“Ara berangkat yah Ma!”
Keesokan harinya, tepatnya pukul tiga sore, Ara sudah siap dengan dua koper besar berisi barang-barang miliknya yang telah ia kemas semalam. Setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah pria itu.Sesungguhnya, keraguan masih terus membayangi diri Ara. Tetapi setelah "dibujuk” oleh Ghazi, dan mendengar cerita dari sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik, Ara mendapat sedikit keberanian untuk mencoba memulai semuanya dari awal.Seperti sekarang, setelah 15 menit melakukan perjalanan, akhirnya Ara sampai di rumah pria itu yang ada di desa seberang. Rumahnya kecil, tetapi terlihat sangat bersih dan asri karena dipenuhi bunga warna-warni yang tertanam rapi di halaman rumahnya.Sedikit malas Ara mengetuk pintu di depannya. Tidak lama kemudian, Ghazi keluar dengan handuk yang masih bertengger di lehernya dan rambut yang masih terlihat basah."Saya kira kamu nggak akan ke sini." ucap Ghazi tersenyum membukakan pintu.Ara mendengus. "Tolong bawakan itu masuk." ucapnya menggerakkan dagu menunjuk dua koper besar miliknya, kemudian melenggang masuk tanpa menunggu respon Ghazi."Lagaknya seperti nyonya besar saja." gumam Ghazi terkekeh. Ia mulai membawa masuk barang-barang Ara kemudian kembali menutup pintu.Ara berjalan menjelajahi isi rumah. Bangunan ini tidaklah besar, tetapi juga bukan bangunan sepetak seperti kontrakan. Ini rumah dengan desain yang minimalis. Hanya ada satu ruang tamu yang tidak terlalu luas, satu kamar tidur, satu ruang keluarga, dapur, serta satu kamar mandi. Tetapi barang-barang di sana semuanya lengkap. Walau itu tak selengkap apa yang ada di rumah Ara."Kamarnya cuma satu. Kalau saya tidur di sana, kamu tidur dimana?" tanya Ara saat Ghazi sudah berdiri di sampingnya."Ya di situ. Memang kamu mau tidur sendirian? Jangan salahkan saya kalau tengah malam nanti ada yang colak-colek kamu." ucap Ghazi."Jangan bercanda!" teriak Ara galak. Selain darah, hal yang paling Ara takutkan di dunia ini adalah hantu."Saya serius." sahut Ghazi mulai menarik koper Ara ke dalam kamar. "Kamu nggak sadar kalau rumah ini dikelilingi kebun? Nggak ada manusia lain disekitar sini." ujar Ghazi membuat Ara terdiam. Benar juga. Rumah ini memang tidak memiliki tetangga. Hanya ada beberapa rumah lagi tetapi itu memiliki jarak yang cukup jauh."Ya sudahlah biarkan saja." ucap Ara tak ingin membahas lebih jauh. "Oh iya kenapa kamu sudah ada di rumah? Nggak pergi jualan?" tanyanya. Ia diberi tahu oleh Zelin kalau suaminya ini berprofesi sebagai tukang cilok."Sudah pulang. Sengaja mau menyambut kedatangan istri cantik saya." ucap Ghazi membuat Ara seketika mengalihkan pandangannya salah tingkah. Ia masih seorang wanita normal, yang ketika dipuji apalagi oleh orang setampan Ghazi, pasti akan merasa gugup."Ya ya, kamu harus merasa bangga memiliki saya." ucap Ara. Ghazi hanya tersenyum melihat pipi Ara merona. Mudah sekali membuat perempuan ini bersemu."Saya mau ke warung sebentar, ada yang mau dibantu lagi nggak?" tanya Ghazi. Ara menggeleng."Cukup, titip permen jahe saja yang banyak." sahut Ara. Ghazi pun menganguk kemudian berlalu keluar. Ara mulai menata barang-barangnya.Setelah semua selesai, Ara keluar menuju dapur hendak menata beberapa cemilan yang ia bawa. Ketika sampai di sana, Ara terkagum melihat betapa bersihnya dapur Ghazi tanpa adanya sampah yang menumpuk. Persediaan bahan mentah serta bumbu-bumbu dapur pun terlihat sangat lengkap. Ara terheran, dari mana pria itu mendapatkan ini semua? Bukankah ia hanya bekerja sebagai penjual cilok keliling?"Saya menabung selama sebulan buat beli itu semua. Kamu suka nggak?" Ara langsung menoleh saat suara Ghazi terdengar."Itu semua kamu siapin buat saya?" tanya Ara. Ghazi mengangguk."Saya nggak punya banyak uang buat beli tas branded atau baju mahal buat kamu, jadi saya beli bahan-bahan dapur saja supaya kamu nggak perlu pergi ke pasar setiap hari." ucap Ghazi tersenyum. Ara terdiam merasa terharu. Ia mulai sedikit mempercayai ucapan sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik.Melihat Ara yang tak kunjung merespon, Ghazi pun berjalan mendekat kemudian menarik hidung mancung milik Ara. "Nggak usah terharu begitu, cukup masakan makanan yang enak saja buat saya sebagai gantinya." ucap Ghazi mengerlingkan mata sebelum berjalan pergi dari sana.Ara merengut memegangi hidungnya. "Dasar genit!" teriak Ara. "Suka banget pegang-pegang, heran." gumamnya. Ara bukannya benci, ia hanya belum terbiasa karena selama hidup di dunia, Ara belum pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Ara hanya fokus meniti karirnya hingga ia bisa mendirikan sebuah perusahaan kosmetik yang cukup besar.Tak terasa, waktu berjalan sangat cepat. Kini Ara sedang membuat minuman untuk Ghazi setelah setengah jam yang lalu mereka telah menghabiskan makan malam dengan masakan yang Ara buat."Ini kopi buat kamu." ucap Ara meletakkan secangkir kopi didekat sang suami kemudian ikut duduk di sampingnya."Makasih yah." sahut Ghazi tersenyum.Ia kira Ara akan mengacuhkannya karena pernikahan mereka terjadi atas dasar paksaan. Apalagi kemarin Ara terang-terangan menolaknya. Tetapi ternyata wanita itu cukup dewasa dalam menerima keadaan, dan mulai beradaptasi menjadi seorang istri. Terlihat dari bagaimana usaha Ara yang mencoba melayani segala kebutuhannya, meski Ghazi terkadang melihat wanita itu merengut tak suka."Ada yang ingin saya tanyakan." ujar Ara."Apa itu?" tanya Ghazi menoleh menatap sang istri."Kenapa kamu mau menikahi saya? Kenapa kamu nggak menentang warga saat itu?" tanya Ara."Saya ini hanya orang kecil, nggak punya kuasa. Melawan puluhan warga desa, tentu saja saya nggak akan mampu." ucap Ghazi."Oke. Kata Mama, saat itu saya pingsan pas lagi beli cilok kamu, kenapa kamu nggak langsung mengantar saya pulang saja?""Saat itu hujan deras tiba-tiba turun, jadi saya bawa kamu ke dalam pos ronda. Kalau kamu berpikir, kenapa saat itu saya nggak antar kamu pakai mobil? Ya karena saya nggak bisa nyetir. Saya yang merasa lelah, nggak sengaja tidur di samping kamu dan tiba-tiba para warga datang salah paham." jelas Ghazi. Itu adalah kronologi yang ia ceritakan kepada semua orang. Ghazi tidak mau ada orang yang tahu tentang insiden penyerangan malam itu. Ia juga bersyukur Ara mengalami lupa ingatan.Ara terdiam mencoba mencari kebohongan dimata pria itu, tetapi entah mengapa ia tidak menemukannya sama sekali. Hanya ada manik coklat gelap yang dalam, dan Ara tak mampu menyelaminya. Tak apa, Ara akan mencari tahu sendiri apakah ucapan Ghazi benar adanya atau tidak."Oke kalau gitu, saya mau tidur." ucap Ara berlalu masuk ke dalam kamar. Ghazi ikut bangkit kemudian mengekori wanita itu."Tidur dan jangan ganggu saya." ujar Ara saat ia merasakan seseorang berbaring di sampingnya.Ghazi hanya terdiam menatap punggung Ara. Cukup lama sampai wanita itu berbalik dengan mata terpejam serta napas yang berhembus teratur, menandakan bahwa Ara telah tertidur. Ghazi tersenyum mengagumi wajah sang istri. Ara ini memiliki wajah yang cantik sekaligus manis tanpa menimbulkan rasa bosan ketika dipandang."Saya memang belum kenal sama kamu, saya nikahin kamu juga karena desakan para warga, dan secara kebetulan saya butuh sesuatu dari kamu. Tapi saya akan berusaha nggak nyakitin kamu selama kamu masih jadi milik saya." lirih Ghazi menyingkirkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Ara.Deru halus terdengar saat sebuah Mercedes hitam berhenti pelan di depan salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat kota. Pintu mobil bergengsi itu terbuka menampilkan seorang pria yang memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, serta lengan yang tergulung sampai ke siku. Tak lupa dengan jas hitam yang ia pegang ditangannya.Walau terkesan berantakan, tetapi aura yang terpancar sungguh menawan. Badan yang proposional dengan wajah yang terpahat tampan, membuat ia selalu menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang, semua orang menoleh memperhatikan saat ia berjalan memasuki perusahaan. Para karyawan mengangguk sopan ketika berapapasan, sambil diam-diam mengagumi bos mereka yang minim senyuman. Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah gagal. Hampir semua proyek yang ia kerjakan selalu sukses dengan hasil yang memuaskan. Inovasi yang ia kemukakan pun selalu mengesankan dan menjadi yang paling unggul. Hal inilah yang membuat perusahaannya terus
"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung."Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi."Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara."Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu."Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Ka
"Sampai kapan kamu akan menyamar seperti ini? Aku yakin, istrimu itu lama-kelaman akan merasa curiga." ucap Willy menatap bosan kearah Ghazi yang kini tengah memakai sebuah topi. "Bukannya aku sudah pernah bilang?" sahut Ghazi mulai menata isi gerobak yang terlihat berantakan. Saat ini keduanya tengah meneduh disebuah gubuk kosong tempat tukang tambal ban yang saat ini sudah tutup."Kalau ternyata yang kamu cari nggak ada sama dia, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Willy. Ghazi terdiam. Ia menatap Willy serius. "Ada atau nggak adanya bukti itu, aku nggak akan pernah melepas apa yang sudah menjadi milikku." sahut Ghazi. Willy hanya menghela napas pasrah. Ia paham betul bagaimana sifat Ghazi, pria itu sangat membenci sebuah perpisahaan. Meski yang dimilikinya itu bukanlah hal yang ia sukai, Ghazi cenderung sulit untuk melepaskan. "Lalu apa lagi setelah ini? Kamu akan menerobos hujan sampai ke rumah supaya terlihat meyakinkan begitu?" ujar Willy memandang derasnya air hujan yang turu
Keesokan harinya, Ghazi terlihat sibuk merawat tanaman yang ada di depan rumah. Tangannya dengan cekatan menyirami, menata, serta memberi pupuk bunga-bunga yang ada disekitarnya. Senyum kecil sesekali akan muncul ketika seekor kupu-kupu terbang mengelilingi tubuhnya. Pria itu terlihat sangat menikmati apa yang tengah ia lakukan.Ara yang sedari tadi mengamati dari dalam pun tertarik untuk menghampiri sang suami. Ia keluar kemudian duduk di teras dekat dengan Ghazi. "Kamu suka berkebun?" Ghazi langsung menoleh saat suara Ara terdengar. Wanita itu terlihat masih mengenakan piyamanya dengan rambut yang digelung asal."Suka, dulu saya sering berkebun sama almarhum Mama. Kalau kamu?" tanya Ghazi. "Nggak terlalu, saya lebih suka permen jahe." sahut Ara asal. Wanita itu memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja, berbelanja, dan makan, daripada melakukan kegiatan lain seperti berkebun. "Kamu nggak pergi jualan?" tanya Ara.Ghazi menggeleng. "Kamu bilang mau pergi ke rumah paman
"Mau kemana bawa-bawa sarung begitu?" tanya Ara saat melihat Ghazi keluar dari kamar membawa sebuah sarung yang pria itu kalungkan di lehernya. Kini siang telah berganti malam, dan mereka sudah berada di dalam rumah. Keributan yang terjadi di taman, membuat Ara tak jadi pergi ke rumah paman Ghazi. Wanita itu memilih pulang, dan mengurung diri dengan setumpuk makanan. "Saya izin ngeronda yah?" ucap Ghazi berjalan mendekati Ara yang tengah berbaring menonton televisi."Masih sore mau ngeronda?" sahut Ara bingung. Matanya melirik kearah jam dinding yang masih menunjukan pukul setengah tujuh malam."Mau rapat dulu di kantor desa Ra." sahut Ghazi. Tangan lelaki itu sibuk mengusir nyamuk yang mencoba menggigit sang istri. Ara yang diperhatikan sedetail itu pun diam-diam tersenyum."Lama nggak?" Kini Ara mengalihkan perhatiannya penuh pada Ghazi. Memperhatikan wajah sang suami yang selalu terlihat menawan. "Saya nggak tahu, tapi saya usahain pulang lebih awal. Jadi boleh nggak?" Sebenarnya
"Siapa kamu sebenarnya?" lirihnya sendu meneteskan air mata. Melihat Ara menangis, hati Ghazi seperti dicubit. Rasa bersalah seketika menyergap dirinya. Apakah tindakannya ini merupakan satu kecerobohan yang fatal?Semua orang yang ada di sana diam menyaksikan. Begitupula dengan Fella yang semakin kesal karena melihat tuan Addaith menolong Ara. Tanpa takut ia berjalan mendekat hendak menarik rambut wanita itu, tetapi tangannya langsung ditepis bahkan sebelum menyentuhnya. "Jauhkan tangan kotormu dari istriku." desis Ghazi penuh penekanan. Fella seketika mematung. Ia jelas paham siapa pria di depannya ini. Itu adalah pria yang sama yang ia temui di taman pagi tadi. Abraham dan semua orang yang masih bisa mendengar itu seketika terkejut. Istri? Jadi wanita itu istri tuan Addaith? Sebagian orang khususnya wanita, banyak yang merasa kecewa sebab itu artinya kesempatan mereka untuk bisa bersanding dengan pria kaya raya itu seketika pupus. Dan sebagian lagi, merasa kesal atas tindakan Fel
Seorang gadis kecil berbaju biru muda, terlihat tengah mengumpulkan jambu air yang berserakan di atas tanah. Tangan mungilnya memilah-milah buah yang sudah matang dan memasukkannya ke dalam keranjang rotan yang ia bawa. Berpindah ke sana kemari, dengan senyum manis yang senantiasa mengembang di wajahnya yang juita.Ketika gadis itu melihat sebuah jambu yang besar nan mulus, kedua matanya langsung berbinar. Baru saja tangannya ingin meraih buah tersebut, seekor ulat bulu terlihat menggeliat di sana. Membuat ia seketika berteriak kencang sampai membangunkan seseorang yang tengah tertidur di atas pohon."Ck! Anak siapa sih berisik banget!" gerutu si pemuda yang terbangun dari tidurnya. Saat ia menoleh ke bawah, seorang gadis kecil terlihat menangis ketakutan dengan keranjang buah yang isinya sudah berantakan. Langsung saja ia turun dari pohon lalu menghampirinya. "Kenapa nangis?" tanyanya malas.Si gadis langsung mendongak, ia bergerak cepat memeluk si pemuda. "Kakak tolong aku." cicitny
Mobil Ara menderu halus berhenti tepat di depan rumah sang suami. Wanita itu turun kemudian berjalan menuju pintu. Saat matanya tidak menemukan mobil Ghazi, Ara langsung berpikir bahwa pria itu sedang tidak ada di rumah. Dengan santai, tangan Ara bergerak membuka pintu tanpa tahu kalau dari dalam juga ada yang melakukan hal yang sama. Ketika itu sudah terbuka, wajah Ghazi langsung terpampang membuat Ara berjengit terkejut. Begitupula dengan Ghazi yang tak percaya dengan apa yang ia lihat."Kamu ini bikin kaget saja sih!" seru Ara mengelus dada. Bukannya merasa bersalah, Ghazi malah tersenyum lebar. Ia langsung memeluk erat wanita di depannya. "Saya tahu kamu pasti akan kembali." bisiknya tepat di samping telinga sang istri. Ara memejamkan mata ketika merasakan kehangatan yang perlahan menjalar keseluruh tubuhnya. Menikmati pelukan Ghazi yang sepertinya akan menjadi candu baginya. "Tolong, jangan pergi-pergi lagi Ra. Saya nggak mau jauh dari kamu." ucap Ghazi semakin menenggelamkan wa