Happy Reading
***
Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.
Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.
Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya.
"Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.
Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Berbagai macam rasa meraup-raup di dalam hatinya antara takut, benci serta harus melaksanakan kewajiban sebagai karyawan.
Bayangan saat dia harus menginap di hotel yang sama dengan si bos terlintas. Tari mulai bergidik, jika sampai terjadi lagi dan lelaki itu tidak bisa mengontrol dirinya. Maka, bahaya akan mengancam diri sang sekretaris.
"Saya harap kamu nggak menolak! Ini sudah menjadi tugas sebagai seorang sekretaris. Mengerti?" Andrian mendahului Tari menuju lift. Namun, saat semakin mendekati ruangan persegi itu dan langkah si gadis tak terdengar, si bos menengok ke belakang. "Kamu nggak turun?" tanyanya saat melihat sang sekretaris masih terdiam.
Tari bergeming di tempat berdiri, belum mengunci pintu dan enggan sekali turun bersama si bos. Dia sengaja menunggu agar Andrian turun terlebih dulu. Sejak kejadian waktu itu dirinya berusaha menjauhi sang atasan.
Tari tidak lagi bisa bersikap ramah ataupun hormat dengan lelaki seperti atasannya. Wajah si bos tampak marah. Andrian langsung menekan tombol lift untuk segera turun. Beberapa saat menunggu, Tari meninggalkan kantor dengan lift berbeda.
Ketika sudah berada di lantai dasar seseorang menyapa dan berkata.
"Tar, tunggu!" panggil seseorang itu, "ada waktu untuk ngobrol?"
Tari tersenyum dan mengangguk. "Ada apa, Pak?" Dia sengaja duduk di sofa depan resepsionis.
"Jangan ngobrol di sini! Bagaimana kalau kita ke kafe yang dekat dengan kantor? Kamu bawa motor, 'kan?" Si lelaki tampak antusias. Wajahnya begitu semringah ketika melihat senyuman Tari.
Bisik-bisik dari rekan kerja, terdengar oleh Tari.
"Ih, Pak Tio. Dia itu buta apa goblok, sih? Apa beliau gak dengar gosip tentang affair Tari dan Pak Andrian? Lagaknya aja alim, dalamnya busuk juga ternyata." Mereka melirik sinis pada Tari, tak peduli orang yang digunjing akan mendengarnya.
Bahkan tanpa sungkan mereka mengatakan lelaki itu goblok. Tak ada lagi kata sungkan pada sang atasan. Padahal jika mau, lelaki itu bisa memberikan mereka surat peringatan atas perkataan buruk tadi. Namun, nyatanya si lelaki tidak melakukan hal itu.
Tari melihat ke arah Bramantio Dirgantara, seorang manager HRD di perusahaan itu. Pada usia yang terbilang masih muda, dia sudah diberi jabatan dengan tanggung jawab yang cukup berat. Tari mengenal si lelaki sejak masih bekerja di perusahaan lama.
Tio merupakan salah satu putra pemilik biro perjalanan haji dan umroh. Namun, entah mengapa lelaki itu tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. Dia malah bekerja pada perusahaan milik Andrian.
"Bapak tidak malu ngajak saya ngobrol setelah mendengar perkataan mereka tadi?" Tari berjalan keluar terlebih dahulu. Berusaha menghindari gunjingan karyawan lain. Jam pulang seperti ini, semua orang saling berebut untuk keluar dari tempat kerja.
"Mengapa aku harus malu? Kamu juga bukan orang yang seperti mereka katakan tadi. Aku mengenalmu jauh sebelum berada di sini, apalagi kamu sempat menjadi karyawan ayah selama setahun. So, bagaimana mungkin aku akan terpengaruh ucapan mereka? Biarlah mereka menganggapku bodoh, itu tidak masalah." Tio menyejajarkan langkahnya dengan Tari. Masih berusaha agar si gadis mau menerima ajakannya tadi.
"Gimana, kamu mau kan ngobrol di tempat lain bersamaku?"
Tari berbalik dan mengangguk sebagai jawaban kesediannya. Sampai di parkiran, Tari segera mengambil motor. "Duluan saja, Pak. Nanti saya ikuti dari belakang."
"Bagaimana kalau kamu naik mobilku saja? Motormu taruh saja di sini!" pinta Tio.
"Tidak perlu, Pak. Nanti malah merepotkan dan menimbulkan fitnah lagi bagi saya."
"Oke kalau gitu. Aku jalan duluan, ya?" Tari mengangguk. Dia menunggu mobil Tio keluar area parkir.
Sebentar saja, mereka sudah sampai di kafe yang dituju. Obrolan makin seru saat Tio menanyakan kabar yang berembus tentang Tari dengan atasannya sekaligus owner perusahaan. Sebelum gadis itu menjawab, pesanan mereka datang. Jadi, Tari masih punya kesempatan untuk menjelaskannya nanti.
"Jadi bagaimana yang sebenarnya, Tar? Aku tidak ingin mengikuti arus dengan berprasangka kepadamu. Jika, memang kamu tidak memiliki hubungan dengan beliau, maka kesempatan itu akan terbuka lebar untukku." tanya sang manajer HRD setelah pelayan pergi meninggalkan mereka berdua. Tio sengaja menyamarkan keinginan hatinya untuk memiliki Tari.
"Maksudnya bagaimana, Pak?" Bagi gadis itu, kalimat terakhir dari perkataan Tio terasa ambigu. Tak ingin menduga-duga bahwa lelaki di depannya ini tertarik dan memiliki rasa lebih selain hubungan antara atasan dan bawahan.
"Kalimat yang mana?" tanya Tio, "jangan panggil, Pak! Ini sudah bukan jam kantor, lagian kita seumuran. Berasa tua aku."
"Kalimat terakhir Bapak tadi." Tari menutup mulutnya saat Tio memelototkan mata. "Saya harus panggil apa?" tanyanya setelah menyadari kekeliruan yang dibuat.
"Apa aja boleh. Misal panggil nama bagaimana?" Tio menyeruput jus jeruk dihadapannya. Mengatakan keinginan di hati pada seorang perempuan itu membuat kerongkongannya kering. Apalagi belum secara gamblang dia mengatakan apa yang ada di hati sepenuhnya kepada si gadis.
"Jangan! Rasanya terdengar tidak sopan, jika memanggil nama saja." Tari menggeleng tak setuju. Sebagian orang Jawa memang agak saru ketika memanggil nama pada seseorang yang dihormati atau atasan.
"Gimana kalau kamu manggil aku sayang saja," goda Tio mengungkapkan keinginan hatinya. Namun, tatapan tajam dari Tari menyurutkan niatnya. "Panggil Mas saja, deh. Kayaknya keberatan."
"Oke, panggil Mas saja, ya. Saya akan menceritakan yang sejujurnya tentang pertanyaan, Bapak sebelumnya, eh, maksudnya Mas," ucap Tari, "saya dan Pak Andrian tidak ada hubungan apa pun seperti yang diberitakan. Saya yakin, kabar itu bermula setelah saya dan beliau pergi keluar kota waktu itu. Entah siapa yang menyebarkan gosip pertama kali. Saya sendiri bingung. Pasalnya, kami berdua memang tidak melakukan apa pun dan kepergian tersebut murni karena perkejaan."
Tio manggut-manggut. Lalu, berkata, "Sabar, aku percaya kamu tidak akan melakukannya. Menurutku wajar kalian sering terlihat berdua dan memang tugas seorang sekretaris harus selalu bersama seorang direktur, 'kan? Lalu, salahnya di mana. Jika pekerjaan yang kalian kerjakan dinilai sebagai affair, ya, nggak masuk akal banget."
"Terima kasih, Mas. Sudah mempercayai saya, tapi karyawan yang lain tidak berpikiran seperti itu. Saya tetap dianggap memiliki hubungan selain pekerjaan dengan Pak Andri."
Obrolan mereka terhenti saat Tari menerima panggilan dari ibunya. Dia segera pamit pada Tio untuk pulang terlebih dahulu. Belum sempat Tio mengutarakan maksudnya mengajak gadis itu, dia sudah pergi.
"Sabar, masih ada besok untuk mengungkapkan isi hati. Setidaknya, aku sudah tahu bagaimana perasaan Tari pada Pak Andri," kata Tio lirih setelah si gadis meninggalkan mejanya.
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper
Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
"Tidak apa-apa, Pak. Sekedar bertanya tentang umur bukanlah masalah yang pribadi." Tari menatap atasannya dengan senyuman. "Umur saya sekarang sudah dua puluh lima tahun, Pak," katanya menjawab pertanyaan Novriyanto."Wah, masih muda ternyata." Binar ketertarikan semakin terpancar pada indera salah satu investor tersebut. "Karena sudah berkumpul semua. Ayo kita santap hidangannya sekarang.""Mari, Pak," sahut Yadi.Makan malam berlangsung dengan keheningan. Walau sesekali, Andrian masih terlihat kesal karena Novriyanti tak henti-hentinya memandang Tari dengan binar ketertarikan. Ingin sekali mencongkel mata lelaki paruh baya itu.'Sudah tua nggak inget umur. Masih saja mupeng lihat gadis cantik.' Gerutu Andrian dalam hati.Dia mengolok-olok Novriyanto dalam hati padahal dirinya sendiri tidak jauh berbeda. Sikap dan perbuatannya jauh dikatakan baik untuk menjadi seorang suami dan juga ayah teladan. Andria masih saja selalu tertarik pada perempuan cantik dan seksi, meskipun sudah memil
Happy Reading*****"Berisik!" kata Andrian. Dia masih memejamkan mata. Enggan sekali untuk membuka. Baru saja lelaki itu terlelap, suara teriakan Tari sudah menggema. Sekretaris itu tak tahu jika si bos mati-matian menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya."Pak, apa yang sudah kita lakukan? Kenapa saya bisa tidur di ranjang bareng Bapak? Astagfirullah," kata Tari masih dengan suara yang cukup keras. Mau tak mau Andrian membuka mata. Melihat ekspresi gadis di sampingnya yang terlihat frustasi serta ketakutan. Terbersit ide jahil untuk mengerjainya. Andrian menatap tajam pada sekretarisnya."Kamu pikir dua orang berbeda jenis kelamin tidur dalam satu ranjang, ngapain?" Sama sekali tak ada senyuman di wajah lelaki itu. Tari melirik keadaan bosnya yang tidak memakai pakaian di bagian atas. Lalu, dia meneliti sekujur tubuhnya. Tak ada hal ganjil. Tari utuh dan tak merasakan sakit di bagian intinya. Keadaan ranjang pun cukup rapi, tidak berantakan sama sekali."Bapak, jangan bohong, ya,"
Happy Reading*****"Gantari?" ucap seseorang yang duduk di kursi paling ujung dari ruang meeting itu.Merasa namanya dipanggil, Tari mendongak. Menyipitkan mata sambil mengingat siapa lelaki yang menyebutkan nama belakangnya tadi. Namun, ingatannya tak juga terurai. Siapa lelaki itu."Apa Anda mengenalnya, Pak Riki?" tanya Yadi memutus semua pikiran orang yang ada di ruangan itu."Ya, saya mengenalnya. Sepertinya, Gantari lupa," jawab lelaki berkulit kuning langsat itu. "Silakan duduk, Pak."Andrian, Tari, Yadi serta asisten dari lelaki itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Riki mengedipkan mata pada sang asisten dan dengan sigap perempuan itu berdiri dan keluar ruangan."Benar kamu nggak inget pernah kenal sama Pak Riki," tanya Andrian lirih, nyaris berbisik pada sekretarisnya."Bisa kita mulai presentasinya sekarang, Pak?" tanya Riki memutus obrolan antara Andrian dan Tari. Lelaki itu sangat tidak suka jika masalah pribadi dicampur dengan masalah kerjaan. Walau dalam hati sang
Happy Reading*****Tari melihat perubahan wajah dari atasannya. "Apa ada masalah, Pak."Sungguh, dia tidak berniat mencari perhatian. Hanya sebatas rasa khawatir sebagai bawahan pada atasannya saja. Andrian sudah begitu baik dengan memotongkan daging steak untuknya. Apalagi, di kota Purwokerto ini, mereka cuma berdua. Jauh dari keluarga yang akan selalu siap membantu ketika mengalami masalah."Nggak ada masalah serius. Cuma sedikit kaget saja. Nanti sampai hotel aku ceritakan." Andrian beralih menatap Riki. "Gimana dengan berkas kerja sama kita, Pak. Apa sudah bisa ditandatangani?"Riki menyadari perubahan suasana hati Andrian setelah menatap ponselnya tadi. Sepertinya memang ada sesuatu yang telah terjadi, begitu pikiran pengusaha muda itu. Riki lantas menatap asistennya."Berkasnya sudah siap semua, Pak. Tinggal tanda tangan saja kalau sudah sampai kantor." "Baiklah, mari kita selesaikan kerja sama ini karena ada pekerjaan lain yang sudah menunggu saya," kata Andrian.Di samping l
Happy Reading*****"Tar, apa yang terjadi dengan Bapak?" Nina mulai panik. Namun, si sekretaris belum juga menjawab pertanyaannya.Buru-buru Andrian mematikan sambungan video dengan istri mudanya. Lalu, berbalik menatap kepada sekretarisnya. "Apa, sih, Tar. Teriak-teriak nggak ada sopannya.""Bu Nina telpon. Dari tadi menghubungi ponsel Bapak, sibuk terus." Tari menyerahkan ponsel miliknya dan menjauhi lelaki itu. Sudah dua kali, dia melihat adegan sepasang suami istri itu yang tidak pada tempatnya. Oke, mereka memang sudah halal untuk urusan ranjang dan mesra-mesraan, tetapi tidak harus mengumbarnya seperti itu. Tari menghentakkan kakinya, berjalan menjauh dari si bos.Gemuruh di hatinya masih saja kuat, Tari mengambil minum untuk meredakan keterkejutannya. Setelah itu, dia duduk dan memijit pelipisnya. Kepalanya mulai berdenyut. Tidur yang kurang serta adegan yang dilihatnya tadi sungguh membuatnya pusing.Baru memejamkan mata, suara Andrian terdengar. "Nih, HP-mu. Lain kali, pang