"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"Pernikahan Ara dan Ghazi berjalan lancar disaksikan oleh beberapa warga dan para paman dari masing-masing mempelai yang bertugas menjadi wali mereka.Sepanjang acara, Ara hanya terdiam dengan tatapan kosong. Kedua matanya memang terbuka, tetapi kesadarannya seperti hilang entah kemana. Ketika diajak bicara, wanita itu hanya diam tanpa memberi respon apapun. Zelin yang menemani sang putri dari awal pun hanya bisa terus menangis.Melihat kondisi Ara yang semakin memburuk, Zelin terpaksa membuat kesepakatan dengan sang menantu. Ia melarang Ghazi membawa atau bertemu dengan Ara sampai kondisi wanita itu membaik. Untung saja, pria itu langsung menyetujuinya.Ara mulai rutin menjalani psikoterapi sampai perlahan kondisinya membaik. Namun, karena depresi parah yang saat itu ia alami, membuat Ara harus menerima fakta bahwa ia tidak bisa mengingat kejadian-kejadian yang belum lama terjadi dalam hidupnya, termasuk acara pernikahannya sendiri.Tepat dihari ketiga puluh, Ara dinyatakan sembuh. Bahkan kini ia sudah siap dengan pakaian rapi hendak berangkat ke kantor."Kamu serius mau pergi kerja?" tanya Zelin menatap sang putri khawatir."Mama tenang saja yah, kondisi aku sudah membaik kok." sahut Ara tersenyum. Ia memang merasa jauh lebih tenang dari pada hari-hari sebelumnya. Zelin mengangguk ikut tersenyum."Hari ini ada yang mau ketemu sama kamu Ra, dia mau jemput kamu." ucap Zelin meletakkan segelas susu di depan Ara.Tangan Ara yang hendak mengoleskan selai kesebuah roti seketika terhenti. Ia mendongak menatap sang mama dengan dahi mengernyit dalam. "Siapa? Menjemput kemana? Ke kantor?" tanya Ara."Bukan. Dia--" Ting tong. Suara bel rumah tiba-tiba terdengar membuat Ara dan Zelin saling pandang. Siapa yang bertamu sepagi ini?"Biar aku saja yang buka." ucap Ara berlalu keluar.Saat pintu sudah terbuka, seorang pria tampan terlihat berdiri tersenyum manis kearahnya."Senang melihat kamu sudah lebih baik." ucapnya lembut. Ara terdiam menelisik penampilan si pria.Pria itu mengenakan pakaian yang sangat sederhana dengan sepasang sandal jepit dikedua kakinya. Ara mencoba mengingat siapa pria di depannya ini, tetapi entah mengapa, ia sama sekali tidak bisa mengingatnya dan merasa asing dengan si pria."Kamu siapa?" tanya Ara bingung. Senyum yang sempat terukir di wajah si pria seketika memudar."Kamu nggak ingat sama saya?" ucapnya hati-hati.Ara menggeleng. "Memangnya kamu siapa? Saya sama sekali nggak kenal sama kamu." sahut Ara.Si pria diam terpegun. Ia memang tak berharap Ara akan menyambutnya, tetapi apakah harus Ara berlagak tidak mengenalnya? Itu sedikit berlebihan. Tetapi melihat wanita itu berkata dengan wajah serius, si pria pun mulai sedikit khawatir."Saya—”"Siapa yang datang Ra?" teriak Zelin berjalan keluar. Saat matanya bersitatap dengan si pria, ia pun terkejut. "Ghazi ... " lirihnya. Ia memang menyuruh pria itu untuk datang, tetapi Zelin tak menyangka kalau Ghazi akan datang secepat ini."Pagi Ma, Mama apa kabar?" sapa Ghazi menyalami tangan Zelin. Ara yang melihat adegan itu pun semakin menyernyit bingung.Dapat Ara pastikan, kalau ia adalah anak tunggal dan mama serta papa nya tidak pernah mengadopsi anak lain. Lalu mengapa pria itu memanggil mamanya dengan sebutan Mama?"Mama kenal sama dia?" tanya Ara."Ayo bicarakan di dalam." sahut sang mama.Ara duduk di samping Zelin yang kini terdiam meremas jari-jari tangannya sendiri. Begitupula dengan Ghazi yang tidak mengeluarkan sepatah katapun.Ara yang mulai merasa tak nyaman dengan situasi yang terasa menegangkan pun mulai bergerak gelisah. Ia memegangi kedua tangan sang mama."Ini sebenarnya ada apa sih Ma?" tanyanya. Zelin menoleh menatap Ara ragu."Mama jelasin tapi kamu janji jangan depresi lagi yah?" cicit Zelin takut. Ara yang memang merasa sudah sembuh pun langsung mengangguk."Aku sudah sehat Ma. Ayo jelasin siapa dia sebenarnya?" ucap Ara melirik kearah Ghazi."Dia ... dia suami kamu Ra."Genggaman Ara ditangan Zelin langsung terlepas. Sekejap otaknya terasa kosong. Terlalu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh sang mama."Suami? Kapan aku menikah?" batin Ara tecengang."Mama bercanda yah?" lirihnya tersenyum geli. Berharap sang mama akan mengangguk dan tertawa karena berhasil menipunya. Tetapi yang terlihat, Zelin menggeleng dengan raut wajah rumit membuat Ara diam seribu bahasa."Dia Ghazi, suami sah kamu Ra." ucap Zelin menyodorkan ponselnya yang kini menampilkan sebuah vidio. Ara langsung meraihnya.Prosesi ijab kobul langsung terputar dengan suara seorang pria yang menyebut namanya dengan lantang dan pasti. Bahkan wajah Ara dan pria yang kini duduk di depannya terus terpampang dengan jelas di dalam vidio. Tangan Ara seketika gemetar. Ia langsung menyentak ponsel milik Zelin ke atas meja."Nggak! Itu semua pasti cuma rekayasa kan Ma?" ucap Ara tak percaya. "Aku belum menikah! Aku nggak kenal sama dia Ma!" teriak Ara menatap sinis kearah Ghazi."Tenang sayang, tolong dengerin penjelasan mama dulu, mama mohon Ra." ujar Zelin menarik pelan tangan Ara. Wanita itu berdiri terlihat tidak terima."Oke, ayo jelasin sekarang juga." sahut Ara menatap sang mama lekat. Kedua matanya mulai memerah hampir menangis."Waktu itu, kamu ditemukan tidur berdua dengan Ghazi di pos ronda Ra, semua warga langsung salah paham, dan memaksa kalian untuk menikah." jelas Zelin pelan."Lalu kenapa mama nggak menentang saat itu Ma? Ara nggak mau menikah dengan orang yang Ara nggak kenal!" sahut Ara menatap sang mama kecewa."Ra, mama saat itu kalut. Para warga mengancam akan membakar kalian hidup-hidup kalau kalian nggak mau menikah. Ibu mana yang tega melihat anaknya dibakar Ra?" balas Zelin menggebu.Tubuh Ara seketika meluruh terduduk di atas sofa. Sebulir air mata mulai menetes membasahi pipi putihnya. Pikirannya carut marut bingung harus merespon apa."Mama keterlaluan!" ucapnya lirih, tak kuasa menahan emosi yang kini memenuhi seluruh tubuhnya.Melihat anaknya yang tiba-tiba berlari keluar, Zelin bergerak hendak menahan wanita itu, namun Ghazi menghentikannya."Biar aku yang coba berbicara dengannya, Ma."Seusai menyalami mertuanya, Ghazi pun bergegas. Pria itu melangkahkan kakinya dengan cepat, untuk mengejar istrinya itu.Selang beberapa menit, Ghazi akhirnya menemukan Ara yang sedang terduduk di sebuah ayunan di taman. Pria itu bisa melihat sang istri menundukkan kepalanya, dengan bahu yang bergetar.Tak ingin mengejutkan Ara, Ghazi pun menghampirinya, dan duduk di ayunan sebelahnya tanpa mengeluarkan suara.“Kenapa kamu ngikutin saya? Saya nggak kenal sama kamu.” ucap Ara, tersadar jika pria tak dikenalnya itu kini sudah terduduk diam di sampingnya.Untuk beberapa menit, Ara tak mendengar balasan apapun dari pria itu. Dia hanya bisa mendengar gemerisik pohon yang terkena hembusan angin.Namun, tiba-tiba, sebuah sentuhan halus di permukaan tangannya mengejutkan wanita itu.“Ara, saya ngikutin kamu karena memang seharusnya begitu,”Ketika Ara menengok, pemandangan di depan matanya membuatnya merasakan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Manik pria di hadapannya ini menatapnya dalam, seolah tak ingin melepaskan Ara. Belum sempat Ara membalas, pria itu sudah kembali berbicara.“Dan saya juga akan menunggu sampai kamu siap mengenal saya sebagai suami kamu.”“Ara berangkat yah Ma!”Keesokan harinya, tepatnya pukul tiga sore, Ara sudah siap dengan dua koper besar berisi barang-barang miliknya yang telah ia kemas semalam. Setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah pria itu. Sesungguhnya, keraguan masih terus membayangi diri Ara. Tetapi setelah "dibujuk” oleh Ghazi, dan mendengar cerita dari sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik, Ara mendapat sedikit keberanian untuk mencoba memulai semuanya dari awal.Seperti sekarang, setelah 15 menit melakukan perjalanan, akhirnya Ara sampai di rumah pria itu yang ada di desa seberang. Rumahnya kecil, tetapi terlihat sangat bersih dan asri karena dipenuhi bunga warna-warni yang tertanam rapi di halaman rumahnya.Sedikit malas Ara mengetuk pintu di depannya. Tidak lama kemudian, Ghazi keluar dengan handuk yang masih bertengger di lehernya dan rambut yang masih terlihat basah."Saya kira kamu nggak akan ke sini." ucap Ghazi tersenyum membukakan pintu.Ara
Deru halus terdengar saat sebuah Mercedes hitam berhenti pelan di depan salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat kota. Pintu mobil bergengsi itu terbuka menampilkan seorang pria yang memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, serta lengan yang tergulung sampai ke siku. Tak lupa dengan jas hitam yang ia pegang ditangannya.Walau terkesan berantakan, tetapi aura yang terpancar sungguh menawan. Badan yang proposional dengan wajah yang terpahat tampan, membuat ia selalu menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang, semua orang menoleh memperhatikan saat ia berjalan memasuki perusahaan. Para karyawan mengangguk sopan ketika berapapasan, sambil diam-diam mengagumi bos mereka yang minim senyuman. Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah gagal. Hampir semua proyek yang ia kerjakan selalu sukses dengan hasil yang memuaskan. Inovasi yang ia kemukakan pun selalu mengesankan dan menjadi yang paling unggul. Hal inilah yang membuat perusahaannya terus
"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung."Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi."Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara."Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu."Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Ka
"Sampai kapan kamu akan menyamar seperti ini? Aku yakin, istrimu itu lama-kelaman akan merasa curiga." ucap Willy menatap bosan kearah Ghazi yang kini tengah memakai sebuah topi. "Bukannya aku sudah pernah bilang?" sahut Ghazi mulai menata isi gerobak yang terlihat berantakan. Saat ini keduanya tengah meneduh disebuah gubuk kosong tempat tukang tambal ban yang saat ini sudah tutup."Kalau ternyata yang kamu cari nggak ada sama dia, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Willy. Ghazi terdiam. Ia menatap Willy serius. "Ada atau nggak adanya bukti itu, aku nggak akan pernah melepas apa yang sudah menjadi milikku." sahut Ghazi. Willy hanya menghela napas pasrah. Ia paham betul bagaimana sifat Ghazi, pria itu sangat membenci sebuah perpisahaan. Meski yang dimilikinya itu bukanlah hal yang ia sukai, Ghazi cenderung sulit untuk melepaskan. "Lalu apa lagi setelah ini? Kamu akan menerobos hujan sampai ke rumah supaya terlihat meyakinkan begitu?" ujar Willy memandang derasnya air hujan yang turu
Keesokan harinya, Ghazi terlihat sibuk merawat tanaman yang ada di depan rumah. Tangannya dengan cekatan menyirami, menata, serta memberi pupuk bunga-bunga yang ada disekitarnya. Senyum kecil sesekali akan muncul ketika seekor kupu-kupu terbang mengelilingi tubuhnya. Pria itu terlihat sangat menikmati apa yang tengah ia lakukan.Ara yang sedari tadi mengamati dari dalam pun tertarik untuk menghampiri sang suami. Ia keluar kemudian duduk di teras dekat dengan Ghazi. "Kamu suka berkebun?" Ghazi langsung menoleh saat suara Ara terdengar. Wanita itu terlihat masih mengenakan piyamanya dengan rambut yang digelung asal."Suka, dulu saya sering berkebun sama almarhum Mama. Kalau kamu?" tanya Ghazi. "Nggak terlalu, saya lebih suka permen jahe." sahut Ara asal. Wanita itu memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja, berbelanja, dan makan, daripada melakukan kegiatan lain seperti berkebun. "Kamu nggak pergi jualan?" tanya Ara.Ghazi menggeleng. "Kamu bilang mau pergi ke rumah paman
"Mau kemana bawa-bawa sarung begitu?" tanya Ara saat melihat Ghazi keluar dari kamar membawa sebuah sarung yang pria itu kalungkan di lehernya. Kini siang telah berganti malam, dan mereka sudah berada di dalam rumah. Keributan yang terjadi di taman, membuat Ara tak jadi pergi ke rumah paman Ghazi. Wanita itu memilih pulang, dan mengurung diri dengan setumpuk makanan. "Saya izin ngeronda yah?" ucap Ghazi berjalan mendekati Ara yang tengah berbaring menonton televisi."Masih sore mau ngeronda?" sahut Ara bingung. Matanya melirik kearah jam dinding yang masih menunjukan pukul setengah tujuh malam."Mau rapat dulu di kantor desa Ra." sahut Ghazi. Tangan lelaki itu sibuk mengusir nyamuk yang mencoba menggigit sang istri. Ara yang diperhatikan sedetail itu pun diam-diam tersenyum."Lama nggak?" Kini Ara mengalihkan perhatiannya penuh pada Ghazi. Memperhatikan wajah sang suami yang selalu terlihat menawan. "Saya nggak tahu, tapi saya usahain pulang lebih awal. Jadi boleh nggak?" Sebenarnya
"Siapa kamu sebenarnya?" lirihnya sendu meneteskan air mata. Melihat Ara menangis, hati Ghazi seperti dicubit. Rasa bersalah seketika menyergap dirinya. Apakah tindakannya ini merupakan satu kecerobohan yang fatal?Semua orang yang ada di sana diam menyaksikan. Begitupula dengan Fella yang semakin kesal karena melihat tuan Addaith menolong Ara. Tanpa takut ia berjalan mendekat hendak menarik rambut wanita itu, tetapi tangannya langsung ditepis bahkan sebelum menyentuhnya. "Jauhkan tangan kotormu dari istriku." desis Ghazi penuh penekanan. Fella seketika mematung. Ia jelas paham siapa pria di depannya ini. Itu adalah pria yang sama yang ia temui di taman pagi tadi. Abraham dan semua orang yang masih bisa mendengar itu seketika terkejut. Istri? Jadi wanita itu istri tuan Addaith? Sebagian orang khususnya wanita, banyak yang merasa kecewa sebab itu artinya kesempatan mereka untuk bisa bersanding dengan pria kaya raya itu seketika pupus. Dan sebagian lagi, merasa kesal atas tindakan Fel
Seorang gadis kecil berbaju biru muda, terlihat tengah mengumpulkan jambu air yang berserakan di atas tanah. Tangan mungilnya memilah-milah buah yang sudah matang dan memasukkannya ke dalam keranjang rotan yang ia bawa. Berpindah ke sana kemari, dengan senyum manis yang senantiasa mengembang di wajahnya yang juita.Ketika gadis itu melihat sebuah jambu yang besar nan mulus, kedua matanya langsung berbinar. Baru saja tangannya ingin meraih buah tersebut, seekor ulat bulu terlihat menggeliat di sana. Membuat ia seketika berteriak kencang sampai membangunkan seseorang yang tengah tertidur di atas pohon."Ck! Anak siapa sih berisik banget!" gerutu si pemuda yang terbangun dari tidurnya. Saat ia menoleh ke bawah, seorang gadis kecil terlihat menangis ketakutan dengan keranjang buah yang isinya sudah berantakan. Langsung saja ia turun dari pohon lalu menghampirinya. "Kenapa nangis?" tanyanya malas.Si gadis langsung mendongak, ia bergerak cepat memeluk si pemuda. "Kakak tolong aku." cicitny