"Apa kamu sudah lebih baik?"Ara berjalan mendekati Carol yang sedang menata beberapa baju ke dalam lemari. Tanpa permisi, wanita itu duduk di tepian ranjang yang tidak terlalu besar. "Saya sudah lebih baik, Nyonya." sahut Carol tersenyum kecil.Ara mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanita itu mengedarkan pandangan memperhatikan kamar milik Carol. Kamar berukuran 3 x 4 meter itu tertata sangat rapih. Hanya ada satu tempat tidur, satu lemari, dan satu set meja kecil dengan kursi. Di atas meja tersebut juga tidak ada barang lain selain tiga buah buku dan sebuah jam beker. Dari tatanan kamar ini, Ara menjadi sedikit tahu tentang karakter Carol. Orang pemilik kamar minimalis, biasanya lebih pendiam dan cenderung sulit mengekspresikan emosinya. Namun di beberapa kondisi, ia tak akan ragu menyampaikan pendapatnya secara langsung kepada yang bersangkutan. Warna netral yang dipilih untuk kamar ini juga menggambarkan kalau Carol lebih fokus pada diri sendiri dan selalu memperhatikan keseimbang
"Apa yang membuatmu datang kemari?" Jeni mendongak menatap resah punggung wanita di depannya. Detak jantungnya bertalu dengan kedua tangan saling meremas antara takut dan ragu. Haruskah ia mengatakan semuanya? "Apa aku pernah mengizinkanmu memiliki rasa takut Jen?" Suara si wanita kembali mengalun rendah menyadarkan Jeni dari keraguan. Wanita paruh baya itu pun memberanikan diri mendekat seraya berkata, "Seminggu yang lalu, saya tak sengaja melihat keberadaan Laksmi." Gerakan tangan si wanita yang tengah memberi makan sekumpulan ikan piranha seketika terhenti. Raut wajahnya berubah keruh dengan tatapan dingin yang begitu menusuk. "Apa yang dia lakukan?""Saya melihatnya sedang membeli makanan bersama seorang perawat. Saat saya mencoba mengejarnya, dia menghilang begitu saja. Dan tiga hari yang lalu, mayatnya ditemukan terbakar di sebuah rumah kosong." jelas Jeni.Sudut bibir si wanita terangkat dengan pandangan yang mulai melunak. Tangannya kembali bergerak ringan menabur potonga
"Mama Papa, ini aku Biru. Ayo cepat buka pintunya!"Kedatangan Biru mengakhiri percakapan Ara dengan Ghazi maupun Willy. Biru yang katanya rewel, terpaksa diantarkan ke rumah kelurga Addaith oleh ibu panti. Dan sini lah anak kecil itu, duduk bersilah dengan tumpukan lego yang belum terbentuk."Kapal selam dalam lima belas menit, apa kamu siap?" Kedua mata Biru sontak melebar. "Papa bercanda?" serunya. Pipi yang sudah berlumur cairan hitam akibat kalah dalam menyusun lego di babak sebelumnya, membuat anak itu terlihat sangat lucu. "Papa serius, gimana? Apa kamu siap?" Biru nampak terdiam ragu. Kekalahan yang beberapa saat lalu ia dapatkan berhasil mengikis sedikit keberaniannya. Namun mobil Jeep kecil yang Ghazi janjikan jikalau ia menang, membuat semangat anak itu kembali berkobar."Oke ayo mulai!"Ara tersenyum hangat menyaksikan kedekatan Ghazi dengan Biru. Ia bersyukur karena akhirnya sang suami bisa lebih santai tanpa memikirkan pekerjaan. Kehadiran Biru juga sedikit mengobati
"Apa Nenek mau ikut?" tanya Biru menelengkan kepala. Anak kecil itu sudah rapi dengan balutan seragam olahraga. Ia duduk berdua bersama Giana menyantap sepotong roti dan segelas susu. Giana tersenyum lembut. Tangan wanita itu bergerak mengolesi roti lain dengan selai coklat sebelum meletakkannya ke atas piring milik Biru. "Kalau nenek ikut, nanti nenek tidurnya di mana? Kan tendanya cuma satu." Giana, sudah mengenal Biru. Mendengar kisah hidup anak itu, Giana ikut prihatin. Ia yang biasanya sangat selektif dalam memberi izin seseorang untuk masuk ke dalam keluarga Addaith pun memberi kelonggaran untuk Biru. Bahkan, wanita itu bersikap layaknya seorang nenek yang sangat menyayangi cucunya."Nggak Nek, kata Bu guru, tendanya itu ada banyak." ucap Biru mengangkat sepuluh jarinya. Mulut yang masih penuh dengan roti, membuat pipi anak itu mengembang dua kali lipat, mengundang tawa Giana."Tapi itu kan buat teman-teman kamu, kalau dipakai sama nenek, terus mereka gimana?" Biru terdiam n
"Ma-maaf Bu, aku benar-benar nggak sengaja." "Maaf-maaf, memangnya kata maaf kamu bisa membuat tas saya kembali bersih? Nggak! Ini tuh mahal tahu!"Biru semakin menunduk dalam. Kedua tangannya saling meremas ketakutan. "Na-nanti biar Pa-Papa aku yang ganti tas Ibu."Si wanita mendengus. "Papa siapa maksud kamu? Kamu kan yatim piatu, kamu itu nggak punya orang tua!"Ara yang baru saja sampai seketika meradang melihat Biru yang sedang di caci maki oleh seorang wanita. Berlari menerobos kerumunan, Ara pun langsung memeluk tubuh anak itu. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Biru mendongak menatap Ara dengan linangan air mata. "A-aku takut Ma," cicitnya.Hati Ara tercubit mendengar suara Biru yang bergetar. Ia pun kembali memeluk erat anak itu memberi perlindungan. "Tenang ya Sayang, ada Mama di sini." ucapnya mengelus pelan punggung Biru. "Oh, jadi kamu yang bertanggung jawab atas anak ini? Ayo cepat ganti rugi!" Ara melirik tajam wanita di depannya. Ia bangkit menggendong Biru kemudian meny
Seminggu telah berlalu sejak Ara mengikuti acara camping di sekolah Biru. Selama itu pula, anak kecil itu tinggal di rumah Addaith dan saat ini sedang asik bermain bersama Sugar glider milik Ara di halaman belakang. "Apa kamu sudah memutuskan kapan akan mengadopsi Biru, Sayang?"Ara menggeleng pelan mendengar pertanyaan Giana. Hal ini lah yang sedang ia pertimbangkan sejak lama. "Aku bingung Tan. Di satu sisi aku ingin mengangkatnya sebagai anak, tapi menurut Mas Ghazi itu terlalu beresiko. Para musuh yang selalu mengincar keluarga ini, bisa mengancam keselamatan Biru. Mas Ghazi bilang, tunggu sampai kasus kematian Papa Arion selesai, baru mungkin kami akan mengadopsi anak itu."Giana terdiam. Wanita itu nampak mengedip beberapa kali sebelum menyentuh hidungnya sekilas. Dan semua gerak-gerik itu tak luput dari pandangan Ara. Kenapa Giana terlihat seperti ... gugup?"Apa Tante baik-baik saja?" Wanita itu terkesiap. Bibirnya reflek melengkung membentuk senyuman. "Tante baik-baik saja,
"Gimana kondisi istri saya, Dok?"Seorang dokter wanita melepas stetoskop dari kedua telinganya. Membereskan beberapa peralatan medis lain, kemudian kembali menyimpannya ke dalam sebuah tas."Istri Anda baik-baik saja, Tuan Addaith. Ia hanya kelelahan dan tekanan darahnya cukup rendah. Sebaiknya istri Anda istirahat dan jangan terlalu memikirkan banyak hal. Saya akan membuatkan resep obat serta vitamin untuknya." Ghazi menghela napas lega. Ara yang tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama, membuat Ghazi kelimpungan. Pria itu sampai memanggil dokter kepercayaan keluarga Addaith untuk memeriksanya."Terimakasih ya, Dok."Sang dokter mengangguk. "Sama-sama Tuan Addaith. Kalau begitu, saya permisi.""Mari Dok, saya antar." ucap Giana yang sedari tadi juga berada di sana.Ghazi mendekati Ara yang saat ini sedang tertidur. Rona di wajah wanita itu memudar nampak pucat. Sebenarnya apa yang terjadi? Pertanyaan itu terus muncul dalam benak Ghazi. Ia sudah menanyakan hal ini pada Carol, n
"Kamu berbohong padaku Jen?"Tulang punggung Jeni melemas tak mampu menopang kepalanya yang kini terus menunduk. Tubuhnya terasa kaku hanya karena ditatap dingin oleh wanita di depannya. "Ma-maaf."Si wanita mendengus. Raut wajahnya keruh dengan sorot mata tajam penuh ancaman. "Kamu tahu kan, resiko apa yang akan kamu dapatkan jika jejakmu sampai terendus?" Jeni diam membisu. Wanita itu tentu mengingat isi perjanjiannya. Di sana tertulis, jika Jeni melakukan kesalahan yang bisa menggiring mereka dalam bahaya, maka wanita itu yang harus bertanggung jawab tanpa menyeret pihak lain. "Hanya ada dua pilihan. Mengorbankan orang lain, atau pergi jauh dari sini." Jeni memejamkan matanya erat. Dua pilihan itu terdengar seperti jalan buntu baginya. Jika Jeni mengorbankan orang lain lagi, mungkin ia akan selamat, namun hidupnya tak akan tenang. Ia akan selalu dihantui rasa bersalah yang begitu menyesakkan. Dan jika Jeni memilih pergi, itu sama saja seperti mengundang semua orang untuk menghak