Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
"Loh, Bang, kok yang jualan cilok beda? Abang yang biasanya ke mana?"Malam itu, sepulang kerja, wanita bernama Ara melihat gerobak cilok favoritnya tengah berhenti di dekat pos ronda. Ara yang kebetulan merasa lapar pun segera menepikan mobilnya.Ara sedikit pangling, pasalnya penjual cilok kali ini terlihat sangat berbeda. Pria itu terasa lebih berkarisma, dan jelas ... tampan."Abang biasanya lagi sakit, Mbak. Jadi, saya yang gantiin." sahutnya.Tak kuasa menahan lapar di hadapan uap beraroma cilok di hadapannya, Ara akhirnya membelinya. Wanita itu sedikit tersipu menyaksikan si abang cilok yang melayani pesanan Ara dengan sumringah.Diam-diam Ara mengamati wajah pria di depannya itu. Wajah si abang cilok ini sangat tampan. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, alisnya tebal tertata rapi."Ganteng-ganteng gini kok jualan cilok, sih?" batin Ara penasaran. Pasalnya, Ara bisa jamin, kalau pria di hadapannya adalah aktor, atau CEO kaya raya, pasti akan terlihat lebih sempurna.Sibu
"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!"Pernikahan Ara dan Ghazi berjalan lancar disaksikan oleh beberapa warga dan para paman dari masing-masing mempelai yang bertugas menjadi wali mereka.Sepanjang acara, Ara hanya terdiam dengan tatapan kosong. Kedua matanya memang terbuka, tetapi kesadarannya seperti hilang entah kemana. Ketika diajak bicara, wanita itu hanya diam tanpa memberi respon apapun. Zelin yang menemani sang putri dari awal pun hanya bisa terus menangis.Melihat kondisi Ara yang semakin memburuk, Zelin terpaksa membuat kesepakatan dengan sang menantu. Ia melarang Ghazi membawa atau bertemu dengan Ara sampai kondisi wanita itu membaik. Untung saja, pria itu langsung menyetujuinya.Ara mulai rutin menjalani psikoterapi sampai perlahan kondisinya membaik. Namun, karena depresi parah yang saat itu ia alami, membuat Ara harus menerima fakta bahwa ia tidak bisa mengingat kejadian-kejadian yang belum lama terjadi dalam hidupnya, termasuk acara pernikahannya sendiri.Tepat dihari keti
“Ara berangkat yah Ma!”Keesokan harinya, tepatnya pukul tiga sore, Ara sudah siap dengan dua koper besar berisi barang-barang miliknya yang telah ia kemas semalam. Setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah pria itu. Sesungguhnya, keraguan masih terus membayangi diri Ara. Tetapi setelah "dibujuk” oleh Ghazi, dan mendengar cerita dari sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik, Ara mendapat sedikit keberanian untuk mencoba memulai semuanya dari awal.Seperti sekarang, setelah 15 menit melakukan perjalanan, akhirnya Ara sampai di rumah pria itu yang ada di desa seberang. Rumahnya kecil, tetapi terlihat sangat bersih dan asri karena dipenuhi bunga warna-warni yang tertanam rapi di halaman rumahnya.Sedikit malas Ara mengetuk pintu di depannya. Tidak lama kemudian, Ghazi keluar dengan handuk yang masih bertengger di lehernya dan rambut yang masih terlihat basah."Saya kira kamu nggak akan ke sini." ucap Ghazi tersenyum membukakan pintu.Ara
Deru halus terdengar saat sebuah Mercedes hitam berhenti pelan di depan salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat kota. Pintu mobil bergengsi itu terbuka menampilkan seorang pria yang memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, serta lengan yang tergulung sampai ke siku. Tak lupa dengan jas hitam yang ia pegang ditangannya.Walau terkesan berantakan, tetapi aura yang terpancar sungguh menawan. Badan yang proposional dengan wajah yang terpahat tampan, membuat ia selalu menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang, semua orang menoleh memperhatikan saat ia berjalan memasuki perusahaan. Para karyawan mengangguk sopan ketika berapapasan, sambil diam-diam mengagumi bos mereka yang minim senyuman. Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah gagal. Hampir semua proyek yang ia kerjakan selalu sukses dengan hasil yang memuaskan. Inovasi yang ia kemukakan pun selalu mengesankan dan menjadi yang paling unggul. Hal inilah yang membuat perusahaannya terus
"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung."Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi."Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara."Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu."Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Ka