Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
"Tidak apa-apa, Pak. Sekedar bertanya tentang umur bukanlah masalah yang pribadi." Tari menatap atasannya dengan senyuman. "Umur saya sekarang sudah dua puluh lima tahun, Pak," katanya menjawab pertanyaan Novriyanto."Wah, masih muda ternyata." Binar ketertarikan semakin terpancar pada indera salah satu investor tersebut. "Karena sudah berkumpul semua. Ayo kita santap hidangannya sekarang.""Mari, Pak," sahut Yadi.Makan malam berlangsung dengan keheningan. Walau sesekali, Andrian masih terlihat kesal karena Novriyanti tak henti-hentinya memandang Tari dengan binar ketertarikan. Ingin sekali mencongkel mata lelaki paruh baya itu.'Sudah tua nggak inget umur. Masih saja mupeng lihat gadis cantik.' Gerutu Andrian dalam hati.Dia mengolok-olok Novriyanto dalam hati padahal dirinya sendiri tidak jauh berbeda. Sikap dan perbuatannya jauh dikatakan baik untuk menjadi seorang suami dan juga ayah teladan. Andria masih saja selalu tertarik pada perempuan cantik dan seksi, meskipun sudah memil
Happy Reading*****"Berisik!" kata Andrian. Dia masih memejamkan mata. Enggan sekali untuk membuka. Baru saja lelaki itu terlelap, suara teriakan Tari sudah menggema. Sekretaris itu tak tahu jika si bos mati-matian menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya."Pak, apa yang sudah kita lakukan? Kenapa saya bisa tidur di ranjang bareng Bapak? Astagfirullah," kata Tari masih dengan suara yang cukup keras. Mau tak mau Andrian membuka mata. Melihat ekspresi gadis di sampingnya yang terlihat frustasi serta ketakutan. Terbersit ide jahil untuk mengerjainya. Andrian menatap tajam pada sekretarisnya."Kamu pikir dua orang berbeda jenis kelamin tidur dalam satu ranjang, ngapain?" Sama sekali tak ada senyuman di wajah lelaki itu. Tari melirik keadaan bosnya yang tidak memakai pakaian di bagian atas. Lalu, dia meneliti sekujur tubuhnya. Tak ada hal ganjil. Tari utuh dan tak merasakan sakit di bagian intinya. Keadaan ranjang pun cukup rapi, tidak berantakan sama sekali."Bapak, jangan bohong, ya,"
Happy Reading*****"Gantari?" ucap seseorang yang duduk di kursi paling ujung dari ruang meeting itu.Merasa namanya dipanggil, Tari mendongak. Menyipitkan mata sambil mengingat siapa lelaki yang menyebutkan nama belakangnya tadi. Namun, ingatannya tak juga terurai. Siapa lelaki itu."Apa Anda mengenalnya, Pak Riki?" tanya Yadi memutus semua pikiran orang yang ada di ruangan itu."Ya, saya mengenalnya. Sepertinya, Gantari lupa," jawab lelaki berkulit kuning langsat itu. "Silakan duduk, Pak."Andrian, Tari, Yadi serta asisten dari lelaki itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Riki mengedipkan mata pada sang asisten dan dengan sigap perempuan itu berdiri dan keluar ruangan."Benar kamu nggak inget pernah kenal sama Pak Riki," tanya Andrian lirih, nyaris berbisik pada sekretarisnya."Bisa kita mulai presentasinya sekarang, Pak?" tanya Riki memutus obrolan antara Andrian dan Tari. Lelaki itu sangat tidak suka jika masalah pribadi dicampur dengan masalah kerjaan. Walau dalam hati sang
Happy Reading*****Tari melihat perubahan wajah dari atasannya. "Apa ada masalah, Pak."Sungguh, dia tidak berniat mencari perhatian. Hanya sebatas rasa khawatir sebagai bawahan pada atasannya saja. Andrian sudah begitu baik dengan memotongkan daging steak untuknya. Apalagi, di kota Purwokerto ini, mereka cuma berdua. Jauh dari keluarga yang akan selalu siap membantu ketika mengalami masalah."Nggak ada masalah serius. Cuma sedikit kaget saja. Nanti sampai hotel aku ceritakan." Andrian beralih menatap Riki. "Gimana dengan berkas kerja sama kita, Pak. Apa sudah bisa ditandatangani?"Riki menyadari perubahan suasana hati Andrian setelah menatap ponselnya tadi. Sepertinya memang ada sesuatu yang telah terjadi, begitu pikiran pengusaha muda itu. Riki lantas menatap asistennya."Berkasnya sudah siap semua, Pak. Tinggal tanda tangan saja kalau sudah sampai kantor." "Baiklah, mari kita selesaikan kerja sama ini karena ada pekerjaan lain yang sudah menunggu saya," kata Andrian.Di samping l
Happy Reading*****"Tar, apa yang terjadi dengan Bapak?" Nina mulai panik. Namun, si sekretaris belum juga menjawab pertanyaannya.Buru-buru Andrian mematikan sambungan video dengan istri mudanya. Lalu, berbalik menatap kepada sekretarisnya. "Apa, sih, Tar. Teriak-teriak nggak ada sopannya.""Bu Nina telpon. Dari tadi menghubungi ponsel Bapak, sibuk terus." Tari menyerahkan ponsel miliknya dan menjauhi lelaki itu. Sudah dua kali, dia melihat adegan sepasang suami istri itu yang tidak pada tempatnya. Oke, mereka memang sudah halal untuk urusan ranjang dan mesra-mesraan, tetapi tidak harus mengumbarnya seperti itu. Tari menghentakkan kakinya, berjalan menjauh dari si bos.Gemuruh di hatinya masih saja kuat, Tari mengambil minum untuk meredakan keterkejutannya. Setelah itu, dia duduk dan memijit pelipisnya. Kepalanya mulai berdenyut. Tidur yang kurang serta adegan yang dilihatnya tadi sungguh membuatnya pusing.Baru memejamkan mata, suara Andrian terdengar. "Nih, HP-mu. Lain kali, pang
Happy Reading*****Kembali, Tari menatap bosnya. Andrian yang ditatap malah mengedikkan bahu."Ngasih ijin saja, Pak," kata Novriyanto yang mengerti bahasa tubuh keduanya."Saya terserah Tari saja, Pak. Lagian besok kami memang nggak ada kerjaan. Siangnya, sekitar jam 1 siang barulah kami pulang." Andrian melirik sekretarisnya. "Kalau mau jalan saja sama Pak Novri, Tar. Besok saya juga mau jalan-jalan sekalian nyari oleh-oleh untuk anak-anak.""Saya masih ada kerjaan, Pak. Mungkin besok, saya akan menyelesaikannya. Jadi, maaf Pak Novri. Saya tidak bisa menerima ajakan piknik dari njenengan." Tari mengatupkan kedua tangan."Tidak masalah, Mbak. Lain kali, kalau berkunjung ke kota ini lagi, harus terima ajakan piknik. Saya tidak mau mendengar penolakan," kata Novriyanto tegas, "sudah milih menu makan siangnya."Selesai menghabiskan santap siang mereka, investor itu meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil.Novriyanto segera menuliskan angka pada buku cek tersebut seperti yang s
Happy Reading******Tak ingin membuat celah untuk sahabatnya mem-bully, Andrian membuka laptop dan mulai bekerja. Dia juga membaca semua berkas yang diserahkan Yadi, memeriksanya satu per satu."Yad, tahun depan kita harus meluncurkan produk baru. Penjualan daging untuk isian burger semakin berkurang. Padahal makanan satu itu sedang naik daun. Banyak pedagang kaki lima yang menjual jajanan favorit anak-anak itu. Apa rasa produk kita kurang enak, ya?" tanya Andrian setelah meneliti laporan penjualan setiap produk miliknya."Daging ham turun penjualan bukan karena rasa yang tidak enak, tapi produk kita dinilai terlalu mahal oleh penjual kaki lima," jelas Yadi. Lalu, dia menyerahkan sebuah map pada sahabatnya. "Coba kamu lihat penjualan pesaing kita dengan produk sama. Milik mereka penjualannya meroket, sedangkan produk kita malah turun."Andrian mengamati dan membaca map yang disodorkan Yadi. Dia melihat grafik penurunan serta analisa yang dilakukan oleh sahabatnya terhadap produk pes