Share

6. Miris

Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya.

"Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu.

"Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka.

"Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman.

"Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat adegan keduanya.

Lita menyenggol lengan Tari, lalu berbisik. "Jangan menggoda suamiku! Awas kalau sampai kamu melakukannya!"

Umpatan keras, Tari teriakkan di hatinya. Siapa yang menggoda? Sejak kapan aku berniat menggoda atasanku sendiri. Harusnya kata itu keluar dari Bu Nina untukmu. Dasar!

Andrian dan Tari menaiki lift berdua setelah Lita menghilang dari pandangan mereka. Di lantai tiga kantor itu, hanya ada tiga ruangan. Dua di antaranya ditempati Tari dan Andrian serta satu ruangan untuk rapat. Gadis itu sengaja membuang muka agar tidak bertatapan dengan atasannya.

"Kenapa wajahmu seperti itu, Tar?" tanya Andrian menyadari ada yang aneh dengan sekretarisnya.

"Kenapa, Pak? Saya biasa saja," jawab Tari malas. Rasa hormat yang dia miliki pada Andrian mendadak musnah.

"Oh, apa karena kamu melihat kami berciuman tadi?" kata Andrian percaya diri. "Wajar kami melakukannya. Saya dan Lita itu sudah menikah. Jadi, nggak masalah, 'kan?" Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, punggungnya disandarkan pada dinding, sedangkan kaki kirinya disilangkan. Andrian berkata dengan santai tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Maaf, saya lancang, Pak. Kemesraan dengan pasangan itu memang wajar dan wajib dilakukan kerena berpahala, tetapi sengaja mempertontonkan hal itu di depan umum merupakan perbuatan mungkar. Apa Bapak tahu tentang hal itu?" Tari menatap Andrian dengan berani.

Tawa Andrian pecah seketika. "Kamu mengatakan ini, nggak sedang dalam keadaan cemburu, 'kan?" Satu kakinya dia gunakan untuk mengunci pergerakan kaki Tari. "Apa kamu juga mau merasakannya? Bagaimana kalau kita sedikit bersenang-senang?"

Tari menutup mukanya dengan kedua tangan. "Jangan sembarangan, Pak! Saya bukanlah Ibu Lita," jeritnya.

"Kenapa dengan Lita?" Tatapan Andrian tajam menghunus keberanian Tari. "Apa ada yang salah dengan dia?"

Tari mendorong tubuh Andrian. "Ya, salah! Pernahkah Anda berpikir? Bagaimana hati Ibu Nina saat melihat Anda bermesraan seperti tadi? Satu hal lagi, jangan samakan saya dengan istri kedua Anda!"

Andri terdiam, seakan mengingat sesuatu. "Shiit!" umpatnya keras, "apa kamu bertemu dengan istri saya?"

Denting suara lif berbunyi, menandakan bahwa tujuan mereka telah sampai. Tari tak menggubris pertanyaan bosnya, dia segera keluar dari dalam kotak persegi itu. Biarlah Andrian mencari jawaban sendiri atas semuanya.

***

Andrian mondar-mandir di ruangannya, berkali-kali dia mencoba menghubungi Nina. Namun, sang istri tak juga mau menjawab panggilannya. Ada ketakutan dalam dirinya, apalagi terngiang perkataan Tari tadi.

Sial ... sial! Mengapa aku melupakan janji untuk menemani Nina makan siang bersama anak-anak.

Hari ini, Andrian memang berjanji pada istri pertamanya untuk makan siang bersama tiga orang anak mereka. Namun, kedatangan Lita yang setengah jam lebih awal dari jadwal makan siang, membuatnya lupa daratan. Pakaian seksi nan menggoda istri keduanya itupun sukses meningkatkan hasrat. Andrian dibuai oleh servis yang begitu memuaskan dari Lita dan dia pun melupakan Nina.

Di luar ruangan Andrian, Nina berjalan dengan sangat pelan. Dia menuju toilet terlebih dahulu sebelum menemui sang suami, jelas terlihat jika riasannya sudah kacau akibat menangis. "Tari?"

"Iya, Bu. Maaf!" Tanpa sengaja Tari menabrak Nina yang sedang merapikan riasannya.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Bu. Sekali lagi, maafkan saya." Suaranya terdengar bergetar.

"Tidak usah takut. Mungkin kamu tadi mengira tidak ada orang."

Tari tertegun memandang Nina. Bagaimana bisa perempuan yang dilihatnya kacau di rooftop tadi sudah kembali biasa saja saat ini.

Sungguh perempuan yang luar biasa, gumam Tari.

"Tar, di ruangan Bapak apa masih ada tamu?" tanya Nina. Seketika raut wajah sang sekretaris berubah.

"Saya kurang tahu, Bu. Silakan menghubungi Pak Andri langsung. Permisi, saya duluan." Tari meninggalkan Nina yang terdiam. Perempuan itu menangkap satu kekecewaan pada sekretaris suaminya.

Tari kenapa? Mengapa dia terlihat ketakutan dan marah? Apa dia melihat perbuatan Andrian dan Lita? Astagfirullah, kasihan Tari. Keterlaluan mereka, dia masih gadis tentu syok melihat adegan seronok seperti itu. Kata Nina dalam hati

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status