Seminggu telah berlalu sejak Ara mengikuti acara camping di sekolah Biru. Selama itu pula, anak kecil itu tinggal di rumah Addaith dan saat ini sedang asik bermain bersama Sugar glider milik Ara di halaman belakang. "Apa kamu sudah memutuskan kapan akan mengadopsi Biru, Sayang?"Ara menggeleng pelan mendengar pertanyaan Giana. Hal ini lah yang sedang ia pertimbangkan sejak lama. "Aku bingung Tan. Di satu sisi aku ingin mengangkatnya sebagai anak, tapi menurut Mas Ghazi itu terlalu beresiko. Para musuh yang selalu mengincar keluarga ini, bisa mengancam keselamatan Biru. Mas Ghazi bilang, tunggu sampai kasus kematian Papa Arion selesai, baru mungkin kami akan mengadopsi anak itu."Giana terdiam. Wanita itu nampak mengedip beberapa kali sebelum menyentuh hidungnya sekilas. Dan semua gerak-gerik itu tak luput dari pandangan Ara. Kenapa Giana terlihat seperti ... gugup?"Apa Tante baik-baik saja?" Wanita itu terkesiap. Bibirnya reflek melengkung membentuk senyuman. "Tante baik-baik saja,
"Gimana kondisi istri saya, Dok?"Seorang dokter wanita melepas stetoskop dari kedua telinganya. Membereskan beberapa peralatan medis lain, kemudian kembali menyimpannya ke dalam sebuah tas."Istri Anda baik-baik saja, Tuan Addaith. Ia hanya kelelahan dan tekanan darahnya cukup rendah. Sebaiknya istri Anda istirahat dan jangan terlalu memikirkan banyak hal. Saya akan membuatkan resep obat serta vitamin untuknya." Ghazi menghela napas lega. Ara yang tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama, membuat Ghazi kelimpungan. Pria itu sampai memanggil dokter kepercayaan keluarga Addaith untuk memeriksanya."Terimakasih ya, Dok."Sang dokter mengangguk. "Sama-sama Tuan Addaith. Kalau begitu, saya permisi.""Mari Dok, saya antar." ucap Giana yang sedari tadi juga berada di sana.Ghazi mendekati Ara yang saat ini sedang tertidur. Rona di wajah wanita itu memudar nampak pucat. Sebenarnya apa yang terjadi? Pertanyaan itu terus muncul dalam benak Ghazi. Ia sudah menanyakan hal ini pada Carol, n
"Kamu berbohong padaku Jen?"Tulang punggung Jeni melemas tak mampu menopang kepalanya yang kini terus menunduk. Tubuhnya terasa kaku hanya karena ditatap dingin oleh wanita di depannya. "Ma-maaf."Si wanita mendengus. Raut wajahnya keruh dengan sorot mata tajam penuh ancaman. "Kamu tahu kan, resiko apa yang akan kamu dapatkan jika jejakmu sampai terendus?" Jeni diam membisu. Wanita itu tentu mengingat isi perjanjiannya. Di sana tertulis, jika Jeni melakukan kesalahan yang bisa menggiring mereka dalam bahaya, maka wanita itu yang harus bertanggung jawab tanpa menyeret pihak lain. "Hanya ada dua pilihan. Mengorbankan orang lain, atau pergi jauh dari sini." Jeni memejamkan matanya erat. Dua pilihan itu terdengar seperti jalan buntu baginya. Jika Jeni mengorbankan orang lain lagi, mungkin ia akan selamat, namun hidupnya tak akan tenang. Ia akan selalu dihantui rasa bersalah yang begitu menyesakkan. Dan jika Jeni memilih pergi, itu sama saja seperti mengundang semua orang untuk menghak
Mobil milik Ara menderu halus berhenti di area parkir sebuah gedung kosong yang terbelangkai. Tak jauh darinya, mobil hitam yang ditunggangi Jeni juga berhenti tepat di depan pintu masuk gedung. Semak belukar yang tumbuh di sekitar dan pencahayaan yang minim, membuat keberadaan Ara tersamarkan.Ara diam mengamati Jeni. Wanita itu nampak berjalan masuk diikuti oleh beberapa pria berbadan kekar yang menyeret seorang perempuan. "Apa yang akan mereka lakukan di sana?" gumam Ara penasaran."Hanya sesuatu yang sifatnya rahasia atau ilegal yang akan dibahas di tempat seperti itu, Nyonya."Ara tertegun mendengar sahutan Carol. Sesuatu yang rahasia? Apa Jeni ingin membahas tentang kasus pembunuhan itu? Kalau memang benar begitu, ini merupakan kesempatan emas untuk Ara mengetahui percakapan mereka. Mungkin dari sana, ia bisa menemukan sebuah titik terang yang berarti bagi Ghazi."Carol, ada berapa orang di dalam sana?" Terdengar mustahil memang, namun Carol sebagai salah satu pengawal terlatih
"Akhirnya sampai ju--loh Mas? Kok kamu sudah ada di sini?" Ara tak mungkin salah. Ia ingat betul kalau beberapa saat yang lalu Ghazi sedang mengejar Jeni di jalanan. Bagaimana bisa pria itu kini sudah duduk santai di ruang tamu?"Dari mana kamu?"Ara tertegun mendengar suara dingin sang suami. Perasaannya mendadak tak enak saat menyadari kalau raut wajah pria itu sedikit suram. "Sa-saya tadi mampir makan bakso Mas, iya kan Carol? Loh, ke mana dia?" Ara tak tahu saja, kalau Carol sengaja melarikan diri karena sempat dilirik tajam oleh sang tuan."Sini kamu."Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Ara berjalan mendekati Ghazi. Wanita itu hanya menunduk tak berani menatap wajah sang suami yang sepertinya marah kepadanya. "Dasar nakal!" Tak! "Aw!" pekik Ara saat Ghazi tiba-tiba menyentil dahinya. Wanita itu hanya merengut tak berani membalas. Ara tahu, kalau dirinya pasti tak sadar telah melakukan kesalahan sampai membuat Ghazi merasa kesal. "Pulang larut malam, sama sekali nggak kasih
Tiga bulan telah berlalu sejak kasus pembunuhan Arion Addaith terbongkar, kehidupan Ara dan Ghazi menjadi lebih tenang. Mereka menjalani rutinitas seperti biasa dengan penuh cinta dan kehangatan.Terkait Jeni, wanita itu selamat dari hukuman mati. Ghazi yang tak sanggup membunuhnya dan Ara yang merasa kalau wanita itu layak mendapat kesempatan kedua, membuat Jeni hanya diberi hukuman penjara. Meski itu juga tergolong buruk karena penjara milik Ghazi bagaikan neraka, setidaknya Jeni masih bisa bernapas. Saat ini, Ara berada di salah satu pusat perbelanjaan bersama Ghazi yang sibuk menggoda Biru. Anak kecil itu menggerutu tak terima karena pipi bakpaonya terus dicubit oleh sang papa. "Kalian bisa diam nggak?" Teguran Ara berhasil membuat dua pria berbeda usia di belakangnya seketika diam mematung. Suara mereka benar-benar mengacaukan fokus Ara yang sedang memikirkan hadiah untuk Zelin yang akan menikah dengan Roan dua hari lagi."Maaf Ma, ini semua salah Papa!" seru Biru menunjuk Gha
"Apa kamu sudah siap Amour?" Ara buru-buru memasukkan ponsel serta beberapa barang ke dalam tas miliknya. Mengambil sebuah High heels kemudian mulai memakainya."Iya Mas, sebentar lagi." sahut wanita itu dari dalam kamar. Setelah memastikan kalau penampilannya sudah rapih, Ara pun berjalan keluar. Begitu pintu terbuka, wajah terkesiap Ghazi langsung terpampang jelas. "Kenapa Mas? Jelek ya?"Ghazi hanya diam. Tangannya bergerak pelan menarik pinggang sang istri sebelum berbisik, "Kamu sangat cantik dan ... seksi, Amour."Hati Ara seketika berdesir mendengar pujian sang suami. Itu seperti ada ribuan kupu-kupu menari di dalam perutnya. Begitu menggetarkan sampai membuat ia terlena. "Ini semua buat kamu, Mas."Ghazi tersenyum puas. Pria itu mengecup tengkuk sang istri yang terekspos mulus di hadapannya. "Ayo berangkat sekarang sebelum saya menerkam kamu, Amour."Pernikahan Zelin dan Roan digelar di sebuah gedung dengan konsep yang simpel namun masih terkesan mewah. Walau hanya sanak sau
Dentuman musik disko terdengar menggema diseluruh penjuru bangunan kelab yang kini dipenuhi orang-orang penikmat dunia malam. Minuman keras penggugah hasrat nampak tersaji di mana-mana membentuk piramida yang sangat menggiurkan. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang wanita muda duduk menikmati sebatang rokok yang terselip di antara jari. Pakaian ketat berwarna hitam membalut tubuhnya yang proposional. Wajahnya juita dengan kesan angkuh yang sangat kentara.Awalnya semua baik-baik saja, sampai seorang perempuan berambut ikal datang mendekat memicu keributan. "Aku heran, kenapa ya keluarga Sigrid mau mengadopsi dirimu? Secara kamu itu hanya wanita berandalan yang nggak jelas asal usulnya." Si wanita memejamkan mata sesaat mencoba mengendalikan emosinya yang mulai tersulut. Tak mau mengotori tangannya dengan kekerasan, ia pun tersenyum seraya berkata, "Lalu apa bedanya dengan dirimu? Kamu juga anak pungut kan? Bahkan kamu lebih hina karena terlahir dari rahim seorang pelacur."
Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont
"Apa yang membuatmu datang kemari, Darling?"Carol menatap dingin Giana yang kini duduk di sebuah sofa tunggal. Beberapa saat yang lalu, ia sengaja menghubungi wanita itu untuk bisa bertemu. Dan di sini lah mereka berada, di sebuah Villa yang dikelilingi hutan belantara. "Kenapa Anda mengusirnya?"Giana tersenyum geli mendengar pertanyaan Carol yang terasa menggelitik. "Saya hanya menjalankan ide yang kamu cetuskan, ingat?"Wajah Carol seketika berubah keruh. Tampaknya, Giana memang selalu mengartikan semua hal secara berlebihan. Carol memang memberi saran kepada wanita itu untuk menyerang sikis Ara, tetapi tidak dengan cara kotor seperti ini. "Apa Anda sadar? Cara yang Anda gunakan itu lebih busuk dari pada sebuah bangkai."Giana tertawa sumbang. Lagi-lagi, perkataan Carol terdengar seperti lelucon dikedua telinganya. "Jangan terlalu naif, Darling. Bukankah kamu sendiri terbiasa menggunakan cara seperti itu? Menikam tuanmu sendiri dari belakang, apa itu masih bisa dianggap bersih?"
"Kita mau ke mana Nyonya?" tanya Carol melirik Ara yang duduk di kursi belakang.Saat ini, mereka masih berada di pelataran rumah sakit tempat Ara dirawat semalam. Minuman keras dosis tinggi yang Ara cicipi, membuat lambung wanita itu sedikit bermasalah dan mengharuskannya menetap di sana."Ayo kembali ke rumah, Carol. Kata dokter Mas Ghazi sudah pulang." ucap Ara penuh binar kebahagian. Beberapa saat yang lalu, Ara mencoba menghubungi Luisa dan Giana untuk menanyakan kabar sang suami. Tak kunjung mendapat balasan, Ara pun memilih menelpon pihak rumah sakit dan mereka bilang kalau Ghazi sudah dipulangkan sejak pagi tadi. "Ayo jalan sekarang, Carol."Dua puluh menit, akhirnya Ara sampai di kediaman keluarga Addaith. Wanita itu buru-buru turun kemudian melangkah masuk. Hatinya seketika berbunga-bunga saat melihat Ghazi yang kini duduk bersandar di salah satu sofa ruang keluarga. "Mas Ghazi ka--""Tetap di sana."Pergerakan Ara yang hendak berlari ke arah Ghazi seketika terhenti. Nad
"Silahkan dinikmati, Nona."Ara mengangguk sopan. Deretan makanan serta minuman di depannya sangatlah beragam dan sedikit asing bagi Ara. Apalagi cairan yang ada di gelas-gelas bening itu, Ara tak pernah mencobanya. "Ada apa Nona? Apa Anda tidak menyukai makanannya? Kalau begitu biar sa--""Ah tidak-tidak, ini hanya terlalu banyak. Saya sampai bingung ingin mencoba yang mana." gurau Ara. "Kalau begitu cobalah yang ini, Nona. Ini sangat enak." tawar si wanita meneguk segelas minuman. Tangannya bergerak meraih gelas lain kemudian memberikannya kepada Ara. "Cobalah,"Tak ingin menyinggung perasaan si wanita, Ara pun meraihnya. Ia menatap ragu minuman tersebut. Hati kecilnya berkata kalau Ara sebaiknya mengabaikan. Namun si wanita yang terus menatapnya, membuat Ara mau tak mau mulai mencobanya.Begitu cairan itu masuk ke dalam kerongkongan, rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Ara. Kepalanya mulai pening dan matanya berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. Ara jatuh pin