Share

2. Jadi seorang istri

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!"

Pernikahan Ara dan Ghazi berjalan lancar disaksikan oleh beberapa warga dan para paman dari masing-masing mempelai yang bertugas menjadi wali mereka.

Sepanjang acara, Ara hanya terdiam dengan tatapan kosong. Kedua matanya memang terbuka, tetapi kesadarannya seperti hilang entah kemana. Ketika diajak bicara, wanita itu hanya diam tanpa memberi respon apapun. Zelin yang menemani sang putri dari awal pun hanya bisa terus menangis.

Melihat kondisi Ara yang semakin memburuk, Zelin terpaksa membuat kesepakatan dengan sang menantu. Ia melarang Ghazi membawa atau bertemu dengan Ara sampai kondisi wanita itu membaik. Untung saja, pria itu langsung menyetujuinya.

Ara mulai rutin menjalani psikoterapi sampai perlahan kondisinya membaik. Namun, karena depresi parah yang saat itu ia alami, membuat Ara harus menerima fakta bahwa ia tidak bisa mengingat kejadian-kejadian yang belum lama terjadi dalam hidupnya, termasuk acara pernikahannya sendiri.

Tepat dihari ketiga puluh, Ara dinyatakan sembuh. Bahkan kini ia sudah siap dengan pakaian rapi hendak berangkat ke kantor.

"Kamu serius mau pergi kerja?" tanya Zelin menatap sang putri khawatir.

"Mama tenang saja yah, kondisi aku sudah membaik kok." sahut Ara tersenyum. Ia memang merasa jauh lebih tenang dari pada hari-hari sebelumnya. Zelin mengangguk ikut tersenyum.

"Hari ini ada yang mau ketemu sama kamu Ra, dia mau jemput kamu." ucap Zelin meletakkan segelas susu di depan Ara.

Tangan Ara yang hendak mengoleskan selai kesebuah roti seketika terhenti. Ia mendongak menatap sang mama dengan dahi mengernyit dalam. "Siapa? Menjemput kemana? Ke kantor?" tanya Ara.

"Bukan. Dia--" Ting tong. Suara bel rumah tiba-tiba terdengar membuat Ara dan Zelin saling pandang. Siapa yang bertamu sepagi ini?

"Biar aku saja yang buka." ucap Ara berlalu keluar.

Saat pintu sudah terbuka, seorang pria tampan terlihat berdiri tersenyum manis kearahnya.

"Senang melihat kamu sudah lebih baik." ucapnya lembut. Ara terdiam menelisik penampilan si pria.

Pria itu mengenakan pakaian yang sangat sederhana dengan sepasang sandal jepit dikedua kakinya. Ara mencoba mengingat siapa pria di depannya ini, tetapi entah mengapa, ia sama sekali tidak bisa mengingatnya dan merasa asing dengan si pria.

"Kamu siapa?" tanya Ara bingung. Senyum yang sempat terukir di wajah si pria seketika memudar.

"Kamu nggak ingat sama saya?" ucapnya hati-hati.

Ara menggeleng. "Memangnya kamu siapa? Saya sama sekali nggak kenal sama kamu." sahut Ara.

Si pria diam terpegun. Ia memang tak berharap Ara akan menyambutnya, tetapi apakah harus Ara berlagak tidak mengenalnya? Itu sedikit berlebihan. Tetapi melihat wanita itu berkata dengan wajah serius, si pria pun mulai sedikit khawatir.

"Saya—”

"Siapa yang datang Ra?" teriak Zelin berjalan keluar. Saat matanya bersitatap dengan si pria, ia pun terkejut. "Ghazi ... " lirihnya. Ia memang menyuruh pria itu untuk datang, tetapi Zelin tak menyangka kalau Ghazi akan datang secepat ini.

"Pagi Ma, Mama apa kabar?" sapa Ghazi menyalami tangan Zelin. Ara yang melihat adegan itu pun semakin menyernyit bingung.

Dapat Ara pastikan, kalau ia adalah anak tunggal dan mama serta papa nya tidak pernah mengadopsi anak lain. Lalu mengapa pria itu memanggil mamanya dengan sebutan Mama?

"Mama kenal sama dia?" tanya Ara.

"Ayo bicarakan di dalam." sahut sang mama.

Ara duduk di samping Zelin yang kini terdiam meremas jari-jari tangannya sendiri. Begitupula dengan Ghazi yang tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Ara yang mulai merasa tak nyaman dengan situasi yang terasa menegangkan pun mulai bergerak gelisah. Ia memegangi kedua tangan sang mama.

"Ini sebenarnya ada apa sih Ma?" tanyanya. Zelin menoleh menatap Ara ragu.

"Mama jelasin tapi kamu janji jangan depresi lagi yah?" cicit Zelin takut. Ara yang memang merasa sudah sembuh pun langsung mengangguk.

"Aku sudah sehat Ma. Ayo jelasin siapa dia sebenarnya?" ucap Ara melirik kearah Ghazi.

"Dia ... dia suami kamu Ra."

Genggaman Ara ditangan Zelin langsung terlepas. Sekejap otaknya terasa kosong. Terlalu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh sang mama.

"Suami? Kapan aku menikah?" batin Ara tecengang.

"Mama bercanda yah?" lirihnya tersenyum geli. Berharap sang mama akan mengangguk dan tertawa karena berhasil menipunya. Tetapi yang terlihat, Zelin menggeleng dengan raut wajah rumit membuat Ara diam seribu bahasa.

"Dia Ghazi, suami sah kamu Ra." ucap Zelin menyodorkan ponselnya yang kini menampilkan sebuah vidio. Ara langsung meraihnya.

Prosesi ijab kobul langsung terputar dengan suara seorang pria yang menyebut namanya dengan lantang dan pasti. Bahkan wajah Ara dan pria yang kini duduk di depannya terus terpampang dengan jelas di dalam vidio. Tangan Ara seketika gemetar. Ia langsung menyentak ponsel milik Zelin ke atas meja.

"Nggak! Itu semua pasti cuma rekayasa kan Ma?" ucap Ara tak percaya. "Aku belum menikah! Aku nggak kenal sama dia Ma!" teriak Ara menatap sinis kearah Ghazi.

"Tenang sayang, tolong dengerin penjelasan mama dulu, mama mohon Ra." ujar Zelin menarik pelan tangan Ara. Wanita itu berdiri terlihat tidak terima.

"Oke, ayo jelasin sekarang juga." sahut Ara menatap sang mama lekat. Kedua matanya mulai memerah hampir menangis.

"Waktu itu, kamu ditemukan tidur berdua dengan Ghazi di pos ronda Ra, semua warga langsung salah paham, dan memaksa kalian untuk menikah." jelas Zelin pelan.

"Lalu kenapa mama nggak menentang saat itu Ma? Ara nggak mau menikah dengan orang yang Ara nggak kenal!" sahut Ara menatap sang mama kecewa.

"Ra, mama saat itu kalut. Para warga mengancam akan membakar kalian hidup-hidup kalau kalian nggak mau menikah. Ibu mana yang tega melihat anaknya dibakar Ra?" balas Zelin menggebu.

Tubuh Ara seketika meluruh terduduk di atas sofa. Sebulir air mata mulai menetes membasahi pipi putihnya. Pikirannya carut marut bingung harus merespon apa.

"Mama keterlaluan!" ucapnya lirih, tak kuasa menahan emosi yang kini memenuhi seluruh tubuhnya.

Melihat anaknya yang tiba-tiba berlari keluar, Zelin bergerak hendak menahan wanita itu, namun Ghazi menghentikannya.

"Biar aku yang coba berbicara dengannya, Ma."

Seusai menyalami mertuanya, Ghazi pun bergegas. Pria itu melangkahkan kakinya dengan cepat, untuk mengejar istrinya itu.

Selang beberapa menit, Ghazi akhirnya menemukan Ara yang sedang terduduk di sebuah ayunan di taman. Pria itu bisa melihat sang istri menundukkan kepalanya, dengan bahu yang bergetar.

Tak ingin mengejutkan Ara, Ghazi pun menghampirinya, dan duduk di ayunan sebelahnya tanpa mengeluarkan suara.

“Kenapa kamu ngikutin saya? Saya nggak kenal sama kamu.” ucap Ara, tersadar jika pria tak dikenalnya itu kini sudah terduduk diam di sampingnya.

Untuk beberapa menit, Ara tak mendengar balasan apapun dari pria itu. Dia hanya bisa mendengar gemerisik pohon yang terkena hembusan angin.

Namun, tiba-tiba, sebuah sentuhan halus di permukaan tangannya mengejutkan wanita itu.

“Ara, saya ngikutin kamu karena memang seharusnya begitu,”

Ketika Ara menengok, pemandangan di depan matanya membuatnya merasakan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Manik pria di hadapannya ini menatapnya dalam, seolah tak ingin melepaskan Ara. Belum sempat Ara membalas, pria itu sudah kembali berbicara.

“Dan saya juga akan menunggu sampai kamu siap mengenal saya sebagai suami kamu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status