“Dasar janda gatal!” sergah Vania mulai menyerangku dengan kata-katanya yang pedas.
Untuk ke sekian kalinya aku harus menerima stigma buruk juga kalimat yang mengkerdilkan hanya karena aku mengasuh kedua keponakanku seperti anakku sendiri.
Nyaris semua orang salah menganggapku, mereka menyangka aku janda. Bahkan Vania juga menilaiku dengan seenaknya.
Saat mendengar ucapannya yang tajam sontak aku menyergapnya dengan tatapan nyalang.
Satu persatu aku mulai melepaskan sarung tangan karet yang biasa aku gunakan saat bekerja dengan sorot mata yang kian tajam terunggah.
Perlahan aku mendekati gadis itu.
Gadis manja yang suka berkata pedas, yang sekarang mulai terlihat agak ketakutan. Sesekali ia melirik ke arah ruang kerja Jason, berharap pria yang diklaim sebagai kekasihnya segera muncul dari sana dan akan segera ia dekati untuk bisa mendapatkan perlindungan.
Aku sudah sangat bisa membaca apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Tapi sekarang aku sudah sangat marah saat mendengar ucapannya itu.
“Kamu bilang apa tadi?” sergahku menentang.
Vania memundurkan langkahnya saat aku kian mendekat.
“Ih kamu emang janda kan? Kalau nggak mau dibilang janda gatel ya jangan goda pacar orang lain dong. Kamu itu harusnya ngaca, emangnya pantas Jason bersanding sama cewek pekerja bengkel kayak kamu, udah dekil miskin lagi.”
Nyatanya wanita itu tetap saja memuntahkan segala penghinaan untukku. Benar-benar memuakkan.
Vania masih enggan untuk menyadari kesalahannya.
“Lagian apapun yang kamu lakukan, Jason nggak akan pernah tertarik sama cewek model kayak kamu. Cewek kayak kamu itu paling banter hanya bisa menggoda abang-abang tukang siomay, atau preman pasar. Sampai kapanpun kamu itu nggak level sama Jason.”
Gadis bermulut seperti comberan itu masih saja tidak berhenti melontarkan ejekannya yang pedas padaku. Sangat menguji kesabaranku memang.
Aku mulai tersengat amarah, hingga tanpa sadar aku mengepalkan kedua tangan.
Melihat sepasang mataku menyala karena marah, Vania mulai semakin ketakutan.
Gadis yang mengumbar pangkal dadanya itu terus melangkah mundur.
Aku terus saja melangkah maju menyergapnya dengan sorot mata penuh emosi. Aku benar-benar ingin mengintimidasinya
Tapi sebelum aku melakukan apapun untuk memberinya pelajaran karena mulutnya yang asal ngomong itu mendadak Jason sudah muncul dengan membawa tas ranselnya.
“Aku pulang dulu La, kamu bawa kunci bengkel ini ya. Biar besok aku akan samperin kamu ke rumah kamu,” ucap Jason ketika sudah berada di depanku.
Jason kemudian melemparkan kunci bengkel padaku, yang segera aku tangkap dengan tangkas. Kedatangan Jason membuatku urung untuk memberi pelajaran pada Vania yang kelakuannya selalu saja seperti ulat, suka gatal mengurusi orang lain.
Sementara Vania langsung menyongsong mendekati Jason yang malah tampak risih saat didekati.
Aku mencibir ke arahnya meski masih tak terlihat oleh Jason. Karena sahabatku itu sedang sibuk ingin menjauhkan lengannya yang terus ditarik Vania agar bisa bersenggolan dengan dadanya yang dipasang implan agar terlihat membusung menggoda.
“Ayo Jason kita pulang sama-sama,” ajak Vania sembari bergayut manja masih saja menempelkan dada besarnya itu pada lengan kokoh Jason.
Nyatanya pria blasteran itu malah menampakkan gurat tidak sukanya di hadapan Vania yang aku tahu jelas sedang berusaha untuk menggoda sahabatku itu dengan sentuhannya yang seduktif.
“Kamu apa-apaan sih Vania?”
Jason mendesah jengah sembari menjauhi Vania yang berusaha untuk terus menempel padanya.
“Kita pulang sendiri-sendiri, lagian aku bawa mobil sendiri dan kamu juga kan?”
“Tapi kita bisa satu mobil kok, kamu tinggal aja mobil kamu, terus kita bisa barengan.”
“Ish, apa kamu nggak dengar tadi, kalau pagi-pagi sekali aku harus ke rumahnya Mala?” sergah Jason kesal.
“Nggak kita tetap pulang sendiri-sendiri, aku tetap butuh mobilku buat besok.” Jason memutuskan dengan tegas.
Vania langsung terlihat bersungut-sungut sembari memajukan bibirnya yang diberi filler hingga tampak tebal seperti disengat tawon kalau menurutku.
“Ya udah La, aku pulang dulu,” ungkap Jason sembari membalikkan badan ke arah pintu keluar dan setelah itu melangkah mengabaikan Vania yang sudah tampak merajuk karena Jason tak mau menuruti keinginannya.
Tentu saja Vania akan mengejar Jason dan pastinya akan tetap berusaha untuk membujuk temanku yang tampan itu, yang memiliki sepasang mata sipit yang tajam menggoda. Pasti dia ingin menghindari seranganku untuk memberinya pelajaran karena mulutnya lemesnya yang sering kelewatan mengatai orang lain.
Tapi ketika wanita penggoda itu melirik ke belakang, aku segera mengacungkan jari tengah padanya sembari menyergapnya dengan tatapan tajam, karena aku benar-benar tidak suka dengan segala usahanya yang murahan untuk menggoda Jason.
Setelah itu aku mengabaikan mereka yang bahkan sudah tak lagi berada di dalam bengkel.
Aku benar-benar tak peduli kalaupun Jason akan tetap pulang bersama Vania. Bagaimanapun aku merasa tak perlu ikut campur dengan persoalan mereka berdua. Sampai saat ini Jason hanyalah aku anggap sahabat.
Lagipula aku cukup tahu diri, keadaan keluargaku saat ini sangatlah tak sepadan dengan keluarga Jason yang kaya raya. Yang sudah jelas aku tahu bahwa Tante Anggun sudah tak lagi suka denganku semenjak aku sudah tak dianggap anak oleh ayahku sendiri dan seluruh harta yang dimiliki bunda dirampas dengan licik oleh wanita pelakor yang bahkan sebelumnya adalah seseorang yang pernah ditolong oleh bunda.
Pada akhirnya aku kembali menekuni pekerjaanku sampai aku bisa menyelesaikannya bahkan tak sampai sepuluh menit, yang membuatku bisa menyusul waktu maghrib, tidak sampai terlewat, dan menjalankan kewajibanku sebagai hamba di mushola bengkel.
***
Karena kemarin aku pulang telat Ghana dan Ghara di pagi hari jadi semakin manja padaku. Kedua keponakanku yang sejak bangun tidur hanya ingin bersamaku, bahkan soal mandi dan sarapan pagi, mereka hanya ingin melakukannya denganku.
Mereka yang selama ini selalu memanggilku mama itu, akhirnya sekarang sudah aku dandani rapi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
“Sekarang kalian udah ganteng-ganteng,” ucapku sembari memberikan ciuman sayang pada kedua pipi Ghara dan Ghana setelah aku selesai menyisiri rambut mereka yang berombak.
“Nanti kalau di sekolah, dengerin kata-kata bunda-bunda pengajar ya, jangan nakal,” imbuhku sembari memandangi wajah-wajah mereka yang menggemaskan.
“Iya Ma, di sekolah aku biasanya juga membantu bunda-bunda,” kata Ghara jelas dengan menampakkan tampang polosnya yang begitu lucu.
Aku tersenyum lebar kelucuan mereka memancingku untuk mencubit dengan sayang kedua pipi Ghara yang memang lebih tembem.
Nyatanya setelah itu mereka berdua malah bergayut manja padaku.
Sementara bunda berdiri di dekat kami, menunggu Ghara dan Ghana bersiap dan akan segera di antar pergi ke sekolah, dengan berjalan kaki bersama karena letak sekolah mereka yang memang dekata rumah.
“Udah sekarang kalian berangkat, Eyang udah nungguin kalian.”
“Ayo kita berangkat,” ajak bunda bahagia sembari mengembangkan senyumnya yang sumringah.
Setelah segala kepahitan yang terjadi di dalam hidup bunda, kehadiran Ghara dan Ghana sungguh bagai oase yang menyejukkan hati beliau. Hingga aku melihat bunda sekarang semakin jarang meratap seakan menangisi takdir buruk yang digariskan Tuhan dalam hidupnya.
Baru saja aku akan melepas mereka hingga di depan pintu mendadak, sesosok pria muncul di ujung jalan dan segera memanggilku dengan antusias, yang membuat kami semua segera menoleh padanya.
“Mala!”
Ketika melihat kedatangan Jason, aku langsung menahan langkahku untuk menunggunya sampai ia mendekat.
Sementara bunda yang sudah menggandeng Ghara dan Ghana yang sudah aku bantu menyandang tas ransel mereka, ikut melirik pada pemuda jangkung itu, seorang blasteran yang selalu menarik perhatian para tetangga julidku setiap kali dia datang.
“Tuh Mala, pacarnya yang ganteng udah nyamperin,” celetuk salah seorang tetangga depan rumahku yang leher panjangnya langsung terulur ke arah jalan saat melihat kedatangan Jason.
Aku hanya melirik malas pada wanita berdaster batik yang warnanya sudah pudar itu, yang sekarang bahkan sudah keluar dari rumahnya, hanya demi bisa menyapa Jason yang sudah terlihat di depanku.
“Mas Jason kok pagi datangnya?” sapa wanita yang ditinggal merantau oleh suaminya itu yang tinggal di rumahnya hanya bersama seorang bibi.
Jason mengacuhkan sapaan wanita yang biasa aku panggil Mpok Lala itu.
Aku menanggapi dengan senyuman tersungging, sampai Jason, sahabat tampanku itu mulai mengajakku berbicara.
“Ayo Mala, kita ke bengkel bareng!”
***
Nyatanya ajakan Jason malah menerbitkan tatapan tak suka Mpok Lala padaku.Aku menanggapi dengan sorot mata tajam pada wanita yang selalu saja berusaha untuk menarik perhatian sahabatku yang memang tampan itu.Sampai kemudian aku mengajak Jason masuk ke teras dan menyuruhnya menantiku di sana saat aku mempersiapkan diri sebelum berangkat ke bengkel milik sahabat tampanku itu.Tapi ketika kami melangkah keluar dari rumah Mpok Lala kembali mendekati kami lagi, lebih tepatnya mendekati Jason yang sebenarnya sudah mengabaikannya.“Mas Jason, nggak mampir dulu, aku udah masak tuh, kalau mau Mas Jason bisa sarapan dulu. Pastinya Mala nggak bakal nawarin kamu sarapan, dia kan emang nggak pernah masak.”Mpok Lala kembali menyindirku dan tentu saja terus berusaha menggoda Jason, pria muda blasteran Jerman yang memang memiliki tampang di atas rata-rata.Seenaknya saja dia mengatakan aku tidak pernah memasak. Padahal setiap hari aku selalu memasak untuk Ghara dan Ghana juga bunda. Hanya saja aku
Aku benar-benar tak menduga kalau Jason akan mengajakmu mampir di sebuah restoran dan memborong makanan mahal.“Kamu buat apa beli makanan sebanyak ini?” tanyaku heran menampakkan rasa keberatanku ketika Jason sedang membayar semua makanan yang dipesannya.Jason hanya melirikku, setelah itu dia menggandeng tangan lalu menyeretku keluar dari restoran.“Saat di rumah nanti kamu nggak usah masak lagi, kasihan Ghara dan Ghana setiap hari harus makan masakanmu yang tidak enak itu.”Jason berucap dengan sangat santai.Aku segera menepuk pundaknya dengan kesal sembari membeliakkan mata.“Kenapa dulu lu ikut makan di rumahku? Sekarang seenaknya bilang masakanku enggak enak.”Aku memalingkan wajah sembari berdecih kesal.Jason menanggapiku dengan tawanya yang lebar, sembari ia segera bergeser menjauh saat aku akan menghujaninya dengan cubitanku yang pastinya terasa pedas di kulit itu.“Eh enggak deh, masakan kamu enak, tapi Ghara dan Ghana mungkin sedikit bosan makan, makanan rumah, jadi ngga
“Kita harus bicara,” sergah wanita yang selalu sering mengumbar aset tubuhnya. Bahkan saat ini Vania membiarkan kaki jenjangnya terpampang dengan paha mulusnya haanya tertutupi separuh.Aku mendengus jengah ke arahnya dan menjadi sangat malas menghadapi sikapnya yang sering menyudutkan juga mengklaim Jason sebagai miliknya.Aku memilih melanjutkan langkahku alih-alih mengabulkan keinginannya.Sontak Vania mengikuti sembari menghentak-hentakkan kaki di tanah menunjukkan kekesalannya atas pengabaianku.Benar-benar kekanakan menurutku.“Aku nggak mau tahu pokoknya kamu harus jauhin Jason.”Aku memutar malas bola mataku ke arahnya dan mulai menghentikan langkah kala wanita yang sok cantik itu menarik pundakku dengan keras.“Jason dan aku akan tunangan, Tante Anggun yang sudah bilang semua ke aku tentang rencana ini.”Aku menyergap gadis manja di depanku itu dengan tatapan nyalang.“Trus kamu udah dapat persetujuan Jason tidak?” tukasku ketus.Vania tampak tergeragap. Aku membalasnya denga
Dengan sangat antusias Vania segera membuka ranselku yang sudah aku lemparkan padanya. Raut mukanya yang sarkas benar-benar membuatku menaruh curiga.Aku merasa gadis itu sedang merencanakan sesuatu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Terlebih saat aku ingat dia memasuki ruangan loker karyawan dengan gelagat yang sangat mencurigakan.Sampai kemudian Vania menemukan ponsel yang dicarinya itu yang secara ajaib bisa berada di dalam ranselku.“Ini apa?” Vania segera menyergapku dengan tatapan nyalang.Sementara semua orang kemudian menjadi terperangah ketika melihat apa yang sudah ditemukan Vania di dalam ranselku.Aku sendiri juga tak kalah kagetnya, meski kemudian aku mulai menatap gadis yang manipulatif yang sudah menjebakku dengan tuduhan yang sangat keji itu.“Emang mana ada pencuri ngaku, bisa penuh penjara kalau semuanya nga
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada sosok sahabatku sejak kecil itu yang sekarang sedang duduk di teras rumah bercengkerama bersama Ghana dan Ghara tapi raut mukanya jelas tampak sedang menantiku.Jason segera memusatkan perhatian padaku, memandangku dengan sangat dalam ketika aku sudah berdiri di hadapannya.“Apa aku tidak boleh mengunjungi sahabatku sendiri?” Jason berusaha menyunggingkan senyuman wajar terhadapku di tengah sikap waspadaku yang sekarang ingin menjaga jarak dengannya.Meski begitu aku tetap menemuinya dan duduk di bangku yang sama dengannya, sembari meladeni kedua keponakanku yang selalu akan bermanja padaku setiap kali aku baru pulang dari manapun.“Jas, sepertinya kamu harus membatasi kunjungan kamu ke sini,” ungkapku datar.Jason memandangku dengan sedih. Lelaki blasteran itu mulai menarik nafas panjang.&n
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang pernah aku lihat di jalan dulu sedang mengalami kesulitan dengan mobilnya. Gayanya masih saja dingin dan sarkas. Aku membalas tatapannya dengan tak kalah tegas. “Apa kamu nggak lihat kalau aku sedang kerja di sini? Kalau kamu, untuk apa sopir angkot kayak kamu berada di perkantoran elit ini?” Aku balas menyergah. Nyatanya sosok itu menanggapiku dengan tatapan yang semakin dingin meski aku sempat melihat sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. “Kamu bilang aku sopir angkot?” “Lha yang kemarin emang mobil itu bukannya milik kamu?” Pria itu kemudian malah mencebik. “Jadi karena itu kamu menganggapku sopir angkot?” Aku mengedikkan bahu pelan. “Kalau nggak sopir angkot terus apa?” Pria itu malah ikut mengangkat kedua bahunya. “Terserah kamu menganggapku apa.” “Ya sudah, jangan sinis gitu dong.” Aku kembali melakukan pekerjaanku. Tapi nyatanya pria itu malah memindaiku dengan semakin lekat. Sama seperti yang sudah dilakukannya
“Pria mesum sebenarnya apa sih kerjaan kamu?” Aku bertanya dengan datar yang segera menarik tatapan pria bertubuh jangkung itu ke arahku. “Kamu menyebutku apa tadi?” Aku bergeming enggan mengulangi perkataanku. Tapi nyatanya pria itu malah melukis segaris senyuman samar yang terkesan misterius di mataku. “Sekali lagi aku mendengarmu, memanggilku pria mesum lihat apa yang akan aku lakukan padamu, hingga definisi pria mesum itu benar-benar akan sesuai dengan perkataan kamu.” Aku terhenyak ketika mendapati kerlingan matanya yang terunggah padaku. Entah mengapa aku malah menjadi takut. Tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Hingga aku enggan untuk menentang tatapan matanya lagi bahkan sampai kemudian pria itu melanjutkan langkahnya dan benar-benar pergi tanpa menjawab pertanyaanku tentang apa yang dikerjakan oleh lelaki itu di area gedung perkantoran ini, padahal kemarin aku sedang melihatnya berkutat dengan mesin mobilnya yang bobrok. Setelah pria berhidung sempurna itu berlal
“Dari mana kamu tahu kalau aku bekerja di bengkel sebelumnya? Siapa sih kamu itu?”Ketika mendengar cecaran pertanyaan dariku, pria yang memiliki dagu yang agak lancip itu malah membalas tatapanku dengan tenang, sembari memajukan wajahnya ke depan mendekatiku yang sedang duduk di hadapannya.“Apa kamu lupa kalau kemarin kamu sempat menolongku memperbaiki mobilku yang mogok? Dari caramu memperbaiki mesin siapapun pasti dapat menduga jika kamu adalah seorang montir.”Aku mendesah panjang.“Bagiku bekerja di mana pun tak akan menjadi masalah asal aku masih bisa menghasilkan uang untuk membiayai keluargaku. Aku memiliki tanggungan dua orang anak juga seorang ibu, belum lagi aku harus membayar kuliahku sendiri.”Lelaki itu kini ganti mengerutkan kening di depanku setelah menarik wajahnya mundur dariku.“Kamu memiliki anak?
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud