Happy Reading
***
"Lagi ngobrol apa?" tanya Andrian setelah dia kembali dari toilet dan bergabung bersama dua perempuan yang diajak makan siang. Melirik sekilas pada sang sekretaris. "Kamu baik-baik saja, Tar? Kenapa wajahmu menjadi pucat?"
"Saya baik-baik saja, Pak." Tari duduk dengan gelisah.
"Segera makan, kamu paling nggak bisa nahan lapar," perintah Andrian ketika pelayan telah meletakkan makanan yang dipesannya tadi. Mengambil piring yang terhidang di depan sang istri, si bos memotong daging steak. Setelah selesai, Andrian menyodorkan kembali pada Nina. "Makanlah, Bun."
Nina tersenyum, Andrian memang tak berubah. Walau hadir Nurmalita di tengah pernikahannya. Lelaki itu tetap bersikap manis dan romantis padanya. Hal yang dilakukan Andrian tak luput dari pengamatan Tari.
Si sekretaris makin bingung. Pasangan di depannya sangat aneh. Bagaimana bisa, si nyonya besar tetap bersikap ramah dan si bos tetap memperlakukannya dengan sangat manis.
Pada beberapa kasus yang terjadi, jika si lelaki memiliki dua istri, maka tak akan pernah terjadi kedamaian serta keromantisan seperti yang terlihat sekarang. Pasangan yang berpoligami sering kali cek-cok dan adu mulut.
"Ayo makan, Tar," suruh Nina memutus lamunan dan keheranan Tari. "Pak Andri sengaja memesan makanan berbeda untukmu. Katanya, kamu tidak akan kenyang kalau makan tanpa nasi. Jadi, tadi Ibu pesankan chicken katsu with carbonara untukmu."
"Terima kasih, Bu," jawab Tari gugup. Pasangan itu tengah menatapnya saat ini. "Benar yang dikatakan Pak Andri."
"Sini saya potongin ayamnya, Tar."
Ucapan Andrian membuat Tari dan Nina mendelik. Tidak bisakah lelaki itu, bersikap biasanya saja. Saat ini ada istrinya di antara mereka.
"Kalian kenapa lihatnya gitu?" tanya Andrian tanpa rasa bersalah sama sekali. Tangannya sudah terulur untuk mengambil piring sang sekretaris.
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri. Silakan makan saja," ucap Tari. Merasa tak enak hati ketika melihat tatapan Nina.
"Ya, sudah. Cepat makan dan habiskan."
Setelah insiden itu, mereka bertiga makan dalam diam. Walau masih sangat canggung, Tari berusaha makan dengan tenang karena memang sudah sangat lapar. Sementara Nina, selalu melirik suaminya yang terlihat mengamati sang gadis.
Perempuan itu masih belum bisa mengartikan tatapan Andrian pada Tari. Oleh karena, dia tidak melihat nafsu dari sorot mata si suami. Nina menggelengkan kepala, tidak mungkin suaminya berani bermain apa dengan gadis berjilbab seperti Tari.
Makan siang itu, membuat Nina tahu bagaimana sejatinya Andrian. Dia bukan lelaki yang selalu memandang perempuan dengan napsu semata.
*****
Semilir angin menerbangkan ujung hijab, menutup muka ayu, Tari melengkungkan garis bibir ke atas. Dari tempatnya saat ini, angin berembus cukup kencang. Suasana seperti ini sering dia alami ketika jam makan siang tiba.
Tengah asyik menikmati makan siang, samar suara isakan mengusik indera pendengarannya. Tari merapikan hijab dan bergerak mencari sumber suara. Matanya awas menatap sekeliling, tak ada siapa pun di rooftop kantor ini.
Tanpa membunyikan hight heels, dia menyusuri seluruh rooftop. Suara isakan itu semakin terdengar jelas di ujung kanan tempat Tari berdiri. Tak terlihat siapa pun di sana, hanya sebuah tangki penampungan air yang cukup besar. Mungkinkah ada seseorang di balik tangki tersebut? Jika ada, maka jelas tidak akan terlihat olehnya.
Tari mencopot sepatu, langkahnya berjinjit mendekati seseorang yang sedang menangis. Sejengkal lagi, dia bisa melihat siapa orang yang sedang menangis itu dan ketika mengetahui seketika mulutnya menganga tak percaya. Perempuan itu adalah istri pertama bosnya.
Nina terus meratap dan menangis tanpa menyadari ada seseorang yang telah mengetahui keberadaannya. Gumaman lirih terdengar oleh gadis itu.
Mengapa kamu tega melakukan ini, Mas. Aku tak mempermasalahkan pernikahan rahasia kalian, tetapi tunjukkan etika yang baik di depan semua karyawanmu. Kalian bisa melakukannya di hotel yang paling mahal, tetapi haruskah hal itu dilakukan di kantormu? Bodoh! Perempuan itu menjambak rambutnya sendiri. Begitulah ungkapan hati si nyonya besar.
Tari membekap mulutnya dengan kedua tangan. Dia tak percaya seorang nyonya besar ada di tempat seperti ini. Pikirannya sempat bertanya, mungkinkah Nina sama sepertinya. Berusaha untuk menghindari sesuatu.
Seakan tersadar bahwa ada seseorang yang tengah mengamati, Nina menengok ke belakang. Tari bersembunyi di balik tangki air yang tidak terjangkau oleh pandangan Nina secepat yang dia bisa. Setelah memastikan keamanannya, Tari melenggang pergi.
Napasnya memburu seperti maling yang akan tertangkap. Tari memutuskan untuk kembali ke ruangannya saja. Niat untuk makan siang di rooftop seperti hari-hari biasa diurungkan. Bekal makanan yang dibawa tidak dihabiskan.
Tari berjalan dengan napas tersengal-sengal. Gadis itu memelankan langkah saat melewati ruangan Andrian, berusaha menghindari sang atasan. Namun, dia malah menemukan kejadian ganjil dari ruangan itu. Pintunya yang tak tertutup rapat membuat suara-suara aneh tertangkap jelas.
Penasaran, dia mendekat ke arah ruangan Andrian, tatapannya mengarah pada kegiatan dua orang di dalam sana. Desah manja sang istri muda membuat Tari merinding. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dari celah pintu yang terbuka itu, Tari bisa melihat sedikit aktivitas keduanya. Mereka sedang memadu kasih. Tak peduli masih di kantor, keduanya sangat menikmati permainan yang dilakukan.Pinggang Andrian bergoyang membentuk tarian kenikmatan tersendiri. Suara desahan Lita bak penyanyi yang memberikan semangat pada sang atasan.
Rasa mual menyerang bagian tubuh Tari. Perutnya dikocok hebat melihat adegan tak pantas yang tertangkap inderanya. Walau mereka adalah sepasang suami istri dan halal melakukan kegiatan itu, tetapi hal tersebut tidaklah pantas dilakukan di tempat terbuka seperti sekarang. Bak bertemu hantu, dia berlari sekencang mungkin meninggalkan kegiatan panas mereka.
Pantas Ibu Nina tadi berkata seperti itu, ternyata ini yang mereka lakukan. Benar-benar seorang pelakon drama terbaik. Selalu manis pada setiap perempuannya. Tari mengumpat dalam hati.
Sampai di lantai bawah, Tari menuju pos satpam. "Pak, saya ikut ngadem di sini boleh, tidak?"
"Eh, Mbak Tari. Boleh, silakan!" Satpam yang sudah setengah baya itu duduk di depan pos, sementara Tari masuk ke dalamnya.
"Terima kasih, Pak." Tari duduk dan membuka botol minum. Napasnya masih ngos-ngosan. Setelah cukup tenang, dia membuka kotak bekal dan mulai memasukkan ke mulut.
"Sama-sama. Tumben, Mbak, makan di sini?"
"Iya, Pak," jawab Tari tanpa penjelasan lebih lanjut.
Tari melirik jam tangan. Sepuluh menit lagi, waktu istirahatnya habis. Dia dengan cepat melahap bekal yang dibawa, tetapi ingatannya melayang pada kejadian tadi. Alhasil makanan yang sudah masuk ke perutnya memberontak keluar. Tari berlari ke kamar mandi yang terletak di belakang pos. Dia mengeluarkan semua isi perut yang baru saja diisi.
"Mbak Tari kenapa? Sakit?" tanya satpam.
"Tidak, Pak. Mungkin karena saya telat makan, jadi mag saya kambuh."
"Oh. Jangan sampai telat kalau begitu, Mbak! Kirain lagi itu?" Si satpam berkata dengan senyum penuh sindiran.
"Maksud Bapak apa? Saya hamil?" Tari berkata terus terang dengan nada sedikit emosi.
"Iya, Mbak. Maaf jika saya berpikiran seperti itu. Kabar yang beredar tentang Mbak Tari saat ini menjadi penyebabnya." Satpam dengan perawakan sangar karena jambang yang memenuhi seluruh wajahnya itu terlihat sedikit ketakutan.
"Astagfirullah. Saya tidak seperti bayangan mereka, Pak. Apa yang rekan-rekan katakan itu tidak benar. Saya dan Pak Andri tidak ada hubungan apa pun." Tari menarik napas panjang berusaha menetralkan emosinya yang mulai tersulut. Rasa mual itu hilang setelah dia mengeluarkan isi perutnya.
"Iya, Mbak. Saya percaya orang seperti Mbak Tari tidak mungkin melakukannya. Jangan sampai kejadian seperti Ibu Lita, ya, Mbak!"
"Kenapa memangnya, Pak?" Tari memicingkan mata. Gosip apa lagi yang akan didengar kali ini.
"Ah, Mbak pasti tahu lah kisah mereka." Setelah berkata seperti itu, si satpam kembali bertugas dan Tari masuk ke kantor untuk kembali bekerja.
Di depan lif Tari berpapasan dengan Andrian dan Lita. Dia menempel erat pada sang atasan, persis seperti lintah yang tengah menghisap darah. Tari membuang muka, dia tidak ingin menyaksikan kemesraan mereka.
Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya."Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu."Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka."Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman."Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat ade
Happy Reading***Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya."Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper
Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
"Tidak apa-apa, Pak. Sekedar bertanya tentang umur bukanlah masalah yang pribadi." Tari menatap atasannya dengan senyuman. "Umur saya sekarang sudah dua puluh lima tahun, Pak," katanya menjawab pertanyaan Novriyanto."Wah, masih muda ternyata." Binar ketertarikan semakin terpancar pada indera salah satu investor tersebut. "Karena sudah berkumpul semua. Ayo kita santap hidangannya sekarang.""Mari, Pak," sahut Yadi.Makan malam berlangsung dengan keheningan. Walau sesekali, Andrian masih terlihat kesal karena Novriyanti tak henti-hentinya memandang Tari dengan binar ketertarikan. Ingin sekali mencongkel mata lelaki paruh baya itu.'Sudah tua nggak inget umur. Masih saja mupeng lihat gadis cantik.' Gerutu Andrian dalam hati.Dia mengolok-olok Novriyanto dalam hati padahal dirinya sendiri tidak jauh berbeda. Sikap dan perbuatannya jauh dikatakan baik untuk menjadi seorang suami dan juga ayah teladan. Andria masih saja selalu tertarik pada perempuan cantik dan seksi, meskipun sudah memil
Happy Reading*****"Berisik!" kata Andrian. Dia masih memejamkan mata. Enggan sekali untuk membuka. Baru saja lelaki itu terlelap, suara teriakan Tari sudah menggema. Sekretaris itu tak tahu jika si bos mati-matian menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya."Pak, apa yang sudah kita lakukan? Kenapa saya bisa tidur di ranjang bareng Bapak? Astagfirullah," kata Tari masih dengan suara yang cukup keras. Mau tak mau Andrian membuka mata. Melihat ekspresi gadis di sampingnya yang terlihat frustasi serta ketakutan. Terbersit ide jahil untuk mengerjainya. Andrian menatap tajam pada sekretarisnya."Kamu pikir dua orang berbeda jenis kelamin tidur dalam satu ranjang, ngapain?" Sama sekali tak ada senyuman di wajah lelaki itu. Tari melirik keadaan bosnya yang tidak memakai pakaian di bagian atas. Lalu, dia meneliti sekujur tubuhnya. Tak ada hal ganjil. Tari utuh dan tak merasakan sakit di bagian intinya. Keadaan ranjang pun cukup rapi, tidak berantakan sama sekali."Bapak, jangan bohong, ya,"
Happy Reading*****"Gantari?" ucap seseorang yang duduk di kursi paling ujung dari ruang meeting itu.Merasa namanya dipanggil, Tari mendongak. Menyipitkan mata sambil mengingat siapa lelaki yang menyebutkan nama belakangnya tadi. Namun, ingatannya tak juga terurai. Siapa lelaki itu."Apa Anda mengenalnya, Pak Riki?" tanya Yadi memutus semua pikiran orang yang ada di ruangan itu."Ya, saya mengenalnya. Sepertinya, Gantari lupa," jawab lelaki berkulit kuning langsat itu. "Silakan duduk, Pak."Andrian, Tari, Yadi serta asisten dari lelaki itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Riki mengedipkan mata pada sang asisten dan dengan sigap perempuan itu berdiri dan keluar ruangan."Benar kamu nggak inget pernah kenal sama Pak Riki," tanya Andrian lirih, nyaris berbisik pada sekretarisnya."Bisa kita mulai presentasinya sekarang, Pak?" tanya Riki memutus obrolan antara Andrian dan Tari. Lelaki itu sangat tidak suka jika masalah pribadi dicampur dengan masalah kerjaan. Walau dalam hati sang