"Carol, tolong belikan makanan buat Puffa dan Koopa ya? Saya lupa kemarin nggak sekalian mampir." ujar Ara memberikan beberapa lembar uang. Puffa, adalah seekor kucing Ashera yang memiliki panjang sekitar satu meter dengan berat dua belas kilo gram. Kucing cantik itu memiliki corak bulu yang mirip dengan macan tutul. Sedangkan Koopa, adalah kucing jantan jenis Peterbald yang memiliki warna hitam legam yang sangat eksotis. Keduanya menjadi primadona di antara peliharaan Ara yang lainnya. "Baik Nyonya, apa ada lagi?" "Sudah itu saja, jangan lama-lama ya Carol." ucap Ara menyerahkan kunci mobil miliknya.Carol mengangguk. Wanita itu beranjak pergi mulai mengendarai mobil sang nyonya menuju salah satu Petshop terbesar di daerah tersebut. Hanya butuh waktu lima belas menit, Carol sudah mendapatkan apa yang Ara minta. Saat ingin kembali, seorang wanita tiba-tiba masuk ke dalam mobil. Carol terkesiap kala menyadari siapa yang kini duduk di sampingnya."Ayo cepat ke tempat ini."Sebelah a
"Ada orang yang mencari Anda, Tuan. Orang itu sudah menunggu di depan."Kedua alis Ghazi saling bertaut. Siapa yang berani datang kemari tanpa membuat janji? Penasaran, Ghazi pun beranjak ke depan setelah menitipkan Biru kepada sang pelayan. Begitu kakinya melangkah keluar, siluet seorang pria langsung terlihat membuat Ghazi seketika mendengus. "Mau apa kamu ke sini?"Felix mengembangkan senyum. Pria itu mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas kemudian memberikannya kepada Ghazi. "Undangan buat Anda dan keluarga dari Ayah."Ghazi membukanya. Itu adalah sebuah undangan acara ulang tahun perusahaan milik salah satu pengusaha dalam negeri yang berhubungan baik dengan Ghazi."Besok-besok, kamu nggak perlu mengantarkannya sampai kemari. Cukup titipkan saja ke satpam di depan sana." ucap Ghazi. Ia paham, tujuan Felix ke sini bukan hanya ingin mengantarkan undangan, tetapi pria itu juga pasti ingin menarik perhatian Ara. Dasar pria centil.Mendapat tatapan tak suka dari Ghazi, Felix pun m
"Dasar bodoh!"Prang! Suara pecahan gelas yang berciuman dengan lantai terdengar keras memekkan telinga. Membuat seorang gadis berbaju pelayan jatuh bersimpuh dengan tubuh bergetar."Ma-maaf Nyonya, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kalau pria itu yang akan memakannya."Giana berdecak kesal. Pembelaan diri dari si pelayan semakin membuatnya muak. Rencana yang sudah ia susun, harus hancur begitu saja hanya karena rasa cemburu seorang pria."Seharusnya, kalau kamu tidak mampu menjalankan tugas dari saya, kamu tidak perlu memaksakan diri!" seru Giana menyentak dagu si pelayan sampai tubuhnya ikut terpelanting ke samping. "Perempuan seperti kamu, tidak pantas untuk hi--""Sebenarnya apa yang membuat Anda marah?" Pergerakan Giana yang hendak memukul si pelayan seketika terhenti saat suara lain ikut menimpali. Berbalik, senyum wanita itu pun mengembang melihat siapa yang datang. "Darling, untuk apa kamu datang kemari?""Melihatmu menyiksa dia mungkin?"Tawa Giana sontak mengudar
"Semua aman, Nyonya. Apa setelah ini Anda akan kembali ke rumah sakit?"Ara mengangguk. "Iya, saya akan kembali ke sana. Kamu tolong jaga Biru di sini ya? Saya nggak mungkin membawa dia kembali ke rumah sakit. Kalau Biru rewel, kamu bisa membawanya ke rumah Mama Zelin." "Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi kembali bekerja."Sepeninggal Carol, Ara merebahkan tubuhnya. Pikiran yang kalut serta tubuh yang letih, membuat wanita itu tertidur. Saat kembali terjaga, ternyata jumantara sudah berganti warna. Ara merutuki dirinya sendiri karena terlelap terlalu lama."Mari saya antar, Nyonya." tawar Carol menghampiri Ara yang hendak menaiki sebuah mobil."Nggak perlu Carol, saya bisa ke sana sendiri. Kamu di rumah saja menjaga Biru."Ara mulai melajukan mobilnya. Rintik hujan yang perlahan turun, membuat wanita itu terpaksa memilih jalan pintas agar cepat sampai. Namun sepertinya, keberuntungan sedang tidak berpihak kepada Ara. Tepat di depan mobilnya, kini berdiri lima orang pria yang me
Semilir angin pagi terasa menyejukkan raga. Langit sebiru samudra, terbentang luas dipenuhi gumpalan awan bak permen kapas. Begitu menawan nan elok dipandang. Berbanding terbalik dengan wajah Giana yang nampak keruh. Kedua manik wanita itu menatap lurus sebuah gedung yang paling tinggi di antara yang lain."Duduklah."Carol yang baru saja menginjakkan kakinya di balkon apartemen milik Giana pun mengambil duduk di samping wanita itu. "Ada apa memanggilku?""Apa gadis kemarin sudah kamu bereskan?"Carol mengangguk. "Jarinya kalau Anda mau."Giana sedikit terkesiap melihat potongan jari yang Carol letakkan di atas meja. Bocah ini, kenapa barbar sekali?"Cepat singkirkan."Carol mengerjap. Sadar kalau Giana terganggu, ia pun mengambil potongan jari tersebut kemudian kembali mengantonginya dengan santai. "Jadi, apa alasan Anda memanggil saya?"Giana menghela napas pelan. Wanita itu meraih sebatang rokok sebelum mulai menikmatinya. "Sudah berulang kali saya mencoba mencelakai dia, tapi tid
"Silahkan dinikmati, Nona."Ara mengangguk sopan. Deretan makanan serta minuman di depannya sangatlah beragam dan sedikit asing bagi Ara. Apalagi cairan yang ada di gelas-gelas bening itu, Ara tak pernah mencobanya. "Ada apa Nona? Apa Anda tidak menyukai makanannya? Kalau begitu biar sa--""Ah tidak-tidak, ini hanya terlalu banyak. Saya sampai bingung ingin mencoba yang mana." gurau Ara. "Kalau begitu cobalah yang ini, Nona. Ini sangat enak." tawar si wanita meneguk segelas minuman. Tangannya bergerak meraih gelas lain kemudian memberikannya kepada Ara. "Cobalah,"Tak ingin menyinggung perasaan si wanita, Ara pun meraihnya. Ia menatap ragu minuman tersebut. Hati kecilnya berkata kalau Ara sebaiknya mengabaikan. Namun si wanita yang terus menatapnya, membuat Ara mau tak mau mulai mencobanya.Begitu cairan itu masuk ke dalam kerongkongan, rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Ara. Kepalanya mulai pening dan matanya berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. Ara jatuh pin
"Kita mau ke mana Nyonya?" tanya Carol melirik Ara yang duduk di kursi belakang.Saat ini, mereka masih berada di pelataran rumah sakit tempat Ara dirawat semalam. Minuman keras dosis tinggi yang Ara cicipi, membuat lambung wanita itu sedikit bermasalah dan mengharuskannya menetap di sana."Ayo kembali ke rumah, Carol. Kata dokter Mas Ghazi sudah pulang." ucap Ara penuh binar kebahagian. Beberapa saat yang lalu, Ara mencoba menghubungi Luisa dan Giana untuk menanyakan kabar sang suami. Tak kunjung mendapat balasan, Ara pun memilih menelpon pihak rumah sakit dan mereka bilang kalau Ghazi sudah dipulangkan sejak pagi tadi. "Ayo jalan sekarang, Carol."Dua puluh menit, akhirnya Ara sampai di kediaman keluarga Addaith. Wanita itu buru-buru turun kemudian melangkah masuk. Hatinya seketika berbunga-bunga saat melihat Ghazi yang kini duduk bersandar di salah satu sofa ruang keluarga. "Mas Ghazi ka--""Tetap di sana."Pergerakan Ara yang hendak berlari ke arah Ghazi seketika terhenti. Nad
"Apa yang membuatmu datang kemari, Darling?"Carol menatap dingin Giana yang kini duduk di sebuah sofa tunggal. Beberapa saat yang lalu, ia sengaja menghubungi wanita itu untuk bisa bertemu. Dan di sini lah mereka berada, di sebuah Villa yang dikelilingi hutan belantara. "Kenapa Anda mengusirnya?"Giana tersenyum geli mendengar pertanyaan Carol yang terasa menggelitik. "Saya hanya menjalankan ide yang kamu cetuskan, ingat?"Wajah Carol seketika berubah keruh. Tampaknya, Giana memang selalu mengartikan semua hal secara berlebihan. Carol memang memberi saran kepada wanita itu untuk menyerang sikis Ara, tetapi tidak dengan cara kotor seperti ini. "Apa Anda sadar? Cara yang Anda gunakan itu lebih busuk dari pada sebuah bangkai."Giana tertawa sumbang. Lagi-lagi, perkataan Carol terdengar seperti lelucon dikedua telinganya. "Jangan terlalu naif, Darling. Bukankah kamu sendiri terbiasa menggunakan cara seperti itu? Menikam tuanmu sendiri dari belakang, apa itu masih bisa dianggap bersih?"