Share

4. Tuan Addaith

Deru halus terdengar saat sebuah Mercedes hitam berhenti pelan di depan salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat kota. Pintu mobil bergengsi itu terbuka menampilkan seorang pria yang memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, serta lengan yang tergulung sampai ke siku. Tak lupa dengan jas hitam yang ia pegang ditangannya.

Walau terkesan berantakan, tetapi aura yang terpancar sungguh menawan. Badan yang proposional dengan wajah yang terpahat tampan, membuat ia selalu menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang, semua orang menoleh memperhatikan saat ia berjalan memasuki perusahaan. Para karyawan mengangguk sopan ketika berapapasan, sambil diam-diam mengagumi bos mereka yang minim senyuman.

Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah gagal. Hampir semua proyek yang ia kerjakan selalu sukses dengan hasil yang memuaskan. Inovasi yang ia kemukakan pun selalu mengesankan dan menjadi yang paling unggul. Hal inilah yang membuat perusahaannya terus berkembang dan menjadi salah satu perusahaan teknologi terbaik se-Asia. Ia bukanlah seorang tirani yang ditakuti, tetapi sikapnya yang penuh perhitungan dan teliti, membuat semua musuhnya selalu gigit jari kecewa saat ingin menyurangi. Kemudian akan mundur secara teratur, karena malu atas kegagalannya sendiri.

Tujuannya kali ini adalah ruangan paling atas. Dimana itu adalah ruang pribadi miliknya sekaligus tempat ia berfikir keras dalam memajukan bisnis yang tengah ia jalani. Sampai di depan sebuah pintu besar, ia berbisik pelan menyebutkan sederet kode. Pintu itu pun terbuka. Ruangan luas dengan fitur serba canggih langsung tersugu menyambut mata. Dengan pasti ia melangkah masuk.

"Selamat datang kembali Tuan Addaith." Sebuah robot datang mendekat menyambutnya. "Tuan Willy sudah menunggu Anda." Pria yang dipanggil Addaith itu hanya mengangguk kemudian berjalan menuju ruangan lain yang berada dekat dengan balkon.

"Kamu selalu menuntut para pekerja berpakaian rapi, tapi lihatlah dirimu sendiri? Seperti bocah ingusan yang baru saja memimpin sebuah perusahaan. Berpakaian sembrono demi keteranan." ucap Willy tanpa menoleh. Kedua matanya masih fokus membaca berkas-berkas perusahaan yang tengah ia pegang.

"Kamu tahu apa alasannya." sahut si pria mulai menata pakaian yang ia pakai.

Willy mendengus. "Sampai kapan kamu akan begitu? Aku mulai pusing mengurus kertas-kertas ini tahu!" keluhnya. Sudah tiga hari ini ia selalu lembur sebab mengerjakan semua pekerjaan si bos sialan yang kini duduk dihadapannya tanpa rasa bersalah.

"Sampai aku menemukan apa yang aku inginkan." sahutnya santai sembari menyeruput secangkir kopi yang sudah tersaji di atas meja.

"Terserah! Yang penting jangan pernah telat memberiku gaji." ujar Willy menggeser sebuah undangan ke depan sang bos. "Dari Pak Abraham. Acaranya lusa, dan jangan suruh aku mewakilimu dirimu. Ia minta agar kamu sendiri yang datang." ucap Willy.

"Siapa saja yang diundang?" tanya si bos.

"Tenang saja, perusahaannya nggak ada didaftar tamu undangan. Seharusnya itu aman. Dan agenda hari ini, pertemuan dengan Pak Adinata di restoran biasa setengah jam dari sekarang." ucap Willy.

"Oke kalau begitu ayo berangkat." ajak si bos dengan jas yang sudah terpasang rapi. Willy yang belum sarapan hanya menghela napas lelah sebelum mulai mengikuti atasannya itu.

Satu jam kemudian, dua orang pria yang baru saja melakukan pertemuan dengan salah satu klien, kini terlihat tengah menikmati hidangan yang mereka pesan. Terutama Willy yang memesan beberapa makanan sekaligus demi mengisi perutnya yang kelaparan sejak pagi tadi.

"Makanan di sini cukup enak. Kamu nggak mau coba?" tawar Willy fokus memotong steak yang ada dipiringnya. Merasa tidak ada sahutan dari sang bos, ia pun mendongak. Ternyata pria itu tengah serius memperhatikan sesuatu. "Apa yang kamu lihat?" tanya Willy.

"Seorang wanita yang gagal mendapat kepercayaan kliennya." sahut si bos. Karena penasaran, Willy pun menoleh dan terlihatlah seorang wanita cantik dengan ekspresi wajah rumit--mungkin antara kesal, bingung, kecewa, entahlah Willy tak bisa menyimpulkan, tengah duduk sendirian tak jauh dari meja mereka.

"Lalu apa yang akan--hei mau kemana kamu?" ucap Willy panik saat sang bos berdiri meninggalkannya berjalan menghampiri wanita tersebut. "Astaga ... apa yang ada diotaknya sampai berani mendekat ke sana dengan pakaian seperti itu?" ujar Willy pasrah. Tidak bisakah bos nya ini membiarkan ia makan dengan tenang? Willy yakin, akan ada drama lain lagi setelah ini.

"Kenapa merengut?" Ara langsung mendongak saat suara seseorang terdengar. Keterkejutan langsung terlukis di wajahnya saat ia mendapati sang suami yang berdiri tepat di depannya. Ara hanya diam. Sebelum ia bergerak cepat memeluk Ghazi kemudian menangis. Ghazi yang dipeluk secara tiba-tiba pun merasa tertegun. Setelah sekian lama semenjak ibunya meninggal, Ghazi baru merasakan lagi hangatnya sebuah pelukan.

"Dia membentakku, proyek yang aku rencanakan seketika gagal ... " lirih Ara sesenggukkan. Entah mengapa hati Ghazi berdesir saat mendengar ucapan sang istri yang kini terlihat seperti anak kecil yang tengah mengadu kepadanya. Dengan sedikit kaku, Ghazi membalas pelukan Ara.

"Tenang yah, semua akan baik-baik saja." ucap Ghazi lembut mengusap pelan punggung Ara. Cukup lama, sampai Ara perlahan melepaskan pelukannya kemudian mengusap kedua matanya menghapus sisa-sisa air mata.

"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status