Ceysa berjalan menelusuri lorong hotel dengan senyum terkembang lebar. Bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang lorong yang dilewati, seakan menggambarkan hatinya yang sedang bahagia. Hari ini dia telah menjadi istri seorang Olsen Miller, pria yang akan membawanya keluar dari rumah yang sudah seperti neraka.
“Sekarang aku sudah bebas, hatiku seperti memiliki bersayap dan sayap itu sedang mengepak membawaku terbang meninggalkan kemalanganku,” gumamnya sambil terus berjalan dengan gaun pengantin elegan berwarna putih yang menyapu lantai marmer yang dilalui.
Olsen memang bukan pria yang dia cintai, mereka juga tidak melalui proses pacaran seperti pasangan kekasih pada umumnya yang kemudian memutuskan untuk menikah karena saling mencintai. Pria itu adalah tiket baginya agar dia bisa keluar dari rumah papanya.
Saat papanya mengenalkannya pada Olsen dan menjodohkannya karena kepentingan bisnis, Ceysa dengan senang hati setuju. Apa pun akan dia lakukan agar bisa menjauh dari papa yang dibenci selama ini, termasuk dengan menikahi pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Setelah upacara pernikahan selesai, dia harus berganti baju untuk merayakan pesta di sebuah ballroom di hotel bintang lima, dengan pesta mewah yang menghabiskan banyak biaya. Pesta itu dihadiri para pebisnis penting di negaranya, tidak heran jika Olsen dan papanya mempersiapkan matang-matang acara tersebut.
Dia tahu jika pesta itu bukanlah pesta pernikahan yang bertujuan untuk menyenangkan hatinya. Pesta itu hanya sebagai kedok agar Olsen dan papanya bisa menjaring lebih banyak relasi bisnis, namun dia tidak peduli apa pun alasan pesta tersebut, yang terpenting malam ini dia bisa segera angkat kaki dari rumah yang puluhan tahun sudah ditinggali.
Dia membuka pintu kamar pengantin yang dipersiapkan untuk malam pertama dan segera mengganti gaun pengantin yang dipakai dengan gaun pesta yang lebih simple untuk mempermudah pergerakan saat menerima tamu dan berdansa dengan suaminya.
Saat ingin mengambil kalung yang akan dipadukan dengan gaun yang dia kenakan, matanya melihat sebuah surat dalam amplop putih yang tertuju untuknya. Ceysa mengambil amplop tersebut dan membalikkannya, mencari siapa pengirim dari amplop tersebut.
Keningnya berkerut heran ketika tidak menemukan siapa pengirimnya. Rasa penasaran membuatnya membuka amplop itu. Jantungnya seakan ingin lepas dari tempatnya mengetahui isi di dalam amplop yang terdapat banyak foto yang tak mampu dia lihat.
Foto itu adalah foto kemesraan Olsen dengan Fania, seorang artis papan atas yang dianugerahi paras cantik dan tubuh indah. Bahkan ada beberapa foto dimana keduanya berada di atas ranjang. Senyum Fania yang tertangkap kamera tampak begitu memuakkan bagi Ceysa.
Tangannya gemetar ketika melihat satu foto yang menusuk hatinya, foto itu adalah foto hasil USG atas nama Fania dengan tulisan di bagian belakang. “Saat ini aku sedang mengandung anak Olsen. Jika kamu tahu diri, lebih baik tinggalkan Olsen sekarang juga sebelum aku merebutnya darimu!”
Seketika Ceysa mengalami dejavu, dia kembali ke masa di mana mamanya meninggal di pangkuannya ketika mendengar papanya berselingkuh dan memiliki anak dari selingkuhan tersebut. Tubuhnya seketika menggigil seperti orang kedinginan, trauma yang selama ini berusaha dipendam, muncul kembali dan mencengkeram.
Tujuan menikah dengan Olsen agar dirinya bisa menjauh dari papanya yang telah berkhianat pada keluarga. Namun sekarang, mana mungkin dia bisa hidup dengan pria yang memiliki karakter sama dengan papanya. Sama saja dia sedang bunuh diri, keluar dari mulut harimau tetapi masuk kembali ke mulut buaya.
“Aku tidak sudi menjalani hidup bersama dengan pria sepertimu, Olsen.”
Tanpa pikir panjang, Ceysa segera berlari keluar hotel dengan masih mengenakan gaun pesta yang seharusnya dia kenakan untuk dansa pertama dengan suaminya. Dia berlari secepat mungkin agar tidak ada yang melihat, terutama suaminya. Sampai di jalan raya, dia segera menghentikan taksi dan pergi menjauh dari tempat pesta pernikahan berlangsung.
Di dalam taksi, tangis Ceysa pecah. Entah dia menangis untuk apa, apakah untuk impian yang hancur atau untuk nasib yang tetap berakhir menyedihkan?
Beberapa kali sopir yang mengendarai taksi itu melirik penasaran dan mencuri lihat dari kaca spion tanpa berkata apa pun. Sopir itu hanya sekali menanyakan alamat tujuan yang ingin dituju, lalu melakukan tugasnya tanpa banyak bicara.
“Anda sudah sampai tempat tujuan,” ucap supir itu yang menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang selama ini ditinggali Ceysa.
Menatap rumah itu, Ceysa langsung teringat jika suaminya tahu alamat rumah tersebut. Sadar jika sikap suaminya keras kepala dan arogan dan bisa menyeretnya keluar dari rumahnya sendiri, dia pun memutuskan untuk tidak kembali ke rumah tersebut.
“Bisakah tunggu sebentar? aku hanya akan mengambil beberapa barang dan pergi lagi.”
Sopir taksi itu mengangguk mengiyakan. Ceysa kemudian berlari masuk ke rumah dan membawa beberapa barang yang dianggap penting, memasukkan semua ke dalam tas lalu kembali keluar dan pergi menggunakan taksi yang sebelumnya dinaiki.
“Ke mana kita pergi sekarang?” sopir taksi itu bertanya.
“Jalan saja dulu, nanti aku akan memberikan petunjuk ke mana kita akan pergi,” balas Ceysa yang sebenarnya tidak tahu ke mana dia harus pergi.
Sudah dua kali taksi yang Ceysa tumpangi keliling kota tanpa tujuan. Setiap kali supir taksi itu bertanya, Ceysa hanya bilang, “jalan saja dulu.”
Sadar jika penumpangnya tidak memiliki tujuan dan jelas, dia kemudian menghentikan mobilnya di pinggir jalan. “Nona, jika Anda tidak memiliki tujuan pasti, sebaiknya Anda turun di sini saja.”
Ceysa terkejut, lamunannya buyar ketika mendapat peringatan dari supir taksi tersebut. “Aku hanya lupa alamat temanku, sekarang sepertinya aku sudah ingat. Bisakah kita lurus saja? tujuan kita sudah hampir sampai,” Ceysa memberi alasan dengan menunjukkan alamat sahabatnya karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi.
Saat sampai di alamat tersebut, Ceysa tidak punya alasan lagi untuk tetap berada di dalam taksi, dia terpaksa turun dan mendatangi apartemen sahabatnya. Rasa ragu mengusik hati ketika dia sudah sampai di depan apartemen yang dia tuju. Tidak langsung mengetuk pintu, dia malah berdiri cukup lama di sana.
Hatinya bimbang apakah dia harus meminta bantuan Calvin, sahabat yang selama ini paling mengerti diriny. Semenjak kuliah mereka berteman dan hanya Calvin tempat bercerita. Sikap Calvin berubah ketika mengetahui dirinya ingin menikah. Entah apa yang membuat pria itu tiba-tiba marah padanya.
“Seharusnya aku tidak datang ke sini,” gumam Ceysa pelan. Dia kemudian membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempat itu, tetapi langkahnya terhenti ketika pintu apartemen terbuka dan suara bariton seorang pria menyapa.
“Ceysa, kenapa kamu ada di sini?”
Ceysa segera membalikkan tubuh dan mendapati sahabatnya sedang menatapnya heran. “Aku ...”
“Bukankah hari ini hari pernikahanmu? Kenapa kamu berada di sini?”
Tangan Ceysa saling terkait dan meremas gugup, matanya meredup dan bibirnya kelu tanpa tahu apa yang harus dia katakan. “Maaf jika aku tidak mengundangmu ke pernikahanku.”
Seringai kecewa terkembang di bibir Calvin. “Aku tahu kedudukanku, aku bukan dari kalangan pembisnis yang layak untuk diundang di pestamu. Apakah untuk ini kamu datang ke sini?”
Ceysa menggeleng lemah menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku ke sini karena tidak tahu harus ke mana lagi, pernikahanku sudah hancur.”
Tubuh Ceysa merosot dan terduduk di lantai, tangisnya seketika pecah dan dia pun menutup wajah dengan kedua tangan tanpa mampu menjelaskan lebih rinci lagi tentang apa yang dia alami.
Calvin membeku menatap Ceysa tanpa tahu apa yang harus dia lakukan. Ingin sekali dia memeluk wanita itu dan mengatakan jika selama ini dia menyukainya, namun dia sadar jika Ceysa kini sudah menjadi istri pria lain.
Olsen menyusul Ceysa ke kamar karena tidak sabar menunggu istrinya yang tak kunjung datang ke ballroom, tempat pesta pernikahan mereka berlangsung. Dia terkejut ketika tidak menemukan istrinya di sana.“Ceysa ...!” panggil Olsen, namun tidak ada yang menyahut.“Di mana dirimu? Jangan bercanda, semua orang sudah menunggu kita untuk berdansa.”“Ceysa ...!” panggilnya lagi dengan nada yang lebih tinggi.Olsen memeriksa setiap sudut kamar dan juga kamar mandi, tetapi tidak menemukan orang yang dia cari. Saat ingin keluar dari kamar, langkahnya tertahan karena kakinya menginjak sesuatu. Dia menurunkan tatapan dan terbelalak melihat foto-foto yang ada di bawah kaki.“Shiiitt ...!” umpatnya keras sambil mengambil foto-foto tersebut.Dengan kemarahan memuncak, Olsen meremas foto tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Tangannya mengepal kuat hingga gemetar, matanya memerah dan rahangnya mengeras. Dia tidak akan membiarkan istrinya mempermalukan dirinya di depan semua rekan bisnis yang data
“Hampir semua orang yang hidup di sini tidak berpendidikan tinggi, mereka pintar bertani dan beternak karena keahlian turun-temurun tetapi mereka tidak pintar berbisnis. Apakah kamu mengira mereka memiliki banyak uang dengan semua ladang yang mereka miliki?” balas Calvin.“Tentu saja mereka banyak uang, bukankah panenan mereka juga banyak?” ujar Ceysa begitu yakin, tetapi Calvin menggeleng menyanggah.“Hasil pertanian dan peternakan mereka dihargai sangat rendah oleh tengkulak karena itulah aku pergi ke kota untuk belajar bagaimana cara distribusi hasil pertanian yang baik sehingga aku bisa menaikkan kesejahteraan semua orang yang hidup di Greenland.”“Impianmu sangat keren, aku yakin kamu akan menjadi orang hebat pada saatnya nanti.”“Terima kasih untuk doamu,” balas Calvin dengan senyum hangat.“Apakah rumahmu masih jauh?”“Itu rumahku, sudah terlihat,” tunjuk Calvin ke arah rumah kayu sederhana yang tampak menyatu dengan alam.Awalnya Ceysa merasa khawatir akan tertolak oleh keluar
“Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata ada di sini,” ujar Calvin saat menemukan Ceysa sedang duduk termenung di pinggir irigasi pertanian.“Berita tentangku dan Olsen ternyata tengah memanas, kenapa kamu tidak memberitahuku akan hal ini?” balas Ceysa dengan mata nanar dan berkabut karena air mata yang hendak menetes.“Bukankah kamu bilang kamu butuh tempat untuk menenangkan diri? Aku sengaja tidak memberitahumu agar kamu tidak banyak pikiran. Aku tidak ingin membuatmu cemas dan khawatir.”“Olsen pasti sangat marah padaku, dia menanggung malu karena aku pergi meninggalkannya di hari pernikahan kami.”“Apakah kamu menyesal melakukannya? aku rasa dia pantas mendapatkan perlakuan itu darimu karena telah menodai pernikahan kalian. Jika dia masih memiliki hubungan dengan Fania, untuk apa dia menikahimu? Apakah tidak lebih baik dia menikahi kekasihnya yang sedang mengandung?”Air mata yang dari tadi Ceysa tahan, akhirnya menetes keluar. “Betapa bodoh diriku yang mengira jika Olsen adalah jala
Setelah Ceysa duduk di sebelahnya, Calvin menunjuk ke sebuah tempat. “Lihat tempat itu!”Mata Ceysa mengikuti arah jari telunjuk Calvin. “Bukankah itu tanah keluarga Nelson, tanahmu?”“Saat aku sampai di sini, papa langsung mengajakku bicara. Dia menyerahkan semua tanah itu untuk aku kelola. Papa bilang, dia sudah terlalu tua untuk mengelola tanah yang dimiliki, sudah saatnya dia menikmati masa tua dengan menghabiskan lebih banyak waktu bersama mama.”“Aku yakin kamu bisa mengelola dengan baik, keputusanmu untuk pulang dan kembali ke tempat kelahiranmu adalah keputusan yang tepat,” Ceysa ikut bahagia dengan masa depan cerah yang menanti Calvin.“Aku tidak cukup percaya diri mendapat tanggung jawab itu, aku khawatir akan mengecewakan mereka.”“Aku yakin kamu tidak akan mengecewakan orang tuamu, kamu pria yang gigih dan ulet, meski mungkin kamu belum punya banyak pengalaman untuk mengelola tanah orang tuamu, tetapi aku yakin kamu akan cepat belajar. Percaya saja jika kamu mampu memikul
“Kekasih?” gumam Ceysa terlihat bingung dengan status yang Olsen berikan pada Calvin.“Lalu apa yang harus aku pikirkan tentang kalian?” ujar Olsen.“Karena aku tinggal di rumahnya, bukan berarti Calvin kekasihku. Dia adalah sahabatku, satu-satunya orang yang mengerti tentang aku. Lagi pula di sini aku bekerja dan bisa mengaplikasikan pendidikanku untuk hal yang berguna,” terang Ceysa.“Jangan memuji pria itu di hadapanku atau aku akan benar-benar membunuhnya,” ancam Olsen yang tidak mau mendengar penjelasan istrinya.“Kamu sangat menakutkan Olsen, aku tidak mengira jika kamu suka kekerasan. Aku memimpikan suami yang lembut dan penuh kehangatan, bukan suami kasar dan dingin sepertimu. Aku rasa keputusanku untuk menikah denganmu adalah sebuah kesalahan.”Perkataan Ceysa seperti pisau yang menusuk hati Olsen. Darahnya mendidih karena kemarahan yang ingin meledak. Matanya memerah menatap istrinya.“Kesalahan?” ulangnya dengan seringai sinis, “lalu apa yang kamu mau?” geram Olsen.“Kita b
Ceysa merasa bersalah ketika Cameron, mama Calvin terus menangis melihat keadaan putranya. “Orang kejam seperti apa yang tega membuatmu seperti ini?” serunya di tengah isak tangis.“Sudahlah Ma, aku baik-baik saja,” ucap Calvin sambil menahan rasa sakit.“Kamu harus melaporkan tindak kekerasan ini ke pihak berwenang,” desak Cameron, tidak terima anaknya diperlakukan semena-mena.“Ini hanya kesalahpahaman, aku sudah memaafkan orang itu,” balas Calvin.Ceysa berdiri di depan pintu kamar sambil menatap dan mendengarkan pembicaraan kedua orang tersebut. Jika saja dia tidak datang ke keluarga Nelson, sahabatnya itu tidak akan terluka seperti sekarang ini.Ketika Cameron keluar dari kamar untuk membuatkan makanan untuk putranya, Ceysa ganti mendekati Calvin. “Maafkan aku. Olsen sangat marah karena aku bersamamu.”Calvin menatap Ceysa dengan lembut. “Kamu tidak perlu meminta maaf, semua ini bukan salahmu. Aku malah bersyukur hal ini menimpaku.”“Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”“
Calvin pulang dari bank dengan wajah sumringah, dia merasa senang karena berhasil menyakinkan bank untuk memperpanjang pelunasan hutang papanya. Tadi dia berpikir akan butuh kerja keras untuk meyakinkan bank tentang keuangan keluarganya yang telah stabil sehingga mampu membayar angsuran hutang. Beruntung dengan mudah, bank mempercayainya dan meloloskan pengajuannya.Roger menyambut kabar itu dengan hati gembira, masalah di peternakan akhirnya terselesaikan dengan baik. Keceriaan dan tawa bahagia kembali hadir di rumah tersebut, hal itu membuat Ceysa ikut merasa senang meski ada sesuatu yang dia sembunyikan dari keluarga Nelson.Setelah malam siang bersama, Ceysa undur diri dan masuk ke kamar. Dia mengemasi semua karena harus pergi meninggalkan rumah yang selama ini membuatnya nyaman. Pembicaraannya dengan Olsen hari sebelumnya, menghasilkan kekalahan bagi dirinya.“Baiklah, aku akan ikut denganmu tetapi tidak hari ini. Aku harus memastikan jika kamu tidak berbohong padaku,” ujar Ceysa
Tak langsung menjawab, Olsen kembali menegakkan posisi duduknya dan mengeratkan sabuk pengamannya. “Pasang kembali sabuk pengamanmu!” ucap Olsen mulai mengemudikan kembali mobilnya seolah tidak mendengar perkataan Ceysa.“Apakah kamu tidak mendengar perkataanku? Aku ingin kita bercerai dan tidak akan mengganggu kehidupanmu atau menuntutmu karena pernikahan kita,” desak Ceysa.“Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Sampai kapanpun kita tidak akan bercerai,” tegas Olsen tanpa menatap istrinya. Matanya terus menatap ke depan ke jalan yang dia lalui.“Kenapa kamu tidak mau mengerti perasaanku?” tuntut Ceysa.“Aku sedang membuatmu mengerti perasaanku dan berhentilah bersikap egois,” balas Olsen.“Aku tidak pernah mencintaimu, Olsen. Aku menikahimu karena aku berpikir kamu adalah solusi agar aku bisa keluar dari rumah papaku.”Olsen menoleh dan menatap Ceysa dengan tajam. “Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku dan percayalah jika aku adalah solusi dari semua masalahmu termasuk masalah te
Keesokan paginya, Kenny terbangun dengan handuk basah di kening. Dia mengambil handuk tersebut dan hendak bangun, tetapi seketika kepalanya berputar serta berdenyut sakit.Pintu kamar terbuka dan Calvin terkejut melihat istrinya berusaha bangun dengan menahan rasa sakit. Dia segera meletakkan nampan berisi makanan lalu menopang tubuh Kenny, membantunya untuk bangun.“Tidurlah kembali, kamu masih sakit,” ujarnya.“Apa yang terjadi?” tanya Kenny dengan suara lirih.“Semalam kamu demam, beruntung menjelang pagi suhu tubuhmu sudah normal kembali,” jawab Calvin.“Apakah semalam kamu tidak tidur karena aku?” Kenny merasa tidak enak hati.“Sudah kewajibanku merawatmu dan memastikan keadaanmu baik-baik saja.” Calvin tidak merasa terbebani dengan hal tersebut.“Maaf jika aku selalu merepotkanmu. Apa yang bisa aku lakukan untuk membalas semua kebaikanmu?” Kenny bertekad untuk tidak merepotkan Calvin lagi dengan semua masalahnya.“Makan dan minumlah obatmu sehingga cepat sembuh,” balas Calvin ya
“Lepaskan tanganmu! Aku mertuamu. Ingat?” seru Fortin menghentakkan tangan Calvin.Dengan tatapan membunuh, Calvin menjauh dari mertuanya. “Kamu tidak pantas berbuat kasar pada putrimu, sekarang dia adalah istriku jadi aku memiliki hak untuk melindunginya dari siapapun yang ingin menyakitinya termasuk dirimu.”Tawa Fortin menggema di dinding rumah merespon sikap posesif menantunya terhadap putrinya. “Apa yang telah putriku lakukan terhadapmu sehingga kamu memiliki perasaan padanya? Apakah dia membuatmu kasihan, dia memang ahli melakukannya.”“Papa cukup!” tegur Kenny dengan suara bergetar, tak menyangka jika papanya tega mempermalukannya di depan Calvin.“Apa yang kamu inginkan?” tanya Calvin pada Fortin.Tak ingin papanya menimbulkan masalah lebih besar, Kenny langsung menahan perkataan papanya agar tetap bungkam.“Dia tidak menginginkan apa pun, dia hanya datang menjengukku dan tanpa sengaja aku membuatnya marah.” Kenny mewakili papanya menjawab pertanyaan Calvin.“Marah hingga tega
Kenny duduk di depan jendela dengan laptop di depannya. Dia menghabiskan waktu untuk mencari banyak referensi tentang masakan, mencatat setiap bahan dan tahapan yang dibutuhkan.Selain itu dia mendapat ide untuk membuat video pendek tentang bagaimana dia membuat masakan tersebut dan meng-upload di internet. Kegiatan itu dilakukan secara konsisten dan tanpa disangka dia mendapatkan uang dari hal tersebut.Saat menceritakan apa yang didapatkan, Calvin ikut merasa senang dan mendukung kegiatan tersebut. Ini adalah kebahagiaan pertama dalam hidupnya ketika setelah puluhan tahun akhirnya mengetahui apa yang disuka dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan.Kebahagiaan Kenny bertambah karena Calvin membimbingnya menemukan bakat dan potensi yang selama ini tidak disadari.“Kenapa kamu tidak melakukannya dari dulu?” tanya Calvin melihat kesibukan istrinya.“Karena selama ini aku merasa tidak berguna dan tidak memiliki kelebihan apapun,” jawab Kenny lugas. Papanya yang selalu merendahkan, m
“Apakah keadaanmu tidak memungkinkan untuk itu?” tanya Cameron menyinggung kondisi kesehatan menantunya.Kenny merasa tidak nyaman dengan pertanyaan mertuanya. “Maaf, tapi aku rasa terlalu aneh jika mama membicarakan urusan ranjangku dengan Calvin. Ini membuatku canggung,” jawabnya tak ingin membahas urusan rumah tangga yang seharusnya hanya dirinya dan Calvin yang tahu.“Kamu benar, maaf jika aku terlihat selalu menekanmu dengan hal ini, mulut tuaku ini kadang tidak bisa dikendalikan,” ujar Cameron menyadari batasan.“Apa yang sedang kalian bicarakan? Sepertinya terlihat serius.” Suara Calvin mengagetkan Kenny dan Cameron membuat mereka saling menjauh dengan ekspresi seperti pencuri yang ketangkap basah.“Mama hanya membawakan kue kesukaanmu dan mencicipi masakan istrimu yang ternyata sangat lezat,” balas Cameron menyembunyikan apa yang dibicarakan dengan menantunya.Calvin mendekat lalu mengambil kue yang mamanya bawa dan memakannya dengan ekspresi yang memperlihatkan jika kue terse
Kenny tak berhenti tersenyum melihat bagaimana Calvin begitu perhatian padanya, lebih dari itu suaminya memberi dia kepercayaan untuk memakai dapur dan menggunakan semua perlengkapan yang ada di sana.“Bahan apa lagi yang kamu butuhkan karena aku harus meninggalkanmu untuk ke peternakan?” tanya Calvin memastikan keperluan Kenny.“Apakah kamu tidak bisa makan bersamaku?” Kenny berharap mereka bisa makan bersama untuk pertama kali.“Aku akan makan bersamamu setelah memberi pekerjaan pada para pekerjaku,” ucap Calvin mengembalikan suasana hati Kenny yang sempat kecewa.“Pergilah! Semua sudah cukup, aku bisa melanjutkan masakan ini. Aku akan menunggumu pulang.”Tangan Calvin yang tadinya sibuk menata bahan makanan, terhenti untuk beberapa saat merasa ada yang aneh karena sekarang ada seseorang yang membuatkannya makanan dan menunggunya pulang.Untuk sesaat mata mereka saling menatap dan terkunci, membuat suasana mendadak hening.Calvin kemudian berdehem seolah membersihkan sesuatu yang me
“Maaf aku pulang terlambat,” ujar Calvin pada Kenny saat sampai rumah setelah jam makan malam telah lewat.“Tadi papa dan mama menemaniku makan, dia memasak untuk kita.” Kenny menyampaikan apa yang terjadi di rumah.“Aku yang meminta mama memasak untuk kita karena aku merasa tidak begitu nyaman jika ada pekerja atau orang asing di sini,” terang Calvin.“Bolehkah aku yang memasak untuk kita? Tidak mungkin mama selalu ke sini untuk mengantar makanan,” pinta Kenny.“Tapi keadaanmu tidak memungkinkan,” sanggah Calvin sambil menatap kaki Kenny, hal itu tanpa sengaja menyinggung perasaan istrinya, seolah Kenny tidak bisa melakukan apa-apa karena kondisinya.“Oh … maafkan aku, bukan itu maksudku.” Dengan cepat dia memperbaiki kesalahan, sadar jika baru saja dia menyepelekan istrinya.“Meski berada di kursi roda, bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa,” ujar Kenny dengan nada dingin.“Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padamu saat aku sedang tidak berada di rumah, apalagi peternakan s
“Apakah kamu keberatan jika kita satu kamar?” Calvin balik bertanya untuk memastikan kenyamanan Kenny.“Aku …” Kenny menggantung ucapannya karena malu jika mengatakan jika dirinya merasa senang mereka bisa satu kamar, rasanya terlihat dirinya sedang melemparkan diri pada Calvin.Raut ragu di wajah Kenny ditangkap berbeda oleh Calvin, mengira jika istrinya itu merasa keberatan dengan kamar mereka yang menjadi satu.“Kita tidak mungkin tidur di kamar terpisah karena mamaku sering ke sini. Dia akan curiga jika pernikahan kita tidak serius. Aku harap kamu bisa mengerti,” terang Calvin mengira jika itu bisa menenangkan Kenny.Namun untuk kesekian kalinya Kenny harus menelan kekecewaan karena ternyata masalah kamar pun mertuanya masih ikut campur dan Calvin tidak benar-benar berharap mereka berada di dalam satu kamar.“Bagaimana denganmu? Apakah kamu merasa keberatan?” Ganti Kenny memastikan apa mau suaminya sebenarnya.Tak langsung menjawab, Calvin meletakkannya ke atas ranjang dan menjauh
Kenny mengira persiapan yang Calvin katakan adalah persiapan sederhana karena pernikahan mereka hanya dihadiri keluarga inti, namun sungguh mengejutkan ketika orang tua Calvin membawa tim penata rias untuk mengubah penampilannya.“Apakah ini tidak terlalu berlebihan? Bukankah tidak banyak orang yang hadir?” tanya Kenny menatap gaun pengantin yang dikenakan. Dia merasa tidak sempurna mengenakannya karena gaun itu terlipat kusut di antara tubuh dan kursi roda yang menopangnya.“Tentu saja tidak, hari ini adalah momen sakral kalian yang hanya sekali seumur hidup, sudah sepantasnya kamu berdandan cantik dan anggun.” Cameron menjawab protes calon menantunya.Tatapan Kenny berubah menjadi tatapan nanar mendengar jawaban Cameron yang berharap banyak padanya padahal pernikahannya dengan Calvin tidak memiliki masa depan, bahkan mereka sudah sepakat bercerai sebelum pernikahan digelar.Kenny hanya tersenyum masam menanggapi, menahan gejolak di dalam hati karena merasa telah membohongi kedua ora
Keesokan harinya, Jamie datang membuka pintu kamar rawat putrinya dengan kasar. “Kenapa pria brengsek itu tidak menghubungiku untuk membahas pernikahannya denganmu?”“Aku yang menolak pernikahan itu karena aku tahu rencana licik papa,” terang Kenny.“Dasar bodoh! Siapa yang akan merawatmu ketika kamu tidak bisa melakukan apa pun? Siapa yang akan memberimu makan? Apakah kamu tidak sadar jika sekarang sudah menjadi wanita cacat? Tidak akan ada pria yang mau menikahimu. Jangan harap aku akan memberimu uang,” murka Jamie.Mendengar perkataan menyakitkan dari papanya, air mata Kenny langsung meleleh keluar. Di saat keadaannya tidak baik-baik saja seperti sekarang ini, seharusnya papanya memberinya semangat dan tidak merendahkannya, namun yang terjadi malah sebaliknya, mulut pedas papanya berhasil menghancurkan hatinya, membuat rasa percaya dirinya runtuh.Sambil mengumpulkan keberanian, Kenny berkata, “seharusnya aku menjadi tanggung jawabmu bukan tanggung jawab seorang pria asing yang sama