Setelah berperang dengan kata hatinya, Tari menggelengkan kepala, memberi jawaban tidak pada bosnya.
"Nggak untuk yang mana, Tar?" Andrian masih terus menikmati bekal yang dibawa sekretarisnya walau peluh sudah membanjiri wajah karena rasa pedas. Namun, kenikmatan makanan yang di bawa sang sekretaris membuatnya ketagihan.
"Makan siang bareng, Pak. Saya tidak ingin gosip yang beredar tentang kita berdua semakin santer. Nanti, dikira beneran kita ada hubungan. Padahal tidak, 'kan?" Tari nyerocos tanpa peduli Andrian menatapnya heran. Beberapa detik setelah dia berbicara, barulah tersadar dari tatapan aneh si bos.
"Oh, jadi ini yang membuatmu membawa bekal?"
"Bukan, Pak!" Kedua tangan Tari bergoyang di hadapan wajahnya.
"Jika benar kita ada hubungan bagaimana? Apa kamu keberatan? Saya lebih suka jika gosip tentang kita beredar luas, Tar." Andrian tak menghiraukan Tari yang mendelik sebal karena perkataannya. Dia malah sibuk dengan ponsel.
Bibir Andrian melengkung ke atas melihat kekesalan sang sekretaris. "Kalau makan ini, mau?" Andrian menunjukkan sebuah gambar nasi bakar yang terlihat menarik sekali di ponselnya.Tari tidak menjawab, sekalipun perutnya sudah meronta-ronta minta diisi.
Tangan kiri sang sekretaris malah diletakkan di bawah dagu, mulutnya bergerak-gerak tak beraturan. Sepertinya, Tari kesal sekali. Andrian gemas sendiri melihat tingkah gadis yang sudah menginjak dua puluh lima tahun itu.
Si bos berdiri, lalu mengambil paksa tangan kanan Tari. Bergandengan tangan, Andrian mengajak sekretarisnya itu keluar ruangan. Tari sempat memprotes aksi itu, tetapi saat bosnya menyentak, si gadis diam seribu bahasa. Andrian selalu tak terbantahkan, kemauannya tidak bisa dihalangi siapa pun.
"Pak, tolong jangan begini! Saya, tidak ingin menjadi bahan gunjingan di kantor," pinta Tari yang keteteran mengikuti langkah Andrian.
"Kalau tidak mau digunjing, menikah saja dengan saya! Bagaimana?" Andrian menoleh pada Tari sebentar, lalu berjalan kembali ke arah lift.
Tari mematung, tetapi atasannya itu malah tersenyum penuh kemenangan. Tangan kanan Andrian mulai menekan tombol lift, sedangkan sebelah kiri masih menggenggam pergelangan sang sekretris.
"Pak, jangan mempersulit saya! Tolong kasihani saya!" ucap Tari setelah beberapa detik mereka berdua berada di dalam lift.
Andrian berbalik menghadap Tari, matanya mulai menelusuri setiap inci wajah gadis itu. Tari sedikit menggeser tubuh ke samping. Detak tak beraturan di dalam dirinya semakin kuat terasa, rasa takut, gugup dan entah apalagi yang dirasakan si gadis saat ini.
Perasaan Tari bercampur menjadi satu di dalam hati. Terbayang adegan di film-film yang sering ditonton, jika sudah seperti ini dipastikan si cowok akan mendaratkan ciuman pada bibir si cowok. Apalagi wajah Andrian makin dekat dengannya. Dia segera menggelengkan kepala mengusir semua halusinasinya.
"Saya nggak akan mempersulit hidup kamu, Tar. Justru saya akan mempermudah semuanya. Mereka menggosipkan kamu punya hubungan percintaan dengan saya. Jadi, mari wujudkan gosip itu. Bagaimana?"
Andrian semakin mendekatkan bibir pada wajah Tari. Matanya mulai berkabut. Fokusnya kini ada pada bibir merah sang sekretaris. Tangan kanan Andri tepat berada di atas bahu Tari, telapaknya menyentuh dinding lift. Perlahan dia menggerakkan wajah mendekat pada bibir kemerahan itu.
Sang sekretaris berusaha menghindar, dengan mata terpejam dia mengumpulkan semua keberaniannya. Mendorong si bos sekuat tenaga. Hampir saja Tari akan mengalami adegan yang dibayangkan tadi. Andrian tidak boleh mengambil first kiss yang akan dia persembahkan untuk suaminya kelak.
"Bapak jangan macam-macam! Saya bukan perempuan yang bisa Anda perlakukan sesuka hati. Saya tidak suka dengan omongan dan perilaku Bapak yang seperti ini" Luapan kekesalan dikeluarkan oleh Tari pada Andrian. Setelah mengatakan semua itu, si gadis meluruhkan tubuhnya, bersimpuh di lantai.
Lelaki itu menyandarkan tubuh ke dinding lift. Dia seakan tersadar, gadis di depannya tidak sama seperti perempuan lain yang dengan mudah terjerat oleh pesonanya, lalu menyerahkan mahkota yang mereka miliki. Andrian menyugar kasar rambutnya, sesaat tadi nafsu menguasai. Magnet yang ada pada diri Tari benar-benar kuat, menarik dengan cepat hasratnya.
"Maaf! Saya nggak bermaksud untuk membuatmu ketakutan seperti ini." Andrian mengulurkan tangan, meminta Tari untuk segera berdiri. "Sebentar lagi pintu lift akan terbuka. Jika kamu seperti ini, maka gosip yang kamu katakan sebelumnya akan benar-benar terjadi."
Tari menatap Andrian dengan mata yang memerah. Kabut tebal sudah mulai menyelimuti korneanya. Dia menepis uluran tangan sang atasan. "Saya bisa berdiri sendiri, Pak."
Sekretaris itu berdiri dan merapikan penampilannya. Namun, tatapan marah dan kesal atas sikap Andrian masih kentara sekali. Tari merasa dilecehkan oleh lelaki yang selama ini dia hormati.
'Sepertinya, aku harus lebih berhati-hati dengan Pak Andrian.' Ucap Tari dalam hati.
Denting suara lift yang menandakan mereka telah sampai ke tujuan, terdengar. Andrian keluar terlebih dahulu, disusul Tari di belakang. Bertepatan dengan keluarnya mereka, seorang perempuan memanggil nama Andrian.
"Sayang, mau kemana?"
Andrian menoleh pada sumber suara kemudian mendekati perempuan cantik itu. Tari menyunggingkan senyum saat tahu bahwa yang memanggil bosnya tadi adalah nyonya besar. "Bunda dengan siapa ke sini?"
Perempuan pemilik nama Khaerenina Ayudiya itu segera membalas ciuman suaminya di pipi. "Aku mampir ke sini mau ngajak makan siang. Apa Ayah sibuk?"
"Buat Bunda nggak ada kata sibuk," jawab Andrian. Jawaban yang sangat lembut dan terdengar manis bagi Tari. "Kami juga akan makan siang. Nggak masalah kan kalau ada Tari?" Andrian melirik sekretarisnya.
"Ya, enggak, lah." Nina melingkarkan tangan kirinya pada pinggang sang suami. "Yuk, Tar! Keburu lapar saya," ajaknya.
Sepanjang perjalanan, Tari tak habis pikir dengan pasangan di depannya ini. Bagaimana bisa? Seseorang yang sudah jelas-jelas berselingkuh masih mampu bersikap romantis pada sang istri seolah tidak terjadi apa pun di antara keduanya. Tidakkah ada rasa sakit hati pada diri Nina?
Sesekali mata Nina melirik suaminya, sesuatu yang tidak biasa tertangkap oleh perempuan yang sudah sepuluh tahun mendampingi Andrian. Dari kaca, sang suami sering mencuri pandang ke arah Tari. Namun, bukan tatapan nakal dan penuh nafsu seperti yang dia lihat ketika Andrian menatap Lita. Entahlah, Nina masih meraba-raba arti tatapan itu.
"Kalian berdua, cari meja dulu!" ucap Andrian saat mereka sudah masuk ke sebuah kafe sederhana. "Aku ke kamar mandi sebentar, Bun."
"Iya, Sayang," jawab Nina, lalu dia mengajak Tari untuk duduk di sebuah meja dekat dengan kolam ikan koi.
Tari membenarkan hijab yang dia kenakan, bergerak-gerak tidak jelas. Terlihat sekali dia tidak tenang dan bingung. Degup jantungnya juga bertalu-talu. Perempuan di sampingnya ini memang tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapannya sulit sekali diartikan.
"Tari umur berapa sekarang?" tanya Nina tenang, membuka obrolan di antara mereka.
"Dua bulan lagi sudah dua puluh lima tahun, Bu." Suara Tari bergetar ketakutan.
"Jangan gugup! Saya enggak akan menanyakan hubunganmu dengan suamiku."
"Mak-sud Ibu?"
Nina tertawa mendengar jawaban Tari yang terbata. Namun, berbeda dengan keadaan gadis itu, wajahnya memutih terlihat sekali jika sedang ketakutan. Dari kejauhan, Nina melihat suaminya yang berjalan mendekat. Terpaksa, istri pertama Andrian menghentikan percakapan dengan Tari.
Happy Reading***"Lagi ngobrol apa?" tanya Andrian setelah dia kembali dari toilet dan bergabung bersama dua perempuan yang diajak makan siang. Melirik sekilas pada sang sekretaris. "Kamu baik-baik saja, Tar? Kenapa wajahmu menjadi pucat?""Saya baik-baik saja, Pak." Tari duduk dengan gelisah."Segera makan, kamu paling nggak bisa nahan lapar," perintah Andrian ketika pelayan telah meletakkan makanan yang dipesannya tadi. Mengambil piring yang terhidang di depan sang istri, si bos memotong daging steak. Setelah selesai, Andrian menyodorkan kembali pada Nina. "Makanlah, Bun."Nina tersenyum, Andrian memang tak berubah. Walau hadir Nurmalita di tengah pernikahannya. Lelaki itu tetap bersikap manis dan romantis padanya. Hal yang dilakukan Andrian tak luput dari pengamatan Tari.Si sekretaris makin bingung. Pasangan di depannya sangat aneh. Bagaimana bisa, si nyonya besar tetap bersikap ramah dan si bos tetap memperlakukannya dengan sangat manis.Pada beberapa kasus yang terjadi, jika si
Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya."Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu."Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka."Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman."Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat ade
Happy Reading***Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya."Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper
Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
"Tidak apa-apa, Pak. Sekedar bertanya tentang umur bukanlah masalah yang pribadi." Tari menatap atasannya dengan senyuman. "Umur saya sekarang sudah dua puluh lima tahun, Pak," katanya menjawab pertanyaan Novriyanto."Wah, masih muda ternyata." Binar ketertarikan semakin terpancar pada indera salah satu investor tersebut. "Karena sudah berkumpul semua. Ayo kita santap hidangannya sekarang.""Mari, Pak," sahut Yadi.Makan malam berlangsung dengan keheningan. Walau sesekali, Andrian masih terlihat kesal karena Novriyanti tak henti-hentinya memandang Tari dengan binar ketertarikan. Ingin sekali mencongkel mata lelaki paruh baya itu.'Sudah tua nggak inget umur. Masih saja mupeng lihat gadis cantik.' Gerutu Andrian dalam hati.Dia mengolok-olok Novriyanto dalam hati padahal dirinya sendiri tidak jauh berbeda. Sikap dan perbuatannya jauh dikatakan baik untuk menjadi seorang suami dan juga ayah teladan. Andria masih saja selalu tertarik pada perempuan cantik dan seksi, meskipun sudah memil
Happy Reading*****"Berisik!" kata Andrian. Dia masih memejamkan mata. Enggan sekali untuk membuka. Baru saja lelaki itu terlelap, suara teriakan Tari sudah menggema. Sekretaris itu tak tahu jika si bos mati-matian menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya."Pak, apa yang sudah kita lakukan? Kenapa saya bisa tidur di ranjang bareng Bapak? Astagfirullah," kata Tari masih dengan suara yang cukup keras. Mau tak mau Andrian membuka mata. Melihat ekspresi gadis di sampingnya yang terlihat frustasi serta ketakutan. Terbersit ide jahil untuk mengerjainya. Andrian menatap tajam pada sekretarisnya."Kamu pikir dua orang berbeda jenis kelamin tidur dalam satu ranjang, ngapain?" Sama sekali tak ada senyuman di wajah lelaki itu. Tari melirik keadaan bosnya yang tidak memakai pakaian di bagian atas. Lalu, dia meneliti sekujur tubuhnya. Tak ada hal ganjil. Tari utuh dan tak merasakan sakit di bagian intinya. Keadaan ranjang pun cukup rapi, tidak berantakan sama sekali."Bapak, jangan bohong, ya,"