Seorang gadis kecil berbaju biru muda, terlihat tengah mengumpulkan jambu air yang berserakan di atas tanah. Tangan mungilnya memilah-milah buah yang sudah matang dan memasukkannya ke dalam keranjang rotan yang ia bawa. Berpindah ke sana kemari, dengan senyum manis yang senantiasa mengembang di wajahnya yang juita.Ketika gadis itu melihat sebuah jambu yang besar nan mulus, kedua matanya langsung berbinar. Baru saja tangannya ingin meraih buah tersebut, seekor ulat bulu terlihat menggeliat di sana. Membuat ia seketika berteriak kencang sampai membangunkan seseorang yang tengah tertidur di atas pohon."Ck! Anak siapa sih berisik banget!" gerutu si pemuda yang terbangun dari tidurnya. Saat ia menoleh ke bawah, seorang gadis kecil terlihat menangis ketakutan dengan keranjang buah yang isinya sudah berantakan. Langsung saja ia turun dari pohon lalu menghampirinya. "Kenapa nangis?" tanyanya malas.Si gadis langsung mendongak, ia bergerak cepat memeluk si pemuda. "Kakak tolong aku." cicitny
Mobil Ara menderu halus berhenti tepat di depan rumah sang suami. Wanita itu turun kemudian berjalan menuju pintu. Saat matanya tidak menemukan mobil Ghazi, Ara langsung berpikir bahwa pria itu sedang tidak ada di rumah. Dengan santai, tangan Ara bergerak membuka pintu tanpa tahu kalau dari dalam juga ada yang melakukan hal yang sama. Ketika itu sudah terbuka, wajah Ghazi langsung terpampang membuat Ara berjengit terkejut. Begitupula dengan Ghazi yang tak percaya dengan apa yang ia lihat."Kamu ini bikin kaget saja sih!" seru Ara mengelus dada. Bukannya merasa bersalah, Ghazi malah tersenyum lebar. Ia langsung memeluk erat wanita di depannya. "Saya tahu kamu pasti akan kembali." bisiknya tepat di samping telinga sang istri. Ara memejamkan mata ketika merasakan kehangatan yang perlahan menjalar keseluruh tubuhnya. Menikmati pelukan Ghazi yang sepertinya akan menjadi candu baginya. "Tolong, jangan pergi-pergi lagi Ra. Saya nggak mau jauh dari kamu." ucap Ghazi semakin menenggelamkan wa
"Mama serius nggak mau ikut sama aku?" tanya Ara menatap sang mama yang kini sedang menuangkan teh hangat ke dalam gelasnya."Nggak Sayang, mama mau di sini saja. Banyak kenangan berharga tentang papa kamu di sini." sahut Zelin tersenyum hangat.Pagi-pagi sekali, Ara sudah berada di rumah sang mama. Wanita itu ingin berpamitan kalau dirinya akan pindah ke rumah Ghazi yang ada di kota. Ara juga sudah memberitahu Zelin tentang identitas Ghazi, dan wanita paruh baya itu hanya tersenyum maklum."Kamu nggak perlu cemasin mama Ra. Hidup mama sudah terjamin. Selain uang dari kamu, Ghazi juga kasih mama uang dengan jumlah yang nggak sedikit. Mungkin bisa buat biaya hidup selama setahun, haha ... " tawa Zelin. Padahal dirinya sama sekali tak meminta, tetapi menantunya itu bersikeras memberinya uang."Mama serius?" tanya Ara sedikit terkejut. Pasalnya Ghazi tak pernah bercerita tentang hal ini.Zelin mengangguk. "Mungkin kalau dia bilang dulu ke kamu, kamu akan nolak. Jadi ya dia kasihnya diam-
Seminggu berlalu sejak Ara pindah ke rumah Ghazi, wanita itu sudah bisa menyesuaikan diri. Ia beraktifitas seperti biasa, namun dengan jam kerja yang lebih sedikit. Ghazi memang mengizinkan Ara untuk tetap menjalankan bisnisnya, tetapi pria itu memberinya batasan, sehingga Ara lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.Seperti sekarang, Ara sedang berada di labirin bunga yang ada di halaman belakang rumah Ghazi. Labirin itu terbuat dari semak lebat yang dibentuk menyerupai tembok tinggi, yang dibangun melingkar menjadi sebuah labirin yang rumit. Ini menjadi tempat favorit Ara karena di tengah-tengah labirin, terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah. Dan itu menjadi tujuan Ara kali ini.Namun, baru setengah perjalanan ia lalui, langkahnya langsung terhenti ketika suara isak tangis seseorang terdengar mengusik telinganya. "Siapa yang menangis di tempat seperti ini?" gumam Ara. Ia memberanikan diri mengikuti sumber suara tersebut. Sampai di salah satu sisi labirin, matany
"Selamat pagi, Ra." sapa Ghazi mengecup singkat dahi sang istri. Pria itu baru saja selesai mandi, dan bergabung ke kemeja makan bersama Ara dan Giana yang sudah duduk di kursi masing-masing."Selamat pagi, Mas." balas Ara tersenyum manis kearah pria yang kini duduk di dekatnya."Cuma kecupan singkat? Nggak ada ciuman intens kah?" Uhuk. Ara yang baru saja meminum segelas air seketika tersedak mendengar ucapan Giana. Apa katanya tadi? Ciuman intens? Dikecup Ghazi saja Ara sudah merasa gugup, apalagi sampai begitu. Ghazi yang juga belum pernah melakukannya pun hanya diam berdehem pelan.Melihat reaksi keduanya, dahi Giana seketika berkerut. "Ada apa dengan kalian? Oh, atau jangan-jangan ... kalian belum pernah melakukannya ya?" tebak Giana tak percaya. Bagaimana bisa sudah menikah selama satu bulan lamanya, tetapi mereka belum pernah berciuman? "Gimana mau kasih tante cucu, kalau kalian saja belum melakukan apa-apa! Sudah begini saja, tante pesankan tiket bulan madu selama tiga hari bua
"Apa semua sudah siap?" tanya Ghazi pada Ara yang kini sedang menata pakaiannya ke dalam koper."Sudah, jam berapa kita akan berangkat?" ucap Ara.Keduanya tengah bersiap untuk pergi bulan madu sesuai dengan permintaan Giana. Wanita itu benar-benar memesan paket honeymoon disalah satu resort ternama yang ada di Pulau Dewata untuk Ghazi dan Ara--tiga hari setelah ia kembali ke Prancis."Sekarang saja ayo, setengah jam lagi pesawatnya take off." ajak Ghazi. Mereka pun berjalan ke luar menuju halaman depan. Saat Ara hendak masuk ke dalam mobil, Carol datang menyapanya."Selamat pagi Nyonya, apa Anda perlu saya temani?" tanyanya. "Nggak perlu, Ara akan aman bersama saya." sahut Ghazi yang juga berada di sana."Maaf Tuan, saya tidak bertanya pada Anda." ucap Carol membuat Ara seketika tergelak. "Haha ... perhatikan ucapannya Tuan Addaith. Dia berbicara dengan saya, bukan dengan Anda." ledek Ara. Senyum geli langsung tersungging di bibirnya ketika melihat Ghazi mendengus, dan berlalu masu
"Itu ... " Suara Ara tercekat kala bayangan mengerikan tentang kejadian masa lalunya kembali terlintas dalam benaknya."Lupakan Ra, ayo kita pergi tidur saja." "Tunggu, saya akan menceritakan semuanya ke kamu Mas." cegah Ara saat Ghazi ingin bangkit. Ia merasa kalau pria itu juga berhak tahu tentang masa lalunya. Seperti Ara yang mengetahui tentang kematian kedua orang tua Ghazi."Saya depresi, karena kecelakaan yang terjadi ketika saya berumur sepuluh tahun." lirih Ara menatap langit malam dengan pandangan menerawang.16 tahun yang lalu, Ara kecil terlihat sedang menunggu Dany-sang papa-di depan gerbang sekolahnya. Hari ini pria itu berjanji akan mengajaknya pergi jalan-jalan, dan makan batagor favorit mereka di taman kota."Papa!" teriak Ara sumringah ketika motor Dany menderu halus berhenti tepat di depannya. Pria itu langsung turun dan bergerak menggendong sang anak."Apa putri papa sudah siap?" tanyanya. Ara mengangguk yakin. "Oke kalau begitu, ayo kita berangkat!" seru Dany antu
Cuaca pagi ini terlihat sangat cerah, secerah wajah Ara yang kini tengah menikmati secangkir teh hangat di balkon kamarnya. Kondisi wanita itu sudah jauh lebih baik dari pada semalam. Ini semua berkat Ghazi yang terus memeluknya sembari membisikan kata-kata penuh cinta, yang membuat hati Ara berbunga-bunga. "Ra, kamu lihat celana saya nggak?" Ara langsung menoleh ketika seruan Ghazi terdengar dari dalam kamar. Pria itu terlihat berjalan ke sana kemari dengan hanya menggunakan handuk yang terlilit di pinggangnya."Sebenarnya apa yang ada di pundak kamu itu Mas?" sahut Ara menatap heran sang suami."Ap--oh iya, saya lupa hehe." ucap Ghazi saat menyadari bahwa barang yang tengah ia cari, ternyata tersampir di pundaknya. Pria itu hanya terkekeh dan kembali masuk ke dalam kamar mandi.Ara menggeleng pelan melihat kelakuan Ghazi. Pria itu memang mempunyai daya ingat dan kecerdasan yang tinggi. Tetapi itu tidak berlaku dalam hal menaruh barang. Ghazi sering kali lupa, dan berakhir Ara yang