"Loh, Bang, kok yang jualan cilok beda? Abang yang biasanya ke mana?"
Malam itu, sepulang kerja, wanita bernama Ara melihat gerobak cilok favoritnya tengah berhenti di dekat pos ronda. Ara yang kebetulan merasa lapar pun segera menepikan mobilnya.Ara sedikit pangling, pasalnya penjual cilok kali ini terlihat sangat berbeda. Pria itu terasa lebih berkarisma, dan jelas ... tampan."Abang biasanya lagi sakit, Mbak. Jadi, saya yang gantiin." sahutnya.Tak kuasa menahan lapar di hadapan uap beraroma cilok di hadapannya, Ara akhirnya membelinya. Wanita itu sedikit tersipu menyaksikan si abang cilok yang melayani pesanan Ara dengan sumringah.Diam-diam Ara mengamati wajah pria di depannya itu. Wajah si abang cilok ini sangat tampan. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, alisnya tebal tertata rapi."Ganteng-ganteng gini kok jualan cilok, sih?" batin Ara penasaran. Pasalnya, Ara bisa jamin, kalau pria di hadapannya adalah aktor, atau CEO kaya raya, pasti akan terlihat lebih sempurna.Sibuk dengan pikirannya, Ara tak sadar jika pria tampan itu sudah menyerahkan plastik berisi cilok ke hadapannya. Wanita itu pun menerimanya.Namun, tepat ketika Ara merogoh kantongnya untuk mengambil uang, sebilah pisau melesat kencang membentur dinding pos ronda nyaris melukai Ara dan penjual cilok. Keduanya sama-sama merasa syok. Belum sempat bereaksi, segerombolan orang berpakaian serba hitam datang menyerang dengan senjata tajam.“Lu nyari masalah sama orang yang salah!” teriak salah satu pria yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah belati dari kantongnya.Suasana yang tenang seketika menegang kala si penjual cilok ikut mengeluarkan sebuah belati dan mulai melawan mereka. Ara yang terlalu terkejut bingung harus berbuat apa.“Bisa-bisanya orang kayak lu malah jualan cilok,”Ucapan salah satu pria terdengar samar di telinga Ara. Apa maksud pria itu? Memangnya ada yang salah dengan si penjual cilok?Masih sibuk dengan pikirannya, Ara tak sadar ketika salah satu senjata dari si penjahat tak sengaja menggores lengan atasnya membuat baju Ara robek dengan darah yang mulai merembas keluar. Ara yang mengidap hemophobia langsung terdiam dengan tubuh yang menegang."Da-darah ... " lirih Ara terbata menyentuh lukanya dengan tangan gemetar. Seketika panik menyergap dirinya. Tubuhnya langsung meluruh terduduk di atas tanah.Ara memekik tertahan, dan napasnya memburu tidak karuan. Tubuhnya semakin gemetar dengan isak tangis yang mulai terdengar. Kondisi semakin memburuk kala seorang pria terjatuh di samping Ara dengan tiga luka sayatan di lehernya yang terus mengeluarkan darah.Berada di dalam kepanikan, Ara tak sadar, bahwa pria tampan penjual cilok itu kini sibuk menghajar orang-orang berpakaian hitam itu tanpa belas kasih. Bahkan, wanita itu tetap tak berkutik kala si penjual cilok menghampirinya."Mbak, Mbak baik-baik saja, kan?" tanya pria yang penampilannya kini sudah jauh dari penjual cilok pada umumnya.Mendengar itu, Ara memberanikan diri membuka matanya. Namun, tubuhnya seketika membeku kala melihat tangan sang pria yang berlumuran darah hendak menyentuh tubuhnya. Tak sanggup lagi melihat cairan merah kental dan menghirup bau anyir yang mulai memenuhi sarafnya, Ara pun kehilangan kesadaran."Mbak, kok pingsan!?" seru si penjual cilok, merasa panik. Namun, di saat yang bersamaan, pria yang bernama Ghazi itu bersyukur, karena wanita cantik itu tak sadar dengan apa yang baru saja dilakukan sang pria.Baru saat itu, Ghazi tersadar, wanita yang terkulai lemas itu terluka tepat di lengan kirinya. Pria itu pun langsung membopong tubuh Ara lalu merebahkannya di pos ronda.Ghazi melepas kaos yang ia pakai saat ia menyadari bahwa dirinya juga terluka di bagian punggung. Ia pun merobek kaosnya kemudian mengikat luka sang wanita dengan kain tersebut.Ghazi mengambil ponselnya menghubungi seseorang. Tidak lama kemudian, beberapa orang dengan pakaian serba tertutup datang membereskan mayat-mayat yang tergelatak di jalanan. Sebelum pergi, salah satu dari mereka menoleh menatap Ghazi seperti memberi kode, Ghazi yang paham hanya mengangguk menanggapi.Ia kemudian menoleh menatap Ara yang masih memejamkan mata. Melihat ada sebuah dompet di saku celana perempuan itu, Ghazi mengambilnya. Sebuah kartu identitas pun terlihat. Senyum tipis langsung tersungging kala Ghazi mengetahui siapa wanita di depannya ini."Akhirnya saya menemukan kamu." batinnya.Ghazi berniat memindahkan Ara ke dalam mobil perempuan itu. Tetapi hujan deras yang tiba-tiba turun, membuat Ghazi mengurungkan niatnya. Jarak yang cukup jauh antara pos ronda dengan kendaraan tersebut, menjadi alasan utama Ghazi. Ia tidak ingin luka dipunggungnya semakin parah karena terkena air hujan. Akhirnya Ghazi memutuskan untuk menunggu sampai hujan reda. Karena merasa lelah, ia pun tertidur di samping Ara.Namun, belum sempat pria itu tertidur pulas, tiba-tiba suara kegaduhan terdengar. "Itu mereka!"Ara menggeliat. Saat matanya sudah terbuka dan melihat banyak warga yang mengelilinginya, ia pun langsung terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Bayangan kejadian yang baru saja ia alami kembali muncul membuat tubuhnya seketika gemetar dan menatap waspada para warga yang saat ini menatapnya bengis. Merasa takut kalau orang-orang itu akan melukai dirinya."Mau apa kalian?! Pergi!" teriaknya tak terkontrol membuat Ghazi seketika terbangun."Dasar manusia nggak tahu malu! Berani-beraninya berbuat mesum di sini!" teriak salah satu warga. Jiwa yang masih terguncang membuat Ara terdiam ketakutan. Pikirannya yang kacau membuat lidahnya terasa kelu dan hanya bisa kembali menangis terisak.Ghazi yang sudah sadar sepenuhnya pun dengan cepat memahami situasi. Melihat dua orang dewasa tertidur bersama dengan salah satunya tak mengenakan pakaian, pasti membuat para warga langsung berfikiran negatif."Kalian semua keliru! Saya dan dia nggak melakukan apa-apa!" sahut Ghazi menyangkal."Nggak ada maling yang mau mengaku!""Saya bukan maling!" teriak Ghazi tak terima."Sudah cukup! Ayo bawa saja mereka ke kantor kepala desa!"Ara seketika panik. Ia menjerit memberontak saat beberapa warga mulai mendekat memegangi kedua tangannya. Ara sama sekali tidak mengenal mereka. Ia benar-benar merasa takut dan tertekan saat dirinya mulai ditarik sepanjang jalan tanpa paham apa kesalahannya.Ghazi yang juga diseret paksa oleh para warga pun tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa diam melihat seorang wanita yang kini berjalan terseok-seok berlinang air mata.Sampai di kantor kepala desa, perdebatan sengit langsung terjadi antara Ghazi dan para warga. Sedangkan Ara hanya terus menangis karena tubuhnya mulai merasa lelah.Tidak lama kemudian, Zelin-mama Ara-datang dan langsung memeluk sang anak yang seketika menangis kencang saat melihat kedatangannya. Kini Zelin tahu, bahwa trauma Ara belum benar-benar sembuh."Jadi bagaimana keputusannya Pak?" tanya salah satu warga kepada Kepala desa."Nikahkan saja mereka!" sahut salah satu warga diangguki yang lain."Saya nggak setuju! Apa kalian nggak bisa lihat gimana kondisi putri saya? Ia masih syok! Dan belum tentu anak saya bersalah!" ucap Zelin tidak setuju."Nggak usah menyangkal, Zelin, anakmu memang bersalah! Sama seperti ayahnya dulu yang menghamili anak orang." Sinis salah satu ibu-ibu yang ada di sana."Jaga mulutmu!" bentak Zelin mendorong tubuh wanita itu, membuat suasana pun semakin panas.Melihat Zelin yang disudutkan oleh para warga, dan wanita cantik di sampingnya yang hanya diam dengan wajah yang dipenuhi air mata, Ghazi merasa tak tega. Ia memutar otak mencari jalan keluar. Tetapi kali ini ia benar-benar tidak mempunyai bukti karena di desa ini tidak ada CCTV sama sekali. Jikalau itu ada, Ghazi akan menyembunyikannya karena bisa membahayakan dirinya sendiri."Kalau mereka nggak mau menikah, maka bakar saja keduanya!"Teriakan beserta ekspresi kemarahan dari para warga, membuat panik kembali memenuhi perasaan Ara. Tubuh wanita itu kembali bergetar, sehingga dirinya hanya bisa memeluk ibunya untuk menenangkan diri.Apa yang ada di otak orang-orang yang tak dikenalnya itu? Menikah? Dia bahkan tak mengenal pria yang masih menyisakan aroma darah di tubuhnya itu! Pertemuan keduanya hanya berdasarkan satu hal, yaitu konsumen yang ingin membeli cilok kepada penjualnya!Ingin rasanya Ara kabur, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya ibunya yang bisa membelanya. Namun, tepat saat dia ingin mencoba berbicara, sebuah suara bariton terdengar lantang di telinganya."Cukup! Saya akan menikahi Ara besok pagi kalau itu mau kalian.""Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!"Pernikahan Ara dan Ghazi berjalan lancar disaksikan oleh beberapa warga dan para paman dari masing-masing mempelai yang bertugas menjadi wali mereka.Sepanjang acara, Ara hanya terdiam dengan tatapan kosong. Kedua matanya memang terbuka, tetapi kesadarannya seperti hilang entah kemana. Ketika diajak bicara, wanita itu hanya diam tanpa memberi respon apapun. Zelin yang menemani sang putri dari awal pun hanya bisa terus menangis.Melihat kondisi Ara yang semakin memburuk, Zelin terpaksa membuat kesepakatan dengan sang menantu. Ia melarang Ghazi membawa atau bertemu dengan Ara sampai kondisi wanita itu membaik. Untung saja, pria itu langsung menyetujuinya.Ara mulai rutin menjalani psikoterapi sampai perlahan kondisinya membaik. Namun, karena depresi parah yang saat itu ia alami, membuat Ara harus menerima fakta bahwa ia tidak bisa mengingat kejadian-kejadian yang belum lama terjadi dalam hidupnya, termasuk acara pernikahannya sendiri.Tepat dihari keti
“Ara berangkat yah Ma!”Keesokan harinya, tepatnya pukul tiga sore, Ara sudah siap dengan dua koper besar berisi barang-barang miliknya yang telah ia kemas semalam. Setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah pria itu. Sesungguhnya, keraguan masih terus membayangi diri Ara. Tetapi setelah "dibujuk” oleh Ghazi, dan mendengar cerita dari sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik, Ara mendapat sedikit keberanian untuk mencoba memulai semuanya dari awal.Seperti sekarang, setelah 15 menit melakukan perjalanan, akhirnya Ara sampai di rumah pria itu yang ada di desa seberang. Rumahnya kecil, tetapi terlihat sangat bersih dan asri karena dipenuhi bunga warna-warni yang tertanam rapi di halaman rumahnya.Sedikit malas Ara mengetuk pintu di depannya. Tidak lama kemudian, Ghazi keluar dengan handuk yang masih bertengger di lehernya dan rambut yang masih terlihat basah."Saya kira kamu nggak akan ke sini." ucap Ghazi tersenyum membukakan pintu.Ara
Deru halus terdengar saat sebuah Mercedes hitam berhenti pelan di depan salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat kota. Pintu mobil bergengsi itu terbuka menampilkan seorang pria yang memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, serta lengan yang tergulung sampai ke siku. Tak lupa dengan jas hitam yang ia pegang ditangannya.Walau terkesan berantakan, tetapi aura yang terpancar sungguh menawan. Badan yang proposional dengan wajah yang terpahat tampan, membuat ia selalu menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang, semua orang menoleh memperhatikan saat ia berjalan memasuki perusahaan. Para karyawan mengangguk sopan ketika berapapasan, sambil diam-diam mengagumi bos mereka yang minim senyuman. Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah gagal. Hampir semua proyek yang ia kerjakan selalu sukses dengan hasil yang memuaskan. Inovasi yang ia kemukakan pun selalu mengesankan dan menjadi yang paling unggul. Hal inilah yang membuat perusahaannya terus
"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung."Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi."Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara."Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu."Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Ka
"Sampai kapan kamu akan menyamar seperti ini? Aku yakin, istrimu itu lama-kelaman akan merasa curiga." ucap Willy menatap bosan kearah Ghazi yang kini tengah memakai sebuah topi. "Bukannya aku sudah pernah bilang?" sahut Ghazi mulai menata isi gerobak yang terlihat berantakan. Saat ini keduanya tengah meneduh disebuah gubuk kosong tempat tukang tambal ban yang saat ini sudah tutup."Kalau ternyata yang kamu cari nggak ada sama dia, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Willy. Ghazi terdiam. Ia menatap Willy serius. "Ada atau nggak adanya bukti itu, aku nggak akan pernah melepas apa yang sudah menjadi milikku." sahut Ghazi. Willy hanya menghela napas pasrah. Ia paham betul bagaimana sifat Ghazi, pria itu sangat membenci sebuah perpisahaan. Meski yang dimilikinya itu bukanlah hal yang ia sukai, Ghazi cenderung sulit untuk melepaskan. "Lalu apa lagi setelah ini? Kamu akan menerobos hujan sampai ke rumah supaya terlihat meyakinkan begitu?" ujar Willy memandang derasnya air hujan yang turu
Keesokan harinya, Ghazi terlihat sibuk merawat tanaman yang ada di depan rumah. Tangannya dengan cekatan menyirami, menata, serta memberi pupuk bunga-bunga yang ada disekitarnya. Senyum kecil sesekali akan muncul ketika seekor kupu-kupu terbang mengelilingi tubuhnya. Pria itu terlihat sangat menikmati apa yang tengah ia lakukan.Ara yang sedari tadi mengamati dari dalam pun tertarik untuk menghampiri sang suami. Ia keluar kemudian duduk di teras dekat dengan Ghazi. "Kamu suka berkebun?" Ghazi langsung menoleh saat suara Ara terdengar. Wanita itu terlihat masih mengenakan piyamanya dengan rambut yang digelung asal."Suka, dulu saya sering berkebun sama almarhum Mama. Kalau kamu?" tanya Ghazi. "Nggak terlalu, saya lebih suka permen jahe." sahut Ara asal. Wanita itu memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja, berbelanja, dan makan, daripada melakukan kegiatan lain seperti berkebun. "Kamu nggak pergi jualan?" tanya Ara.Ghazi menggeleng. "Kamu bilang mau pergi ke rumah paman
"Mau kemana bawa-bawa sarung begitu?" tanya Ara saat melihat Ghazi keluar dari kamar membawa sebuah sarung yang pria itu kalungkan di lehernya. Kini siang telah berganti malam, dan mereka sudah berada di dalam rumah. Keributan yang terjadi di taman, membuat Ara tak jadi pergi ke rumah paman Ghazi. Wanita itu memilih pulang, dan mengurung diri dengan setumpuk makanan. "Saya izin ngeronda yah?" ucap Ghazi berjalan mendekati Ara yang tengah berbaring menonton televisi."Masih sore mau ngeronda?" sahut Ara bingung. Matanya melirik kearah jam dinding yang masih menunjukan pukul setengah tujuh malam."Mau rapat dulu di kantor desa Ra." sahut Ghazi. Tangan lelaki itu sibuk mengusir nyamuk yang mencoba menggigit sang istri. Ara yang diperhatikan sedetail itu pun diam-diam tersenyum."Lama nggak?" Kini Ara mengalihkan perhatiannya penuh pada Ghazi. Memperhatikan wajah sang suami yang selalu terlihat menawan. "Saya nggak tahu, tapi saya usahain pulang lebih awal. Jadi boleh nggak?" Sebenarnya
"Siapa kamu sebenarnya?" lirihnya sendu meneteskan air mata. Melihat Ara menangis, hati Ghazi seperti dicubit. Rasa bersalah seketika menyergap dirinya. Apakah tindakannya ini merupakan satu kecerobohan yang fatal?Semua orang yang ada di sana diam menyaksikan. Begitupula dengan Fella yang semakin kesal karena melihat tuan Addaith menolong Ara. Tanpa takut ia berjalan mendekat hendak menarik rambut wanita itu, tetapi tangannya langsung ditepis bahkan sebelum menyentuhnya. "Jauhkan tangan kotormu dari istriku." desis Ghazi penuh penekanan. Fella seketika mematung. Ia jelas paham siapa pria di depannya ini. Itu adalah pria yang sama yang ia temui di taman pagi tadi. Abraham dan semua orang yang masih bisa mendengar itu seketika terkejut. Istri? Jadi wanita itu istri tuan Addaith? Sebagian orang khususnya wanita, banyak yang merasa kecewa sebab itu artinya kesempatan mereka untuk bisa bersanding dengan pria kaya raya itu seketika pupus. Dan sebagian lagi, merasa kesal atas tindakan Fel