"Kamu mau ke mana Amour?"Langkah Ara yang hendak menuju kamar Carol seketika terhenti. Ia terkesiap melihat Ghazi sudah ada di rumah sepagi ini. Meraih tangan pria itu, Ara mengecupnya pelan. "Kamu sudah pulang Mas? Atau ada yang tertinggal?"Ghazi menggeleng. "Hari ini saya nggak terlalu sibuk, jadi pulang lebih cepat. Kamu belum menjawab pertanyaan saya, Amour." ujarnya memperhatikan penampilan rapi sang istri. Melihat tas sudah tersampir di pundak wanita itu, dapat dipastikan kalau Ara akan pergi keluar. "Saya mau menjemput Biru Mas, sekalian mau mampir ke rumah Mama." sahut Ara tersenyum. Sudah hampir satu bulan ini dirinya belum berkunjung ke rumah Zelin. Perihal Biru, anak itu sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Addaith. Anak berusia enam tahun itu kini sudah kembali aktif belajar di sekolah barunya. "Oh ya sudah, ayo saya antar."Lima belas menit kemudian, Mercedes hitam milik Ghazi telah sampai di dekat gerbang sekolah. Sudah banyak orang tua yang berlalu lalang menje
Ghazi dan Biru saling pandang ketika Ara menghampiri mereka. Mendapat tatapan penuh intimidasi dari sang anak, Ghazi pun mengulum senyum sembari menjawab, "Kami dari kamar mandi, Amour."Ara menatap keduanya skeptis. Apa yang mereka lakukan di kamar mandi sampai dua puluh menit lebih? Menghitung jentik-jentik? Ara memang sibuk berbicara dengan asistennya, namun bukan berarti wanita itu lupa waktu."Serius hanya ke kamar mandi?" Mendapat anggukan dari keduanya, Ara pun mencoba percaya. "Iya sudah, ayo kita beli makanan lalu pergi ke rumah Mama."Waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang ketika Ara sampai di rumah Zelin. Pintu rumah wanita itu terbuka dengan mobil Roan terparkir di halaman depan.Mengucap salam, ketiganya masuk ke dalam. Tetapi bukannya mendapat sambutan, mereka langsung disuguhkan kondisi rumah yang sangat berantakan dengan Zelin dan Roan yang berdiri kebingungan. "Ada apa ini Ma?" tanya Ara menyadarkan lamunan Zelin. Kedua manik wanita itu sontak berbinar saat menemu
"Carol, tolong belikan makanan buat Puffa dan Koopa ya? Saya lupa kemarin nggak sekalian mampir." ujar Ara memberikan beberapa lembar uang. Puffa, adalah seekor kucing Ashera yang memiliki panjang sekitar satu meter dengan berat dua belas kilo gram. Kucing cantik itu memiliki corak bulu yang mirip dengan macan tutul. Sedangkan Koopa, adalah kucing jantan jenis Peterbald yang memiliki warna hitam legam yang sangat eksotis. Keduanya menjadi primadona di antara peliharaan Ara yang lainnya. "Baik Nyonya, apa ada lagi?" "Sudah itu saja, jangan lama-lama ya Carol." ucap Ara menyerahkan kunci mobil miliknya.Carol mengangguk. Wanita itu beranjak pergi mulai mengendarai mobil sang nyonya menuju salah satu Petshop terbesar di daerah tersebut. Hanya butuh waktu lima belas menit, Carol sudah mendapatkan apa yang Ara minta. Saat ingin kembali, seorang wanita tiba-tiba masuk ke dalam mobil. Carol terkesiap kala menyadari siapa yang kini duduk di sampingnya."Ayo cepat ke tempat ini."Sebelah a
"Ada orang yang mencari Anda, Tuan. Orang itu sudah menunggu di depan."Kedua alis Ghazi saling bertaut. Siapa yang berani datang kemari tanpa membuat janji? Penasaran, Ghazi pun beranjak ke depan setelah menitipkan Biru kepada sang pelayan. Begitu kakinya melangkah keluar, siluet seorang pria langsung terlihat membuat Ghazi seketika mendengus. "Mau apa kamu ke sini?"Felix mengembangkan senyum. Pria itu mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas kemudian memberikannya kepada Ghazi. "Undangan buat Anda dan keluarga dari Ayah."Ghazi membukanya. Itu adalah sebuah undangan acara ulang tahun perusahaan milik salah satu pengusaha dalam negeri yang berhubungan baik dengan Ghazi."Besok-besok, kamu nggak perlu mengantarkannya sampai kemari. Cukup titipkan saja ke satpam di depan sana." ucap Ghazi. Ia paham, tujuan Felix ke sini bukan hanya ingin mengantarkan undangan, tetapi pria itu juga pasti ingin menarik perhatian Ara. Dasar pria centil.Mendapat tatapan tak suka dari Ghazi, Felix pun m
"Dasar bodoh!"Prang! Suara pecahan gelas yang berciuman dengan lantai terdengar keras memekkan telinga. Membuat seorang gadis berbaju pelayan jatuh bersimpuh dengan tubuh bergetar."Ma-maaf Nyonya, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kalau pria itu yang akan memakannya."Giana berdecak kesal. Pembelaan diri dari si pelayan semakin membuatnya muak. Rencana yang sudah ia susun, harus hancur begitu saja hanya karena rasa cemburu seorang pria."Seharusnya, kalau kamu tidak mampu menjalankan tugas dari saya, kamu tidak perlu memaksakan diri!" seru Giana menyentak dagu si pelayan sampai tubuhnya ikut terpelanting ke samping. "Perempuan seperti kamu, tidak pantas untuk hi--""Sebenarnya apa yang membuat Anda marah?" Pergerakan Giana yang hendak memukul si pelayan seketika terhenti saat suara lain ikut menimpali. Berbalik, senyum wanita itu pun mengembang melihat siapa yang datang. "Darling, untuk apa kamu datang kemari?""Melihatmu menyiksa dia mungkin?"Tawa Giana sontak mengudar
"Semua aman, Nyonya. Apa setelah ini Anda akan kembali ke rumah sakit?"Ara mengangguk. "Iya, saya akan kembali ke sana. Kamu tolong jaga Biru di sini ya? Saya nggak mungkin membawa dia kembali ke rumah sakit. Kalau Biru rewel, kamu bisa membawanya ke rumah Mama Zelin." "Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi kembali bekerja."Sepeninggal Carol, Ara merebahkan tubuhnya. Pikiran yang kalut serta tubuh yang letih, membuat wanita itu tertidur. Saat kembali terjaga, ternyata jumantara sudah berganti warna. Ara merutuki dirinya sendiri karena terlelap terlalu lama."Mari saya antar, Nyonya." tawar Carol menghampiri Ara yang hendak menaiki sebuah mobil."Nggak perlu Carol, saya bisa ke sana sendiri. Kamu di rumah saja menjaga Biru."Ara mulai melajukan mobilnya. Rintik hujan yang perlahan turun, membuat wanita itu terpaksa memilih jalan pintas agar cepat sampai. Namun sepertinya, keberuntungan sedang tidak berpihak kepada Ara. Tepat di depan mobilnya, kini berdiri lima orang pria yang me
Semilir angin pagi terasa menyejukkan raga. Langit sebiru samudra, terbentang luas dipenuhi gumpalan awan bak permen kapas. Begitu menawan nan elok dipandang. Berbanding terbalik dengan wajah Giana yang nampak keruh. Kedua manik wanita itu menatap lurus sebuah gedung yang paling tinggi di antara yang lain."Duduklah."Carol yang baru saja menginjakkan kakinya di balkon apartemen milik Giana pun mengambil duduk di samping wanita itu. "Ada apa memanggilku?""Apa gadis kemarin sudah kamu bereskan?"Carol mengangguk. "Jarinya kalau Anda mau."Giana sedikit terkesiap melihat potongan jari yang Carol letakkan di atas meja. Bocah ini, kenapa barbar sekali?"Cepat singkirkan."Carol mengerjap. Sadar kalau Giana terganggu, ia pun mengambil potongan jari tersebut kemudian kembali mengantonginya dengan santai. "Jadi, apa alasan Anda memanggil saya?"Giana menghela napas pelan. Wanita itu meraih sebatang rokok sebelum mulai menikmatinya. "Sudah berulang kali saya mencoba mencelakai dia, tapi tid
"Silahkan dinikmati, Nona."Ara mengangguk sopan. Deretan makanan serta minuman di depannya sangatlah beragam dan sedikit asing bagi Ara. Apalagi cairan yang ada di gelas-gelas bening itu, Ara tak pernah mencobanya. "Ada apa Nona? Apa Anda tidak menyukai makanannya? Kalau begitu biar sa--""Ah tidak-tidak, ini hanya terlalu banyak. Saya sampai bingung ingin mencoba yang mana." gurau Ara. "Kalau begitu cobalah yang ini, Nona. Ini sangat enak." tawar si wanita meneguk segelas minuman. Tangannya bergerak meraih gelas lain kemudian memberikannya kepada Ara. "Cobalah,"Tak ingin menyinggung perasaan si wanita, Ara pun meraihnya. Ia menatap ragu minuman tersebut. Hati kecilnya berkata kalau Ara sebaiknya mengabaikan. Namun si wanita yang terus menatapnya, membuat Ara mau tak mau mulai mencobanya.Begitu cairan itu masuk ke dalam kerongkongan, rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Ara. Kepalanya mulai pening dan matanya berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. Ara jatuh pin