"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung.
"Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi."Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara."Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu."Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Kalau dipikir-pikir, jarak antara rumah Ghazi dengan tempat ini sangatlah jauh. Mungkin butuh waktu sekitar satu jam perjalanan. Lalu bagaimana bisa kedua pria ini bertemu ketika Ghazi hanya berkeliling disekitar pedesaan? Rasanya itu sedikit janggal. Ghazi yang melihat keraguan dimata Ara pun langsung merogoh sakunya kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang receh serta koin ke atas meja."Ini adalah hasil penjualan cilok hari ini. Saya beneran pergi keliling jualan Ra, dan nggak sengaja ketemu dia di jalan." ucap Ghazi meyakinkan. Willy nyaris melongo. Ia tak menyangka bahwa lelaki itu ternyata lebih siap dari dugaannya.Ara yang sempat curiga langsung percaya. Awalnya ia berfikir bahwa Ghazi ini sebenarnya seorang pengusaha, tetapi melihat lelaki itu bahkan membawa uang receh yang lusuh, Ara tak lagi punya alasan untuk menuduh bahwa Ghazi berbohong. Karena kebanyakan pengusaha, bahkan orang biasa pun lebih suka menggunakan transaksi digital ketimbang harus membawa uang cash."Oke saya percaya. Tapi saya harus pergi sekarang, masih ada urusan." pamit Ara ketika ia mendapat notif dari sang asisten yang memintanya untuk kembali ke kantor. Ara berlalu pergi setelah ia menyalami sang suami kemudian mengangguk sopan kearah willy."Dari mana kamu dapat ini?" tanya Willy menunjuk uang yang ada di atas meja. Ghazi terdiam. Pikirannya kembali melayang ketika ia sempat ke kamar mandi dan melihat Ara yang tengah bersitegang dengan seseorang, ia pun menukar beberapa lembar uang ratusan kepada seorang pelayan yang ada di sana supaya bisa menghampiri sang istri tanpa harus berganti pakaian."Sulap." sahut Ghazi berjalan kembali ke meja mereka."Lalu sejak kapan kalian berdua dekat sampai bisa berpelukan?" tanya Willy mengikuti lelaki itu."Seorang perempuan yang tengah rapuh, hanya butuh sebuah pelukan untuk menenangkan. Itu yang Ara lakukan." ucap Ghazi.Willy hanya diam mendengar jawaban pria itu. Ia bisa menyimpulkan bahwa Ara hanya reflek memeluk Ghazi untuk mencari ketenangan serta perlindungan sebab wanita itu sedang mengalami masalah dengan orang lain. Bukan pelukan atas dasar cinta atau hal semacamnya.Ara yang kini sudah berada di dalam mobil, terlihat memukul stir di depannya berulang kali. Antara kesal karena proyeknya gagal, dan malu sebab kelepasan memeluk Ghazi ditempat umum. Ia menggigit bibir saat hatinya mulai resah."Kira-kira apa yang pria itu pikirkan sekarang? Jangan sampai ia mengira bahwa aku sudah menerima dan sudah mulai menyukainya. Ck! Kenapa sampai kelepasan sih Ara?" gerutu Ara kesal pada dirinya sendiri.Saat Ara hendak melajukan mobilnya, ponselnya berdering tanda ada sebuah pesan masuk. Ia pun mengeceknya, dan ternyata itu adalah pesan dari sang om yang memintanya untuk bertemu. Karena tempatnya yang tak jauh dari posisi Ara sekarang, Ara memutuskan untuk menemui omnya terlebih dahulu.Sepuluh menit perjalanan, Ara pun sampai disebuah Cafe yang tidak terlalu besar. Langsung saja ia menghampiri sang om yang terlihat tengah menikmati secangkir teh sendirian."Hi Om." sapa Ara duduk di depan pria paruh baya yang terlihat masih gagah diumurnya yang tak lagi muda."Hi Dear, bagaimana kabarmu?" tanyanya."Sangat baik. Om sendiri gimana?" sahut Ara berbohong tak mau membuat Abraham-Omnya-merasa khawatir.Abraham ini adalah adik dari sang mama. Dulu, semua keluarga dari pihak Zelin tidak ada yang menyukai Ara dan cenderung menjauhinya kecuali Abraham yang masih mau memberinya kasih sayang. Entah apa alasannya Ara tidak tahu. Sampai Ara sukses pun para sepupunya tetap tidak mau melirik apalagi mengakui dirinya sebagai saudara."Ya seperti yang kamu lihat, om baik." ucapnya tersenyum."Syukur kalau begitu. Oh ya ada apa Om minta Ara datang kemari?" tanya Ara."Lusa adalah acara pertunangan anak om sekaligus hari anniversary om dan tante. Akan ada pesta besar, jadi kamu datang yah?" ujar Abraham.Ara sempat terdiam ragu, tetapi pada akhirnya ia tetap mengangguk. "Aku akan datang." ucapnya. Abraham tersenyum lega, saat ia kembali ingin menyahut, ponselnya berbunyi membuat ia menjauh dari Ara yang kini merenung."Aku ajak Ghazi nggak yah? Apa yang akan dikatakan semua orang saat tahu bahwa suamiku hanya seorang penjual cilok?" cicit Ara. Sungguh ia tak siap jika harus dihina lagi seperti dulu.Di tempat yang berbeda, seorang wanita paruh baya terlihat sedang bersantai dengan segelas wine yang tersaji di atas meja. Kaca besar yang menampilkan hiruk pikuk perkotaan tersaji tepat di depan mata. Mendengar langkah seseorang mendekat, ia meletakkan majalah yang tengah ia baca."Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh."Dia telah menikah Nyonya, dan wanita yang--" Ucapannya terhenti saat melihat sang majikan mengangkat tangan singkat."Saya nggak peduli siapa wanita yang dia nikahi. Siapkan penerbangan ke Indonesia, saya akan pulang untuk menyambut menantu saya." ucapnya. Si pelayan mengangguk kemudian berlalu keluar."Anak ini sudah berani bertindak tanpa seizinku, lihat saja, sampai mana ia akan berusaha." lirihnya tersenyum tipis."Sampai kapan kamu akan menyamar seperti ini? Aku yakin, istrimu itu lama-kelaman akan merasa curiga." ucap Willy menatap bosan kearah Ghazi yang kini tengah memakai sebuah topi. "Bukannya aku sudah pernah bilang?" sahut Ghazi mulai menata isi gerobak yang terlihat berantakan. Saat ini keduanya tengah meneduh disebuah gubuk kosong tempat tukang tambal ban yang saat ini sudah tutup."Kalau ternyata yang kamu cari nggak ada sama dia, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Willy. Ghazi terdiam. Ia menatap Willy serius. "Ada atau nggak adanya bukti itu, aku nggak akan pernah melepas apa yang sudah menjadi milikku." sahut Ghazi. Willy hanya menghela napas pasrah. Ia paham betul bagaimana sifat Ghazi, pria itu sangat membenci sebuah perpisahaan. Meski yang dimilikinya itu bukanlah hal yang ia sukai, Ghazi cenderung sulit untuk melepaskan. "Lalu apa lagi setelah ini? Kamu akan menerobos hujan sampai ke rumah supaya terlihat meyakinkan begitu?" ujar Willy memandang derasnya air hujan yang turu
Keesokan harinya, Ghazi terlihat sibuk merawat tanaman yang ada di depan rumah. Tangannya dengan cekatan menyirami, menata, serta memberi pupuk bunga-bunga yang ada disekitarnya. Senyum kecil sesekali akan muncul ketika seekor kupu-kupu terbang mengelilingi tubuhnya. Pria itu terlihat sangat menikmati apa yang tengah ia lakukan.Ara yang sedari tadi mengamati dari dalam pun tertarik untuk menghampiri sang suami. Ia keluar kemudian duduk di teras dekat dengan Ghazi. "Kamu suka berkebun?" Ghazi langsung menoleh saat suara Ara terdengar. Wanita itu terlihat masih mengenakan piyamanya dengan rambut yang digelung asal."Suka, dulu saya sering berkebun sama almarhum Mama. Kalau kamu?" tanya Ghazi. "Nggak terlalu, saya lebih suka permen jahe." sahut Ara asal. Wanita itu memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja, berbelanja, dan makan, daripada melakukan kegiatan lain seperti berkebun. "Kamu nggak pergi jualan?" tanya Ara.Ghazi menggeleng. "Kamu bilang mau pergi ke rumah paman
"Mau kemana bawa-bawa sarung begitu?" tanya Ara saat melihat Ghazi keluar dari kamar membawa sebuah sarung yang pria itu kalungkan di lehernya. Kini siang telah berganti malam, dan mereka sudah berada di dalam rumah. Keributan yang terjadi di taman, membuat Ara tak jadi pergi ke rumah paman Ghazi. Wanita itu memilih pulang, dan mengurung diri dengan setumpuk makanan. "Saya izin ngeronda yah?" ucap Ghazi berjalan mendekati Ara yang tengah berbaring menonton televisi."Masih sore mau ngeronda?" sahut Ara bingung. Matanya melirik kearah jam dinding yang masih menunjukan pukul setengah tujuh malam."Mau rapat dulu di kantor desa Ra." sahut Ghazi. Tangan lelaki itu sibuk mengusir nyamuk yang mencoba menggigit sang istri. Ara yang diperhatikan sedetail itu pun diam-diam tersenyum."Lama nggak?" Kini Ara mengalihkan perhatiannya penuh pada Ghazi. Memperhatikan wajah sang suami yang selalu terlihat menawan. "Saya nggak tahu, tapi saya usahain pulang lebih awal. Jadi boleh nggak?" Sebenarnya
"Siapa kamu sebenarnya?" lirihnya sendu meneteskan air mata. Melihat Ara menangis, hati Ghazi seperti dicubit. Rasa bersalah seketika menyergap dirinya. Apakah tindakannya ini merupakan satu kecerobohan yang fatal?Semua orang yang ada di sana diam menyaksikan. Begitupula dengan Fella yang semakin kesal karena melihat tuan Addaith menolong Ara. Tanpa takut ia berjalan mendekat hendak menarik rambut wanita itu, tetapi tangannya langsung ditepis bahkan sebelum menyentuhnya. "Jauhkan tangan kotormu dari istriku." desis Ghazi penuh penekanan. Fella seketika mematung. Ia jelas paham siapa pria di depannya ini. Itu adalah pria yang sama yang ia temui di taman pagi tadi. Abraham dan semua orang yang masih bisa mendengar itu seketika terkejut. Istri? Jadi wanita itu istri tuan Addaith? Sebagian orang khususnya wanita, banyak yang merasa kecewa sebab itu artinya kesempatan mereka untuk bisa bersanding dengan pria kaya raya itu seketika pupus. Dan sebagian lagi, merasa kesal atas tindakan Fel
Seorang gadis kecil berbaju biru muda, terlihat tengah mengumpulkan jambu air yang berserakan di atas tanah. Tangan mungilnya memilah-milah buah yang sudah matang dan memasukkannya ke dalam keranjang rotan yang ia bawa. Berpindah ke sana kemari, dengan senyum manis yang senantiasa mengembang di wajahnya yang juita.Ketika gadis itu melihat sebuah jambu yang besar nan mulus, kedua matanya langsung berbinar. Baru saja tangannya ingin meraih buah tersebut, seekor ulat bulu terlihat menggeliat di sana. Membuat ia seketika berteriak kencang sampai membangunkan seseorang yang tengah tertidur di atas pohon."Ck! Anak siapa sih berisik banget!" gerutu si pemuda yang terbangun dari tidurnya. Saat ia menoleh ke bawah, seorang gadis kecil terlihat menangis ketakutan dengan keranjang buah yang isinya sudah berantakan. Langsung saja ia turun dari pohon lalu menghampirinya. "Kenapa nangis?" tanyanya malas.Si gadis langsung mendongak, ia bergerak cepat memeluk si pemuda. "Kakak tolong aku." cicitny
Mobil Ara menderu halus berhenti tepat di depan rumah sang suami. Wanita itu turun kemudian berjalan menuju pintu. Saat matanya tidak menemukan mobil Ghazi, Ara langsung berpikir bahwa pria itu sedang tidak ada di rumah. Dengan santai, tangan Ara bergerak membuka pintu tanpa tahu kalau dari dalam juga ada yang melakukan hal yang sama. Ketika itu sudah terbuka, wajah Ghazi langsung terpampang membuat Ara berjengit terkejut. Begitupula dengan Ghazi yang tak percaya dengan apa yang ia lihat."Kamu ini bikin kaget saja sih!" seru Ara mengelus dada. Bukannya merasa bersalah, Ghazi malah tersenyum lebar. Ia langsung memeluk erat wanita di depannya. "Saya tahu kamu pasti akan kembali." bisiknya tepat di samping telinga sang istri. Ara memejamkan mata ketika merasakan kehangatan yang perlahan menjalar keseluruh tubuhnya. Menikmati pelukan Ghazi yang sepertinya akan menjadi candu baginya. "Tolong, jangan pergi-pergi lagi Ra. Saya nggak mau jauh dari kamu." ucap Ghazi semakin menenggelamkan wa
"Mama serius nggak mau ikut sama aku?" tanya Ara menatap sang mama yang kini sedang menuangkan teh hangat ke dalam gelasnya."Nggak Sayang, mama mau di sini saja. Banyak kenangan berharga tentang papa kamu di sini." sahut Zelin tersenyum hangat.Pagi-pagi sekali, Ara sudah berada di rumah sang mama. Wanita itu ingin berpamitan kalau dirinya akan pindah ke rumah Ghazi yang ada di kota. Ara juga sudah memberitahu Zelin tentang identitas Ghazi, dan wanita paruh baya itu hanya tersenyum maklum."Kamu nggak perlu cemasin mama Ra. Hidup mama sudah terjamin. Selain uang dari kamu, Ghazi juga kasih mama uang dengan jumlah yang nggak sedikit. Mungkin bisa buat biaya hidup selama setahun, haha ... " tawa Zelin. Padahal dirinya sama sekali tak meminta, tetapi menantunya itu bersikeras memberinya uang."Mama serius?" tanya Ara sedikit terkejut. Pasalnya Ghazi tak pernah bercerita tentang hal ini.Zelin mengangguk. "Mungkin kalau dia bilang dulu ke kamu, kamu akan nolak. Jadi ya dia kasihnya diam-
Seminggu berlalu sejak Ara pindah ke rumah Ghazi, wanita itu sudah bisa menyesuaikan diri. Ia beraktifitas seperti biasa, namun dengan jam kerja yang lebih sedikit. Ghazi memang mengizinkan Ara untuk tetap menjalankan bisnisnya, tetapi pria itu memberinya batasan, sehingga Ara lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.Seperti sekarang, Ara sedang berada di labirin bunga yang ada di halaman belakang rumah Ghazi. Labirin itu terbuat dari semak lebat yang dibentuk menyerupai tembok tinggi, yang dibangun melingkar menjadi sebuah labirin yang rumit. Ini menjadi tempat favorit Ara karena di tengah-tengah labirin, terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah. Dan itu menjadi tujuan Ara kali ini.Namun, baru setengah perjalanan ia lalui, langkahnya langsung terhenti ketika suara isak tangis seseorang terdengar mengusik telinganya. "Siapa yang menangis di tempat seperti ini?" gumam Ara. Ia memberanikan diri mengikuti sumber suara tersebut. Sampai di salah satu sisi labirin, matany
Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont
"Apa yang membuatmu datang kemari, Darling?"Carol menatap dingin Giana yang kini duduk di sebuah sofa tunggal. Beberapa saat yang lalu, ia sengaja menghubungi wanita itu untuk bisa bertemu. Dan di sini lah mereka berada, di sebuah Villa yang dikelilingi hutan belantara. "Kenapa Anda mengusirnya?"Giana tersenyum geli mendengar pertanyaan Carol yang terasa menggelitik. "Saya hanya menjalankan ide yang kamu cetuskan, ingat?"Wajah Carol seketika berubah keruh. Tampaknya, Giana memang selalu mengartikan semua hal secara berlebihan. Carol memang memberi saran kepada wanita itu untuk menyerang sikis Ara, tetapi tidak dengan cara kotor seperti ini. "Apa Anda sadar? Cara yang Anda gunakan itu lebih busuk dari pada sebuah bangkai."Giana tertawa sumbang. Lagi-lagi, perkataan Carol terdengar seperti lelucon dikedua telinganya. "Jangan terlalu naif, Darling. Bukankah kamu sendiri terbiasa menggunakan cara seperti itu? Menikam tuanmu sendiri dari belakang, apa itu masih bisa dianggap bersih?"
"Kita mau ke mana Nyonya?" tanya Carol melirik Ara yang duduk di kursi belakang.Saat ini, mereka masih berada di pelataran rumah sakit tempat Ara dirawat semalam. Minuman keras dosis tinggi yang Ara cicipi, membuat lambung wanita itu sedikit bermasalah dan mengharuskannya menetap di sana."Ayo kembali ke rumah, Carol. Kata dokter Mas Ghazi sudah pulang." ucap Ara penuh binar kebahagian. Beberapa saat yang lalu, Ara mencoba menghubungi Luisa dan Giana untuk menanyakan kabar sang suami. Tak kunjung mendapat balasan, Ara pun memilih menelpon pihak rumah sakit dan mereka bilang kalau Ghazi sudah dipulangkan sejak pagi tadi. "Ayo jalan sekarang, Carol."Dua puluh menit, akhirnya Ara sampai di kediaman keluarga Addaith. Wanita itu buru-buru turun kemudian melangkah masuk. Hatinya seketika berbunga-bunga saat melihat Ghazi yang kini duduk bersandar di salah satu sofa ruang keluarga. "Mas Ghazi ka--""Tetap di sana."Pergerakan Ara yang hendak berlari ke arah Ghazi seketika terhenti. Nad
"Silahkan dinikmati, Nona."Ara mengangguk sopan. Deretan makanan serta minuman di depannya sangatlah beragam dan sedikit asing bagi Ara. Apalagi cairan yang ada di gelas-gelas bening itu, Ara tak pernah mencobanya. "Ada apa Nona? Apa Anda tidak menyukai makanannya? Kalau begitu biar sa--""Ah tidak-tidak, ini hanya terlalu banyak. Saya sampai bingung ingin mencoba yang mana." gurau Ara. "Kalau begitu cobalah yang ini, Nona. Ini sangat enak." tawar si wanita meneguk segelas minuman. Tangannya bergerak meraih gelas lain kemudian memberikannya kepada Ara. "Cobalah,"Tak ingin menyinggung perasaan si wanita, Ara pun meraihnya. Ia menatap ragu minuman tersebut. Hati kecilnya berkata kalau Ara sebaiknya mengabaikan. Namun si wanita yang terus menatapnya, membuat Ara mau tak mau mulai mencobanya.Begitu cairan itu masuk ke dalam kerongkongan, rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Ara. Kepalanya mulai pening dan matanya berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. Ara jatuh pin