Tari sedikit curiga karena melihat Andrian yang rambutnya basah. Dia menundukkan pandangan, mengamati seluruh tubuhnya. Beruntung semua pakaiannya masih lengkap dan utuh, jilbab pun masih rapi tidak berantakan. Artinya tidak terjadi apa pun semalam dengan mereka berdua. Si gadis pun tersenyum lega. Lalu, Tari menatap bosnya dan berkata, "Pak, bagaimana saya bisa tidur di sini?"
"Kenapa? Tidur di mana pun nggak masalah, 'kan?" Andrian mendekat pada Tari, dia masih belum mengenakan pakaian atasnya. Namun, sudah memakai celana pendek. Dalam hati ingin mengerjai gadis polos itu.
"Bukan begitu, Pak." Tari segera turun dari ranjang Andrian dengan cepat dia membuka pintu kamar. Saat itu ada salah satu orang yang sudah menunggu di depan. Bisa jadi, orang tersebut adalah rekan kerja bosnya. Tari tak menghiraukan kehadiran orang tersebut, dia langsung masuk kamar di sebelahnya.
Mungkin kejadian itulah yang membuat Tari saat ini didatangi oleh salah satu perempuan Andrian. Sial sekali nasibnya. Memiliki bos yang suka main perempuan dan memiliki reputasi buruk.
"Eh, kenapa malah melamun?" kata perempuan yang sempat memarahi Tari tadi.
"Ingat, jangan pernah menggoda Andri! Jika, aku masih mendengar kabar bahwa kamu mendekatinya, maka lihat apa yang akan aku lakukan untukmu!" Perempuan yang bernama Nurulita Agustina itu menggebrak meja kerja Tari. Gadis itu terperanjat dengan suara keras yang ditimbulkan.
"Astagfirullah," ucap Tari. Kedua tangannya terangkat saking kerasnya gebrakan yang dilakukan Nurulita.
Kejadian itu terlihat oleh Andrian, dia yang tanpa sengaja ingin menemui Tari terlonjak kaget saat melihat wanitanya seperti itu. "Lita! Apa-apaan kamu? Sedang apa kamu di sini?" Suaranya keras, menggelegar.
Mencintai wanita di depannya, bukan berarti Andrian tidak berani memarahi. Dia akan tetap bertindak tegas pada siapa pun yang dirasa bersalah.
Lita menoleh pada Andrian, lalu beralih pada Tari. Dia memberikan tatapan membunuh pada sekretaris itu. "Aku cuma memperingatkan dia agar tidak menggodamu. Apa salah? Jangan sampai terlibat skandal dengan sekretaris sendiri. Malu-maluin."
"Salah! Kamu nggak berhak mengintimidasi karyawan di sini. Mereka adalah tangung jawabku di saat jam kerja. Ingat itu!" Andrian menarik paksa tangan Lita agar keluar dari ruangan Tari. Sebagian hati lelaki itu ada yang teriris saat melihat embun di mata bening sang sekretaris.
"Apa sih, Mas? Lepas! Aku cuma ngasih peringatan saja. Lagian ngapain, sih, bawa-bawa perempuan seperti itu keluar kota. Apa aku dan Mbak Nina tidak menarik lagi sampai Mas bawa sekretaris ganjen itu." Mulut Lita terus saja mengomel tanpa rem membuat kepala Andrian nyut-nyutan.
Lelaki itu berbalik dan memberikan tatapan paling mengerikan pada istri keduanya. "Diam! Jaga mulutmu. Nggak semua perempuan yang aku ajak keluar kota menawarkan dirinya sepertimu."
Diam seribu bahasa adalah hal paling tepat saat ini. Lita sadar, perkataannya sudah keterlaluan. Namun, mau bagaimana lagi. Perempuan itu sangat takut kehilangan Andrian.
Sang suami pergi begitu saja. Istri pertamanya saja tidak pernah melarang atau mencampuri urusan pekerjaan Andrian, lalu mengapa Lita sangat lancang dengan memarahi sekretaris yang masih polos itu.
"Mas tunggu!" Lita berusaha mengejar langkah suaminya yang tergesa ke ruangan. Namun, setelah sampai di depan pintu Andrian. Keningnya terantuk daun pintu yang sengaja ditutup keras.
"Aduh!" Lita meringis ketika rasa sakit menghantam keningnya. Dia membuka pintu ruangan Andrian dengan perasaan jengkel.
"Apa istimewanya sekretarismu itu sampai-sampai membuatmu marah seperti ini? Apa dia sudah memberikan keperawanannya padamu? Jawab, Mas!"
"Susah ngomong sama orang yang selalu curigaan. Kamu pikir semua perempuan itu bisa dengan mudah menyerahkan mahkotanya untukku? Kalau kedatanganmu cuma buat bahas masalah ini. Pulang saja, aku sangat sibuk hari ini." Andrian menunjuk ke arah pintu.
"Jadi kamu lebih membela sekretaris itu daripada istrimu sendiri?"
"Keluar dari ruangan ini!" Sekali lagi Andrian mengeluarkan suara keras.
Hari-hari setelah kejadian itu berlalu, Tari tetap bekerja seperti biasa. Menjalankan segala aktifitasnya dengan santai walau bisik-bisik negatif dari beberapa orang terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar miring tentang hubungan terlarang antara dirinya dan si bos, Tari tidak tahu.Sedikit risih tentu dirasakan gadis berjilbab itu. Seperti saat ini, dia baru saja datang, tetapi beberapa karyawan di pabrik makanan frozen itu sudah mulai berbisik-bisik."Pagi, Mbak. Sebaiknya segera bekerja sebelum si bos datang. Tidak ingin diberi surat peringatan oleh beliau, kan?" kata Tari memperingatkan mereka. Dia dan karyawan lain sedang mengantri di depan finger print."Duh, sok banget. Mentang-mentang Deket sama si bos main lapor aja. Kayak nggak ada kerjaan lain. Situ nyari muka?" sahut perempuan berambut sedikit kecokelatan."Di kasih tahu malah ngatain yang enggak-enggak. Gimana, sih, Bu," timpal pria yang perutnya buncit. Tari mengenalnya sebagai karyawan bagian divisi pengemasan ba
Setelah berperang dengan kata hatinya, Tari menggelengkan kepala, memberi jawaban tidak pada bosnya."Nggak untuk yang mana, Tar?" Andrian masih terus menikmati bekal yang dibawa sekretarisnya walau peluh sudah membanjiri wajah karena rasa pedas. Namun, kenikmatan makanan yang di bawa sang sekretaris membuatnya ketagihan."Makan siang bareng, Pak. Saya tidak ingin gosip yang beredar tentang kita berdua semakin santer. Nanti, dikira beneran kita ada hubungan. Padahal tidak, 'kan?" Tari nyerocos tanpa peduli Andrian menatapnya heran. Beberapa detik setelah dia berbicara, barulah tersadar dari tatapan aneh si bos."Oh, jadi ini yang membuatmu membawa bekal?""Bukan, Pak!" Kedua tangan Tari bergoyang di hadapan wajahnya."Jika benar kita ada hubungan bagaimana? Apa kamu keberatan? Saya lebih suka jika gosip tentang kita beredar luas, Tar." Andrian tak menghiraukan Tari yang mendelik sebal karena perkataannya. Dia malah sibuk dengan ponsel.Bibir Andrian melengkung ke atas melihat kekesala
Happy Reading***"Lagi ngobrol apa?" tanya Andrian setelah dia kembali dari toilet dan bergabung bersama dua perempuan yang diajak makan siang. Melirik sekilas pada sang sekretaris. "Kamu baik-baik saja, Tar? Kenapa wajahmu menjadi pucat?""Saya baik-baik saja, Pak." Tari duduk dengan gelisah."Segera makan, kamu paling nggak bisa nahan lapar," perintah Andrian ketika pelayan telah meletakkan makanan yang dipesannya tadi. Mengambil piring yang terhidang di depan sang istri, si bos memotong daging steak. Setelah selesai, Andrian menyodorkan kembali pada Nina. "Makanlah, Bun."Nina tersenyum, Andrian memang tak berubah. Walau hadir Nurmalita di tengah pernikahannya. Lelaki itu tetap bersikap manis dan romantis padanya. Hal yang dilakukan Andrian tak luput dari pengamatan Tari.Si sekretaris makin bingung. Pasangan di depannya sangat aneh. Bagaimana bisa, si nyonya besar tetap bersikap ramah dan si bos tetap memperlakukannya dengan sangat manis.Pada beberapa kasus yang terjadi, jika si
Sekuat tenaga, Tari tak terusik dengan kehadiran keduanya. Walau dia berdiri tepat di depan keduanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak terusik dengan kehadirannya. Tari marah, bukan karena cemburu, tetapi rasa jijik membayangi pikiran mengingat kejadian tadi yang sudah dilakukan keduanya."Hati-hati, Sayang. Besok malam, Mas akan pulang ke rumah." Andrian mendaratkan kecupan di pipi Lita, tetapi sang istri malah membalas kecupan itu dengan lumatan di bibir. Cukup lama mereka melakukannya, padahal ada si sekretaris. Tari yang melihat adegan itu segera membuang muka, malu."Permisi. Bisa saya menggunakan liftnya?" tanya Tari menghalau kegiatan panas mereka."Kamu nggak bisa menunggu!" ucap Andrian keras. Tari menggeser letak berdirinya saat Lita berjalan keluar lift setelah acara pamer ciuman."Saya sudah terlalu lama menunggu untuk masuk ke lif ini. Pekerjaan saya, jadi terganggu. Kalau telat masuk, jelas Bapak akan marah." Tari berusaha berani menyuarakan keberatan hati melihat ade
Happy Reading***Beberapa kali Tari sengaja menghindar dari percakapan ataupun berduaan dengan Andrian. Semua terjadi karena gadis itu masih belum mampu untuk menatap dan bersikap biasa saja sejak kejadian melihat adegan iya-iya antara bosnya dengan sang istri muda.Gosip tentang kedekatannya dengan Andrian juga semakin santer terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar tersebut, tetapi Tari sudah mulai terbiasa. Awalnya mungkin risih, tetapi mengapa mesti mendengarkan gosip murahan jika dirinya saja tidak seperti yang dituduhkan.Tari sudah membereskan semua barang-barangnya di meja kerjanya. Mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat membuka pintu, si bos sudah berdiri dengan tangan yang terayun. Mungkin hendak mengetuk pintu ruangannya."Tar, siapkan dirimu! Besok, kita ada tinjauan ke lokasi perusahaan yang baru," perintah Andrian saat melihat Tari akan pulang dan berada di ambang pintu.Tari, hanya melirik Andrian tanpa menjawab apa pun. Dia juga tidak menganggukkan kepala
Happy Reading******"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang."Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu."Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya."Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang."Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi
Happy Reading***"Salah!" jawab Tari keras, "jika, semua keinginan dan hasrat itu tidak dibarengi tuntunan syariat dan kehalalan suatu hubungan." Tak mau mendengar alasan Andrian lagi, dia masuk ke kamar mandi, berwudu dan segera melaksanakan salat Asar.Andrian merenungi perkataan Tari. Mungkin hubungan yang terjalin bersama dengan Lita sebelum mereka halal waktu itu adalah sebuah kesalahan. Bukan Andrian yang mendekati, tetapi Lita yang menggodanya. Lelaki mana yang tahan saat godaan menggiurkan ada di depan mata. Setiap makhluk Adam pasti langsung menerkam mangsa yang sengaja disuguhkan.Untuk masalah satu itu, Andrian memang tak bisa membendungnya. Hasratnya selalu tinggi walau Nina tak pernah menolak keinginan itu, tetapi dia selalu merasa kurang dan kurang. Jika rasa itu memuncak, kepala sang lelaki ingin meledak seandainya tak tersalurkan. Pikirannya menjadi buntu."Apa hasratku memang nggak wajar? Kayaknya wajar saja, banyak kok lelaki kayak aku gini. Lalu, kenapa Tari memper
Happy Reading *****"Sudah! Jangan menangis lagi!" Andrian mencoba merengkuh Tari ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta. Tak Sudi lelaki itu menyentuhnya saat ini. "Lepas, Pak!" pinta Tari masih dengan isakan yang makin keras. "Tar, dengarkan aku! Aku akan menghapus semua gosip tentang kita di kantor dengan cara menikahimu. Aku butuh seorang pendamping seperti dirimu yang akan selalu mengarahkan dan memberi saran terhadap semua kesalahan yang aku lakukan." Andrian melepas rengkuhannya. Namun, berpindah menggenggam tangan Tari. Terus berusaha meyakinkan sang sekretaris. "Jangan membuat gosip itu benar, Pak! Cukup jauhi saya dan bersikaplah profesional!" Tari menghapus air mata yang tersisa. Berdiri dan membiarkan Andrian masih di balkon hotel. "Mengapa begitu sulit memasuki hatimu, Tar. Apa aku nggak cukup pantas untuk menjadi pendampingmu? Apa kurangnya aku. Banyak wanita di luaran sana yang sengaja menggoda agar bisa aku nikahi. Bahkan mereka dengan suka rela menyerahkan
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de