"Ma-maaf Bu, aku benar-benar nggak sengaja." "Maaf-maaf, memangnya kata maaf kamu bisa membuat tas saya kembali bersih? Nggak! Ini tuh mahal tahu!"Biru semakin menunduk dalam. Kedua tangannya saling meremas ketakutan. "Na-nanti biar Pa-Papa aku yang ganti tas Ibu."Si wanita mendengus. "Papa siapa maksud kamu? Kamu kan yatim piatu, kamu itu nggak punya orang tua!"Ara yang baru saja sampai seketika meradang melihat Biru yang sedang di caci maki oleh seorang wanita. Berlari menerobos kerumunan, Ara pun langsung memeluk tubuh anak itu. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Biru mendongak menatap Ara dengan linangan air mata. "A-aku takut Ma," cicitnya.Hati Ara tercubit mendengar suara Biru yang bergetar. Ia pun kembali memeluk erat anak itu memberi perlindungan. "Tenang ya Sayang, ada Mama di sini." ucapnya mengelus pelan punggung Biru. "Oh, jadi kamu yang bertanggung jawab atas anak ini? Ayo cepat ganti rugi!" Ara melirik tajam wanita di depannya. Ia bangkit menggendong Biru kemudian meny
Seminggu telah berlalu sejak Ara mengikuti acara camping di sekolah Biru. Selama itu pula, anak kecil itu tinggal di rumah Addaith dan saat ini sedang asik bermain bersama Sugar glider milik Ara di halaman belakang. "Apa kamu sudah memutuskan kapan akan mengadopsi Biru, Sayang?"Ara menggeleng pelan mendengar pertanyaan Giana. Hal ini lah yang sedang ia pertimbangkan sejak lama. "Aku bingung Tan. Di satu sisi aku ingin mengangkatnya sebagai anak, tapi menurut Mas Ghazi itu terlalu beresiko. Para musuh yang selalu mengincar keluarga ini, bisa mengancam keselamatan Biru. Mas Ghazi bilang, tunggu sampai kasus kematian Papa Arion selesai, baru mungkin kami akan mengadopsi anak itu."Giana terdiam. Wanita itu nampak mengedip beberapa kali sebelum menyentuh hidungnya sekilas. Dan semua gerak-gerik itu tak luput dari pandangan Ara. Kenapa Giana terlihat seperti ... gugup?"Apa Tante baik-baik saja?" Wanita itu terkesiap. Bibirnya reflek melengkung membentuk senyuman. "Tante baik-baik saja,
"Gimana kondisi istri saya, Dok?"Seorang dokter wanita melepas stetoskop dari kedua telinganya. Membereskan beberapa peralatan medis lain, kemudian kembali menyimpannya ke dalam sebuah tas."Istri Anda baik-baik saja, Tuan Addaith. Ia hanya kelelahan dan tekanan darahnya cukup rendah. Sebaiknya istri Anda istirahat dan jangan terlalu memikirkan banyak hal. Saya akan membuatkan resep obat serta vitamin untuknya." Ghazi menghela napas lega. Ara yang tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama, membuat Ghazi kelimpungan. Pria itu sampai memanggil dokter kepercayaan keluarga Addaith untuk memeriksanya."Terimakasih ya, Dok."Sang dokter mengangguk. "Sama-sama Tuan Addaith. Kalau begitu, saya permisi.""Mari Dok, saya antar." ucap Giana yang sedari tadi juga berada di sana.Ghazi mendekati Ara yang saat ini sedang tertidur. Rona di wajah wanita itu memudar nampak pucat. Sebenarnya apa yang terjadi? Pertanyaan itu terus muncul dalam benak Ghazi. Ia sudah menanyakan hal ini pada Carol, n
"Kamu berbohong padaku Jen?"Tulang punggung Jeni melemas tak mampu menopang kepalanya yang kini terus menunduk. Tubuhnya terasa kaku hanya karena ditatap dingin oleh wanita di depannya. "Ma-maaf."Si wanita mendengus. Raut wajahnya keruh dengan sorot mata tajam penuh ancaman. "Kamu tahu kan, resiko apa yang akan kamu dapatkan jika jejakmu sampai terendus?" Jeni diam membisu. Wanita itu tentu mengingat isi perjanjiannya. Di sana tertulis, jika Jeni melakukan kesalahan yang bisa menggiring mereka dalam bahaya, maka wanita itu yang harus bertanggung jawab tanpa menyeret pihak lain. "Hanya ada dua pilihan. Mengorbankan orang lain, atau pergi jauh dari sini." Jeni memejamkan matanya erat. Dua pilihan itu terdengar seperti jalan buntu baginya. Jika Jeni mengorbankan orang lain lagi, mungkin ia akan selamat, namun hidupnya tak akan tenang. Ia akan selalu dihantui rasa bersalah yang begitu menyesakkan. Dan jika Jeni memilih pergi, itu sama saja seperti mengundang semua orang untuk menghak
Mobil milik Ara menderu halus berhenti di area parkir sebuah gedung kosong yang terbelangkai. Tak jauh darinya, mobil hitam yang ditunggangi Jeni juga berhenti tepat di depan pintu masuk gedung. Semak belukar yang tumbuh di sekitar dan pencahayaan yang minim, membuat keberadaan Ara tersamarkan.Ara diam mengamati Jeni. Wanita itu nampak berjalan masuk diikuti oleh beberapa pria berbadan kekar yang menyeret seorang perempuan. "Apa yang akan mereka lakukan di sana?" gumam Ara penasaran."Hanya sesuatu yang sifatnya rahasia atau ilegal yang akan dibahas di tempat seperti itu, Nyonya."Ara tertegun mendengar sahutan Carol. Sesuatu yang rahasia? Apa Jeni ingin membahas tentang kasus pembunuhan itu? Kalau memang benar begitu, ini merupakan kesempatan emas untuk Ara mengetahui percakapan mereka. Mungkin dari sana, ia bisa menemukan sebuah titik terang yang berarti bagi Ghazi."Carol, ada berapa orang di dalam sana?" Terdengar mustahil memang, namun Carol sebagai salah satu pengawal terlatih
"Akhirnya sampai ju--loh Mas? Kok kamu sudah ada di sini?" Ara tak mungkin salah. Ia ingat betul kalau beberapa saat yang lalu Ghazi sedang mengejar Jeni di jalanan. Bagaimana bisa pria itu kini sudah duduk santai di ruang tamu?"Dari mana kamu?"Ara tertegun mendengar suara dingin sang suami. Perasaannya mendadak tak enak saat menyadari kalau raut wajah pria itu sedikit suram. "Sa-saya tadi mampir makan bakso Mas, iya kan Carol? Loh, ke mana dia?" Ara tak tahu saja, kalau Carol sengaja melarikan diri karena sempat dilirik tajam oleh sang tuan."Sini kamu."Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Ara berjalan mendekati Ghazi. Wanita itu hanya menunduk tak berani menatap wajah sang suami yang sepertinya marah kepadanya. "Dasar nakal!" Tak! "Aw!" pekik Ara saat Ghazi tiba-tiba menyentil dahinya. Wanita itu hanya merengut tak berani membalas. Ara tahu, kalau dirinya pasti tak sadar telah melakukan kesalahan sampai membuat Ghazi merasa kesal. "Pulang larut malam, sama sekali nggak kasih
Tiga bulan telah berlalu sejak kasus pembunuhan Arion Addaith terbongkar, kehidupan Ara dan Ghazi menjadi lebih tenang. Mereka menjalani rutinitas seperti biasa dengan penuh cinta dan kehangatan.Terkait Jeni, wanita itu selamat dari hukuman mati. Ghazi yang tak sanggup membunuhnya dan Ara yang merasa kalau wanita itu layak mendapat kesempatan kedua, membuat Jeni hanya diberi hukuman penjara. Meski itu juga tergolong buruk karena penjara milik Ghazi bagaikan neraka, setidaknya Jeni masih bisa bernapas. Saat ini, Ara berada di salah satu pusat perbelanjaan bersama Ghazi yang sibuk menggoda Biru. Anak kecil itu menggerutu tak terima karena pipi bakpaonya terus dicubit oleh sang papa. "Kalian bisa diam nggak?" Teguran Ara berhasil membuat dua pria berbeda usia di belakangnya seketika diam mematung. Suara mereka benar-benar mengacaukan fokus Ara yang sedang memikirkan hadiah untuk Zelin yang akan menikah dengan Roan dua hari lagi."Maaf Ma, ini semua salah Papa!" seru Biru menunjuk Gha
"Apa kamu sudah siap Amour?" Ara buru-buru memasukkan ponsel serta beberapa barang ke dalam tas miliknya. Mengambil sebuah High heels kemudian mulai memakainya."Iya Mas, sebentar lagi." sahut wanita itu dari dalam kamar. Setelah memastikan kalau penampilannya sudah rapih, Ara pun berjalan keluar. Begitu pintu terbuka, wajah terkesiap Ghazi langsung terpampang jelas. "Kenapa Mas? Jelek ya?"Ghazi hanya diam. Tangannya bergerak pelan menarik pinggang sang istri sebelum berbisik, "Kamu sangat cantik dan ... seksi, Amour."Hati Ara seketika berdesir mendengar pujian sang suami. Itu seperti ada ribuan kupu-kupu menari di dalam perutnya. Begitu menggetarkan sampai membuat ia terlena. "Ini semua buat kamu, Mas."Ghazi tersenyum puas. Pria itu mengecup tengkuk sang istri yang terekspos mulus di hadapannya. "Ayo berangkat sekarang sebelum saya menerkam kamu, Amour."Pernikahan Zelin dan Roan digelar di sebuah gedung dengan konsep yang simpel namun masih terkesan mewah. Walau hanya sanak sau