Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya.
"Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu.
"Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka.
"Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman.
"Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat adegan keduanya.
Lita menyenggol lengan Tari, lalu berbisik. "Jangan menggoda suamiku! Awas kalau sampai kamu melakukannya!"
Umpatan keras, Tari teriakkan di hatinya. Siapa yang menggoda? Sejak kapan aku berniat menggoda atasanku sendiri. Harusnya kata itu keluar dari Bu Nina untukmu. Dasar!
Andrian dan Tari menaiki lift berdua setelah Lita menghilang dari pandangan mereka. Di lantai tiga kantor itu, hanya ada tiga ruangan. Dua di antaranya ditempati Tari dan Andrian serta satu ruangan untuk rapat. Gadis itu sengaja membuang muka agar tidak bertatapan dengan atasannya.
"Kenapa wajahmu seperti itu, Tar?" tanya Andrian menyadari ada yang aneh dengan sekretarisnya.
"Kenapa, Pak? Saya biasa saja," jawab Tari malas. Rasa hormat yang dia miliki pada Andrian mendadak musnah.
"Oh, apa karena kamu melihat kami berciuman tadi?" kata Andrian percaya diri. "Wajar kami melakukannya. Saya dan Lita itu sudah menikah. Jadi, nggak masalah, 'kan?" Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, punggungnya disandarkan pada dinding, sedangkan kaki kirinya disilangkan. Andrian berkata dengan santai tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Maaf, saya lancang, Pak. Kemesraan dengan pasangan itu memang wajar dan wajib dilakukan kerena berpahala, tetapi sengaja mempertontonkan hal itu di depan umum merupakan perbuatan mungkar. Apa Bapak tahu tentang hal itu?" Tari menatap Andrian dengan berani.
Tawa Andrian pecah seketika. "Kamu mengatakan ini, nggak sedang dalam keadaan cemburu, 'kan?" Satu kakinya dia gunakan untuk mengunci pergerakan kaki Tari. "Apa kamu juga mau merasakannya? Bagaimana kalau kita sedikit bersenang-senang?"
Tari menutup mukanya dengan kedua tangan. "Jangan sembarangan, Pak! Saya bukanlah Ibu Lita," jeritnya.
"Kenapa dengan Lita?" Tatapan Andrian tajam menghunus keberanian Tari. "Apa ada yang salah dengan dia?"
Tari mendorong tubuh Andrian. "Ya, salah! Pernahkah Anda berpikir? Bagaimana hati Ibu Nina saat melihat Anda bermesraan seperti tadi? Satu hal lagi, jangan samakan saya dengan istri kedua Anda!"
Andri terdiam, seakan mengingat sesuatu. "Shiit!" umpatnya keras, "apa kamu bertemu dengan istri saya?"
Denting suara lif berbunyi, menandakan bahwa tujuan mereka telah sampai. Tari tak menggubris pertanyaan bosnya, dia segera keluar dari dalam kotak persegi itu. Biarlah Andrian mencari jawaban sendiri atas semuanya.
***
Andrian mondar-mandir di ruangannya, berkali-kali dia mencoba menghubungi Nina. Namun, sang istri tak juga mau menjawab panggilannya. Ada ketakutan dalam dirinya, apalagi terngiang perkataan Tari tadi.
Sial ... sial! Mengapa aku melupakan janji untuk menemani Nina makan siang bersama anak-anak.
Hari ini, Andrian memang berjanji pada istri pertamanya untuk makan siang bersama tiga orang anak mereka. Namun, kedatangan Lita yang setengah jam lebih awal dari jadwal makan siang, membuatnya lupa daratan. Pakaian seksi nan menggoda istri keduanya itupun sukses meningkatkan hasrat. Andrian dibuai oleh servis yang begitu memuaskan dari Lita dan dia pun melupakan Nina.
Di luar ruangan Andrian, Nina berjalan dengan sangat pelan. Dia menuju toilet terlebih dahulu sebelum menemui sang suami, jelas terlihat jika riasannya sudah kacau akibat menangis. "Tari?"
"Iya, Bu. Maaf!" Tanpa sengaja Tari menabrak Nina yang sedang merapikan riasannya.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Bu. Sekali lagi, maafkan saya." Suaranya terdengar bergetar.
"Tidak usah takut. Mungkin kamu tadi mengira tidak ada orang."
Tari tertegun memandang Nina. Bagaimana bisa perempuan yang dilihatnya kacau di rooftop tadi sudah kembali biasa saja saat ini.
Sungguh perempuan yang luar biasa, gumam Tari.
"Tar, di ruangan Bapak apa masih ada tamu?" tanya Nina. Seketika raut wajah sang sekretaris berubah.
"Saya kurang tahu, Bu. Silakan menghubungi Pak Andri langsung. Permisi, saya duluan." Tari meninggalkan Nina yang terdiam. Perempuan itu menangkap satu kekecewaan pada sekretaris suaminya.
Tari kenapa? Mengapa dia terlihat ketakutan dan marah? Apa dia melihat perbuatan Andrian dan Lita? Astagfirullah, kasihan Tari. Keterlaluan mereka, dia masih gadis tentu syok melihat adegan seronok seperti itu. Kata Nina dalam hati
Happy Reading***Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya."Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper
Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
"Tidak apa-apa, Pak. Sekedar bertanya tentang umur bukanlah masalah yang pribadi." Tari menatap atasannya dengan senyuman. "Umur saya sekarang sudah dua puluh lima tahun, Pak," katanya menjawab pertanyaan Novriyanto."Wah, masih muda ternyata." Binar ketertarikan semakin terpancar pada indera salah satu investor tersebut. "Karena sudah berkumpul semua. Ayo kita santap hidangannya sekarang.""Mari, Pak," sahut Yadi.Makan malam berlangsung dengan keheningan. Walau sesekali, Andrian masih terlihat kesal karena Novriyanti tak henti-hentinya memandang Tari dengan binar ketertarikan. Ingin sekali mencongkel mata lelaki paruh baya itu.'Sudah tua nggak inget umur. Masih saja mupeng lihat gadis cantik.' Gerutu Andrian dalam hati.Dia mengolok-olok Novriyanto dalam hati padahal dirinya sendiri tidak jauh berbeda. Sikap dan perbuatannya jauh dikatakan baik untuk menjadi seorang suami dan juga ayah teladan. Andria masih saja selalu tertarik pada perempuan cantik dan seksi, meskipun sudah memil
Happy Reading*****"Berisik!" kata Andrian. Dia masih memejamkan mata. Enggan sekali untuk membuka. Baru saja lelaki itu terlelap, suara teriakan Tari sudah menggema. Sekretaris itu tak tahu jika si bos mati-matian menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya."Pak, apa yang sudah kita lakukan? Kenapa saya bisa tidur di ranjang bareng Bapak? Astagfirullah," kata Tari masih dengan suara yang cukup keras. Mau tak mau Andrian membuka mata. Melihat ekspresi gadis di sampingnya yang terlihat frustasi serta ketakutan. Terbersit ide jahil untuk mengerjainya. Andrian menatap tajam pada sekretarisnya."Kamu pikir dua orang berbeda jenis kelamin tidur dalam satu ranjang, ngapain?" Sama sekali tak ada senyuman di wajah lelaki itu. Tari melirik keadaan bosnya yang tidak memakai pakaian di bagian atas. Lalu, dia meneliti sekujur tubuhnya. Tak ada hal ganjil. Tari utuh dan tak merasakan sakit di bagian intinya. Keadaan ranjang pun cukup rapi, tidak berantakan sama sekali."Bapak, jangan bohong, ya,"
Happy Reading*****"Gantari?" ucap seseorang yang duduk di kursi paling ujung dari ruang meeting itu.Merasa namanya dipanggil, Tari mendongak. Menyipitkan mata sambil mengingat siapa lelaki yang menyebutkan nama belakangnya tadi. Namun, ingatannya tak juga terurai. Siapa lelaki itu."Apa Anda mengenalnya, Pak Riki?" tanya Yadi memutus semua pikiran orang yang ada di ruangan itu."Ya, saya mengenalnya. Sepertinya, Gantari lupa," jawab lelaki berkulit kuning langsat itu. "Silakan duduk, Pak."Andrian, Tari, Yadi serta asisten dari lelaki itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Riki mengedipkan mata pada sang asisten dan dengan sigap perempuan itu berdiri dan keluar ruangan."Benar kamu nggak inget pernah kenal sama Pak Riki," tanya Andrian lirih, nyaris berbisik pada sekretarisnya."Bisa kita mulai presentasinya sekarang, Pak?" tanya Riki memutus obrolan antara Andrian dan Tari. Lelaki itu sangat tidak suka jika masalah pribadi dicampur dengan masalah kerjaan. Walau dalam hati sang
Happy Reading*****Tari melihat perubahan wajah dari atasannya. "Apa ada masalah, Pak."Sungguh, dia tidak berniat mencari perhatian. Hanya sebatas rasa khawatir sebagai bawahan pada atasannya saja. Andrian sudah begitu baik dengan memotongkan daging steak untuknya. Apalagi, di kota Purwokerto ini, mereka cuma berdua. Jauh dari keluarga yang akan selalu siap membantu ketika mengalami masalah."Nggak ada masalah serius. Cuma sedikit kaget saja. Nanti sampai hotel aku ceritakan." Andrian beralih menatap Riki. "Gimana dengan berkas kerja sama kita, Pak. Apa sudah bisa ditandatangani?"Riki menyadari perubahan suasana hati Andrian setelah menatap ponselnya tadi. Sepertinya memang ada sesuatu yang telah terjadi, begitu pikiran pengusaha muda itu. Riki lantas menatap asistennya."Berkasnya sudah siap semua, Pak. Tinggal tanda tangan saja kalau sudah sampai kantor." "Baiklah, mari kita selesaikan kerja sama ini karena ada pekerjaan lain yang sudah menunggu saya," kata Andrian.Di samping l