"Apa yang membuatmu datang kemari, Darling?"Carol menatap dingin Giana yang kini duduk di sebuah sofa tunggal. Beberapa saat yang lalu, ia sengaja menghubungi wanita itu untuk bisa bertemu. Dan di sini lah mereka berada, di sebuah Villa yang dikelilingi hutan belantara. "Kenapa Anda mengusirnya?"Giana tersenyum geli mendengar pertanyaan Carol yang terasa menggelitik. "Saya hanya menjalankan ide yang kamu cetuskan, ingat?"Wajah Carol seketika berubah keruh. Tampaknya, Giana memang selalu mengartikan semua hal secara berlebihan. Carol memang memberi saran kepada wanita itu untuk menyerang sikis Ara, tetapi tidak dengan cara kotor seperti ini. "Apa Anda sadar? Cara yang Anda gunakan itu lebih busuk dari pada sebuah bangkai."Giana tertawa sumbang. Lagi-lagi, perkataan Carol terdengar seperti lelucon dikedua telinganya. "Jangan terlalu naif, Darling. Bukankah kamu sendiri terbiasa menggunakan cara seperti itu? Menikam tuanmu sendiri dari belakang, apa itu masih bisa dianggap bersih?"
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
"Loh, Bang, kok yang jualan cilok beda? Abang yang biasanya ke mana?"Malam itu, sepulang kerja, wanita bernama Ara melihat gerobak cilok favoritnya tengah berhenti di dekat pos ronda. Ara yang kebetulan merasa lapar pun segera menepikan mobilnya.Ara sedikit pangling, pasalnya penjual cilok kali ini terlihat sangat berbeda. Pria itu terasa lebih berkarisma, dan jelas ... tampan."Abang biasanya lagi sakit, Mbak. Jadi, saya yang gantiin." sahutnya.Tak kuasa menahan lapar di hadapan uap beraroma cilok di hadapannya, Ara akhirnya membelinya. Wanita itu sedikit tersipu menyaksikan si abang cilok yang melayani pesanan Ara dengan sumringah.Diam-diam Ara mengamati wajah pria di depannya itu. Wajah si abang cilok ini sangat tampan. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, alisnya tebal tertata rapi."Ganteng-ganteng gini kok jualan cilok, sih?" batin Ara penasaran. Pasalnya, Ara bisa jamin, kalau pria di hadapannya adalah aktor, atau CEO kaya raya, pasti akan terlihat lebih sempurna.Sibu