Mobil milik Ara menderu halus berhenti di area parkir sebuah gedung kosong yang terbelangkai. Tak jauh darinya, mobil hitam yang ditunggangi Jeni juga berhenti tepat di depan pintu masuk gedung. Semak belukar yang tumbuh di sekitar dan pencahayaan yang minim, membuat keberadaan Ara tersamarkan.Ara diam mengamati Jeni. Wanita itu nampak berjalan masuk diikuti oleh beberapa pria berbadan kekar yang menyeret seorang perempuan. "Apa yang akan mereka lakukan di sana?" gumam Ara penasaran."Hanya sesuatu yang sifatnya rahasia atau ilegal yang akan dibahas di tempat seperti itu, Nyonya."Ara tertegun mendengar sahutan Carol. Sesuatu yang rahasia? Apa Jeni ingin membahas tentang kasus pembunuhan itu? Kalau memang benar begitu, ini merupakan kesempatan emas untuk Ara mengetahui percakapan mereka. Mungkin dari sana, ia bisa menemukan sebuah titik terang yang berarti bagi Ghazi."Carol, ada berapa orang di dalam sana?" Terdengar mustahil memang, namun Carol sebagai salah satu pengawal terlatih
"Akhirnya sampai ju--loh Mas? Kok kamu sudah ada di sini?" Ara tak mungkin salah. Ia ingat betul kalau beberapa saat yang lalu Ghazi sedang mengejar Jeni di jalanan. Bagaimana bisa pria itu kini sudah duduk santai di ruang tamu?"Dari mana kamu?"Ara tertegun mendengar suara dingin sang suami. Perasaannya mendadak tak enak saat menyadari kalau raut wajah pria itu sedikit suram. "Sa-saya tadi mampir makan bakso Mas, iya kan Carol? Loh, ke mana dia?" Ara tak tahu saja, kalau Carol sengaja melarikan diri karena sempat dilirik tajam oleh sang tuan."Sini kamu."Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Ara berjalan mendekati Ghazi. Wanita itu hanya menunduk tak berani menatap wajah sang suami yang sepertinya marah kepadanya. "Dasar nakal!" Tak! "Aw!" pekik Ara saat Ghazi tiba-tiba menyentil dahinya. Wanita itu hanya merengut tak berani membalas. Ara tahu, kalau dirinya pasti tak sadar telah melakukan kesalahan sampai membuat Ghazi merasa kesal. "Pulang larut malam, sama sekali nggak kasih
Tiga bulan telah berlalu sejak kasus pembunuhan Arion Addaith terbongkar, kehidupan Ara dan Ghazi menjadi lebih tenang. Mereka menjalani rutinitas seperti biasa dengan penuh cinta dan kehangatan.Terkait Jeni, wanita itu selamat dari hukuman mati. Ghazi yang tak sanggup membunuhnya dan Ara yang merasa kalau wanita itu layak mendapat kesempatan kedua, membuat Jeni hanya diberi hukuman penjara. Meski itu juga tergolong buruk karena penjara milik Ghazi bagaikan neraka, setidaknya Jeni masih bisa bernapas. Saat ini, Ara berada di salah satu pusat perbelanjaan bersama Ghazi yang sibuk menggoda Biru. Anak kecil itu menggerutu tak terima karena pipi bakpaonya terus dicubit oleh sang papa. "Kalian bisa diam nggak?" Teguran Ara berhasil membuat dua pria berbeda usia di belakangnya seketika diam mematung. Suara mereka benar-benar mengacaukan fokus Ara yang sedang memikirkan hadiah untuk Zelin yang akan menikah dengan Roan dua hari lagi."Maaf Ma, ini semua salah Papa!" seru Biru menunjuk Gha
"Apa kamu sudah siap Amour?" Ara buru-buru memasukkan ponsel serta beberapa barang ke dalam tas miliknya. Mengambil sebuah High heels kemudian mulai memakainya."Iya Mas, sebentar lagi." sahut wanita itu dari dalam kamar. Setelah memastikan kalau penampilannya sudah rapih, Ara pun berjalan keluar. Begitu pintu terbuka, wajah terkesiap Ghazi langsung terpampang jelas. "Kenapa Mas? Jelek ya?"Ghazi hanya diam. Tangannya bergerak pelan menarik pinggang sang istri sebelum berbisik, "Kamu sangat cantik dan ... seksi, Amour."Hati Ara seketika berdesir mendengar pujian sang suami. Itu seperti ada ribuan kupu-kupu menari di dalam perutnya. Begitu menggetarkan sampai membuat ia terlena. "Ini semua buat kamu, Mas."Ghazi tersenyum puas. Pria itu mengecup tengkuk sang istri yang terekspos mulus di hadapannya. "Ayo berangkat sekarang sebelum saya menerkam kamu, Amour."Pernikahan Zelin dan Roan digelar di sebuah gedung dengan konsep yang simpel namun masih terkesan mewah. Walau hanya sanak sau
Dentuman musik disko terdengar menggema diseluruh penjuru bangunan kelab yang kini dipenuhi orang-orang penikmat dunia malam. Minuman keras penggugah hasrat nampak tersaji di mana-mana membentuk piramida yang sangat menggiurkan. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang wanita muda duduk menikmati sebatang rokok yang terselip di antara jari. Pakaian ketat berwarna hitam membalut tubuhnya yang proposional. Wajahnya juita dengan kesan angkuh yang sangat kentara.Awalnya semua baik-baik saja, sampai seorang perempuan berambut ikal datang mendekat memicu keributan. "Aku heran, kenapa ya keluarga Sigrid mau mengadopsi dirimu? Secara kamu itu hanya wanita berandalan yang nggak jelas asal usulnya." Si wanita memejamkan mata sesaat mencoba mengendalikan emosinya yang mulai tersulut. Tak mau mengotori tangannya dengan kekerasan, ia pun tersenyum seraya berkata, "Lalu apa bedanya dengan dirimu? Kamu juga anak pungut kan? Bahkan kamu lebih hina karena terlahir dari rahim seorang pelacur."
"Kamu mau ke mana Amour?"Langkah Ara yang hendak menuju kamar Carol seketika terhenti. Ia terkesiap melihat Ghazi sudah ada di rumah sepagi ini. Meraih tangan pria itu, Ara mengecupnya pelan. "Kamu sudah pulang Mas? Atau ada yang tertinggal?"Ghazi menggeleng. "Hari ini saya nggak terlalu sibuk, jadi pulang lebih cepat. Kamu belum menjawab pertanyaan saya, Amour." ujarnya memperhatikan penampilan rapi sang istri. Melihat tas sudah tersampir di pundak wanita itu, dapat dipastikan kalau Ara akan pergi keluar. "Saya mau menjemput Biru Mas, sekalian mau mampir ke rumah Mama." sahut Ara tersenyum. Sudah hampir satu bulan ini dirinya belum berkunjung ke rumah Zelin. Perihal Biru, anak itu sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Addaith. Anak berusia enam tahun itu kini sudah kembali aktif belajar di sekolah barunya. "Oh ya sudah, ayo saya antar."Lima belas menit kemudian, Mercedes hitam milik Ghazi telah sampai di dekat gerbang sekolah. Sudah banyak orang tua yang berlalu lalang menje
Ghazi dan Biru saling pandang ketika Ara menghampiri mereka. Mendapat tatapan penuh intimidasi dari sang anak, Ghazi pun mengulum senyum sembari menjawab, "Kami dari kamar mandi, Amour."Ara menatap keduanya skeptis. Apa yang mereka lakukan di kamar mandi sampai dua puluh menit lebih? Menghitung jentik-jentik? Ara memang sibuk berbicara dengan asistennya, namun bukan berarti wanita itu lupa waktu."Serius hanya ke kamar mandi?" Mendapat anggukan dari keduanya, Ara pun mencoba percaya. "Iya sudah, ayo kita beli makanan lalu pergi ke rumah Mama."Waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang ketika Ara sampai di rumah Zelin. Pintu rumah wanita itu terbuka dengan mobil Roan terparkir di halaman depan.Mengucap salam, ketiganya masuk ke dalam. Tetapi bukannya mendapat sambutan, mereka langsung disuguhkan kondisi rumah yang sangat berantakan dengan Zelin dan Roan yang berdiri kebingungan. "Ada apa ini Ma?" tanya Ara menyadarkan lamunan Zelin. Kedua manik wanita itu sontak berbinar saat menemu
"Carol, tolong belikan makanan buat Puffa dan Koopa ya? Saya lupa kemarin nggak sekalian mampir." ujar Ara memberikan beberapa lembar uang. Puffa, adalah seekor kucing Ashera yang memiliki panjang sekitar satu meter dengan berat dua belas kilo gram. Kucing cantik itu memiliki corak bulu yang mirip dengan macan tutul. Sedangkan Koopa, adalah kucing jantan jenis Peterbald yang memiliki warna hitam legam yang sangat eksotis. Keduanya menjadi primadona di antara peliharaan Ara yang lainnya. "Baik Nyonya, apa ada lagi?" "Sudah itu saja, jangan lama-lama ya Carol." ucap Ara menyerahkan kunci mobil miliknya.Carol mengangguk. Wanita itu beranjak pergi mulai mengendarai mobil sang nyonya menuju salah satu Petshop terbesar di daerah tersebut. Hanya butuh waktu lima belas menit, Carol sudah mendapatkan apa yang Ara minta. Saat ingin kembali, seorang wanita tiba-tiba masuk ke dalam mobil. Carol terkesiap kala menyadari siapa yang kini duduk di sampingnya."Ayo cepat ke tempat ini."Sebelah a