Home / Lain / Sekretaris Alim Sang Bos Genit / 3. Jaring-jaring Cinta

Share

3. Jaring-jaring Cinta

Hari-hari setelah kejadian itu berlalu, Tari tetap bekerja seperti biasa. Menjalankan segala aktifitasnya dengan santai walau bisik-bisik negatif dari beberapa orang terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar miring tentang hubungan terlarang antara dirinya dan si bos, Tari tidak tahu.

Sedikit risih tentu dirasakan gadis berjilbab itu. Seperti saat ini, dia baru saja datang, tetapi beberapa karyawan di pabrik makanan frozen itu sudah mulai berbisik-bisik.

"Pagi, Mbak. Sebaiknya segera bekerja sebelum si bos datang. Tidak ingin diberi surat peringatan oleh beliau, kan?" kata Tari memperingatkan mereka. Dia dan karyawan lain sedang mengantri di depan finger print.

"Duh, sok banget. Mentang-mentang Deket sama si bos main lapor aja. Kayak nggak ada kerjaan lain. Situ nyari muka?" sahut perempuan berambut sedikit kecokelatan.

"Di kasih tahu malah ngatain yang enggak-enggak. Gimana, sih, Bu," timpal pria yang perutnya buncit. Tari mengenalnya sebagai karyawan bagian divisi pengemasan barang. Beberapa kali sempat bertemu ketika sedang inspeksi bersama Andrian.

"Dasar, ya. Semua lelaki itu sama saja. Selalu ngebelain cewek cantik walau salah. Duh!" Perempuan tadi melirik sinis ke arah Tari.

Malas berdebat, Tari meninggalkan semua orang tanpa berpamitan seperti sebelum-sebelumnya. Perempuan itu memang terkenal ramah. Namun, ketika kabar berembus tentang hubungannya dengan si bos. Dia membatasi diri.

"Tuh, kan. Mulai dah sombongnya. Padahal dulu enggak gitu," sambung yang lain.

Semua pekerjaan lelaki berambut cepak dengan bagian kiri sedikit naik itu telah selesai. Senyuman Andrian mengembang. Dari CCTV yang ada di ruangannya, dia mengamati setiap gerak-gerik Tari.

Tak ada satu pun yang luput dari pengamatan. Luapan kebahagian itu semakin jelas saat dia teringat wajah ketakutan Tari kala mereka menginap di hotel. Ketika terbangun di pagi hari dan melihat Andrian sedang bertelanjang dada. Jika perempuan lain yang ada di posisi waktu itu mungkin akan menatap tubuh si bos tanpa berkedip, tetapi tidak dengan Tari itu. Si gadis malah membuang muka. Menunduk serta memejamkan mata, gemas sekali Andrian dengan kelakuan sang sekretaris.

Pantauan CCTV di layar Andrian, memperlihatkan karyawan yang mulai berhamburan keluar ruangan masing-masing. Kepalanya menoleh ke arah dinding yang terdapat jam, ternyata sudah waktunya makan siang. Namun aneh, Tari malah duduk diam. Dia, hanya membereskan berkas-berkas dan laporan yang ada di mejanya.

Andrian semakin fokus mengamati Tari, biasanya gadis itu paling tidak tahan dengan rasa lapar. Namun kali ini lain, dia terlihat lebih santai dari biasanya. Ada apa dengannya?

Tari beranjak dari duduk, dia mengambil sebuah tas kecil, perlahan. Lalu mengeluarkan isinya. Sebuah kotak makanan tampak oleh indera lelaki yang mengamatinya. Andrian mengernyitkan dahi. Sekretarisnya itu jarang sekali membawa bekal ke kantor untuk makan siang. Rasa penasaran membuatnya melangkah ke luar dan menuju ruangan Tari.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dia segera masuk. Tari yang baru saja membuka kotak bekalnya menoleh disertai mata yang membulat. Perutnya sudah mulai keroncongan, tetapi si bos malah datang ke ruangannya langsung.

"Siang, Pak," sapa Tari disertai gerakan alis ke atas. Makanan yang akan dibuka, di singkirkan dan ditaruh begitu saja. Gadis itu menegakkan tubuh, bersiap menerima perintah atasannya.

"Kenapa makan siang di ruangan?" Andrian melirik menu yang dibawa Tari.

Tak terlihat tanda-tanda bahwa bosnya akan memberi perintah, Tari berkata, "Lagi malas ke kantin saja, Pak. Bapak ada perlu dengan saya?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Si gadis berdiri untuk menghormati bosnya.

"Nggak ada, saya heran saja. Biasanya kamu selalu makan di luar, hampir nggak pernah bawa bekal, tapi hari ini lain. Kamu seperti enggan untuk bertemu karyawan lainnya. Apa kamu ada masalah?" Andrian menyeret kursi di depan meja sekretarisnya, lalu duduk dengan kaki menyilang.

"Tidak ada masalah apa pun, Pak. Kebetulan Ibu saya datang menjenguk, jadi tadi pagi masak buat sarapan. Sekalian saja, saya bawa bekal. Hitung-hitung penghematan." Tari masih mempertahankan posisi berdiri. Tidak juga melanjutkan makan, padahal perutnya semakin terasa perih.

"Oh, begitu. Duduklah dan lanjutkan saja makanmu!" Tangan Andrian mempersilakan sang gadis untuk duduk kembali, tetapi tak ditanggapi apa apa.

"Nanti saja, Pak," sahut Tari. Melirik sebentar pada bekal yang dibawa, berharap Andrian mengerti rasa lapar yang tak tertahankan.

"Kalau tidak segera dimakan, saya yang akan makan, lho." Andrian mengerlingkan mata sebelah kiri. Dia meraih kotak bekal yang hampir dibuka oleh Tari. Lalu dengan santai membukanya.

"Bapak bisa saja. Masakan saya tidak level dengan selera Bapak." Jantung Tari berdetak lebih cepat, bukan karena ada getar-getar cinta pada lelaki di depannya kini. Namun, bayangan ketakutan menghampiri. Jika dilihat oleh rekan-rekan kerjanya, pasti mereka akan semakin menggunjing saat mengetahui sang pimpinan berperilaku seperti ini.

Tanpa diduga oleh Tari. Andrian mengambil sendok yang tadi dipegang dan kini tergeletak begitu saja di dekat siku kiri. Lalu memasukkan nasi beserta chicken katsu disertai oseng buncis dan jagung manis ke dalam mulutnya.

Tari bergeming di tempatnya berdiri, matanya menatap Andrian tak percaya. Sementara yang ditatap malah asyik menikmati bekal miliknya. Tak terusik sama sekali dengan tatapan sang sekretaris. Tari sempat mengumpat dalam hati.

"Kamu masak sendiri, Tar? Rasanya lumayan enak, lho," tanya Andrian ketika makanan yang disuapkan tadi mulai masuk kerongkongan.

"Iya, Pak. Mengapa Bapak memakan bekal saya?" tanya Tari bingung.

Namun, dia terlihat panik saat melihat Andrian mendesis. Si gadis dengan cekatan mengambilkan segelas air putih kemasan tak jauh, di belakang kursi Andrian. Lalu menyodorkan pada bosnya.

"Bapak kenapa?" Menyodorkan minuman kemasan yang diambil tadi.

Andrian meneguk air yang diberikan Tari. Bibirnya memerah, dari wajah si bos terlihat bulir-bulir air yang mulai menetes.

"Kamu suka pedas, ya, Tar?" tanya sang atasan, Tari mengangguk. Dia memberikan sehelai tisu untuk mengusap keringat Andrian. Sengaja tadi, si gadis memberikan banyak cabe agar sensasinya lebih menggetarkan untuk menghilangkan pening yang akhir-akhir ini melandanya.

"Bapak aneh. Jika tidak menyukai rasa pedas, mengapa memakan makanan saya? Terus saya makan siang pake apa? Padahal saya lagi malas ke kantin." Tari duduk dengan lemas di depan Andrian. Walau dalam hati, merasa senang juga karena masakannya dipuji oleh sang atasan. Namun, gosip dan gunjingan tentangnya membuat malas mengisi perut ke kantin.

"Kamu pengen makan apa? Saya pesankan online, ya, atau mau makan di luar bareng?" Andrian memberi tawaran. Sedih juga melihat wajah karyawannya lemas seperti sekarang.

Tari tampak berpikir jika dia terlihat makan siang bersama Andrian. Maka, gosip yang beredar akan semakin berkembang.

'Bagaimana ini? Perutku makin perih. Kalau pingsan gara-gara tidak makan siang kan lucu.' Dalam hati, Tari mulai bimbang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status