Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya.
"Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu.
"Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka.
"Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman.
"Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat adegan keduanya.
Lita menyenggol lengan Tari, lalu berbisik. "Jangan menggoda suamiku! Awas kalau sampai kamu melakukannya!"
Umpatan keras, Tari teriakkan di hatinya. Siapa yang menggoda? Sejak kapan aku berniat menggoda atasanku sendiri. Harusnya kata itu keluar dari Bu Nina untukmu. Dasar!
Andrian dan Tari menaiki lift berdua setelah Lita menghilang dari pandangan mereka. Di lantai tiga kantor itu, hanya ada tiga ruangan. Dua di antaranya ditempati Tari dan Andrian serta satu ruangan untuk rapat. Gadis itu sengaja membuang muka agar tidak bertatapan dengan atasannya.
"Kenapa wajahmu seperti itu, Tar?" tanya Andrian menyadari ada yang aneh dengan sekretarisnya.
"Kenapa, Pak? Saya biasa saja," jawab Tari malas. Rasa hormat yang dia miliki pada Andrian mendadak musnah.
"Oh, apa karena kamu melihat kami berciuman tadi?" kata Andrian percaya diri. "Wajar kami melakukannya. Saya dan Lita itu sudah menikah. Jadi, nggak masalah, 'kan?" Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, punggungnya disandarkan pada dinding, sedangkan kaki kirinya disilangkan. Andrian berkata dengan santai tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Maaf, saya lancang, Pak. Kemesraan dengan pasangan itu memang wajar dan wajib dilakukan kerena berpahala, tetapi sengaja mempertontonkan hal itu di depan umum merupakan perbuatan mungkar. Apa Bapak tahu tentang hal itu?" Tari menatap Andrian dengan berani.
Tawa Andrian pecah seketika. "Kamu mengatakan ini, nggak sedang dalam keadaan cemburu, 'kan?" Satu kakinya dia gunakan untuk mengunci pergerakan kaki Tari. "Apa kamu juga mau merasakannya? Bagaimana kalau kita sedikit bersenang-senang?"
Tari menutup mukanya dengan kedua tangan. "Jangan sembarangan, Pak! Saya bukanlah Ibu Lita," jeritnya.
"Kenapa dengan Lita?" Tatapan Andrian tajam menghunus keberanian Tari. "Apa ada yang salah dengan dia?"
Tari mendorong tubuh Andrian. "Ya, salah! Pernahkah Anda berpikir? Bagaimana hati Ibu Nina saat melihat Anda bermesraan seperti tadi? Satu hal lagi, jangan samakan saya dengan istri kedua Anda!"
Andri terdiam, seakan mengingat sesuatu. "Shiit!" umpatnya keras, "apa kamu bertemu dengan istri saya?"
Denting suara lif berbunyi, menandakan bahwa tujuan mereka telah sampai. Tari tak menggubris pertanyaan bosnya, dia segera keluar dari dalam kotak persegi itu. Biarlah Andrian mencari jawaban sendiri atas semuanya.
***
Andrian mondar-mandir di ruangannya, berkali-kali dia mencoba menghubungi Nina. Namun, sang istri tak juga mau menjawab panggilannya. Ada ketakutan dalam dirinya, apalagi terngiang perkataan Tari tadi.
Sial ... sial! Mengapa aku melupakan janji untuk menemani Nina makan siang bersama anak-anak.
Hari ini, Andrian memang berjanji pada istri pertamanya untuk makan siang bersama tiga orang anak mereka. Namun, kedatangan Lita yang setengah jam lebih awal dari jadwal makan siang, membuatnya lupa daratan. Pakaian seksi nan menggoda istri keduanya itupun sukses meningkatkan hasrat. Andrian dibuai oleh servis yang begitu memuaskan dari Lita dan dia pun melupakan Nina.
Di luar ruangan Andrian, Nina berjalan dengan sangat pelan. Dia menuju toilet terlebih dahulu sebelum menemui sang suami, jelas terlihat jika riasannya sudah kacau akibat menangis. "Tari?"
"Iya, Bu. Maaf!" Tanpa sengaja Tari menabrak Nina yang sedang merapikan riasannya.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Bu. Sekali lagi, maafkan saya." Suaranya terdengar bergetar.
"Tidak usah takut. Mungkin kamu tadi mengira tidak ada orang."
Tari tertegun memandang Nina. Bagaimana bisa perempuan yang dilihatnya kacau di rooftop tadi sudah kembali biasa saja saat ini.
Sungguh perempuan yang luar biasa, gumam Tari.
"Tar, di ruangan Bapak apa masih ada tamu?" tanya Nina. Seketika raut wajah sang sekretaris berubah.
"Saya kurang tahu, Bu. Silakan menghubungi Pak Andri langsung. Permisi, saya duluan." Tari meninggalkan Nina yang terdiam. Perempuan itu menangkap satu kekecewaan pada sekretaris suaminya.
Tari kenapa? Mengapa dia terlihat ketakutan dan marah? Apa dia melihat perbuatan Andrian dan Lita? Astagfirullah, kasihan Tari. Keterlaluan mereka, dia masih gadis tentu syok melihat adegan seronok seperti itu. Kata Nina dalam hati
Happy Reading***Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya."Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper
Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
"Tidak apa-apa, Pak. Sekedar bertanya tentang umur bukanlah masalah yang pribadi." Tari menatap atasannya dengan senyuman. "Umur saya sekarang sudah dua puluh lima tahun, Pak," katanya menjawab pertanyaan Novriyanto."Wah, masih muda ternyata." Binar ketertarikan semakin terpancar pada indera salah satu investor tersebut. "Karena sudah berkumpul semua. Ayo kita santap hidangannya sekarang.""Mari, Pak," sahut Yadi.Makan malam berlangsung dengan keheningan. Walau sesekali, Andrian masih terlihat kesal karena Novriyanti tak henti-hentinya memandang Tari dengan binar ketertarikan. Ingin sekali mencongkel mata lelaki paruh baya itu.'Sudah tua nggak inget umur. Masih saja mupeng lihat gadis cantik.' Gerutu Andrian dalam hati.Dia mengolok-olok Novriyanto dalam hati padahal dirinya sendiri tidak jauh berbeda. Sikap dan perbuatannya jauh dikatakan baik untuk menjadi seorang suami dan juga ayah teladan. Andria masih saja selalu tertarik pada perempuan cantik dan seksi, meskipun sudah memil
Happy Reading*****"Berisik!" kata Andrian. Dia masih memejamkan mata. Enggan sekali untuk membuka. Baru saja lelaki itu terlelap, suara teriakan Tari sudah menggema. Sekretaris itu tak tahu jika si bos mati-matian menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya."Pak, apa yang sudah kita lakukan? Kenapa saya bisa tidur di ranjang bareng Bapak? Astagfirullah," kata Tari masih dengan suara yang cukup keras. Mau tak mau Andrian membuka mata. Melihat ekspresi gadis di sampingnya yang terlihat frustasi serta ketakutan. Terbersit ide jahil untuk mengerjainya. Andrian menatap tajam pada sekretarisnya."Kamu pikir dua orang berbeda jenis kelamin tidur dalam satu ranjang, ngapain?" Sama sekali tak ada senyuman di wajah lelaki itu. Tari melirik keadaan bosnya yang tidak memakai pakaian di bagian atas. Lalu, dia meneliti sekujur tubuhnya. Tak ada hal ganjil. Tari utuh dan tak merasakan sakit di bagian intinya. Keadaan ranjang pun cukup rapi, tidak berantakan sama sekali."Bapak, jangan bohong, ya,"
Happy Reading*****"Gantari?" ucap seseorang yang duduk di kursi paling ujung dari ruang meeting itu.Merasa namanya dipanggil, Tari mendongak. Menyipitkan mata sambil mengingat siapa lelaki yang menyebutkan nama belakangnya tadi. Namun, ingatannya tak juga terurai. Siapa lelaki itu."Apa Anda mengenalnya, Pak Riki?" tanya Yadi memutus semua pikiran orang yang ada di ruangan itu."Ya, saya mengenalnya. Sepertinya, Gantari lupa," jawab lelaki berkulit kuning langsat itu. "Silakan duduk, Pak."Andrian, Tari, Yadi serta asisten dari lelaki itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Riki mengedipkan mata pada sang asisten dan dengan sigap perempuan itu berdiri dan keluar ruangan."Benar kamu nggak inget pernah kenal sama Pak Riki," tanya Andrian lirih, nyaris berbisik pada sekretarisnya."Bisa kita mulai presentasinya sekarang, Pak?" tanya Riki memutus obrolan antara Andrian dan Tari. Lelaki itu sangat tidak suka jika masalah pribadi dicampur dengan masalah kerjaan. Walau dalam hati sang
Happy Reading*****Tari melihat perubahan wajah dari atasannya. "Apa ada masalah, Pak."Sungguh, dia tidak berniat mencari perhatian. Hanya sebatas rasa khawatir sebagai bawahan pada atasannya saja. Andrian sudah begitu baik dengan memotongkan daging steak untuknya. Apalagi, di kota Purwokerto ini, mereka cuma berdua. Jauh dari keluarga yang akan selalu siap membantu ketika mengalami masalah."Nggak ada masalah serius. Cuma sedikit kaget saja. Nanti sampai hotel aku ceritakan." Andrian beralih menatap Riki. "Gimana dengan berkas kerja sama kita, Pak. Apa sudah bisa ditandatangani?"Riki menyadari perubahan suasana hati Andrian setelah menatap ponselnya tadi. Sepertinya memang ada sesuatu yang telah terjadi, begitu pikiran pengusaha muda itu. Riki lantas menatap asistennya."Berkasnya sudah siap semua, Pak. Tinggal tanda tangan saja kalau sudah sampai kantor." "Baiklah, mari kita selesaikan kerja sama ini karena ada pekerjaan lain yang sudah menunggu saya," kata Andrian.Di samping l
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de