Terlalu banyak yang salah sangka pada Mala, hanya karena Mala mengasuh kedua keponakan kembarnya, Ghana dan Ghara, semua orang mengira dia janda. Mala melakukan pengorbanan itu demi sang kakak yang sudah berpulang karena kecelakaan. Di tengah stigma yang mengukungnya, takdir mempertemukannya dengan seorang Gamal, pria arogan yang merupakan atasan di tempatnya bekerja. Salah paham yang seringkali terjadi membuat mereka kian dekat. Pada siapa hati Mala akan berlabuh, sementara Jason, pria blasteran Jerman yang juga teman lamanya masih terus mengejarnya? Ikuti saja perjalanan hidup Mala seorang perawan yang sering disangka janda.
View More“Mama ....!”
Aku sontak menoleh dan segera melebarkan senyum, kepada kedua bocah lelaki menggemaskan yang sedang berlari ke arahku saat aku baru saja datang selepas pulang bekerja di sebuah bengkel milik teman lamaku.
Segala rasa penatku menguap ketika melihat kelucuan mereka.
Segera aku merentangkan tangan menunggu kedua anak lelaki berumur tiga tahun itu menghambur ke dalam pelukanku.
“Kalian wangi sekali, kalian udah mandi?” tanyaku gemas sembari mengusap pipi gembul keduanya.
Struktur wajah mereka nyaris sama. Maklum mereka kembar. Tapi aku selalu bisa membedakan mereka karena aku yang sudah merawat keduanya sejak masih bayi.
Benar mereka bukan terlahir dari rahimku sendiri. Aku hanya tante bagi kedua anak kembar yang sama-sama memiliki rambut lurus berkilau, warisan dari kakak lelakiku yang telah berpulang tiga tahun silam, saat Ghara dan Ghana baru berumur satu bulan.
Mas Gio meregang nyawa dalam sebuah kecelakaan tunggal tak lama setelah perceraiannya dengan sang istri yang sudah meninggalkannya demi lelaki lain.
Sampai saat ini aku tak pernah bisa memaafkan wanita yang sudah melahirkan Ghana dan Ghara itu. Karena wanita itu Mas Gio menjadi sangat kacau dan terus menyalahkan dirinya sendiri terlebih juga karena kebangkrutan usahanya yang sempat beberapa saat pernah maju pesat sebelum pernikahannya dengan wanita yang bernama Lia itu.
“Tentu saja kami udah mandi. Ghara dan Ghana mandi sama eyang tadi.”
Ghara menjawab pertanyaanku dengan lidahnya masih cadel yang akan selalu terdengar lucu di telinga.
“Ayo sekarang kita masuk ke dalam,” ajakku pada mereka.
Tapi mereka tak beranjak malah menatapku dengan cemas.
“Kenapa?”
Aku malah menjadi bertanya-tanya, saat melihat ekspresi wajah keduanya yang terlihat tegang.
Celoteh keduanya segera menarik perhatianku kembali pada tingkah lucu mereka. Aku sudutkan kembali bayanganku tentang Mas Gio yang kepergiannya masih begitu aku sesalkan.
“Ma, di dalam ada tamu,” ucap Ghana memberikan jawaban.
“Tamu siapa sayang?” tanyaku kian ingin tahu.
“Aku nggak tahu, tapi dia bukan orang yang akan membawa Mama pergi kan?”
Aku mengerutkan kening menjadi semakin tak paham dengan pembicaraan mereka.
“Untuk apa orang itu membawa mama pergi?”
“Katanya kalau Mama nikah sama orang itu, maka Mama akan dibawa pergi. Terus gimana sama nasib kami?” tanya Ghara keponakanku yang bertubuh agak kecil dari Ghana yang celotehnya terdengar lebih jelas daripada saudara kembarnya yang satunya.
“Ih kata siapa itu? Itu nggak benar sayang.”
Aku lalu merengkuh kedua keponakanku lagi ingin melerai ketakutan mereka berdua.
Setelah itu aku kembali berdiri tegak bersiap menemui orang-orang yang dibilang si kembar sebagai tamuku, tentu saja dengan membusungkan dada menunjukkan sebuah keberanian untuk menghadapi apapun.
“Assalamualaikum,” sapaku pada semua orang yang segera menginterupsi pembicaraan dari orang-orang yang sekarang sedang berkumpul di ruang depan tampak begitu serius sedang membahas sesuatu yang masih belum aku tahu.
Untuk beberapa saat tatapanku memindai pada setiap wajah yang saat ini sedang duduk di ruangan mungil dari rumah petak yang saat ini menjadi tempat tinggalku bersama bunda juga si kembar.
Ketika aku melihat wajah pria jangkung yang akhir-akhir ini sedang gencar mendekatiku, tanpa sadar aku langsung mendengus jengah.
Meski setelah itu aku harus melebarkan senyuman saat bunda memintaku untuk segera ikut duduk dan menyambut para tamu yang masih belum aku ketahui tujuannya bertandang.
“Mala, kamu sudah pulang?” tanya pria jangkung itu yang selama ini kabarnya selalu sering membanggakan statusnya yang seorang PNS di sebuah instansi daerah itu.
Aku hanya mengukir senyuman tipis pada pria berhidung mancung ke dalam itu. Meski aku harus menyimpan rasa muakku dalam-dalam saat memandang wajahnya yang sok simpati padaku.
Bahkan saat ini aku harus semakin lihai bersandiwara saat aku sadari ternyata pria yang biasanya disapa dengan panggilan Bang Jamal itu malah datang bersama dengan kedua orang tuanya.
Jangan lewatkan juga dengan aneka macam barang yang turut serta dibawa oleh mereka pada sore ini.
Ada setandan pisang, satu kardus mie instan bahkan sekarung beras, yang mirip barang sumbangan untuk korban kebanjiran.
Aku mencebik dalam hati, sembari tak bisa menahan diriku untuk menebak apa tujuan Bang Jamal datang ke rumahku dengan membawa semua barang itu.
Aku kian memindai waspada kala mendengar celetukan wanita berhijab hijau pupus yang saat ini memenuhi pergelangan tangannya dengan gelang emas serupa rantai kapal nan besar.
“Oh jadi ini calon menantuku itu?”
Sontak aku membeliak tajam pada lelaki yang biasanya menyapaku dengan malu-malu di ujung gang saat kami berpapasan ketika sama-sama akan berangkat kerja.
Jelas ini sangat mengagetkan karena bujang lapuk yang tak pernah terlibat percakapan apapun denganku itu kini datang menyatakan lamarannya padaku bahkan mengajak kedua orang tuanya.
Sejurus kemudian Ghara dan Ghana masuk ke dalam ruang tamu dan memanggilku.
“Mama ....”
Sontak pria dan wanita yang tampil dengan dandanannya yang full color itu membeliak tajam.
Aku menanggapi dengan acuh bahkan mengulurkan tangan untuk kedua keponakanku yang kini sudah datang mendekat.
“Apa wanita yang kamu suka itu janda Jamal?” tanya wanita bergelang besar itu pada anaknya yang sejak tadi terus menerus mencuri pandang padaku.
Pria jangkung itu tampak tergeragap ketika mendengar cecaran ibunya.
Aku masih saja tenang. Malah menjadi berharap jika lamaran mereka akan segera dibatalkan karena mereka pasti mengira bahwa saat ini statusku adalah seorang janda.
Aku melirik pada pria berambut klimis itu yang wangi aroma minyak rambutnya sedikit membuat perutku mual.
“Aku tidak tahu Mak,” jawab Jamal pada akhirnya.
Sementara bunda yang sejak tadi diam, mulai terlihat membuka mulut tapi aku segera berdesis kepada wanita yang sudah menghadirkan aku ke dunia itu, memberi isyarat untuk tak angkat bicara.
“Aku nggak suka punya mantu janda, punya buntut dua lagi, bisa-bisa mak nggak akan kebagian gaji kamu lagi. Kita nyari mantu itu buat membantu pekerjaan mak di rumah. Kalau punya anak kayak gini yang ada malah bikin repot.”
Wanita bertubuh bongsor itu langsung bangkit sembari berkacak pinggang.
“Kenapa sih Buk, nggak bilang dari tadi kalau anaknya itu janda?”
Wanita itu kini malah menyalahkan bunda.
Aku langsung tersengat emosi dan ikut berkacak pinggang di depannya.
“Situ sendiri yang main lamar aja, kenapa sekarang malah nyalahin orang?”
Jamal segera menghampiri ibunya yang sekarang bahkan sudah membulatkan mata dan menatapku tajam, tampak kaget saat mendapati keberanianku untuk membantahnya.
Tapi aku memang tak pernah peduli tentang anggapan orang walau bagaimanapun.
Aku masih saja menatapnya dengan tegas walau sekarang bunda sudah mulai mendekat untuk meleraiku. Tapi aku masih tak peduli.
"Emang kenapa? Mau aku perawan atau janda?"
***
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments