"Sampai kapan kamu akan menyamar seperti ini? Aku yakin, istrimu itu lama-kelaman akan merasa curiga." ucap Willy menatap bosan kearah Ghazi yang kini tengah memakai sebuah topi.
"Bukannya aku sudah pernah bilang?" sahut Ghazi mulai menata isi gerobak yang terlihat berantakan. Saat ini keduanya tengah meneduh disebuah gubuk kosong tempat tukang tambal ban yang saat ini sudah tutup."Kalau ternyata yang kamu cari nggak ada sama dia, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Willy. Ghazi terdiam. Ia menatap Willy serius."Ada atau nggak adanya bukti itu, aku nggak akan pernah melepas apa yang sudah menjadi milikku." sahut Ghazi. Willy hanya menghela napas pasrah. Ia paham betul bagaimana sifat Ghazi, pria itu sangat membenci sebuah perpisahaan. Meski yang dimilikinya itu bukanlah hal yang ia sukai, Ghazi cenderung sulit untuk melepaskan."Lalu apa lagi setelah ini? Kamu akan menerobos hujan sampai ke rumah supaya terlihat meyakinkan begitu?" ujar Willy memandang derasnya air hujan yang turun dari langit. Menyentuhnya pelan, merasakan dingin yang perlahan menjalar ketelapak tangannya. Saat ia kembali menoleh ke samping, Willy langsung melongo melihat Ghazi yang sudah berjalan santai mendorong geroboknya menerobos air hujan. "Dasar pria gila!" teriaknya tak habis pikir.Tidak jauh dari sana, tepatnya di dalam sebuah rumah, Ara terlihat duduk seorang diri di depan televisi menunggu sang suami pulang."Kenapa pria itu belum pulang juga? Memang wajar yah berjualan cilok sampai larut malam?" gumam Ara melirik kearah jam dinding yang kini menunjukan pukul sembilan malam.Hujan yang turun sangat deras, membuat Ara sedikit takut. Pasalnya ia baru tinggal di sini selama dua hari, dan belum begitu tahu tentang lingkungan sekitar. Bagaimana jika ada orang jahat yang tiba-tiba datang? Atau mungkin ... hantu? Ara seketika bergidik ngeri membayangkannya.Saat wanita itu memutuskan untuk kembali ke kamar, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Membuat ia langsung berlari kemudian mengintip dari balik jendela. Melihat Ghazi yang berdiri dalam keadaan basah kuyup, Ara langsung mengambil handuk kemudian membukakan pintu."Kenapa baru pulang? Terus kenapa bisa basah kuyup begini sih?" tanya Ara reflek mengusap-usap wajah serta kepala sang suami yang basah dengan handuk. Ghazi yang diperlakukan seperti itu pun merasa menjadi seorang anak sepuluh tahun yang ketahuan bermain hujan oleh ibunya."Hujan Ra, jadi basah." jawab Ghazi tanpa menyingkirkan tangan sang istri."Saya tahu, maksudnya apa kamu nggak bawa jas hujan atau payung? Kalau kamu sakit gimana? Saya kan sibuk kerja, siapa yang akan merawat kamu?" omel Ara. Hati Ghazi menghangat melihat ada seseorang yang terlihat sangat mengkhawatirkannya. Sebab semenjak kedua orang tuanya meninggal, tak ada lagi orang yang mau memperhatikan, atau peduli terhadapnya."Di sini dingin tahu Ra." sahut Ghazi memeluk dirinya sendiri. Ara yang menyadari bahwa mereka masih di luar pun langsung menyeret sang suami masuk kemudian kembali mengunci pintu."Ayo cepat mandi, sudah saya siapin airnya." ucap Ara. Alasan ia bersikap baik kepada Ghazi adalah Ara ingin lebih mengenal lelaki itu, dan meladeni suami adalah suatu kewajiban bagi seorang istri. Walaupun hati Ara masih belum bisa menerima semuanya dengan ikhlas, ia tak mau menjadi wanita durhaka yang melalaikan tugasnya.Selagi menunggu Ghazi membersihkan diri, Ara mulai menata makanan yang sudah ia hangatkan di atas meja. Saat tangannya tengah menuangkan air ke dalam gelas, Ghazi keluar dengan hanya menggunakan handuk yang pria itu lilitkan dipinggangnya. Dada bidang serta perut sixpack dengan tetes-tetes air yang masih tersisa, langsung tersugu membuat Ara terkesiap. Ia tak menyangka Ghazi mempunyai tubuh yang begitu sempurna. Sepersekian detik, matanya tak lepas dari tubuh Ghazi yang terlihat sangat menggoda."Ra itu airnya sudah penuh." Ara langsung tersadar saat suara Ghazi terdengar. Wanita itu buru-buru meletakkan teko yang ia pegang dengan wajah yang bersemu malu."Cepat pakai bajumu." suruh Ara memalingkan wajahnya salah tingkah. Sungguh ia merasa malu. Rasanya Ara ingin menghilang detik ini juga.Ara adalah wanita tulen. Disuguhkan pemandangan sebagus itu, matanya mana tahan untuk tidak melirik. Ghazi yang menyadari bahwa Ara diam-diam mengaguminya pun hanya tersenyum sebelum melangkah menuju kamar.Perginya pria itu membuat Ara menghela napas lega. Ia mengetuk-ketuk kepalanya sendiri, merasa kesal karena tidak bisa mengontrol diri. Hancur sudah rencana ingin jual mahal, sebab nyatanya baru dua hari Ara tinggal bersama Ghazi, ia sudah tak berdaya akan pesona pria itu. "Ayo sini makan dulu." ajak Ara saat Ghazi sudah kembali. Ia mencoba bersikap biasa saja, walau sebenarnya batinnya masih bergejolak membayangkan tubuh pria itu. Sehalus apa kulitnya? Dan sehangat apa jika Ara tidur di atasnya? Bisikan-bisikan gila terus berdengung di kepala Ara membuat wanita itu menggeleng beberapa kali."Ra?" Suara Ghazi terdengar ketika Ara tak kunjung memberinya piring yang sudah wanita itu isi dengan nasi beserta lauk-pauknya.Lagi-lagi Ara merasa malu. Buru-buru ia meletakkan piring yang ia pegang di depan Ghazi, kemudian ikut duduk dan mulai menyantap makanannya sendiri."Kamu nggak perlu segitunya Ra, tubuh saya ini cuma buat kamu. Kamu bisa lihat dan pegang kapan pun kamu mau." Uhuk. Ucapan Ghazi sontak membuat Ara tersedak. Tangannya langsung menyambar gelas yang berisi air, menenggaknya hingga kandas. Apa yang baru saja pria itu katakan sungguh membuat pikiran Ara semakin menggila."Jangan goda-goda saya! Cepat habisin makanan kamu." seru Ara mencoba menyembunyikan kegugupannya. Sial, tidak biasanya Ara se-kacau ini hanya karena melihat tubuh seorang pria.Ghazi hanya menggeleng pelan dengan senyum tipis tersungging di ujung bibirnya. Ia tak menyangka akan mendapat seorang istri yang mudah sekali tergoda.Setengah jam berlalu setelah mereka selesai menghabiskan makanan masing-masing, kini Ara tengah duduk menemani Ghazi menghitung uang di depan televisi yang menyala."Dibayar berapa kamu sama si tukang foto itu?" tanya Ara yang masih penasaran dengan keberadaan Ghazi di restaurant pagi tadi."Lumayan, lima puluh ribu. Nih, buat kamu." balas Ghazi mengulurkan selembar uang.Ara terdiam memandang uang tersebut. Tanpa perlu menghitung, uang segitu tidak ada apa-apanya bagi Ara. Sebab ia sudah terbiasa menghabiskan banyak uang dalam waktu sehari. Walau tidak masuk dalam kategori boros, Ara tetap mengeluarkan setidaknya lima ratus ribu setiap harinya. "Ini buat saya?" cicit Ara.Ghazi mengangguk. "Kurang yah?" tanyanya. Ara langsung menggeleng. Ia mengambil uang ditangan Ghazi kemudian menaruhnya ke dalam saku piyamanya."Nggak kok, makasih yah." ucap Ara. Ia tidak ingin menyakiti hati sang suami hanya karena uang yang pria itu beri cuma sedikit.Dulu Ara pernah hidup susah, dan saat itu uang seribu rupiah sangatlah berharga baginya. Sampai papahnya berhasil menjadi seorang polisi, hidup Ara menjadi lebih baik. Dan menjadi lebih baik lagi saat ia sekarang sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Karena itulah Ara menghargai pemberian Ghazi dan selalu mensyukuri semua yang ia miliki saat ini."Sama-sama." sahut Ghazi tersenyum. Ia tahu sebenarnya uang itu sangatlah tidak cukup bagi Ara, tetapi melihat wanita itu tetap mau menerimanya tanpa protes, membuat Ghazi terkagum. Sebab banyak wanita diluaran sana yang selalu menuntut suaminya, tanpa mau tahu kesulitan apa yang sang suami hadapi dalam mencari rezeki."Oh ya, kata Mama, dulu yang jadi wali nikah kamu itu dari pihak paman. Besok bawa saya ke sana yah?" ucap Ara. Ia mungkin bisa mendapat banyak informasi tentang Ghazi dari orang itu.Ghazi yang tiba-tiba diam, membuat Ara kembali dirundung curiga. Lupa ingatan yang Ara alami membuat berbagai spekulasi hadir dalam otaknya. Ara sempat menebak bahwa Ghazi adalah orang jahat yang sengaja menjebaknya, dan orang yang pria itu katakan sebagai pamannya, hanyalah orang sewaan. Jangan salahkan Ara atas pemikiran negatifnya, karena ini semua terlalu mendadak dan masih abu-abu baginya."Ya, besok saya bawa kamu ke sana." Ara tersenyum saat akhirnya Ghazi bersuara. Ia kira, lelaki itu akan tetap diam tanpa menjawab."Oke kalau begitu, ayo tidur sudah malam." ajak Ara yang mulai mengantuk. Ghazi mengangguk. Keduanya pun masuk ke dalam kamar setelah mengunci semua pintu.Tanpa diminta, Ghazi bergerak menata bantal supaya Ara merasa nyaman, dan menyelimutinya setelah wanita itu berbaring. Ara yang diperlakukan demikian pun merasa tersentuh. Ia hanya tersenyum tipis sebagai ucapan terimakasih, dan berbalik memunggungi sang suami. "Mimpi indah yah, kalau kamu butuh sesuatu, langsung bangunin saya." ucap Ghazi mengecup singkat pelipis Ara. Tubuh wanita itu seketika menegang. Terlalu terkejut dengan apa yang Ghazi lakukan.Ini adalah pertama kalinya Ara menerima sebuah kecupan dari pria lain selain papahnya. Dan entah mengapa, bukannya merasa marah, hati Ara malah berdesir dengan detak jantung yang berpacu lebih cepat. Perasaan macam apa ini?Tak mau memikirkannya lebih jauh, Ara mencoba memejamkan mata. Tetapi baru sesaat, kelopak matanya kembali terbuka. Ara, tidak bisa tidur. Banyak sekali hal yang hadir menghantui pikirannya dan itu didominasi oleh pria di sampinganya.Memberanikan diri, Ara menoleh. Wajah tampan Ghazi yang tertidur tenang langsung terpampang. Ara bukanlah wanita munafik yang buta. Ia lebih mudah menerima Ghazi karena lelaki itu terlihat baik dan mempunyai paras yang rupawan. Kalau tidak, mungkin Ara akan lebih sulit menerima. Sebab semua wanita pasti ingin menikah dengan lelaki yang dicintainya, atau minimal lelaki gagah yang kaya raya."Entah mengapa, saya masih merasa kalau kamu menyembunyikan banyak hal." lirih Ara masih menatap lekat wajah Ghazi.Keesokan harinya, Ghazi terlihat sibuk merawat tanaman yang ada di depan rumah. Tangannya dengan cekatan menyirami, menata, serta memberi pupuk bunga-bunga yang ada disekitarnya. Senyum kecil sesekali akan muncul ketika seekor kupu-kupu terbang mengelilingi tubuhnya. Pria itu terlihat sangat menikmati apa yang tengah ia lakukan.Ara yang sedari tadi mengamati dari dalam pun tertarik untuk menghampiri sang suami. Ia keluar kemudian duduk di teras dekat dengan Ghazi. "Kamu suka berkebun?" Ghazi langsung menoleh saat suara Ara terdengar. Wanita itu terlihat masih mengenakan piyamanya dengan rambut yang digelung asal."Suka, dulu saya sering berkebun sama almarhum Mama. Kalau kamu?" tanya Ghazi. "Nggak terlalu, saya lebih suka permen jahe." sahut Ara asal. Wanita itu memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja, berbelanja, dan makan, daripada melakukan kegiatan lain seperti berkebun. "Kamu nggak pergi jualan?" tanya Ara.Ghazi menggeleng. "Kamu bilang mau pergi ke rumah paman
"Mau kemana bawa-bawa sarung begitu?" tanya Ara saat melihat Ghazi keluar dari kamar membawa sebuah sarung yang pria itu kalungkan di lehernya. Kini siang telah berganti malam, dan mereka sudah berada di dalam rumah. Keributan yang terjadi di taman, membuat Ara tak jadi pergi ke rumah paman Ghazi. Wanita itu memilih pulang, dan mengurung diri dengan setumpuk makanan. "Saya izin ngeronda yah?" ucap Ghazi berjalan mendekati Ara yang tengah berbaring menonton televisi."Masih sore mau ngeronda?" sahut Ara bingung. Matanya melirik kearah jam dinding yang masih menunjukan pukul setengah tujuh malam."Mau rapat dulu di kantor desa Ra." sahut Ghazi. Tangan lelaki itu sibuk mengusir nyamuk yang mencoba menggigit sang istri. Ara yang diperhatikan sedetail itu pun diam-diam tersenyum."Lama nggak?" Kini Ara mengalihkan perhatiannya penuh pada Ghazi. Memperhatikan wajah sang suami yang selalu terlihat menawan. "Saya nggak tahu, tapi saya usahain pulang lebih awal. Jadi boleh nggak?" Sebenarnya
"Siapa kamu sebenarnya?" lirihnya sendu meneteskan air mata. Melihat Ara menangis, hati Ghazi seperti dicubit. Rasa bersalah seketika menyergap dirinya. Apakah tindakannya ini merupakan satu kecerobohan yang fatal?Semua orang yang ada di sana diam menyaksikan. Begitupula dengan Fella yang semakin kesal karena melihat tuan Addaith menolong Ara. Tanpa takut ia berjalan mendekat hendak menarik rambut wanita itu, tetapi tangannya langsung ditepis bahkan sebelum menyentuhnya. "Jauhkan tangan kotormu dari istriku." desis Ghazi penuh penekanan. Fella seketika mematung. Ia jelas paham siapa pria di depannya ini. Itu adalah pria yang sama yang ia temui di taman pagi tadi. Abraham dan semua orang yang masih bisa mendengar itu seketika terkejut. Istri? Jadi wanita itu istri tuan Addaith? Sebagian orang khususnya wanita, banyak yang merasa kecewa sebab itu artinya kesempatan mereka untuk bisa bersanding dengan pria kaya raya itu seketika pupus. Dan sebagian lagi, merasa kesal atas tindakan Fel
Seorang gadis kecil berbaju biru muda, terlihat tengah mengumpulkan jambu air yang berserakan di atas tanah. Tangan mungilnya memilah-milah buah yang sudah matang dan memasukkannya ke dalam keranjang rotan yang ia bawa. Berpindah ke sana kemari, dengan senyum manis yang senantiasa mengembang di wajahnya yang juita.Ketika gadis itu melihat sebuah jambu yang besar nan mulus, kedua matanya langsung berbinar. Baru saja tangannya ingin meraih buah tersebut, seekor ulat bulu terlihat menggeliat di sana. Membuat ia seketika berteriak kencang sampai membangunkan seseorang yang tengah tertidur di atas pohon."Ck! Anak siapa sih berisik banget!" gerutu si pemuda yang terbangun dari tidurnya. Saat ia menoleh ke bawah, seorang gadis kecil terlihat menangis ketakutan dengan keranjang buah yang isinya sudah berantakan. Langsung saja ia turun dari pohon lalu menghampirinya. "Kenapa nangis?" tanyanya malas.Si gadis langsung mendongak, ia bergerak cepat memeluk si pemuda. "Kakak tolong aku." cicitny
Mobil Ara menderu halus berhenti tepat di depan rumah sang suami. Wanita itu turun kemudian berjalan menuju pintu. Saat matanya tidak menemukan mobil Ghazi, Ara langsung berpikir bahwa pria itu sedang tidak ada di rumah. Dengan santai, tangan Ara bergerak membuka pintu tanpa tahu kalau dari dalam juga ada yang melakukan hal yang sama. Ketika itu sudah terbuka, wajah Ghazi langsung terpampang membuat Ara berjengit terkejut. Begitupula dengan Ghazi yang tak percaya dengan apa yang ia lihat."Kamu ini bikin kaget saja sih!" seru Ara mengelus dada. Bukannya merasa bersalah, Ghazi malah tersenyum lebar. Ia langsung memeluk erat wanita di depannya. "Saya tahu kamu pasti akan kembali." bisiknya tepat di samping telinga sang istri. Ara memejamkan mata ketika merasakan kehangatan yang perlahan menjalar keseluruh tubuhnya. Menikmati pelukan Ghazi yang sepertinya akan menjadi candu baginya. "Tolong, jangan pergi-pergi lagi Ra. Saya nggak mau jauh dari kamu." ucap Ghazi semakin menenggelamkan wa
"Mama serius nggak mau ikut sama aku?" tanya Ara menatap sang mama yang kini sedang menuangkan teh hangat ke dalam gelasnya."Nggak Sayang, mama mau di sini saja. Banyak kenangan berharga tentang papa kamu di sini." sahut Zelin tersenyum hangat.Pagi-pagi sekali, Ara sudah berada di rumah sang mama. Wanita itu ingin berpamitan kalau dirinya akan pindah ke rumah Ghazi yang ada di kota. Ara juga sudah memberitahu Zelin tentang identitas Ghazi, dan wanita paruh baya itu hanya tersenyum maklum."Kamu nggak perlu cemasin mama Ra. Hidup mama sudah terjamin. Selain uang dari kamu, Ghazi juga kasih mama uang dengan jumlah yang nggak sedikit. Mungkin bisa buat biaya hidup selama setahun, haha ... " tawa Zelin. Padahal dirinya sama sekali tak meminta, tetapi menantunya itu bersikeras memberinya uang."Mama serius?" tanya Ara sedikit terkejut. Pasalnya Ghazi tak pernah bercerita tentang hal ini.Zelin mengangguk. "Mungkin kalau dia bilang dulu ke kamu, kamu akan nolak. Jadi ya dia kasihnya diam-
Seminggu berlalu sejak Ara pindah ke rumah Ghazi, wanita itu sudah bisa menyesuaikan diri. Ia beraktifitas seperti biasa, namun dengan jam kerja yang lebih sedikit. Ghazi memang mengizinkan Ara untuk tetap menjalankan bisnisnya, tetapi pria itu memberinya batasan, sehingga Ara lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.Seperti sekarang, Ara sedang berada di labirin bunga yang ada di halaman belakang rumah Ghazi. Labirin itu terbuat dari semak lebat yang dibentuk menyerupai tembok tinggi, yang dibangun melingkar menjadi sebuah labirin yang rumit. Ini menjadi tempat favorit Ara karena di tengah-tengah labirin, terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah. Dan itu menjadi tujuan Ara kali ini.Namun, baru setengah perjalanan ia lalui, langkahnya langsung terhenti ketika suara isak tangis seseorang terdengar mengusik telinganya. "Siapa yang menangis di tempat seperti ini?" gumam Ara. Ia memberanikan diri mengikuti sumber suara tersebut. Sampai di salah satu sisi labirin, matany
"Selamat pagi, Ra." sapa Ghazi mengecup singkat dahi sang istri. Pria itu baru saja selesai mandi, dan bergabung ke kemeja makan bersama Ara dan Giana yang sudah duduk di kursi masing-masing."Selamat pagi, Mas." balas Ara tersenyum manis kearah pria yang kini duduk di dekatnya."Cuma kecupan singkat? Nggak ada ciuman intens kah?" Uhuk. Ara yang baru saja meminum segelas air seketika tersedak mendengar ucapan Giana. Apa katanya tadi? Ciuman intens? Dikecup Ghazi saja Ara sudah merasa gugup, apalagi sampai begitu. Ghazi yang juga belum pernah melakukannya pun hanya diam berdehem pelan.Melihat reaksi keduanya, dahi Giana seketika berkerut. "Ada apa dengan kalian? Oh, atau jangan-jangan ... kalian belum pernah melakukannya ya?" tebak Giana tak percaya. Bagaimana bisa sudah menikah selama satu bulan lamanya, tetapi mereka belum pernah berciuman? "Gimana mau kasih tante cucu, kalau kalian saja belum melakukan apa-apa! Sudah begini saja, tante pesankan tiket bulan madu selama tiga hari bua
Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont
"Apa yang membuatmu datang kemari, Darling?"Carol menatap dingin Giana yang kini duduk di sebuah sofa tunggal. Beberapa saat yang lalu, ia sengaja menghubungi wanita itu untuk bisa bertemu. Dan di sini lah mereka berada, di sebuah Villa yang dikelilingi hutan belantara. "Kenapa Anda mengusirnya?"Giana tersenyum geli mendengar pertanyaan Carol yang terasa menggelitik. "Saya hanya menjalankan ide yang kamu cetuskan, ingat?"Wajah Carol seketika berubah keruh. Tampaknya, Giana memang selalu mengartikan semua hal secara berlebihan. Carol memang memberi saran kepada wanita itu untuk menyerang sikis Ara, tetapi tidak dengan cara kotor seperti ini. "Apa Anda sadar? Cara yang Anda gunakan itu lebih busuk dari pada sebuah bangkai."Giana tertawa sumbang. Lagi-lagi, perkataan Carol terdengar seperti lelucon dikedua telinganya. "Jangan terlalu naif, Darling. Bukankah kamu sendiri terbiasa menggunakan cara seperti itu? Menikam tuanmu sendiri dari belakang, apa itu masih bisa dianggap bersih?"
"Kita mau ke mana Nyonya?" tanya Carol melirik Ara yang duduk di kursi belakang.Saat ini, mereka masih berada di pelataran rumah sakit tempat Ara dirawat semalam. Minuman keras dosis tinggi yang Ara cicipi, membuat lambung wanita itu sedikit bermasalah dan mengharuskannya menetap di sana."Ayo kembali ke rumah, Carol. Kata dokter Mas Ghazi sudah pulang." ucap Ara penuh binar kebahagian. Beberapa saat yang lalu, Ara mencoba menghubungi Luisa dan Giana untuk menanyakan kabar sang suami. Tak kunjung mendapat balasan, Ara pun memilih menelpon pihak rumah sakit dan mereka bilang kalau Ghazi sudah dipulangkan sejak pagi tadi. "Ayo jalan sekarang, Carol."Dua puluh menit, akhirnya Ara sampai di kediaman keluarga Addaith. Wanita itu buru-buru turun kemudian melangkah masuk. Hatinya seketika berbunga-bunga saat melihat Ghazi yang kini duduk bersandar di salah satu sofa ruang keluarga. "Mas Ghazi ka--""Tetap di sana."Pergerakan Ara yang hendak berlari ke arah Ghazi seketika terhenti. Nad
"Silahkan dinikmati, Nona."Ara mengangguk sopan. Deretan makanan serta minuman di depannya sangatlah beragam dan sedikit asing bagi Ara. Apalagi cairan yang ada di gelas-gelas bening itu, Ara tak pernah mencobanya. "Ada apa Nona? Apa Anda tidak menyukai makanannya? Kalau begitu biar sa--""Ah tidak-tidak, ini hanya terlalu banyak. Saya sampai bingung ingin mencoba yang mana." gurau Ara. "Kalau begitu cobalah yang ini, Nona. Ini sangat enak." tawar si wanita meneguk segelas minuman. Tangannya bergerak meraih gelas lain kemudian memberikannya kepada Ara. "Cobalah,"Tak ingin menyinggung perasaan si wanita, Ara pun meraihnya. Ia menatap ragu minuman tersebut. Hati kecilnya berkata kalau Ara sebaiknya mengabaikan. Namun si wanita yang terus menatapnya, membuat Ara mau tak mau mulai mencobanya.Begitu cairan itu masuk ke dalam kerongkongan, rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Ara. Kepalanya mulai pening dan matanya berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. Ara jatuh pin