampai kamu masuk, maka nama baikmu menjadi taruhannya. Itulah nasihat yang pernah disampaikan oleh ibunya Tari.Kepalanya menggeleng, berusaha mengusir ketakutan. 'Aku, hanya kerja di sini. Memenuhi tugasku sebagai seorang sekretaris. Tidak lebih, jadi nama baikku jelas tidak akan tercemar.' Tari bermonolog dengan hatinya.Dari kejauhan seorang lelaki berjalan mendekatinya dan mencolek bahu gadis ayu tadi. "Lho, Tar! Kenapa tidak langsung ke kamar yang nomornya sudah saya kirim?""A-nu, Pak," jawab Tari gagap."Anu, apa? Kebiasaanmu bicara tidak jelas. Ayo ikuti saya! Jangan anu-anu!"Gadis ayu yang bernama Denada Parmadita Gantari itu semakin gemetaran. Terngiang-ngiang nasihat ibunya. Jika, dia menolak ajakan atasannya saat ini, tentu profesionalitasnya sebagai sekretaris dipertaruhkan. Namun, jika dia mengiyakan permintaan si bos, bisa jadi hal-hal tak terduga akan dialami.Ya Allah. Aku berlindung kepada-Mu. Ucap Tari dalam hati.Andrian Daylon Valentino, seorang pengusaha yang terkenal dengan segudang pencapaiannya. Termasuk pencapaian dalam menaklukkan hati perempuan. Semua informasi tentang lelaki yang menjadi bosnya kini sudah banyak diketahui oleh Tari. Namun, dia tidak mempercayai semua itu.Desas-desus tentang skandal dengan banyak wanita pun telah didengar oleh Tari. Seakan tuli dengan semua kebenaran tentang Andrian, Tari masih saja percaya bahwa bosnya itu orang yang baik. Hal ini dipicu oleh perilaku Andrian yang sama sekali tidak menunjukkan kenakalannya sebagai penakluk kaum hawa."Pak, kita ngobrolnya di luar saja, ya," pinta Tari. Andrian menatap tajam padanya."Kenapa? Kamu takut dengan saya?""Bu-kan begitu, Pak, tapi ....""Apa?" Andrian membelalakkan mata disertai suara yang naik satu oktaf. "Kita ini sedang bekerja, bukan bersenang-senang. Saya tahu kamu sudah banyak mendengar hal buruk tentang saya. Cobalah bersikap profesional. Jangan mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Saya bukan lelaki bodoh yang tidak tahu tempat.""Bu-kan begitu, Pak. Saya tidak ...." Tari makin gemetaran, tetapi tetap memberanikan diri mengungkapkan bahwa bukan itu yang menjadi alasan utamanya, meskipun terbata-bata."Sudah! Tidak perlu dilanjut! Semakin lama kamu membahas hal lain, maka semakin lama pula kamu berada di dekat saya. Kamu mau seperti itu?" Andrian mendelik. Dia mencoba meyakinkan sekretarisnya. Suara Andrian membuat Tari ketakutan."Ba-ik, Pak," jawab Tari."Ayo masuk! Jangan bengong saja!" Di kantor, Andrian memang terkenal galak dengan suara yang selalu bernada tinggi. Nyali Tari menciut mendengar perintahnya. "Duduklah di sofa itu!" tunjuknya.Tari membuka berkas-berkas yang dibawanya tadi, dia mulai memeriksa satu per satu. Di depannya, Andrian menatap Tari tanpa kedip. Baru sekali ini ada seorang perempuan yang takut saat diajak masuk hotel olehnya.Andrian tersenyum, sekretaris satu ini memang beda dari karyawan lainnya. Secara fisik dia tidak terlalu cantik, tetapi saat memandangnya ada ketenangan menelusup di hati si bos. Keteduhan serta cara Tari menyikapi pergaulan dengan lawan jenis makin membuat lelaki itu betah menatap wajahnya."Pak, ini berkasnya sudah selesai. Silakan ditandatangani!" kata Tari. "Pak!" panggilnya lebih keras karena Andrian masih terlihat melamun."Iya. Bagaimana, Tar?" Tatapannya masih tertuju pada wajah Tari."Berkasnya sudah saya cek. Bapak tinggal tanda tangan saja." Tari menunduk, risih dengan tatapan mata Andrian."Oh. Mana?" Sebentar saja Andrian sudah menyelesaikannya. "Tar, kamarmu ada di sebelah kamar saya. Ini card lock untuk membuka pintunya. Semua barang bawaanmu juga sudah ada di sana." Tari mengambil kartu yang dipegang Andrian dengan gemetar."Terima kasih, Pak. Saya permisi," ucapnya gemetaran."Tunggu!" panggil Andrian, "masih ada yang kurang di berkas ini." Andrian tersenyum licik.Tari yang sudah akan melangkah keluar mengurungkan niatnya mendengar panggilan sang atasan. Dia melirik jam di pergelangan tangan kanannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Biasanya Tari sudah tertidur pada jam itu."Bagian mana yang kurang, Pak?" tanya Tari.Jarak sang sekretaris yang terlalu dekat dengan Andrian, membuat si bos menghirup aroma parfum pada tubuhnya. Sesuatu bergejolak dalam diri lelaki tersebut. Dia memang tipe pria yang mudah terpancing, jika sudah berhubungan dengan perempuan."Ini, Tar!" tunjuk Andrian pada sebuah laporan yang angkanya memang sedikit meragukan jika dilihat dari jurnal penyesuaian sebelumnya."Pak, ini akan memakan waktu lama untuk saya perbaiki. Bisa tidak kalau besok pagi dikerjakan? Saya janji akan menyelesaikan semuanya.""Tari ... Tari. Satu atau dua jam lagi 'kan selesai?" Suara Andrian melembut, seperti ada kesan candaan di dalamnya."Ya, Pak. Saya akan kerjakan sekarang." Tari melayangkan senyuman tanpa bermaksud apa pun, tetapi reaksi lain terjadi pada Andrian.Andrian mengumpat dalam hati, bisa-bisanya dia berpikiran jorok pada gadis dengan balutan pakaian tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki bahkan tak ada kesan seksi sama sekali. Semakin lama dia mengamati gerak-gerak Tari, semakin gejolak dalam dirinya mengembara. Bayangan Tari yang memakai pakaian tidur minim menari-nari di pelupuk mata. Andrian duduk dengan gelisah di hadapan Tari."Tunggu di sini, Tar! Jangan kembali ke kamarmu sampai saya selesai! Ngerti!""Iya, Pak." Tari tak menghiraukan perkataan Andrian. Dia, hanya melirik ke mana langkah lelaki itu dan ternyata si bos berjalan ke kamar mandi. Tari bernapas lega, setidaknya Andrian tidak meninggalkannya sendirian di kamar hotel ini.Lama gadis berkulit kuning langsat itu menunggu bosnya keluar, tetapi sampai puluhan menit Andrian tak kunjung menyelesaikan hajatnya di kamar mandi. Berkali-kali Tari menguap, berusaha menahan rasa kantuk. Tugas yang diberikan si bos sudah selesai lebih cepat dari perkiraannya tadi. Perlahan dia mengubah posisi duduk, mulai merebahkan kepala pada sandaran sofa. Tanpa dia sadari matanya terpejam.Setelah hampir satu jam Andrian berada di kamar mandi, dia keluar dengan senyum semringah. Wajah Tari yang tertidur dengan polos tertangkap netranya.Andrian mendekati sekretaris ayu itu, ingin rasanya dia sedikit bermain-main dengan bibir merah alami yang terkatup rapat. Sepertinya, seluruh bagian tubuh Tari tak pernah terjamah oleh lelaki. Hasrat si bos untuk mencumbui gadis itu kembali datang.Andrian menggelengkan kepala saat menyadari pikirannya sungguh bejat pada Tari. Namun, tangan kanannya seperti ada yang menggerakkan, mulai menyusuri wajah sang sekretaris kemudian perlahan menyentuh lembut penuh perasaan. Tidak bermaksud apa pun, hanya merasakan kelembutan kulit saja.Tari menggeliat, tetapi matanya masih terpejam. Andrian segera menghentikan sentuhannya, tak ingin gadis itu bangun gara-gara perlakuannya. Andrian mengambil kain tebal di ranjang, lalu menyelimuti pada si gadis. Dia masih menatap lekat sekretarisnya dari tempat duduk di pinggir ranjang.Terbersit rasa kasian jika sampai pagi posisi tidur Tari seperti itu. Ketika dia bangun, badan sekretarisnya akan sakit semua. Tanpa berpikir panjang, Andrian membopong Tari dengan pelan. Tidurnya terlalu nyenyak hingga saat lelaki itu mengangkat, gadis itu masih tetap memejamkan mata.Membetulkan selimut yang dipakaikan pada Tari tadi. Andrian masih betah memandangi wajah teduh sang sekretaris sampai tanpa sadar matanya ikut terpejam.Sinar mentari pagi menelusup dari celah gorden, mengenai wajah Tari. Dia mulai menggeliat, menghindari hangat dan silaunya sinar yang menerpa. Netranya masih terlalu berat untuk dibuka, tetapi sentuhan tangan seseorang pada lengannya memaksa gadis itu untuk segera membuka."Astagfirullah," ucap Tari. Dia memejamkan mata kembali saat melihat Andrian, hanya melilitkan handuk untuk menutupi tubuhnya. Si bos berdiri tepat di hadapannya dengan senyum bahagia."Gak usah kaget. Memangnya kamu belum pernah lihat lelaki bertelanjang dada?" Andrian berkata dengan santai, lalu berjalan ke kamar mandi.Tari meraba tubuhnya sendiri, seperti memastikan sesuatu. "Jangan sampai aku melakukannya dengan Pak Andri," gumamnya.Tari sedikit curiga karena melihat Andrian yang rambutnya basah. Dia menundukkan pandangan, mengamati seluruh tubuhnya. Beruntung semua pakaiannya masih lengkap dan utuh, jilbab pun masih rapi tidak berantakan. Artinya tidak terjadi apa pun semalam dengan mereka berdua. Si gadis pun tersenyum lega. Lalu, Tari menatap bosnya dan berkata, "Pak, bagaimana saya bisa tidur di sini?""Kenapa? Tidur di mana pun nggak masalah, 'kan?" Andrian mendekat pada Tari, dia masih belum mengenakan pakaian atasnya. Namun, sudah memakai celana pendek. Dalam hati ingin mengerjai gadis polos itu."Bukan begitu, Pak." Tari segera turun dari ranjang Andrian dengan cepat dia membuka pintu kamar. Saat itu ada salah satu orang yang sudah menunggu di depan. Bisa jadi, orang tersebut adalah rekan kerja bosnya. Tari tak menghiraukan kehadiran orang tersebut, dia langsung masuk kamar di sebelahnya.Mungkin kejadian itulah yang membuat Tari saat ini didatangi oleh salah satu perempuan Andrian. Sial sekali nasibnya.
Hari-hari setelah kejadian itu berlalu, Tari tetap bekerja seperti biasa. Menjalankan segala aktifitasnya dengan santai walau bisik-bisik negatif dari beberapa orang terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar miring tentang hubungan terlarang antara dirinya dan si bos, Tari tidak tahu.Sedikit risih tentu dirasakan gadis berjilbab itu. Seperti saat ini, dia baru saja datang, tetapi beberapa karyawan di pabrik makanan frozen itu sudah mulai berbisik-bisik."Pagi, Mbak. Sebaiknya segera bekerja sebelum si bos datang. Tidak ingin diberi surat peringatan oleh beliau, kan?" kata Tari memperingatkan mereka. Dia dan karyawan lain sedang mengantri di depan finger print."Duh, sok banget. Mentang-mentang Deket sama si bos main lapor aja. Kayak nggak ada kerjaan lain. Situ nyari muka?" sahut perempuan berambut sedikit kecokelatan."Di kasih tahu malah ngatain yang enggak-enggak. Gimana, sih, Bu," timpal pria yang perutnya buncit. Tari mengenalnya sebagai karyawan bagian divisi pengemasan ba
Setelah berperang dengan kata hatinya, Tari menggelengkan kepala, memberi jawaban tidak pada bosnya."Nggak untuk yang mana, Tar?" Andrian masih terus menikmati bekal yang dibawa sekretarisnya walau peluh sudah membanjiri wajah karena rasa pedas. Namun, kenikmatan makanan yang di bawa sang sekretaris membuatnya ketagihan."Makan siang bareng, Pak. Saya tidak ingin gosip yang beredar tentang kita berdua semakin santer. Nanti, dikira beneran kita ada hubungan. Padahal tidak, 'kan?" Tari nyerocos tanpa peduli Andrian menatapnya heran. Beberapa detik setelah dia berbicara, barulah tersadar dari tatapan aneh si bos."Oh, jadi ini yang membuatmu membawa bekal?""Bukan, Pak!" Kedua tangan Tari bergoyang di hadapan wajahnya."Jika benar kita ada hubungan bagaimana? Apa kamu keberatan? Saya lebih suka jika gosip tentang kita beredar luas, Tar." Andrian tak menghiraukan Tari yang mendelik sebal karena perkataannya. Dia malah sibuk dengan ponsel.Bibir Andrian melengkung ke atas melihat kekesala
Happy Reading***"Lagi ngobrol apa?" tanya Andrian setelah dia kembali dari toilet dan bergabung bersama dua perempuan yang diajak makan siang. Melirik sekilas pada sang sekretaris. "Kamu baik-baik saja, Tar? Kenapa wajahmu menjadi pucat?""Saya baik-baik saja, Pak." Tari duduk dengan gelisah."Segera makan, kamu paling nggak bisa nahan lapar," perintah Andrian ketika pelayan telah meletakkan makanan yang dipesannya tadi. Mengambil piring yang terhidang di depan sang istri, si bos memotong daging steak. Setelah selesai, Andrian menyodorkan kembali pada Nina. "Makanlah, Bun."Nina tersenyum, Andrian memang tak berubah. Walau hadir Nurmalita di tengah pernikahannya. Lelaki itu tetap bersikap manis dan romantis padanya. Hal yang dilakukan Andrian tak luput dari pengamatan Tari.Si sekretaris makin bingung. Pasangan di depannya sangat aneh. Bagaimana bisa, si nyonya besar tetap bersikap ramah dan si bos tetap memperlakukannya dengan sangat manis.Pada beberapa kasus yang terjadi, jika si
Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya."Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu."Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka."Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman."Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat ade
Happy Reading***Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya."Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper