Share

8. Hinakah Aku?

Happy Reading

******

"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.

Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang.

"Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu.

"Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya.

"Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang.

"Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi hati Ayah melebihi diriku sendiri. Menurut Bunda, apa perasaan ini bisa disebut cinta?" Andrian memeluk pinggang istrinya. Dia mulai mengendus aroma tubuh perempuan yang telah memberikannya tiga orang anak.

"Kita tidur sekarang, yuk! Besok aku harus berangkat ke Purwokerto, jadi malam ini ...." Andrian mengerlingkan sebelah matanya. Sengaja memberikan kode agar istrinya memenuhi kebutuhan satu itu.

"Jangan genit, deh! Ayah sudah pamit sama Lita? Jangan sampai dia salah paham lagi! Nanti dikira Bunda nahan-nahan Ayah di sini," ucap Nina, "malam ini kan giliran Ayah nginep di tempat Lita."

"Biarin, ah! Dia sendiri sering nahan-nahan Ayah supaya nggak pulang ke rumah ini. Padahal tahu bahwa jatah Ayah nginep dan berduaan sama Bunda," kata Andiran enteng.

"Ayah sudah pamit kalau mau ke Purwokerto?"

"Besok saja pamitnya pas sudah sampai. Biar Ayah hubungi dia langsung kalau pamit sekarang, Lita suka ribet. Biarkan malam ini menjadi milik kita berdua. Anak-anak sudah tidur, 'kan?" Nina mengangguk patuh pada ajakan suaminya.

Malam itu menjadi malam panas bagi pasangan suami istri tersebut. Nina berhasil membuat suaminya puas dengan servis yang diberikan. Perempuan itupun merasa bahagia karena Andrian memuji setelah penyatuan mereka.

***

Sang surya baru menyapa kekasihnya saat supir suruhan Andrian datang menjemput Tari di tempat kos. Oleh karena mendengar ketukan pintu, maka gadis itu membukanya.

"Pak tunggu sebentar! Saya belum mempersiapkan diri. Duduk saja dulu." Tari menunjuk kursi di depan kamar kosnya.

"Baik, Mbak. Jangan lama-lama, ya!"

Tari segera masuk dan bersiap. Ada rasa enggan untuk mengikuti perintah Andrian kemarin. Namun, saat teringat watak atasannya, dia dengan cepat menyiapkan semua. Tak sampai sepuluh menit, gadis itu sudah keluar kamar.

Sesampainya di rumah Andrian, Tari sudah disambut oleh Nina. Rasa kagum benar-benar diapresiasikan oleh gadis itu untuk istri pertama atasannya. Bagaimana bisa Andrian menelepon Lita dengan mesra saat ada Nina di sebelahnya. Seolah-olah keberadaan perempuan yang telah memberikan si bos anak, tak pernah tampak.

"Bun, kami berangkat dulu," pamit Andrian sedetik setelah layar ponselnya mati.

"Hati-hati, Sayang." Seperti kebanyakan pasangan suami istri saat berpamitan, mereka pun melakukannya. Andrian mencium kening Nina setelah perempuan itu mencium punggung tangannya.

Delapan jam mereka menempuh perjalanan dari Surabaya ke Purwokerto. Sekali saja mereka beristirahat di rest area, Andrian memang tidak membawa sopir untuk perjalanannya kali ini. Dia ingin menikmati waktu, hanya berdua dengan Tari. Tepat pukul tiga sore, mereka sampai di sebuah hotel.

"Kita istirahat di hotel ini saja, Tar. Jaraknya nggak terlalu jauh dari lokasi yang akan kita tinjau. Pak Yadi juga sudah reserved dua kamar di hotel ini." Andri bersiap untuk turun dari mobil.

Kejadian beberapa waktu lalu masih membekas dalam diri Tari. Kaki dan tangannya mulai terasa dingin saat akan keluar. "Iya, Pak."

"Mukamu pucat sekali. Apa kamu sakit?"

"Ti-dak, Pak." Tari mulai tergagap.

"Tar, jawab dengan jujur! Apa kamu fobia menginap di hotel?" Andri memegang tangan Tari. Dia menjadi khawatir dengan sekretarisnya itu. Tangan si gadis terasa dingin sekali. "Kalau kamu memang takut menginap di sini, saya akan meminta Pak Yadi untuk mencarikan rumah yang bisa kita sewa. Bagaimana?"

"Tidak perlu, Pak. Saya tidak apa-apa." Tari berusaha melepaskan pegangan tangan sang atasan.

Sesampainya di lobi hotel, Andrian melihat rekan kerjanya, Yadi. Dia melambaikan tangan, lalu mendekat. "Apa kabar, Yad?" Mereka berpelukan.

"Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan sangat bersemangat menyambut kedatanganmu." Yadi berbisik pada Andrian. "Siapa dia? Gebetan barumu? Seleranya sudah berubah sekarang, kok, nyari yang pake pakaian tertutup?"

Andrian memukul lengan Yadi. "Jaga ucapanmu! Dia berbeda dari cewek-cewek yang pernah aku bawa."

"Wah, hebat! Makin penasaran, bagaimana kelanjutannya nanti." Tawa Yadi menggema. "Sepertinya semesta mendukungmu, Ndri. Sejak kemarin kamar di hotel ini penuh dan tadi pagi saat aku memesan lagi, tinggal satu kamar yang kosong."

"Yakin kamu?" tanya Andrian. Yadi pun mengangguk.

"Kalian istirahatlah dulu! Jam lima nanti kita akan bertemu dengan investor baru. Aku tinggal, ya?"

"Oke, terima kasih, Yad." Andrian menepuk bahu Yadi sebagai salam perpisahan.

Andrian mengajak Tari ke kamar yang telah dipesan, sebelumnya dia meminta tambahan bed untuk mereka. Namun, pihak hotel tidak meloloskan permintaannya. Tari, hanya mengikuti langkah sang atasan tanpa bertanya apa pun lagi.

Aroma lavender menyeruak ketika pintu kamar di buka. Menenangkan hati Tari yang sedari tadi ketakutan.

"Terima kasih, Pak." Andrian berkata pada salah satu pegawai hotel, dia juga menyerahkan selembar uang berwarna biru pada pria itu.

"Pak, kamar saya di mana?" tanya Tari.

"Di sini. Kita berdua satu kamar kali ini." Andrian melenggang ke kamar mandi.

Tari terduduk lemas di sebuah sofa tunggal. Angannya melayang tak jelas, rasa lelah hilang seketika. Dari arah kamar mandi Andrian melihat kegelisahan Tari.

"Tenanglah! Kita, hanya menginap dua hari dan saya janji kamu akan aman sampai kita pulang nanti."

"Saya pegang janji, Bapak. Jangan melakukan sesuatu di luar batas hubungan antara atasan dan bawahan! Ingat perkataan saya tempo hari? Saya bukanlah Ibu Lita."

Andrian menatap tidak suka pada Tari. "Perjelas perkataanmu! Kalau nggak ...." Dia sudah mencengkeram erat pergelangan tangan gadis itu. Wajahnya mendekat dengan pupil mata yang melebar.

"Saya bukan selingkuhan Bapak! Jadi, jangan perlakukan saya sama sepertinya!" Setengah berteriak Tari mengungkapkan semua kekesalan hatinya.

Andrian mundur hingga terduduk di pinggiran ranjang. "Begitu hinakah aku di matamu, Tar? Apa salah, jika aku memiliki keinginan bercinta yang lebih besar dari rata-rata kaumku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status